Sebelum 365 Hari (End)

Oleh thedreamwriter13

34.4K 2.6K 7.8K

"Bagaimana bisa aku terus mengingatnya, jika aku saja, tak bisa mengenali diriku sendiri?" - Thea. ... Lebih Banyak

0. PROLOG
1. TRAUMA MILIK THEA
2. GALANG DAN SHELLA
3. PENGAKUAN RASA
4. PATAH HATI GALANG
5. KEBINGUNGAN
6. CUPCAKE DI CAFE MENTARI
7. BERTEMU DENGAN ALI
PEMBERITAHUAN • JADWAL UPDATE!
8. GALANG PUNYA PACAR?
9. CEWEK POPULAR
10. BUKAN PACAR NYA
11. MEMBERIKAN RASA AMAN
12. LO, AKAN TETAP JADI THEA
13. SI MATA INDAH
14. KEVIN?
15. SPOILER PERASAAN
16. PROSOPAGNOSIA
17. MAAF, GUE GAK SENGAJA
18. CINTA ATAU KASIHAN?
19. GALANG KENAPA?
20. DUNIA DAN RASA KECEWA
21. KHAWATIR
22. PUNYA GEBETAN
23. THEA SAYANG BUNDA
24. KENA HUKUMAN
25. NIGHT WITH YOU
26. DIA PEMBUNUH
27. SWEET DAY
28. ROOFTOP SEKOLAH
29. PENGAKUAN SHIRA
30. MENYESAL
31. SETENGAH KEPERCAYAAN
32. GRAVITASI CINTA
33. HARUS RELA
34. SEJUTA LUKA
35. RUMAH BARU
36. LIBRARY DATE
38. KALIAN SIAPA?
39. ACQUIRED PROSOPAGNOSIA
40. IZIN DARI ALI
41. DANCING IN THE RAIN
42. YANG BELUM USAI
43. MAAF, THEA
44. KITA TERLALU SINGKAT
45. RAIN WITH MEMORIES
46. BERDAMAI
47. KEPERGIANNYA
48. JIKA DIA KEMBALI, LAGI
49. NYATA YANG SEPERTI MIMPI
50. KITA SELAMANYA

37. KESAYANGAN

506 42 316
Oleh thedreamwriter13

Hallo, selamat membaca bab 37, Love!

20 vote for this chapter lagi, yuk!

⚠️ Note: Cerita ini hanya fiksi belaka, ambil baiknya, tinggalkan buruknya.

Bacanya jangan di skip yaa, narasi nya baca juga 😡😗

Selasa, 25 Juli 2023-

Happy Reading, enjoy love 💕

37. KESAYANGAN

🌻🌻🌻

Galang terpaku seketika. Ternyata lukanya senyata ini? Luka yang membuat Thea hampir menyakiti dirinya sendiri.

Galang sampai tak tau untuk berkata apa lagi.

"Untuk apa gue di sini? Sedangkan orang yang gue tunggu, mutusin untuk ninggalin gue dalam waktu yang mungkin gak pernah jelas kapannya, Lang," ucap Thea, menatap Galang.

"Tapi mengakhiri hidup bukan cara terbaik untuk menyelesaikan masalah, The."

Galang melanjutkan ucapannya. "Mungkin lo ngerasa semua penantian lo sia-sia untuk menunggu Ayah lo kembali. Tapi gue yakin, ada banyak alasan lo bertahan selain untuk menunggu dia pulang, kan?"

Thea terdiam, menundukkan wajahnya sejenak. Ucapan Galang ada benarnya.

"Gue tau, mungkin keluarga adalah segala nya. Tapi coba, anggap keluarga lo lebih banyak dari sekedar kedua orang tua lo, dari sekedar Ayah lo aja."

"Jadi saat salah satunya hilang, lo tetap masih punya alasan bertahan untuk orang-orang yang masih ada di dekat lo. Contohnya, Bunda, gue, Bang Ali, Theo, dan sahabat-sahabat lo. Kita masih ada di sini dan berharap agar lo juga ada." Galang memegang pundak kiri Thea, tersenyum kecil untuknya.

