Woman's Need

By WriteontheWall77

2.1M 21.5K 377

Kumpulan cerita pendek Only for 21+++ Disclaimer: adult romance, mature, sex scene More

Birthday Girl 1
Birthday Girl 2
Heartbreak Sex
Heartbreak Sex 2
You Belong in My Bed 1
You Belong in My Bed 2
You Belong in My Bed 3
Papaku, Kekasihku 1
Papaku, Kekasihku 2
Papaku, Kekasihku 3
My Lovely Girl
My Lovely Girl
My Lovely Girl
My Professor 1
My Professor 2
Acting, Go! 2
Acting, Go! 3
Acting, Go! 4
Swipe Right 1
Swipe Right 2
Dear Teacher 1

Acting, Go!

99.1K 1.3K 42
By WriteontheWall77

Setiap aktor membutuhkan sebuah film yang akan melambungkan namanya, membuat eksistensinya semakin diakui, dan mengakibatkan karier yang kian kuat.

Tidak mudah untuk mendapatkannya. Semua aktor berlomba-lomba mendapatkan film yang nantinya akan mendefinisikan karier akting.

Aku yakin Persembahan akan menjadi film yang membuat orang-orang di dunia perfilman percaya padaku.

Mengawali karier sebagai aktris sinetron membuatku dipandang sebelah mata. Meski sudah membintangi beberapa film, belum ada satu peran pun yang membuatku layak diakui untuk bersaing bersama aktris lainnya. Aku hanya mendapat peran pembantu dengan screen time terbatas yang tidak menunjukkan kemampuan aktingku.

Penunjukan diriku di Persembahan mendulang kontroversi. Banyak yang tidak yakin aku bisa mengemban peran Asti dengan baik. Apalagi sebelumnya nama Mutya Sarasvati sempat digadang-gadang sebagai Asti. Meski seusia denganku, Mutya sudah diakui kemampuan aktingnya untuk film berskala besar.

Persembahan disutradarai oleh Dwiki Hasan, sutradara kawakan yang setiap karyanya selalu box office. Belum lagi nama yang terlibat adalah aktor kenamaan. Hanya aku anak bawang di sini.

Film ini sangat tepat untukku. Di usia 20 tahun, saatnya aku menanggalkan peran anak SMA di belakang dan beralih ke peran yang lebih serius.

Aku ingin nama Brie Suravati lebih diakui.

Ini hari pertama aku menginjakkan kaki di lokasi syuting yang berada di sebuah desa di dekat Solo. Untuk mencapainya, harus menempuh dua jam perjalanan dari Solo yang menjadi tempat menginap. Pagi-pagi sekali, kami sudah harus berangkat.

Aku menaiki mobil yang disiapkan tim produksi sambil menahan kantuk. Setelah proses reading selama dua bulan di Jakarta, sekarang saatnya mempraktikkan hal tersebut. Hari pertama syuting selalu membuatku deg-degan.

Di dalam mobil sudah ada Matthias Rachman, aktor senior yang menjadi lawan mainku.

"Pagi, Yah." Aku menyapanya.

Matthias tersenyum kepadaku. "Pagi, Asti."

Untuk memperdalam karakter, Om Matthias menyarankan agar memanggil sesuai nama yang diperankan. Makanya aku memanggilnya Ayah, karena di film ini dia berperan sebagai ayahku.

Terlibat satu film dengan Matthias Rachman adalah sebuah anugrah yang tidak boleh kusia-siakan. Dia sudah malang melintang di dunia film selama tiga dekade lebih. Memulai karier sebagai aktor remaja, hingga sekarang di usianya yang berada di pertengahan 40-an membuat namanya selalu diperhitungkan.

"Excited?" Tanyanya.

Aku tertawa canggung. "Deg-degan."

"Kamu pasti bisa. Selama kamu melakukan seperti latihan saat sesi reading, kamu bisa menaklukkan syuting ini," jelasnya.

Aku mengembuskan napas. "Nanti bantuin ya, Yah."

Dia mengangguk. Aku tidak lagi berbincang dengannya ketika Thomas Adly, yang berperan sebagai Reno, adikku, ikut bergabung. Setelah Adipati Sani, yang berperan sebagai Dimas, pacarku di film, bergabung, mobil itu meninggalkan hotel.

Menuju medan pertarungan yang sebenarnya.
***

Syuting hari pertama sangat melelahkan. Ada banyak adegan yang melibatkan kemampuan fisik yang harus dilakoni.

