Dewi ingat betul kesusahan yang Ranu ciptakan setelah meninggalkan dirinya yang berumur tujuh tahun beserta ayahnya demi pria lain. Rumah yang hangat seketika berubah jadi dingin.
Ayahnya tidak mengeluarkan sepatah kata pun saat melihat kepergian Mamanya yang di jemput pria lain. Ranu berlalu melewati Dewi kecil yang berdiri di depan pintu menangis terisak melihat kepergian mamanya. Tidak ada kata perpisahan apa lagi kata-kata menenangkan berupa janji semu sekedar usaha menghentikan tangis Dewi untuk sementara. Hari-hari berikutnya Dewi selalu menunggu Ranu di depan pintu namun tidak pernah datang bak di telan bumi.
Dewi kecil terguncang dipaksa mengerti dengan keadaan orang tuanya, membuat dia kesulitan berinteraksi dan menjalin hubungan baik dengan teman sebayanya karena mengalami gangguan mood dan kecemasan lalu berakhir di rumah sakit.
Ranu bukan mama yang baik, tidak pantas untuk jadi ibu dan itu salah Ranu karena tidak bisa melakukannya.
Berselingkuh, melanggar kesepakatan atas kesetiaan pernikahan demi cinta barunya tanpa berpikir apa lagi memperdulikan Dewi kecil seolah menutup mata karena di butakan kesenangan dan kebahagiaan bersama cinta barunya.
.
.
.
Bertemu kembali setelah sekian tahun dengan ibunya yang telah mentelantarkan dirinya. Tidak ada rasa haru apa lagi bahagia yang merasuk jiwa dan menggetarkan hati Dewi. Semua terasa hampa, gamang karena kebencian dan kesakitan.
"Dewi... Ma----ma..."
Suara Ranu terdengar lemah bergetar seperti menahan tangis. Kedua tangan sedikit keriput itu bertautan mengepal erat di atas meja. Hatinya menghangat penuh kebahagiaan bisa bertatap muka dengan Dewi di jarak sedekat ini.
"Mama minta maaf atas segala hal yang telah kamu lewati"
Wajah congkak tak bergeming. Dewi muak mendengar Ranu menyebut dirinya mama dengan tidak tahu malu, apa Ranu hilang ingatan atas perlakuan yang di berikan terhadap Dewi. Mudah sekali memohon ampun seakan dapat membayar beberapa tahun bahkan puluh tahun rasa sakit yang Dewi rasakan.
Bagi Dewi, Ranu hanyalah wanita tua yang mengandung dan melahirkan tanpa memiliki ikatan batin dan emosi dengan dirinya.
Ranu yang tidak pernah mengatakan mencintai Dewi. Tidak pernah tahu rasanya kecewa karena berpikir bahwa Dewi adalah anak yang tidak di inginkan sehingga dengan tega ibunya pergi meninggalkannya tanpa pernah kembali. Tidak ada ciuman, pelukan atau semacamnya. Ranu sibuk dengan selingkuhannya dan ayah sibuk dengan urusannya. Itu adalah masa kecil Dewi yang sangat tidak bahagia.
Dewi menatap dingin bersedekap di dada dengan bibir tersenyum paksa dan hati menyumpah serapah Ranu yang menangis seperti pihak yang paling tersakiti.
"Mohonlah ampun pada tuhan, agar saya terhindar dari karma yang anda perbuat"
Ranu hancur mendengar Dewi menyebut dirinya dengan kata anda dalam suara datar penuh penekanan, terlebih senyum yang Dewi berikan merupakan hinaan terdalam. Ranu terisak berlinang air mata, menyedihkan. Ranu tahu semua sudah terlalu terlambat untuknya. Hubungan buruk yang sudah menumpuk bertahun-tahun tidak akan mudah di perbaiki.
"Dewi....ma---ma, mama selalu mendoakan mu di setiap waktu"
Ranu menunduk menghalau tetes air mata dari pelupuk matanya.
"Itu kewajiban anda sebagai pendosa di masa lalu, tolong jangan menemuiku lagi. Tetaplah seperti dirimu yang dulu, hidup bahagia tanpa diriku"
Meraih beberapa lembar uang lalu meletakkan di atas meja, menindihnya dengan segelas teh yang tidak tersentuh isinya sedikitpun lalu Dewi beranjak tanpa kata berbalik melangkah pergi meninggalkan Ranu yang meraung tidak bersuara.
Ranu menatap bergantian pada Dewi dan lembaran uang. Tamat sudah riwayat Ranu. Di cap sebagai ibu yang tidak layak, tukang selingkuh, pezina dan dicaci karena meninggalkan Dewi kecil. Ranu tidak peduli, memang benar itu kenyataan perlakuannya. Kenyataan lebih pahit adalah hati Dewi yang sudah beku, tak tersentuh, mati rasa akan dirinya ibu kandungnya sendiri, Ranu rusak remuk tak berwujud.
Satu hal yang tidak di ketahui Dewi, Ranu sudah pernah berjuang keras untuk mendapatkan hak asuh dan berujung kalah telak.
.
.
.
Aaron sengaja meninggalkan Ranu dan Dewi memberi waktu untuk lebih leluasa, berpura-pura seperti orang dungu untuk pergi ke toilet padahal duduk jauh memperhatikan semuanya tanpa ada yang terlewat.