"Bertahan untuk semuanya meskipun berat, ya? Sekecil, itu untuk diri lo sendiri."

Thea mengangguk. "Makasih."

"Maaf, gue gak bisa ngelakuin apa-apa."

Galang menggenggam tangan gadisnya, menatap Thea dengan senyum yang menguatkan. "Tapi ucapan gue masih berlaku, saat dulu gue pernah bilang ...."

"Apa?" tanya Thea.

"Gue di sini, Calithea."

Thea tersenyum manis, saat kini Galang membantu mengusap air mata di wajahnya. "Udah gak usah nangis lagi, mata lo udah sembab. Nanti lo cape. Jangan sakit lagi! Gue gak mau," kata Galang.

"Makasih ya, Lang."

"Udah gak usah makasih-makasih mulu."

"Makasih," ledek Thea.

Galang menatap nya dengan wajah tengil itu lagi. "Makasih mulu. Peluk kali," ucapnya.

Thea terkekeh pelan. "Di sekolah kali, Lang."

"Ya udah nanti pulang sekolah."

"Ish!"

"Aduh, sakit tau," eluh Galang saat lagi-lagi Thea mencubit perut bagian kanannya.

"Ternyata, cubitan Thea, sakit juga," ujar Galang dengan nada bercanda.

"Hahaha, apa sih?"

"Lang, makasih ya udah mau nerima gue," cicit Thea tiba-tiba.

"Thea, Thea, yang ada juga gue yang ngomong begitu."

"Tapi kan, gue— gue lebih banyak kurang nya, Lang."

"Udah, gak usah ngomong begitu. Apapun lo, gimana pun lo, gue gak peduli."

"Bahkan, kalau lo ternyata adalah vampir yang menyamar pun, gue akan tetap mencintai lo, Thea," ucap Galang dengan wajah semi serius.

"Ih, Galang. Apa sih? Kenapa jadi kesana?" kata Thea dengan suara tawa pelannya.

"Ya gak apa-apa, kan andai doang, The," balas Galang dengan tawa yang sama.

Galang mengelus punggung tangan Thea yang di pegang nya. "Artinya, mau gimanapun lo, rasa gue gak akan berubah. Karena, cinta gue gak mandang itu."

Dari kejauhan, seseorang menatap dengan sorot mata sendu, serunya interaksi dari dua anak manusia yang tengah duduk di bangku taman.

"Galang dan Thea udah se dekat itu, kah?"

Memang tak ada yang tau mengenai hubungan Galang dan Thea, selain The Gado-gado.

"Apa Galang udah lupa dengan waktu yang gue kasih buat dia?"

"Gue memang gak pernah mencintai lo, Lang. Tapi kenapa rasanya sedih, saat lo lebih milih orang lain di banding gue? Kenapa ngerasa posisi gue tergantikan? Belasan tahun waktu yang lama untuk sama-sama, Lang."

Selama menjauh, ternyata Shella tak pernah sekalipun tak memikirkan Galang. Shella tau, keputusannya untuk membuat Galang menjauh dengan cara seperti itu tak sepenuhnya benar.

Shella juga bingung dengan perasaannya sekarang. Shella mencintai Kevin, tapi rasa sayang nya pada Galang tetap ada, sebab persahabatan itu. Namun, yang aneh, kenapa Shella tetap tak bisa jika merasa terganti?

Mungkin niat awalnya sekedar supaya Galang tak lagi berharap lebih akan perasaannya. Tapi, Shella kini sadar, mungkin perasaan ini adalah perasaan yang dulu Galang rasakan.

🌻🌻🌻

"Bareng kan, The?" tanya Galang.

"Ya ilah Bang Galang, pake segala nanya lagi, heran deh," sewot Xavi.

The Gado-gado kini berjalan bersamaan menuju kearah parkiran sekolah, iya, kecuali Shira. Gadis itu sudah pergi lebih dulu ke halte bus dekat sekolah.