"Capek?" Om Matthias menyerahkan segelas kopi kepadaku.

"Makasih, Yah." Aku meneguk kopi itu. "Hari pertama aja udah capek."

Om Matthias duduk di sampingku. Dia menunggu take selanjutnya, yang mengharuskannya berada dalam satu scene denganku.

"Beginilah kalau terlibat dalam film yang banyak membutuhkan fisik." Om Matthias terkekeh. "Kamu masih muda, masa begini aja mengeluh."

"Aku memang masih dua puluh, tapi fisikku kayak 50 tahun."

Tawa Om Matthias pecah saat mendengar jawabanku.

Aku meliriknya. Sangat berbanding terbalik denganku, dia masih segar bugar. Padahal scene yang dilakoninya lebih banyak. Di usianya, Om Matthias begitu bugar, dengan badan liat dan kekar yang hanya bisa didapatkan lewat aktivitas outdoor.

Om Matthias memang dikenal sebagai pecinta olahraga ekstrem. Dia juga suka mendaki gunung, akibat bergabung dengan mapala di kampusnya waktu kuliah dulu. Belakangan dia sering melakukan off road. Jadi tidak heran jika perawakannya terlihat kasar dan kuat.

Berbanding terbalik denganku yang untuk olahraga selalu malas. Selama dua bulan reading di Jakarta, aku juga harus latihan fisik. Ada trainer khusus yang disiapkan untuk melatihku, juga nutrisionis yang mengatur pola makanku.

"Matt, Sura, ready ya."

Aku menghirup napas panjang-panjang sebelum mengikuti Om Matthias menuju lokasi take.

"Scene 20 ya," ujar Mas Dwiki.

Scene itu mengharuskanku berada di pondok gelap bersama Om Matthias, bersembunyi sekaligus merencanakan cara menyelamatkan Reno.

Aku memasuki pondok. Tim produksi begitu memperhatikan setiap detail, sehingga pondok ini terasa pengap dan kotor. Aku harus menahan diri untuk tidak batuk.

Mas Dwiki sangat perfeksionis. Setiap adegan dipikirkan dengan matang. Di scene ini, baik aku atau Om Matthias tidak ada yang bersuara. Kami berdialog lewat mimik wajah. Ini salah satu tantangan yang harus kulakukan.

"Good job, Ra," puji Mas Dwiki.

Syuting hari ini sudah selesai. Tubuhku sudah meronta minta diistirahatkan, tapi aku harus latihan untuk take besok.

Di mobil, aku menyerah pada kantuk. Aku baru tersadar ketika ada yang membangunkanku.

Saat membuka mata, aku terkesiap. Satu hal yang terlintas di benakku.

Dada bidang.

Shit, aku ketiduran di dada siapa?

Perlahan, aku mengangkat wajah dan langsung disambut senyum Om Matthias. Sontak wajahku memerah.

"Nyenyak tidurnya?" Godanya.

"Om sorry," aku gelagapan.

Om Matthias cuma tertawa. "Nggak masalah, Ra. Kamu pasti capek banget."

Aku mengangguk.

"Istirahat, besok masih panjang."

Aku mengikuti Om Matthias turun dari mobil. Mataku mengikuti punggungnya.

Darahku berdesir saat aku menyadari, betapa nyaman saat tertidur di dadanya.

Wajahku sontak memerah. Apa yang barusan kupikirkan?
***

Tak terasa, sudah satu minggu aku di sini. Tubuhku mulai beradaptasi dengan tuntutan syuting yang padat.

"Miss me, Babe?" Di layar handphone, ada Ricky, pacarku.

"Kamu kali yang kangen," godaku.

"Banget." Ricky merajuk. "Aku beneran enggak boleh ke sana?"

Aku menggeleng. Ricky bersikeras untuk menemani, tapi aku tidak ingin terdistraksi. Satu lagi, Ricky masih kesal karena gagal mendapatkan peran di film ini. Dia sangat membutuhkan peran Dimas, tapi gagal mendapatkannya. Aku tidak mau kehadiran Ricky membuat suasana tidak nyaman.

"Tiga minggu lagi aku selesai."

Ricky mulai merajuk. Kadang sifatnya yang seperti ini membuatku mempertanyakan hubunganku dengannya.

