.
.
.
CHAPTER 40 ; Things you wanted the most
Sudah 1 minggu semenjak Abigail di bakar dihadapan para rakyat Utara.
Bagi Catherine waktu terasa berjalan begitu cepat.
"Jadi bagaimana perasaanmu setelah pengeksekusian Abigail?"
Catherine terdiam sesaat. Memikirkan jawaban yang tepat dari pertanyaan Harvey.
Ya, wanita tua itu secara khusus diundang oleh Catherine untuk mengunjungi Dukedom Emeric.
Untungnya, Harvey yang begitu tertutup menyambut baik undangan tersebut dan berangkat ke utara 1 hari setelah surat undangan tiba ke rumahnya.
"Entahlah, rasanya aneh mengetahui orang yang biasanya menjagaku kini telah tiada, aku bahkan tidak menyangka dia memiliki niat seburuk itu"
Harvey menganggukan kepalanya.
"Perasaan iri memang bisa merubah segalanya"
Wanita yang sudah memiliku keriput diwajahnya itu menyeruput tehnya perlahan.
Menikmati teh dari kerajaan timur dengan pemandangan rumah kaca Catherine adalah hal yang tidak bisa semua orang rasakan.
Jangan sangka Harvey tidak tahu kenyataan bahwa Edward secara pribadi mengizinkannya untuk menghabiskan waktu berdua dengan Catherine disini. Pasalnya lelaki itu sendiri yang meminta Harvey untuk membuat Catherine merasa lebih baik.
Meskipun sudah menutupinya sekuat tenaga, sayangnya Edward merasakan kejanggalan dari gadis kesayangannya itu.
"Apa ada pertanyaan yang ada di kepalamu?" Tanya Harvey sembari meletakan cangkir putihnya keatas piringan kecil dengan warna senada.
Catherine menatap Harvey dengan tatapan tak yakin.
Pertanyaan yang ada di kepalanya mungkin seakan mempertanyakan pernyataan dewa yang tertulis di kitab. Dan ia tak ingin Harvey merasa tersinggung.
"Tanyakan apapun jika kau ingin bertanya, aku akan selalu mendengarkanmu"
Harvey menatap Catherine dengan tatapan meyakinkan.
Toh dia juga tak akan menghakimi gadis cantik tersebut. Harvey terbuka untuk menerima pertanyaan apapun.
Dan Catherine menerima sinyal tersebut dengan baik. Gadis itu menghembuskan nafasnya perlahan sebelum akhirnya melontarkan pernyataan yang selama 1 minggu ini menyita perhatiannya.
"Harvey... mengapa rasanya, mimpi yang kualami mengenai masa depanku itu bisa saja terjadi?"
Harvey hanya diam, tak menunjukan perubahan ekspresi apapun. Wanita tua itu membiarkan Catherine mencurahkan segala kegundahannya hingga tuntas.
"Jika saja Edward tidak menangkap Abigail dan tanpa sengaja mengetahui jejak sihirnya, mungkin saat ini semuanya sudah seperti mimpiku? Edward sudah terpengaruh ramuan cinta dan aku kembali sengsara..."
Catherine menatap cangkir teh nya yang masih penuh dengan tatapan menerawang.
Harvey menganggukan kepalanya, kini mengerti keresahan yang dirasakan Catherine.
"Bukannya aku meraguka ucapan dewa, hanya saja rasanya seperti semua mimpiku nyaris menjadi kenyataan" lirihnya.
"Tak apa, yang kau katakan memang ada benarnya" ucap Harvey memvalidasi perasaan Catherine.
Harvey kembali menyeruput teh nya sebelum memastikan bahwa kini Catherine telah mengucapkan semua kegundahannya.
"Catherine, kau tahu ramuan cinta itu tidak ada kan? Semua itu hanya mitos"
Catherine tahu akan hal itu dari Paulus. Tapi fakta bahwa Abigail masih tetap mencobanya sangat mengganggu.
"Tapi Abigail sedang mengembangkannya"
Harvey terkekeh.
"Bahkan penyihir gelap yang sudah 50 tahun menekuni ramuan dengan sumber sihir yang bak pohon beringin besar tak bisa menemukan ramuan cinta, dia justru membuat ramuan beracun yang menyerang jantung manusia"
"Perasaan manusia adalah sesuatu yang tak bisa disentuh oleh siapapun kecuali pemiliknya sendiri. Tak ada yang bisa mengubahnya."
Harvey menatap netra violet Catherine dengan lekat.