"Gue nanya Thea, bukan nanya lo," sahut Galang.

"Lagian pake nanya, aneh. Ya jelas Thea pulang sama lo lah. Emang boleh dianterin sama Toya?"

Toya kini memasang wajah iseng nya. "Atau ya, Xav. Mungkin si Galang mau pulang sama—"

Ucapan Toya terhenti saat tiba-tiba mata Thea menelisiknya. "Sama siapa?" tanya Thea.

Thea kini menatap Galang. "Lo ada janji pulang sama orang?"

Galang mendelikkan matanya. Kedua lelaki itu memang benar-benar mengesalkan. "Lah, nggak, The. Beneran gak ada."

"Dia mah ngaco tuh congor nya." Galang kini menatap tajam penuh maksud kepada Xavi dan Toya, yang kini hanya cengar-cengir.

Thea mengangguk pelan. Di raih nya tangan Ilona, Thea mengajaknya untuk berjalan lebih dulu. "Na, ayo duluan!"

"Iya, The."

Thea dan Ilona berjalan lebih dulu. Sedangkan ketiga lelaki ini masih diam di tempat.

"Ett lo berdua sih."

"Thea lagi sensi, jangan macem-macem! Entar gue yang kena ngambek nya," ucap Galang kesal.

"Hehehe, ya maaf, Lang."

Galang memasang raut wajah kesalnya lebih dulu, lalu menyodorkan kepalan tangan kanannya pada Xavi dan Toya.

"Thenyu, tungguin dong!" Galang berlari mendekati Thea dan Ilona yang ada jauh di depannya.

Setelah berada disampingnya, Galang langsung meraih tangan kiri Thea. "Ettt, ettt, ettt, tungguin. Kenapa sih jalan duluan?"

"Omongan Toya sama Xavi tadi gak usah dipikirin ya? Mereka ngasal doang kok. Gue gak ada janji-janji, janji nya cuma ke lo doang," ucap Galang.

Thea tetap diam, tanpa menjawab apapun. Sedangkan Ilona menatap bingung pasangan ini. Tatapan mata Thea benar-benar datar. Entah apa yang terjadi padanya.

"The? Kenapa?" bisik Galang.

"Gak apa-apa, Lang. Gue gak mikirin itu kok."

"Terus?"

"Gak apa-apa."

Thea diam lagi, entah rasanya perasaan dia hari ini tak bisa ditebak. Tiba-tiba sedih, tiba-tiba hilang mood. Thea juga bingung sendiri.

Mereka kini sudah berada diparkiran sekolah, kondisi parkiran sudah tak seramai saat baru bel tadi.

"Ini helm nya, pegang dulu ya," ucap Galang, memberikan helm maroon itu pada Thea.

Galang kini sibuk merapihkan box kue nya serta memutar balikkan arah motornya. Teman mereka yang lain sudah meninggalkan parkiran lebih dulu. Galang yang kini sudah berada di atas motor, menoleh kearah belakang, dilihatnya Thea masih diam dan melamun.

Padahal, biasanya, Thea langsung mengenakan helm dan duduk di jok belakang.

Kening Galang mengerut, lelaki itu memilih untuk turun dari atas motor dan menghampiri kekasihnya ini.

"Lo kenapa?"

"The."

Melihat Thea yang masih diam dan melamun, Galang mendekati wajahnya. "Thenyu, jangan bengong," lirih Galang. Lelaki itu menghembuskan angin kecil pada wajah Thea.

"Hah, kenapa?" Thea kini mulai sadar.

"Lo yang kenapa?"

"Lang, gue kayaknya—"

"Apa? Belum mau pulang?"

Thea mengangguk.

"Kenapa?"

"Gue takut," ucap Thea pelan.

"Takut apa sih, sayang? Eh— maksudnya, apa yang lo takutin? Emangnya ada apa?"

"Gak ada apa-apa sih. Takut aja kalau pulang, nanti malah keinget Ayah terus. Keinget kejadian semalam."