Aku segera menyudahi obrolanku dengan Ricky, beralasan ada urusan. Bukannya mengada-ada, aku memang ada urusan penting.

Aku membawa skenario ke kamar Om Matthias. Aku butuh bantuannya.

"Sura. Masuk, masuk." Om Matthias membukakan pintu lebar-lebar untukku. Aku mengikutinya masuk ke dalam kamar. "Ada apa?"

"Aku butuh bantuan." Aku membuka skenario ke scene yang membuatku bingung. "Aku mau latihan scene ini."

Om Matthias mengambil skenario miliknya. Adegan itu membuatku takut, makanya aku menemui Om Matthias.

Dia tidak pelit ilmu. Sejak awal reading, Om Matthias sudah memberi tahu siapa saja boleh menghubunginya jika butuh bantuan. Dia menegaskan hal yang sama kepadaku, mengingat aku yang paling tidak percaya diri.

"Coba kamu baca dialognya," ujarnya.

Aku menyuarakan dialog yang sudah kuhafal di luar kepala.

"Coba lebih panik lagi. Tekankan di kata "tolong." Buat napasmu lebih terengah-engah lagi." Om Matthias menyarankan.

Aku mengikuti sarannya, tapi masih belum puas.

"Biasanya, saya akan lari di tempat, push up, atau apa pun agad capek. Jadi ketika take, bisa lebih tune in. Coba kamu lari di tempat," sarannya.

Aku mencoba saran itu. Hanya sebentar, napasku sudah terengah-engah. Lalu aku mengulang dialog yang sama.

Senyum terkembang di wajahku. Ini yang aku mau.

"Nah, bagus. Kamu memang berbakat." Pujian Om Matthias membuatku besar kepala.

"Makasih banyak, Om."

Aku sudah berniat untuk pergi ketika Om Matthias menahanku.

"Kamu sudah cukup umur untuk minum wine?" Om Matthias menunjuk botol wine di meja.

Aku bergabung dengannya di sofa. "Belum sih tapi sedikit nggak apa."

Om Matthias menyodorkan segelas wine kepadaku. "Kamu sudah siap buat adegan itu?"

Aku tahu adegan yang dimaksudnya.

"Pakai body double?"

Aku menggeleng. "Aku mau lakuin semuanya sendiri."

"Berani juga kamu."

Aky tertawa meski dalam hati panik. "Kan cuma akting."

Adegan yang dimaksud jadi bagian yang membuatku panik. Asti menjadi persembahan Dimas untuk ritual mistis yang dilakukannya. Aku diharuskan telanjang dan berbaring di atas dipan tempat persembahan berlangsung.

Sejak awal, Mas Dwiki sudah memberitahu. Dia menjelaskan teknik pengambilan gambarnya sehingga aku merasa nyaman. Dia juga menawarkan body double untuk menggantikanku. Banyak aktris lain yang mundur, dan aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.

Sekalipun aku harus telanjang di depan kamera.

Aku tidak keberatan. Ini hanya akting.

"Kamu tenang aja, nanti saya tidak akan berada di ruangan yang sama," timpal Om Matthias.

Di adegan itu, aku tidak sadarkan diri. Om Matthias datang menyelamatkanku. Mas Dwiki akan mengambil adegan di tempat berbeda lalu menjahitnya sehingga aku tidak perlu berada di scene yang sama dengan Om Matthias.

Aku menatap Om Matthias. "Ada tips?"

Om Matthias menatapku dengan kening berkerut.

"Biar nyaman telanjang depan kamera."

Om Matthias terkekeh. Di era 80-an akhir dan 90-an awal, perfilman Indonesia begitu berani. Banyak film yang menyuguhkan adegan erotis.

Salah satu film Om Matthias, Noda Pernikahan, mengharuskannya telanjang selama lima menit. Film itu menjadi omongan. Bukan hanya karena adegan sensual itu, tapi karena kualitasnya yang bagus.

Aku berumur lima belas ketika menontonnya. Wajahku memerah saat di layar televisi memperlihatkan tubuh telanjang Om Matthias. Kamera hanya mengambil close up dari jarak dekat tapi ada shoot jarak jauh yang memperlihatkan sosoknya secara menyeluruh dari belakang.

"Pantatnya fuckable banget." Itu kata Maria, temanku saat itu.

"Aku salut sama peran Om di Dua Sisi. Gokil sih," lanjutku.

