NING, Dan Sebuah Kisah Dalam...

By Diarysna

47.4K 4.3K 1K

(ON GOING) "Ning, rasa cinta adalah hal yang ghaib, jika gak mempercayainya berarti sampeyan gak memiliki ima... More

PROLOG
Bab 1. Sang Bidadari Al-Qur'an
Bab 2. Anak Rembulan
Bab 3. Sang Penolong
Bab 4. Wasiat
Bab 5. Hutang Budi
Bab 6. Getaran Rasa
Bab 7. Secercah Cahaya
Bab 8. Titik Terang
Bab 9. Sebongkah Tanya
Bab 10. Pendar Rembulan
Bab 11. Janji
Bab 12. Sajak Ranah Kinanah
Bab 13. Mengeja Surga
Bab 14. Yang Terpilih
Bab 15. Pemantik Rasa
NOTE
Bab 16. Sketsa Waktu
Bab 17. Buah Bibir
Bab 18. Rahasia Hati
Bab 19. Jejak Yang Retak
Bab 21. Bagai Pungguk Merindukan Rembulan
Bab 22. Hati Yang Tergores
Bab 23. Ikatan Dari Masa Lalu
Bab 24. Nasib Dan Takdir
Bab 25. Menunggu Titik Temu
Bab 26. Rangkaian Harapan
Bab 27. Mengambil Langkah
NOTE

Bab 20. Seterang Siang

1K 124 92
By Diarysna

Engkau adalah sajak indah yang dibacakan pada diriku yang buta aksara.

Keindahanmu tak mampu kutulis. Tak sanggup kueja. Namun mengikis dan mendera jiwa.

Siapakah engkau wahai pemilik wajah bak bulan purnama?

Rabu sore di Komplek Al Manshuriyyah

Mungkin itu menjadi sajak ke-sekian yang Kafa tulis di buku binder-nya.  Terdengar pemuda itu menghela napas. Bayangan wajah gadis itu bak lebah yang berpilin di kepalanya, berdengung memenuhi rongga tubuh lantas menyengat hatinya hingga perih.

Meski di saat yang sama, bayangan itu juga mengendap bagai madu yang sesekali menuangkan lengkungan manis di sudut bibir.

Kafa tak sanggup lagi menepis kenyataan bahwa gadis itu-dengan segala keindahan paras dan pribadinya-telah berhasil menyita hatinya.

Sebuah perasaan yang terasa asing. Perasaan yang tak pernah ia alami selama hidupnya.

Namun, sekali pun perasaan itu bersemai seiring waktu, Kafa masih berhasil mengendalikan dirinya agar tak terjerembab dalam nafsu. Ia akan selalu ingat kewajiban tubuh dan pikirannya saat ini hanyalah menuntut ilmu.

Meski sesak, bagi Kafa, satu-satunya cara agar hasrat itu tak bermekaran adalah dengan tidak mencari tahu siapa identitas gadis tersebut.

Untuk saat ini, tak mengenalnya adalah pilihan paling tepat. Biarlah gadis itu cukup ia dekap dalam sajak dan do'a-do'a.

Kafa sebenarnya tak keberatan untuk mengenal gadis-gadis di kampus atau pesantren, terlebih jika memang keadaan mengharuskannya. Tapi, gadis satu ini beda lagi. Ia tidak bisa disamakan dengan Bilqis Naufi atau pun Naora.

Ia berbeda atau lebih tepatnya perasaan Kafa pada gadis itu yang membuatnya berbeda. Mengenalnya lebih dekat sama saja melepas kendali dan membiarkan hati dan akalnya jatuh lebih jauh. Dan jika itu terjadi, Kafa baru akan sadar saat dia sudah tersungkur dalam fitnah dan nafsu.

Lagi pula sampai saat ini belum ada keadaan yang mengharuskannya untuk mengenal sang gadis.

Sore itu setelah menunaikan shalat ashar berjama'ah yang dipimpin K.H Hanan Dalhar Al-Hafidzh, Kafa segera menuju gedung komplek Madrasah Aliyah untuk mengikuti technical meeting para pelatih atau tentor MQK.

Saat melewati gapura komplek Sayyida Al-Hurra, Kafa mendadak teringat soal Ning Una. Lurah komplek Sayyida Al-Hurra tersebut menjadi tentor kitab Fathul Qorib, artinya, mereka akan sama-sama memegang cabang kitab Fiqh.

Ah, Sejujurnya bukan sosok Ning Una yang kemudian berkelebat dalam kepalanya. Sudah lama rasa penasaran pada putri dari K.H Kafabihi Ahmad itu sirna sejak ia bertemu dengan Sang gadis yang berpendar bak rembulan. Gadis yang bagi Kafa, akhlak dan parasnya mungkin tak kalah jika dibandingkan dengan Sang bidadari Al-Dalhar yang terkenal itu.

Kini Kafa tak bisa berbohong jika secercah harapan tumbuh di hatinya. Mendengar jika ada beberapa santriwati Sayyida Al-Hurra selain Ning Una yang juga ikut menjadi tentor, bisa saja gadis itu juga terpilih, dan ada di antara mereka.