Thea melanjutkan ucapannya lagi. "Gue sering takut, Lang, sekarang. Gak tau kenapa, tapi banyak yang bikin gue takut."

"Saat gue sendiri, mungkin gue akan semakin ngerasa takut."

Galang meraih kedua tangan Thea, membuat gadis cantik berkacamata ini menatapnya. Galang tau, sorot mata Thea tak bohong. Banyak takut dan bingung dari cara Thea menatapnya.

"Lo ga perlu takut. Gue akan selalu ada di dekat lo. Meskipun, cuma dalam pikiran atau perasaan lo. Gak ada yang perlu lo takutkan, Thea. Everything will be fine, oke?" tutur Galang.

Galang kini membelai lembut kepala Thea, dan tersenyum. "Percaya ya, semua akan baik-baik aja. Lo gak boleh kayak gini terus. Gue kangen sama Thea yang selalu ceria. Yang selalu semangat buat nyeritain hari-hari nya. Gue kangen Thea yang selalu senyum dan ketawa."

"Maaf ya, Lang. Maaf kalau gue harus kayak gini. Maaf, kalau lo harus punya gue yang— gak utuh kayak sekarang. Lagian, siapa sih yang mau kayak gini, Lang," kata Thea.

"Semua itu gak masalah buat gue." Galang meraih Thea dalam pelukannya. Entah, selalu ada rasa nyaman setiap kali Galang memeluk nya seperti ini. Thea menjadi lebih tenang.

"Kita gak pernah bisa memilih untuk terlahir seperti apa, The. Terlahir di keluarga yang utuh atau tidak. Kita cuma cukup untuk bisa terus menjalani itu semua, sampai waktu yang Tuhan kasih buat kita. Gak apa-apa kalau lo ngerasa takut atau cape, itu wajar. Yang penting jangan nyerah, ya?"

"Makasih ya, Lang."

Galang tersenyum manis dengan Thea yang masih nyaman dipeluknya. "Gue sayang lo, Thea. Sayang banget."

"Gue juga, Lang."

Galang melepaskan pelukannya, lalu memegang pundak kiri Thea. "Pulang ya? Gue anterin sampai rumah. Lo harus pulang."

"Iya."

"Ayo!"

Galang lebih dulu memakaikan helm itu ke kepala Thea, dan membawa mendekati motor. Mereka berdua kini sudah ada di atas motor.

"Ayo, Lang!"

"Motornya gak bisa nyala, The."

"Loh, mogok?"

"Nggak sih. Kayaknya gara-gara belum di peluk," ucap Galang dengan tengilnya.

"Apa sih, Lang? Ada-ada aja lo."

Galang tertawa keras. "Hahahaha. Beneran, The, gak bisa jalan nih kalo gak di peluk."

Thea tersenyum malu. Kemudian melingkarkan tangannya di pinggang Galang.

"Nah begini baru bisa. Pegangan, nanti kan kalau gak pegangan lo bisa jatuh. Kalo lo jatuh, gue juga yang sedih," kata Galang dengan kekehan kecilnya.

"Apa sih, Lang?"

Thea masih tersenyum dengan kepala yang kini sudah ikut dia sandarkan pada pundak kiri Galang.

"Kalo gini sih, semoga aja sampai nya dua jam lagi."

"Lama banget?"

"Iya, sengaja, The. Soalnya nyaman begini. Kalau bisa mah, kita di sini aja terus dua jam, baru deh jalan pulang," ledek Galang.

"Lang, kan lo harus kerja."

"Oh iya, ya. Gue lupa. Lo sih kebiasaan."

"Kok gue?"

"Iya, lo. Lo selalu memalingkan dunia gue, bikin gue lupa harus ini itu."

Thea tertawa cukup keras, akibat ucapan-ucapan konyol dari mulut Galang ini. Gombalannya memang tak pernah abis, Thea sampai bingung kenapa bisa seperti itu?

"Gombal," ucap Thea.

"Gak apa-apa dong, kan gombal nya sama kamu, eh sama kamu," ledek Galang lagi.