Itu film terakhirnya lima tahun lalu, sebelum Om Matthias kembali ke layar lebar lewat Persembahan. Di film itu, Om Matthias menjadi pria kecanduan seks. Adegan dia masturbasi mewarnai film itu. Aku ingat satu adegan, ketika Om Matthias telanjang lalu kamera fokus ke wajahnya yang menunjukkan ekspresi penuh kenikmatan.

"Mau tahu rahasia?" Tanyanya.

Aku menatapnya penuh antisipasi.

"Saya beneran masturbasi di adegan itu."

Mataku membeliak. "Beneran?"

"Waktu itu sudah malam. Dwiki masih belum puas. Saya juga. Jadi malam itu saya putuskan, take terakhir, saya benar-benar masturbasi," jawabnya.

"Pantas kayak real banget."

Om Matthias terkekeh. "Hanya ada saya dan Dwiki di ruangan itu. Awkward tapi demi hasil memuaskan, kenapa tidak?"

"Ganjarannya Piala Citra sih, Om."

Dia tersenyum. Film itu membawanya meraih Piala Citra untuk aktor terbaik, kelima kalinya.

"Kali ini, aku yakin Om bakalan dapat Citra lagi," ujarku.

Om Matthias menunjukkan. "Justru saya yakin kamu yang akan mendapat Citra pertamamu."

Aku mengamini ucapannya.

"Untuk pertanyaanmu, jangan terlalu dipikirkan. Kosongkan pikiranmu, anggap tidak ada orang di sana. Kebanyakan berpikir akan membuatmu kaku," ujarnya.

Aku menarik napas panjang. "Aku cuma khawatir satu hal."

Aku terkekeh menahan malu. "Syutingnya kan malam, pondoknya dingin. Aku takut putingku malah mengeras. Kan enggak lucu, nanti yang nonton mengira aku malah sange."

Om Matthias ikut tertawa, tapi tawaku mendadak pudar.

Aku tidak mempercayai apa yang terjadi barusan, tapi aku sangat yakin Om Matthias menurunkan pandangannya dan menatap payudaraku.

Darahku berdesir ketika mengetahuinya.

"Puting keras bukan sesuatu yang bisa dikontrol."

Kali ini, Om Matthias kembali menurunkan pandangannya. Dia berlama-lama saat menatap payudaraku. Pandangannya mengalirkan panas ke tubuhku.

Shit. Putingku menegang hanya karena tatapan Om Matthias.

Aku menatap bibirnya yang tebal dan sensual. Aku pernah menonton adegan ciuman Om Matthias dan cemburu pada lawan mainnya. Ketika tahu aku dapat film yang sama dengannya, Maria berkelakar menyuruhku menyiapkan diri untuk adegan ciuman dengan Om Matthias.

Tentu saja adegan itu tidak ada. Di film ini, aku menjadi anaknya.

Namun detik ini, aku menginginkan bibirnya. Menciumku. Mencumbuku. Aku menginginkan bibirnya di sekujur tubuhku.

Keinginan itu membuatku bergidik. Aku menyalahkan wine karena berpikir seperti ini.

"Aku ke kamar dulu." Aku berdiri dengan tergesa-gesa. "Makasih ya, Om."

Tanpa menunggu balasan, aku keluar dari kamarnya.

Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku bergerak gelisah karena membayangkan bibir Om Matthias. Aku merasa frustrasi karena keinginan untuk merasakan Om Matthias begitu menguasai.

Aku berakhir dengan memutar film Dua Sisi, tepat di adegan Om Matthias masturbasi. Sambil memandanginya di layar laptop, aku menyentuh tubuhku sendiri. Berharap yang menyentuhku adalah Om Matthias.
***

Adegan yang kutunggu-tunggu akhirnya datang juga.

"Nanti kamu berbaring dan pejamin mata. Enggak ada siapa pun di ruangan ini selain saya dan Endang."

Aku mengangguk mengerti.

"Kapan pun kamu siap, Sura." Mas Dwiki berseru dari balik kamera.

Untuk adegan ini, dia tidak mengizinkan siapa pun ada di ruangan ini agar aku nyaman.

Endang, asisten Mas Dwiki membantuku membuka bathrobe. Setelahnya aku berdiri telanjang di depan kamera. Aku mengusir perasaan khawatir jauh-jauh. Aku harus profesional. Ini hanya akting.