"Jikapun Abigail saat itu bisa lolos tanpa sihirnya yang terdeteksi, kemungkinan besar yang menjadi incarannya adalah dirimu.
Jika dia memang terobsesi pada Duke maka bukankah seharusnya dia menggadaikan jiwanya jauh sebelum kau datang?
Dia justru lebih terobsesi untuk menjadi dirimu dan mulai menekuni sihir hitam setelah menjadi pengawal pribadimu."
Harvey menghembuskan nafasnya. Bagi seorang yang tidak pernah merasakan iri dengki Harvey merinding dengan hasil dari perasaan buruk tersebut.
"Coba kau kesampingkan mimpi yang telah kau alami dan lihat semuanya dengan mata terbuka.
Duke sudah dilatih untuk kebal dari segala racun dan ramuan gelap.
Pada dasarnya dewa menuntunmu bukan untuk menghindari mimpi itu, justru menuntunmu melalui mimpi tersebut.
Jika kau tidak mengalaminya mungkin Abigail saat ini masih diluar sana merugikan banyak orang karena rasa irinya."
Catherine tertegun beberapa saat. Yang dikatakan Harvey benar adanya.
"Catherine, bebaskan perasaaanmu dari sakit yang berasal dari mimpimu. Sudah saatnya kau bebas dan bahagia"
Catherine menatap Harvey dan tak lama setelahnya, seutas senyum terbit di bibir manisnya.
Ya, sudah saatnya Catherine bebas dan bahagia, sesuatu yang sejak dulu Catherine inginkan.
***
Sudah lebih dari 1 minggu semenjak prosesi pernikahannya di laksanakan, namun Catherine baru sempat memeriksa seluruh hadiah pernikahan sekarang.
Melihat bahkan ruangan khusus yang diperuntukan untuk hadiah itu bahkan tak sanggup menampung semuanya, Catherine rasanya sudah lelah duluan.
"Hadiah lainnya berada di ruangan sebelahnya, Nyonya. Sedangkan hadiah dari para rakyat masih dalam pemeriksaan" lapor Siana.
Catherine menoleh dan menatap ruangan sebelah yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Duke berpesan bahwa anda tidak perlu membuka semuanya sendiri, saya dan para pelayan lain akan membantu anda"
Catherine mengangguk.
Sebenarnya gadis itu penasaran semua isi hadiah itu, namun sepertinya energinya tidak cukup kuat untuk membuka semuanya sendiri.
"Baiklah mari kita mulai"
***
Edward menutup dokumen terakhir yang sudah ia periksa dan tandatangani untuk hari ini.
Hal pertama yang pria itu pikirkan adalah istri kecilnya. Sudah seharian ini lelaki itu tak menghabiskan waktunya dengan Catherine.
"Duchess sudah berada di kamar tidur, Yang Mulia" lapor James, seperti biasa.
Edward mengangguk dan segera menuju kamar tidurnya.
"Catherine" panggil Edward begitu pria itu memasuki ruangan.
Dengan rambut tergerai lurus, Catherine mengenakan gaun tidur berwarna champagne tanpa lengannya.
Gadis itu tersenyum dan menyapa Edward.
Mengecup bibir pria tersebut dan tak lupa kedua pipinya. Berharap agar lelah pria itu berkurang jika Catherine menciumnya.
Dan nyatanya itu sangat akurat.
Edward tersenyum dan meraih pinggang mungil sang istri.
Semakin hari Catherine semakin berani dengan tingkah menggemaskannya.
Dan sepertinya, setelah berbicara dengan Harvey, gadis itu sudah jauh membaik.
"Kau sudah meliat hadia-hadiah kita?" Tanya Catherine yang dijawab gelengan.
"Ada banyak sekali, aku bahkan tidak sanggup membuka setengahnya"
Edward terkekeh, meskipun gadis itu memaksakan dirinya, Edward sudah terlebih dahulu memperingatkan Siana jumlah hadiah yang boleh dibuka Catherine agar gadis itu tak kelelahan.
"Januar mengirimkan berbagai macam minuman alkohol, apa aku boleh mencobanya?"
Edward menunduk, menatap netra Catherine penuh arti.
"Ambil lah 1 botol, aku akan menyiapkan gelasnya"
***
TBC
Published, 22-08-2023
Chapter depan adalah chapter favorit kalian 🔞🔞⚠️🔥🥵
Yang mau baca dulu udah ada di karyakarsa ya❤️
Anyway untuk pertama kalinya ada yang fanart dream loh🤩
From the one and only @ariawestie , makasih banyak sayangkuu❤️❤️ karyamu selau baguss😫🫶🏻