"Lo konyol banget seriusan."

"Itu pujian atau ejekan, Thenyu?"

"Lo nangkap nya gimana?" tanya balik Thea.

Galang tersenyum. "Pujian aja deh, soalnya yang ngomong lo."

"Tapi konyolnya gue bisa buat lo ketawa lagi kan?" tanya Galang yang di angguki oleh Thea.

"Kalau gitu sih, gue rela selalu terlihat konyol, yang penting bisa bikin lo bahagia," ledek nya lagi.

Thea tertawa lagi, tak mengerti pada Galang. "Lang, udah ah," rengek Thea. Sepertinya, Thea juga tak kuat kalau terus di ledek seperti ini sama Galang.

"Ih kenapa?"

"Gak apa-apa. Gombalannya simpan aja buat besok-besok, jangan di habisin sekarang!" kata Thea memerintahkan.

"Stok gombal gue buat lo masih banyak. Jadi tenang aja."

"Ya udah deh. Tapi jadi pulang kan ini? Kita bener-bener bisa dua jam loh di sini, Lang," ujar Thea.

"Lo harus kerja, inget. Ini udah sore."

Galang menepuk keningnya sendiri. "Oh iya, beneran lupa ini. Ya udah deh, kita pulang ya."

"Peluk lagi dong," pinta Galang dengan nada tengil itu kembali.

"Iya."

"Kita jalan ya."

Galang menjalankan motornya keluar dari parkiran sekolah. Mereka masih saling berbincang dan tertawa sesekali.

Tak jauh dari sekolah, motor yang Galang kendarai berhenti, setelah suara seseorang menyapa mereka.

"Thea, Galang."

Mobil hitam itu berhenti tepat di sebelah motor Galang. Lelaki tampan dengan alis tebalnya keluar dari dalam sana.

Thea dan Galang ikut turun dari atas motor. Thea hanya diam, tanpa ingin membalas sapaan atau mendekati lelaki yang tengah memandanginya itu.

"Thea." Tubuhnya langsung direngkuh dengan cepat.

"Kamu kenapa pergi sih, dek?"

"Abang nyari kamu kemana-mana."

Ali, lelaki itu memeluk erat tubuh adiknya. Semalaman ini rasanya kacau, meski Ali tau Thea bersama Galang dan itu tak apa untuknya. Tetap saja, Ali tak tau bagaimana kondisi Thea yang sebenarnya, apalagi sejak kejadian itu.

Dan, setelah Galang bilang, bahwa Galang bertemu Thea, saat Thea hampir mengakhiri hidupnya.

"Abang khawatir, Thea."

Thea membalas pelukan itu. "Maaf, Bang."

Ali menatap teduh wajah adik perempuannya setelah pelukan itu terlepas. Lelaki tampan ini tersenyum kecil. "Abang yang minta maaf. Abang udah buat kamu kecewa."

"Bunda nunggu kamu dirumah, Thea. Bunda khawatir sama kamu sejak setelah kamu pergi. Tolong pulang ya? Kita kembali kerumah lagi," pinta Ali pada Thea.

"Abang janji akan jawab apapun yang kamu mau tau. Abang janji. Kita pulang sekarang?"

Thea lagi-lagi menundukkan wajahnya. "Tapi Thea takut. Thea takut untuk dengar semuanya meskipun Thea sangat ingin tau."

"Thea takut pulang, Thea takut ingat Ayah dan semua hal semalam."

Ali menarik nafasnya, Ali paham apa yang Thea maksud.

"Thea gak perlu takut, Abang di sini, ya?"

"Abang akan selalu jagain, Thea. Gak ada yang perlu kamu takutin. Dengar semuanya pelan-pelan. Kamu pasti akan paham."

Ali menggenggam tangan Thea, berusaha memberikannya kekuatan.

"It's okay. Don't be afraid! Bang Ali akan jaga kamu di sini. Kamu gak akan terluka lagi, kamu akan baik-baik aja. Gak perlu takut untuk masalah ini, Thea," ujar Ali.

