Iridescent

By RaraCitra023

2.2M 199K 6.9K

Aurora tersenyum tipis, menatap Aric tanpa benci sedikitpun. "Aku harus apa, Ar?" Lirihnya. Aric tertegun. "A... More

00| Blurb
01| Start
02| Be brave
03| How we
04| Talk that
05| About us
06| Xavierous
07| Beautiful Ghost
08| Party
09| Still Try
10| New Version of Us
11| Hate you
12| Be Selfish
13| Sweet Male Lead
14| Danger!
15| Revenge
16| What?!
17| Stay with me
18| How about me?
19| Typa Girl
20| Kai, Thanks
21| Aurora's Past
22| Why You-?
23| War Is Coming!
24| Hallo, Daniel!
25| Nothing-
26| War Begins!
27| I'm Sorry
28| Please,
30| Who is Vanilla?
31| Endings must Happen
32| The Truth
33| Next Chapter
34| Never like past
35| Two Characters
36| Karma

29| Goodbye, Marsel

39.1K 3.9K 151
By RaraCitra023

Langit berduka, bahkan matahari pun tak mampu menampakkan cerianya pada dunia. Rintik mulai turun, namun barisan manusia masih begitu larut dalam duka mereka, berdiri disamping nisan dengan ukiran indah nama Keannzo Marsel Ananta. Payung hitam memenuhi pemakaman, tak lama kerumunan itu mulai menipis meninggalkan area pemakaman, tapi tidak dengan Xavierous.

Satu persatu Xavierous meletakkan setangkai mawar hitam pada tempat peristirahatan terakhir Marsel. Mawar hitam yang melambangkan duka mendalam juga mengartikan sebuah kesetiaan, Marsel akan selamanya menjadi bagian dari mereka dan tidak akan pernah tergantikan. Tawanya, senyumnya, akan selalu diingat dalam setiap detik momen yang akan mereka lalui kedepan.

"Kurang satu.." gumam Gabriel pelan.

Javier ikut berlutut disamping Gabriel, menyusun mawar hitam yang jumlahnya tak sedikit itu. Tersenyum tipis, "Allaric bakal dateng ke sini bawa mawarnya dua, tapi jangan ajak dia sama lo ya?"

Hendry hanya diam, menunduk. Tangisnya mengalir dalam diam, Nathan disampingnya hanya mampu menatap kosong nisan Marsel. Tak lama, Aurora mendekat. Meletakkan setangkai mawar putih sebagai lambang dukanya.

"Maaf dan terima kasih, Marsel" bisik Aurora pelan.

Axel menunduk, berdiri diantara anggota Xavierous. Rasa bersalah memuncak dari hatinya, harusnya dia. Harusnya takdirnya, namun kini Marsel yang menjadi korbannya. Senyuman tulus Marsel menjadi kenangan terakhir sebelum peluru itu menembus dada Marsel, senyuman yang akhirnya berubah menjadi rintihan sakit yang perlahan merenggut kesadaran Marsel sepenuhnya.

'Marsel, terima kasih banyak. Dan maaf.. untuk semuanya' batin Axel.

Gabriel tersenyum singkat, "Terima kasih untuk semuanya, Marsel. Terima kasih untuk pernah hadir jadi bagian terbaik dari Xavierous"

Serentak anggota Xavierous menundukkan kepala, dalam hati mereka selalu mengenang setiap kata dan cerita yang pernah terukir indah dalam kenangan mereka. Sosok Marsel yang selalu membawa tawa dalam setiap kesempatan bertemu, kini hanya sebuah ingatan lalu yang akan menjadi cerita indah dalam kisah ini. Terasa singkat namun juga hangat, rasa kehilangan meliputi semua Xavierous. Perasaan bersalah pun ikut larut dalam setiap lintasan momen yang akan mereka lalui nantinya.

'Gue bakal jagain Xavierous, bang'

'Kenapa kalian selalu larang gue ke area pertarungan, bang?! Gue nggak pantes?'

'Tayo dulu nggak sih, bang'

'Minimal habis Tayo gue baru bisa ikut, hehe'

Tidak akan ada lagi Marsel di masa depan, Xavierous kehilangan prajurit terhebatnya. Marsel, kini hanya nama yang cukup dikenang tanpa mampu digenggam kehadirannya. Senyuman yang cukup diingat tanpa bisa diraih sosoknya.