Dewi yang berdiri tegak membuka tas selempangnya mengeluarkan beberapa lembar uang dan meninggalkan Ranu yang terlihat menyedihkan tak berdaya. Lalu Aaron menyusul Dewi menyamakan langkahnya, meraih menggandeng tangan yang terasa dingin di genggamannya. Wajah Dewi merah merona dan tatapan matanya tajam. Aaron merasa canggu dan kikuk dengan aura mencekam penuh kemarahan di sekeliling Dewi. Pulang adalah pilihan terbaik untuk sekarang.
Sesampainya di lobby, Aaron melepas jas yang dirinya kenakan dan menyampirkan pada tubuh berisi Dewi membuat orang di sekitarnya terharu terpesona dengan perlakuan Aaron bahkan ada yang secara terang-terangan menatap tertarik iri penasaran.
Menggiring Dewi ketika waktu melihat mobilnya datang. Sebelum petugas valet parking turun, Aaron lebih dulu membukakan pintu depan samping kemudi. Menarik, mendorong Dewi masuk berjaga jika istrinya lebih memilih duduk di kursi penumpang belakang lagi. Itu akan sangat memalukan memancing emosi kedua kalinya. Syukurnya kali ini Dewi menurut tanpa repot drama adu urat. Lega Aaron rasakan, menutup pintu mobil pelan duduk dengan badan tegak membentuk sudut seratus derajat di belakang kemudi. Aaron samar menoleh mencuri lihat ke arah Dewi yang menutup mata bersandar nyaman.
Menghembuskan nafas berat menghalau kekesalan yang mulai Aaron rasakan karena Dewi yang diam melamun bersama tatapan kosong terarah ke depan tidak bergerak untuk sekedar memasang sabuk pengamannya.
Terpaksa Aaron mencondongkan tubuh menarik memasangkan sabuk pengaman pada Dewi, setelahnya Aaron mengusap sayang perut buncit Dewi lalu menunduk mengecup lembut tidak memperdulikan Dewi yang samar terdengar mendesis sinis.
Mobil melaju pelan membelah jalanan ibu kota yang sedikit lancar karena hari sudah siang. Sebelah tangan Aaron meraih sebotol air mineral yang masih tersegel. Menggigit segel plastik, memutar penutup setelah berhasil terbuka dia meminumnya sampai tandas menuntaskan dahaga faktor dari suasana yang menegangkan seketika.
Aaron lebih suka Dewi yang berisik banyak bicara sinis dan sarkas serta berprilaku rendahan dengan menggoda atau memancing kekesalan dirinya, dari pada Dewi yang diam memejamkan mata hanya karena memendam emosi dan rasa sakit hati lalu akan berpengaruh buruk terhadap proses perkembangan bayinya. Aaron ingin menegur semata-mata untuk menghilangkan kecanggungan di antara mereka, akan tetapi terlalu tidak enak hati enggan memulai lebih memilih cari aman.
.
.
.
Sekarang Dewi menyesal berkata dan berprilaku kasar mengabaikan permintaan maaf Ranu, mungkin saja sangat terluka tersiksa menyesakkan di dada sama persisi dengan perasaan yang Dewi rasa.
Andaikata tidak akan ada waktu tepat yang datang jika kita sendiri tidak membuatnya. Semua karena Dewi sendiri yang selalu berlebihan dalam berpikir dan berprasangka merasa gentar ngeri menghadapi Ranu yang dianggap akan mendatangkan bencana di hidupnya.
Masa lalu tidak harus dihindari lalu menghancurkannya untuk menghilangkannya kemudian meninggalkan kebencian yang sangat kuat tanpa di sadari berdampingan dengan cinta yang di tutupi ketidaksukaan juga permusuhan.
Mungkin berdamai dengan diri sendiri adalah hal utama yang harus Dewi lakukan. Berusaha menerima semua hal yang ada di dalam diri dan luka batin bahkan kesalahan yang Ranu buat di masa lalu. Dengan begitu Dewi bisa menjalani kehidupan yang lebih tenang.
Setidaknya Dewi ingin menjadi ibu yang baik, pantas untuk anaknya nanti dengan menjadikan Ranu ibunya sebagai patokan. Cukup di dirinya yang menerima karma buruk atau pun pahitnya hidup, tapi tidak untuk anaknya kelak.
Barangkali memang ini jalan hidup yang harus Dewi lalui lantaran sejauh apapun melangkah dan sehebat apapun berjuang jika tidak di takdirkan bersama tidak akan pernah datang, itulah kuasa tuhan.
Dewi terlalu lelah dan letih untuk hari ini terlebih waktu sudah beranjak siang. Mungkin sesampainya di rumah nanti, Dewi butuh menyendiri bersemedi untuk mengurangi atau jika bisa menghilangkan rasa bersalah di hatinya.
"Tolong bangunkan jika sudah sampai di rumah Aar..!"
Mengabaikan Aaron yang mungkin sedang fokus menyetir, Dewi menyelimuti tubuhnya dengan jas pria itu mencari posisi ternyaman dalam duduknya untuk menyambut tidur.
.
.
.