Aku menaiki dipan reyot itu dan berbaring. Saat memejamkan mata, aku mengistirahatkan pikiranku agar kosong.

Samar aku mendengar aba-aba Mas Dwiki. Aku seperti terlempar ke dimensi lain dan baru sadar ketika Endang menghampiriku. Aku terbangun dan segera memasang bathrobe.

"Gimana, Mas?" Tanyaku.

Setelah terlibat di film ini, aku bisa membaca arti ekspresi Mas Dwiki. Dia belum puas dengan hasilnya.

"Perlu take ulang?" Tanyaku.

Mas Dwiki menatapku. "Keberatan kalau Matthias langsung take adegan selanjutnya?"

Ayah Asti datang menyelamatkan putrinya. Dia mengangkat Asti dari dipan itu dan membawanya pergi.

"Gue janji bakal take Matthias di tempat lain, tapi kurang gereget kalau dipisah." Mas Dwiki menjambak rambutnya frustrasi. "Gue udah bilang ke lo kalau gue maunya lo nyaman buat adegan ini..."

"Fine by me," potongku. Perfeksionis Mas Dwiki sepertinya menular kepadaku. "Aku enggak keberatan."

"Ra..."

Aku mengangguk tegas. "Yuk."

Mas Dwiki tidak bisa menyembunyikan antusiasmenya. Dia menyuruh asisten sutradara memanggil Om Matthias.

Ketika Om Matthias mendengar penuturan Mas Dwiki, dia sedikit keberatan. Namun aku malah sebaliknya.

Aku jadi terangsang.

Om Matthias akhirnya setuju. Demi kenyamananku, ruangan itu kembali kosong. Hanya ada aku, Mas Dwiki, Endang dan Om Matthias.

"One take okay," tegas Om Matthias.

"Deal," seru Mas Dwiki.

Om Matthias menunggu di balik pintu ketika aku kembali menanggalkan bathrobe dan berbaring di dipan. Kali ini aku tidak bisa mengosongkan pikiran. Meski memejamkan mata, pendengaranku jadi lebih waspada.

Aku mendengarkan peringatan Mas Dwiki. Lalu bunyi pintu dibuka diikuti langkah kaki yang mendekat.

Itu pasti Om Matthias.

Aku bisa merasakan kehadirannya di dekatku. Dengan susah maya aku tidak mengeluarkan desahan saat tangan Om Matthias yang hangat menyentuh kulitku. Aku masih memejamkan mata saat Om Matthias mengangkat tubuhku dan membawaku berlari.

"Cut. Okay." Teriakan Mas Dwiki terdengar dari kejauhan.

Ketika membuka mata, aku langsung berhadapan dengan tatapan Om Matthias yang membara. Dia menatap mataku sebelum matanya menggerayangi tubuhku.

Rasanya begitu sensual. Aku yakin putingku mengeras bukan karena dingin. Melainkan karena bara di tatapan Om Matthias.

Aku membuka mulut tapi tak ada yang bisa kuucapkan. Malah sebaliknya, aku ingin dia menciumku.

Kedatangan Endang membuatku tersadar. Begitu juga dengan Om Matthias. Dia segera menurunkanku dan membalikkan tubuh. Saat Endang memasangkan bathrobe di tubuhku, aku kembali menatap Om Matthias.

Dan terperangkap di matanya yang membara.
***

Om Matthias bergabung denganku di deret belakang mobil ini. Alih-alih merasa canggung, aku justru terangsang saat melihatnya.

Hanya dengan melihatnya.

Sementara Ricky butuh usaha keras untuk membuatku terangsang.

"Lega sekarang?" Tanyanya.

Aku mengangguk. "Plus, besok libur."

"Ada rencana buat besok?"

Aku menggeleng. "Mau tidur seharian. Om?"

Om Matthias tertawa. "Sama. Tidur sepertinya enak."

Tidur bareng pasti lebih enak.

Rasanya ingin menepuk jidatku sendiri karena berpikir seperti barusan.

"Ternyata syutingnya enggak berat kan?"

Aku tertawa kecil menanggapinya. "Tapi ketakutanku terbukti," pancingku.

"Ketakutanmu?" Tanya Om Matthias.

Kalau dia peka, Om Matthias pasti bisa membaca apa yang tergambar di wajahku.

I want to have sex with him.

"Putingku mengeras," bisikku.

Sebaris senyum tipis tersungging di bibirnya. "Oh ya?"