Terima kasih atas kehadiranmu dalam lembar cerita ini, Keannzo Marsel Ananta💐

■■■■

Rumah sakit terasa begitu sunyi, Aurora melangkah pelan masuk kedalam ruangan Allaric, pakaian hitam masih melekat indah pada tubuhnya. Manik hazel itu manatap sosok Allaric yang terbaring dengan oxygen mask di area hidung dan mulutnya. Manik abu itu masih enggan menampakkan dirinya, sibuk larut dengan mimpi yang entah bagaimana di alam hayalan itu.

"Aric.." panggil Aurora pelan.

Untuk pertama kalinya Aurora menemui Allaric, menatap lekat sosok pucat yang terbaring tanpa daya. Aurora kehilangan Allaric, Aurora kehilangan manik abu Allaric. Perasaan kecewa melingkupi hati Aurora, namun juga tak mampu berdusta bahwa rasa sedih sekaligus takut kehilangan merebak menembus pertahanannya. Cemas tak pernah usai hadir dalam setiap detiknya, selagi manik itu tak kunjung menunjukkan diri, maka cemas Aurora pun tak akan usai.

Dipandangnya Allaric dengan pelupuk mata yang siap menumpahkan lelehan bening, "Kamu buat aku khawatir, Ar" bisik Aurora pelan.

"Ar, bangun. Jelasin semuanya ke aku" Aurora menggenggam tangan dingin Allaric erat, tangisnya pecah. Aurora terisak pelan, bunyi alat medis menemani kesedihan Aurora.

Aurora mengusap tangan Allaric dengan hati-hati, "Jelasin ke aku, Ar. Jelasin semuanya biar aku punya alasan untuk tinggal, biar aku punya alasan untuk tetap percaya kamu"

"Cukup bang Axel yang diem, aku butuh jawaban kamu, Ar"

Aurora tersenyum tipis, "Bodoh, Ra. Allaric nggak mungkin jelasin semuanya, dia nggak akan bisa jawab kamu"

Aurora menunduk, pahit rasanya ketika ia menyadari fakta bahwa Allaric tidak mengulang waktu seperti dirinya ataupun Axel. Percuma saja bertanya pada Allaric mengenai kehidupan sebelumnya jika Allaric pun tak mengerti. Aurora melepaskan genggaman Allaric dengan hati-hati, lantas mendekat untuk mengecup kening Allaric.

"Izinin aku pergi ya, Ar?" Bisik Aurora pelan, tangannya mengusap rambut Allaric penuh sayang.

Aurora perlahan mulai bangkit, meraih sling bag miliknya lantas melangkah meninggalkan Allaric sendirian dalam tidurnya. Baru saja Aurora menutup pintu, beberapa dokter lantas dengan langkah tergesa masuk ke ruangan Allaric. Aurora panik, ia menoleh menatap dokter yang menangani Allaric dari balik kaca jendela. Rasa khawatir memuncak dalam hatinya, tangis Aurora pecah.

Bohong Aurora tidak kecewa dengan apa yang Allaric lakukan, bohong jika Aurora tidak lelah dengan Allaric. Namun katakan bahwa Aurora bodoh karena nyatanya hatinya masih mencintai sosok laki-laki brengsek seperti Allaric. Bodohnya Aurora masih mengharapkan kisah cinta dengan akhir berbeda di kehidupan ini, harapan yang semakin membuat Aurora egois ingin terus memiliki Allairc.

Dalam diamnya, Aurora merapalkan puluhan bahkan ribuan doa untuk Allaric, bahkan ia tak pernah melepaskan pandangannya dari Allaric meski pandangannya pun terbatas hanya melalui kaca.

Notifikasi pesan terdengar dari ponsel Aurora, dengan segera ia membuka pesan dari Daniel. Maniknya membulat tak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini, bahkan Aurora pun tak mampu berkata-kata dengan apa yang ia lihat.