"Kita akan selalu baik-baik aja, meski tanpa Ayah. Kamu, masih punya Abang, Bunda, dan Theo."

"Dan Galang juga dong, Bang."

Ali dan Thea melihat kearah Galang yang kini tersenyum manis. Ali tertawa kecil mendengar cuitan itu. "Noh denger, ada Galang juga."

"Kamu mau pulang?"

"Iya, Bang. Thea pulang."

"Makasih ya."

Ali mengecup kening Thea dan mengelus kepala nya pelan. "Bang Ali sayang Thea, sayang banget."

"Galang juga sayang Thea."

Lagi-lagi, Galang membuka suaranya. Membuat kakak beradik ini tertawa dibuatnya.

"Lang, gak mau kalah banget sih lo," ucap Ali dengan kekehan kecilnya.

"Jelas, apalagi soal Thea," sahut Galang.

"Ya udah, ayo!"

Ali menggandeng tangan Thea, tapi gadis itu berhenti saat telah sampai di dekat pintu mobil.

"Thea gak mau naik mobil. Thea belum bisa," ucap Thea.

"Abang pelan-pelan bawanya, janji."

"Gak mau. Thea sama Galang aja."

"Gak apa-apa, Bang. Biar gue yang anterin Thea," kata Galang setelahnya.

Ali mengangguk. "Ya udah. Kalian hati-hati. Abang tunggu di rumah ya."

🌻🌻🌻

Ali dan Thea kini sudah berada di dalam rumah. Sedangkan Galang, lelaki itu langsung saja pergi ke coffee shop setelah mengantar Thea sampai di depan pintu tadi.

Padahal, Ali sudah menawarkan nya untuk mampir lebih dulu, tapi tetap, Galang merasa tak enak jika harus telat bekerja.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam."

"Thea?"

Samara yang tadi sedang duduk di sofa ruang keluarga, kini bangkit dan berlari kecil mendekati Thea. Kedua perempuan ini saling memeluk.

"Thea, bunda khawatir sekali. Kamu gak apa-apa, kan?"

"Thea baik-baik aja, Bunda. Maaf ya, Thea udah buat Bunda khawatir. Thea butuh waktu untuk semua ini," jelas Thea.

"Gak apa-apa. Bunda paham. Jangan pergi-pergi lagi ya? Bunda gak mau kamu kenapa-kenapa, sayang." Samara mengelus kepala anak perempuan nya ini.

Samara sampai memutuskan untuk tak pergi ke kantor hari ini, karena ingin menunggu Thea kembali. Semalam, Ali sudah mengatakan soal Thea yang ternyata ada bersama Galang. Meski begitu, tetap saja naluri seorang ibu tak bisa dia hindari. Samara tetap khawatir pada Thea.

Thea melihat kearah Ali. "Bang Ali jadi jelasin semuanya sama Thea?"

"Iya. Kita duduk dulu."

Thea, Ali, dan Samara kini duduk di sofa ruang keluarga. Ali sudah berjanji pada Thea untuk menceritakan semua yang gadis ini ingin tau. Meski, Ali takut jika ada pertanyaan yang seharusnya tak Thea ketahui jawabannya.

"Apa yang kamu mau tau?"

"Kenapa kalian sembunyiin semuanya dari Thea?" tanya Thea penasaran.

Ali menatap Bunda nya, yang kini hanya Samara balas dengan sebuah anggukan, seakan dia mempercayai Ali untuk menjelaskan.

"Karena saat itu kita takut kamu belum siap untuk tau, Thea. Kamu baru bangun dari tidur panjang kamu, dan di saat itu, Bang Ali dan Bunda juga bingung, setelah kita tau kamu sakit. Prosopagnosia itu berat untuk kamu. Itu yang buat kita berpikir berulang kali untuk bilang," jelas Ali.

"Apa bedanya, kalau akhirnya, Thea akan tau?"

"Setidaknya kamu butuh waktu kan?"

"Tapi sama aja, mau sepuluh tahun lagi sekalipun, Thea gak akan pernah siap untuk tau penghianatan Ayah kepada Bunda," ucap Thea, dengan suara keras.