Aku bersorak dalam hati. Bukan hanya aku saja yang dilanda nafsu. Aku yakin Om Matthias juga sama.

"Karena dingin?" Pancingnya.

Aku menggeleng. "Karena Om."

Pandangannya turun ke payudaraku. Aku terkesiap saat jarinya menyentuh payudaraku. Meski terhalang pakaian, sentuhan itu mampu mengalirkan getar ke sekujur tubuhku.

"Puting nakal," bisiknya.

"Dia harus dihukum," balasku.

Om Matthias terkekeh. Setelah memastikan hanya ada kami berdua di mobil ini, Om Matthias menyelipkan tangannya ke dalam pakaianku. Dia menarik turun bra yang kupakai. Putingku langsung mengeras di bawah sentuhannya.

"Ini yang harus dihukum?" Bisiknya dengan suara serak.

"Ya, Om."

Aku terpekik tertahan ketika Om Matthias menekan putingku di antara ibu jari dan telunjuknya. Dia membuat gerakan memilin di putingku, sesekali menariknya.

"Om..." desahku.

Om Matthias semakin memperdalam siksaannya. Ada rasa perih di putingku, tapi tertutup oleh kenikmatan yang ditinggalkannya.

"Terus, Om," pintaku. "Oh, enak, Om. Lagi, yang keras."

Om Matthias memelintir putingku lebih keras lagi. Aku menggigit bibir untuk menahan teriakan.

"Yang ini juga nakal?" Tanyanya dan pindah ke putingku yang satu lagi.

"Ya, Om. Hukum aku," pintaku.

Tubuhku menikmati rangsangan Om Matthias. Aku hanya bisa mendesah dan mengerang meningkahi serangan ini.

"Dia makin keras. Harus makin dihukum." Om Matthias meremas payudaraku dengan keras, sebelum kembali memilin putingku.

Kini Om Matthias memilin kedua putingku secara bersamaan. Wajahnya berada begitu dekat denganku. Matanya memerangkapku. Aku bahkan bisa merasakan desahan napasnya yang menggebu-gebu.

"Om, enak banget. Terus, Om. Hukum aku lebih keras lagi," pintaku.

Namun keadaan tidak berpihak kepadaku. Keriuhan dari luar mobil membuat Om Matthias berhenti menyiksaku. Dia menyunggingkan sebaris senyum sementara rasanya aku ingin berteriak frustrasi.

Om Matthias tidak menyentuhku lagi sampai  mobil berhenti di hotel. Sebelum turun, aku mengambil satu keycard kamarku dan menyelipkan ke tangannya.

Untung hotel ini membekali dengan dua keycard.

"Aku belum selesai dihukum," bisikku.

Om Matthias tidak menjawab, tapi dari senyumnya aku yakin dia akan menemuiku.

Begitu tiba di kamar, aku langsung mandi. Aku membersihkan diri sekaligus mempersiapkan tubuhku menyambut Om Matthias.

Aku tidak mengenakan apa-apa saat keluar dari kamar mandi. Aku berbaring telanjang menunggu Om Matthias.

Aku yakin dia akan datang.

Aku yakin dengan apa yang aku lihat, bahwa Om Matthias juga menginginkanku.

Setengah jam kemudian, aku mendengar bunyi sensor pintu dibuka. Tak lama, sosok Om Matthias memenuhi ruang pandangku.

Matanya berkilat saat menatapku. Dengan langkahnya yang panjang, dia segera sampai di dekatku.

"Jadi, siapa yang mau dihukum?" Tanyanya. Om Matthias menaiki tempat tidurku dan bedada di atasku.

"Aku."

Om Matthias tertawa. "Pertama-tama, Om akan menghukum susumu yang menggairahkan ini."

Aku terkesiap ketika mulut Om Matthias menyerbu payudaraku.

Continue Reading

You'll Also Like

3.2M 33.1K 30
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
1.5K 266 10
Ify menyukai Rio, tapi Rio tidak. Meskipun begitu, Rio selalu berusaha ada untuk Ify. Membuat Ify berharap tapi sadar bahwa Rio sedikitpun tidak memb...
204K 5.8K 10
21+ Short story with 2-3 and more parts. NOT FOR CHILDREN AS WELL ❗ Rank 🎖️ #5 in Cerpen {2023/12/07} #4 in Pendek {2024/05/17} #3 in Pendek {2024...
16.9M 751K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...