Daniel
Gue berhasil hack data Maximillan Group
Bokap tunangan lo punya kakak yang ternyata koma di luar negeri. Dia di pantau terus sama tuan besar Maximillan
Send a picture
Send a picture
Send a picture
Margareta Kalila adalah kekasih terakhir dari Bryan Maximillan
Gue curiga, Vanilla anak dari hasil hubungan mereka
Send a picture

Kepingan puzzle perlahan berhasil tersusun di pikiran Aurora, akhirnya sebuah fakta besar mulai ia temui. Kepingan terbesar puzzle yang mungkin menjadi alasan terbesar segalanya terjadi, kini satu-persatu ia mengetahui alasan Allaric dekat dengan Vanilla di masa lalu. Namun masih menjadi misteri besar mengenai kehadiran sosok Bryan Maximillan. Bagaimana publik mampu tak menyadari sosoknya?

Daniel
Gue butuh dna mereka untuk bisa pastiin dugaan gue.

Bryan Maximillan? Gimana mungkin publik bahkan nggak tau dia?!

Besok di cafe biasanya, gue jelasin semuanya

Okay
Gue mau lo pastiin lagi soal Margareta

Aurora cukup terkejut dengan fakta yang baru saja ia ketahui, bagaimana mungkin keluarga Maximillan bisa menyembunyikan perihal salah satu pewaris mereka, bahkan dengan status yang lebih tua daripada Brandon Maximillan, sang pewaris utama. Sebenarnya apa yang ia lewatkan di masa lalu?! Batin Aurora berkecamuk, pikirannya melayang entah kemana.

"Permisi, apakah anda keluarga pasien?" Lamunan Aurora pudar ketika dokter bertanya padanya, kesadarannya seketika tertarik kembali.

"Iya, dok. Bagaimana keadaannya?"

"Pasien berhasil melewati masa kritis dan saat ini pasien telah sadar. Anda dapat masuk untuk menjenguk pasien"

Aurora menangguk, "Baik, dok. Terima kasih"

Helaan napas berat terdengar dari Aurora, ketika pintu itu telah terbuka nampak Allaric berusaha meraih air yang terletak di nakas samping tempat tidur pasien. Aurora bergegas berjalan cepat membantu Allaric, manik keduanya beradu. Aurora menyerahkan gelas berisi air putih pada Allaric. Dengan penuh hati-hati, Aurora membantu Allaric untuk mampu meneguk air putih.

Setelah Aurora selesai membantu Allaric, keadaan hening. Mengingat terakhir kali keduanya terlibat pertikaian saat pesta, rasa canggung mulai menyelimuti Allaric dan Aurora. Manik abu Allaric mencuri pandang pada Aurora yang kini sibuk mengetikkan beberapa pesan entah pada siapa.

"Ra" suara serak Allaric berhasil menarik perhatian Aurora untuk memandangnya.

"Kenapa?"

Allaric menghela napas panjang, menatap Aurora yang juga menatapnya lekat. "Maaf, untuk pesta kemarin"

"Aku butuh jujur kamu, bukan cuma maaf" Aurora tersenyum tipis.

Allaric kelu, baru saja ia akan mengucapkan beberapa patah kata, tapi Aurora lebih dulu menyelanya dengan fakta yang mampu membungkam Allaric.

"Bryan Maximillan, itukan alasan terbesar kamu cari tau soal Vanilla?"

Aurora menatap manik Allaric lekat, "Aku butuh kejujuran kamu, setidaknya untuk tau alasan aku bertahan di hubungan ini"

Allaric terdiam menatap Aurora, "Semuanya nggak sesederhana itu, Ra"

"Kalaupun nggak ada sedikit cinta kamu untuk aku. Kasih aku kejujuran untuk bisa bertahan"

Allaric meraih tangan Aurora, "Ra, who said I didn't love you?" Allaric menarik Aurora semakin dekat padanya, memaksa Aurora pun harus mendekat.

"Bukan siapa, tapi aku. Aku nggak liat ada cinta dari kamu untuk aku" balas Aurora.

Allaric menarik Aurora masuk dalam dekapannya meski ia masih setengah berbaring di atas ranjang rumah sakit, "I love you always"

Dikecupnya kening Aurora pelan, menatap lekat manik hazel yang semakin membuatnya tenggelam dalam pada pesona Aurora. Namun Aurora sibuk memalingkan wajah enggan menatap Allaric yang kini menangkup pipinya, menghapus jejak air matanya.