Ali dan Samara mengangguk pelan. Di tatapnya, wajah Thea benar-benar sedih.

"Lalu, siapa Tania? Dia anak Tante Nila kan? Anak Tiri Ayah?"

Ali menggeleng. "Tania anak kandung ayah."

Mata Thea membulat. Bagaimana bisa dia anak kandungnya? Anak kandung Ayah yang bukan dari Bunda nya sudah sebesar itu?

"Kalau Thea liat, umurnya sekitar 5 atau 6 tahun, kan? Berarti—"

Samara menarik nafasnya dalam. Rasanya sesak jika harus mengingat ini. Mengingat rasa sakit yang dia pendam bertahun-tahun.

"Bunda sudah tau semuanya sejak Tania lahir, Thea. Enam tahun lalu tepatnya. Mungkin Bunda bodoh, Bunda begitu susah melepas Ayah kalian. Bunda bertahan, bahkan Bunda hadir di pernikahan Ayah dan Tante Nila."

"Bunda bertahan untuk kalian, karena Bunda tau kalau kalian sangat butuh dan sayang sama Ayah. Selama itu, Ayah selalu bersikap adil, baik dengan Bunda dan Tante Nila. Bunda berusaha buat semuanya seakan gak ada apa-apa. Bunda cuma ingin kalian bahagia."

"Dulu, Ayah memang selalu pergi, namun, dia sesekali kembali, kan? Sampai akhirnya Tania tumbuh dengan sadar kalau Ayah kalian itu Ayah nya. Tania selalu meminta Ayah tetap di sana. Itu sebab, Ayah hampir gak pernah pulang setelah kita berada di Jakarta."

Thea terdiam, pernyataan Samara membuat hatinya lebih sakit lagi. Ternyata Bunda nya sekuat itu. "Apa yang akhirnya membuat Bunda nyerah?" tanya Thea.

"Saat Bunda tau, kalian bukan lagi prioritas nya."

"Kondisi nya saat itu kamu masih koma, Thea. Bunda hanya meminta dia untuk tetap di sana buat kamu, tapi Ayah sering kali menolak dengan alasan Tania membutuhkannya. Bunda gak masalah, karena Bunda tau Tania anaknya juga. Tapi kondisi kamu saat itu antara hidup dan mati, The," jelas Bunda.

Samara meraih kedua tangan putrinya, menatapnya lekat. "Bunda minta maaf, Calithea. Maafin Bunda karena milih untuk gak bertahan lagi. Tapi Bunda janji, kapanpun kamu butuh Ayah, Bunda gak akan pernah melarang kamu bertemu dia. Bunda janji."

Air mata Thea kembali menetes setelah mendengar semua penuturan Samara. Ternyata semua memang tak pernah baik-baik saja, semua terlihat biasa, sebab, Samara membentengi ketiga anaknya. Kasih sayang nya sebesar itu.

Thea juga sadar jika Samara melarang hubungannya dengan Gerry bukan tanpa sebab. Dan ternyata Tuhan memanggil lelaki baik itu juga memiliki maksud yang Thea tak pernah paham sejak awal. Jikalau hubungan itu masih berlanjut, mungkin lukanya akan beda, akan jauh lebih terasa. 

"Maafin Thea juga. Thea gak dengerin penjelasan kalian dulu. Makasih, Bunda. Makasih untuk semua nya." Thea dengan cepat memeluk tubuh Bunda nya. 

Di balik dinding yang tak jauh dari ruang tamu, Theo berdiri. Lelaki itu menghapus air yang kini mengairi wajahnya.

Theo sudah mendengar semuanya semalam. Tapi mengapa luka nya tak pernah hilang.

Kenapa Ayah setega itu menyakiti Bunda? Menyakiti wanita sebaik ini. Theo gak habis pikir, apa yang ada dipikiran Ayah saat itu. Apa dia gak sadar bahwa Bunda adalah orang yang selalu menemani dia hingga ada di posisinya sekarang? batin Theo.