Manik hazel Aurora akhirnya menatap Allaric lekat, "Can I walk away from you?" Tanya Aurora parau.

"Jangan pernah berharap pergi dari aku, Ra" tegas Allaric penuh kepemilikan.

"Then, tell me. Aku butuh kejujuran, bukan cuma omong kosong yang akhirnya bikin kita semakin jauh"

Allaric mengangguk, "Aku akan bilang semuanya ke kamu"

Aurora menatap lekat pada Allaric, dan dibalas senyuman pucat dari bibir Allaric. Tangan Aurora terulur merapikan rambut Allaric yang menutupi area kening.

'Semoga kejujuran kamu bisa buat aku punya alasan untuk selalu ada di sisi kamu, Ar' batin Aurora.

"Masih sakit?" Tanya Aurora sambil menjauhkan dirinya dari Allaric, ia menatap area luka Allaric.

Allaric hanya menggeleng pelan. "Gimana keadaan yang lain?"

Aurora kelu, pertanyaan ini pasti akan terucap dari Allaric. "Tunggu Gabriel, bentar lagi mereka sampai"

Allaric mengernyit, "Kenapa harus tunggu mereka?" Allaric menatap Aurora lekat.

Aurora sejenak bernapas lega ketika tepat setelah pertanyaan Allaric terlontar, Gabriel dan inti Xavierous yang lainnya telah datang dengan pakaian yang sama saat terakhir kali Aurora lihat di pemakaman tadi. Aurora berusaha memberi ruang, namun Allaric lebih dulu menahan lengannya lantas menggenggam tangan Aurora erat.

"Xavierous aman?"

Gabriel menunduk, pun pula seluruh inti Xavierous. "Kita gagal, salah satu anggota Xavierous gugur"

Allaric terdiam, tangannya mengeratkan genggamannya pada Aurora. "Siapa?" Nada suara Allaric terdengar berat.

"Keannzo Marsel Ananta"

Allaric memejamkan matanya saat nama Marsel terucap dari bibir Gabriel, rasa bersalah melingkupi hatinya. Aurora yang menyadari Allaric merasa terpukul dengan kabar yang baru saja ia terima pun membalas genggaman Allaric tak kalah eratnya.

"Gimana bisa?" Pertanyaan Allaric terdengar putus asa.

"Setelah Geo dan Barra pingsan, pertarungan selesai. Kita nggak tau kalau Marsel bakal masuk ke area, tepat saat Marsel masuk, Geo arahin pistol dia ke lo. Tapi Marsel lebih dulu dateng, akhirnya peluru Geo kena Marsel" Gabriel menunduk.

"Gue gagal" bisik Allaric pelan.

Allaric menatap lantai kamar rumah sakit itu dengan tatapan hampa, rasa bersalah sekaligus kehilangan semakin menyeruak memenuhi hatinya. Sebagai ketua, ia gagal melindungi anggotanya. Sedangkan sebagai kakak, ia gagal melakukan tanggung jawab menjaga Marsel.

"Jangan lepasin, Geo" tekan Allaric dengan manik abu yang berkilat tajam.




■■■■

2 Agustus 2023

To be continue🐾

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 76.6K 40
(BELUM DI REVISI) Aline Putri Savira adalah seorang gadis biasa biasa saja, pecinta cogan dan maniak novel. Bagaimana jadi nya jika ia bertransmigra...
2.3M 137K 49
•Airis Ferdinand. Aktris cantik dengan puluhan mantan pacar, baru saja mendapatkan penghargaan Aktris terbaik di acara Awards international. Belum se...
627K 37.9K 63
(WAJIB FOLLOW SEBELUM MEMBACA!) Ini tentang Amareia Yvette yang kembali ke masa lalu hanya untuk diberi tahu tentang kejanggalan terkait perceraianny...
59K 585 5
Jatuh cinta dengan keponakan sendiri? Darren William jatuh cinta dengan Aura Wilson yang sebagai keponakan saat pertama kali bertemu. Aura Wilson ju...