Theo menarik nafasnya dalam. Berusaha bersikap seakan dia tak mendengar apapun. Lelaki itu berjalan, keluar dari persembunyiannya.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Theo mendekati kembarannya. "Lo kemana aja? Jangan suka kabur-kaburan, ah. Ngerepotin lo!" ucapnya.

"Suka-suka gue kenapa sih?" sewot Thea.

Theo tersenyum kecil. Tak asik memang jika tak memarahi kembaran nya ini. Tapi kini, Theo duduk disebelahnya dan memeluk Thea.

"Bandel! Gue udah sering bilang kalau ada apa-apa jangan suka kabur. Lo tau gak? Orang serumah nyariin lo. Gue gak suka lo begini," kata Theo.

"Gue khawatir. Gue gak mau lo kenapa-kenapa. Ngeliat lo luka nyakitin gue juga, Thea."

Thea tersenyum manis dengan sikap dan perkataan Theo saat ini. Thea tau Theo menyayanginya, mungkin kadang, Theo hanya tak bisa mengekspresikan nya dengan baik.

🌻🌻🌻

Galang kini sedang mengendarai motornya menuju arah pulang. Sudah sejak pulang sekolah tadi dirinya langsung bekerja, tubuhnya benar-benar terasa lelah saat ini. Saat sampai rumah nanti, Galang ingin langsung bersih-bersih dan merebahkan tubuhnya di atas kasur, tempat ternyaman itu. 

"Alhamdulillah sampai juga. Capek banget hari ini. Coffee shop nya rame banget," oceh Galang sembari memarkirkan motor butut itu.

Setelah sampai di depan pintu rumah, Galang berhenti sejenak, menatap heran kearah dalam. "Ada siapa ya? Suara Abel ketawa keras banget. Rame lagi di dalam."

Tangannya meraih kenop pintu. Saat pintu terbuka, pandangannya langsung tertuju pada seorang gadis yang kini sedang berbincang seru dengan Ibu dan Adiknya. 

"Bang Galang pulang tuh," sorak Abel.

Galang tersenyum kecil. Shella? batinnya.

To Be Continued ....

🌻🌻🌻

Hallo, gimana bab 37 nya?

I hope you like it, Love ❤️

Baca nya jangan di skip yaa, narasi nya juga baca 😡

Akhirnya aku bisa kelar nulis, percaya gak percaya, aku nulis 3000+ word di hari ini doang, soalnya draft ku lagi kosong 😭

Tapi semoga bab ini gak ngebosenin yaa, aku udah kasih bab panjang sesuai janji aku kalau vote nya tembus yang aku bilang.

Gak muluk-muluk, bisa 20 sampai 25 aja alhamdulilah, syukur-syukur bantu yuk biar lebih banyak! Anggap aja feedback untuk waktu aku.

Bab nya gak sisa banyak sebenarnya, cuma karena aku up dua kali seminggu, ya kira-kira bakal selesai di awal September, semoga yaa.

Makasih banyak yang masih mau luangin waktu untuk baca tulisan ku!

So, see you hari Sabtu untuk baca kelanjutannya!

Follow:

Wattpad : @thedreamwriter13

Instagram : @thedreamwriter13

Twitter : @worldofjingga13

Tiktok: @blueskyitsyouu

Makasih love 💗

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

14.9K 505 15
This is just a place for me to write Hosie one shots. I have a full Hosie story and other one shots you guys can check out. I usually write these whe...
276K 8.5K 60
[Completed] Kristen is a rebellious teenager who acts out because of her rough childhood. Her parents never wanted her and was immediately sent to th...
997K 22.5K 48
Luciana Roman was blamed for her mother's death at the age of four by her family. She was called a murderer until she was shipped onto a plane for Ne...
4.4K 695 32
Seperti rinaian hujan yang jatuh tanpa diketahui, begitupun takdir. Entah ini lelucon ataupun sudah ketentuan kehidupan, Alsava Kanaya hanya ingin me...