Kafa mengehela napas. Berusaha membuang jauh-jauh pikiran itu dan kembali meluruskan niat.

"Ya Allah, jauhkan aku dari angan yang semu. Jauhkanlah hatiku dari berharap pada manusia. Jika dia baik untukku, maka biarkanlah aku hanya berharap pada-Mu, saja. Jika dia tidak baik untukku, maka cabutlah segala harapan dan angan yang tumbuh untuknya."

Kafa mungkin tak meyangka jika isyarat jawaban atas do'anya itu akan segera datang dalam beberapa jam lagi.

🌸🌺🌷🥀


"Wan! Hidup, mah jangan serius-serius amat. Futsal, yok! Mumpung libur!"

Dzakwan yang tengah menekuri sebuah kitab di depan rak, hanya tersenyum simpul. "Enggak dulu, Sul. Ada jadwal Talaqqi."

Samsul berlalu seraya berdecak. "Hadeuh, talaqqers ... talaqqers!"

"Lagian kitab terus yang diseriusin, toh, Gus. Anak orang kapan?!" celetuk Aris yang tengah sibuk menghadapi layar laptop.

Dzakwan hanya terkekeh pelan. Setelah itu ia tampak menarik napas dalam-dalam. Sebenarnya pada mulanya, Dzakwan tak berniat 'terjerumus' dalam kehidupan yang kaku seperti ini. Rutinitas yang isinya hanya mengaji, mengaji, dan mengaji.

Kehidupan yang dijalaninya sekarang tak pernah masuk dalam rencananya. Jangan tanyakan soal mimpi dan cita-cita. Hal itu  sudah lama ia benamkan.

Terlahir menjadi bani Dalhar dan hidup di bawah bayang-bayang nama besar leluhur dan pesantren adalah sebuah tanggung jawab yang berat. Dzakwan merasa dihantui. Kewajiban meneruskan perjuangan abah, ibu, dan leluhurnya telah memaksa ia mengorbankan banyak hal termasuk mimpi dan cita-cita.

Ibu tahu, sejak muda, Dzakwan bercita-cita menjadi dokter. Terutama sejak abah direnggut oleh penyakitnya. Tapi, siapa yang akan melanjutkan komplek pesantren abah jika bukan dirinya? Siapa yang akan meneruskan perjuangannya?

Talaqqi akan dimulai pukul setengah sepuluh pagi, kini Dzakwan sudah bergegas menyambar kitab Syarh Al-Mawaqif dan Iqazh Al-Himam Fii Syarh Al-Hikam. Kitab aqidah dan tasawwuf yang diampu oleh Prof. Dr.  Hasan Al-Syafi'i.

Begitu tiba di jalanan sekitar Darasahsuara-suara klakson kendaraan menyalak. Beberapa pejalan kaki menyapa dengan ramah. Suasana khas Mesir.

Beberapa kali, Dzakwan tampak gelisah mengecek layar ponselnya. Namun kembali mempercepat langkahnya begitu bangunan masjid dengan menara-menara mulai meyembul dari balik rimbun pepohonan pinggir jalan.

"Assalamualaikum, Dzakwan?"

Dzakwan memutar tubuhnya. Seorang gadis berparas cantik khas Timur Tengah dengan pashmina hitam melingkar tengah mengulum senyum.

"Wa'alaikum salaam."

Dzakwan membalas senyum. Gadis Mesir itu adalah Zahda. Seorang mahasiswi di Ain Shams University sekaligus tetangganya. Keduanya kerap mengobrol ringan atau sekedar bertegur-sapa.

"Izaiyyak?" (Apa kabar?)

"Alhamdulillah, tamam," jawab Dzakwan.

Tidak seperti bahasa Arab Fushah yang ada di Al-Qur'an, Hadits Nabi, atau pelajaran bahasa arab di pesantren. Orang Mesir memakai Bahasa Arab Amiyyah Mishriyyah dalam kesehariannya.

"Fiin tarooh dalhiin?" (Kamu mau ke mana?)

"Aruuhu ilal masjid," balas Dzakwan.

Gadis itu menggumam pelan. Dzakwan selalu bisa menemukan dua bola mata indah milik Zahda itu intens menatapnya. Aris mungkin benar, Zahda memang menyukai dirinya.

Sesekali saat mereka bertemu, Zahda suka sekali mengajaknya berdiskusi. Salah satu topik yang paling gadis itu sukai adalah tentang jodoh dan cinta sejati.

Wajah putih Zahda kadang memerah kala Dzakwan berbicara tentang cinta dalam pandangannya. Mata gadis itu berbinar, dan Dzakwan bersumpah jika Zahda adalah perempuan tercantik yang pernah ia lihat. Siapa yang bisa menandingi para pewaris Cleopatra? Bukankah konon jika ada sepuluh gadis Mesir, maka akan ada dua puluh yang cantik, termasuk bayangan mereka.

Tapi ini bukan soal cantik atau cinta. Dzakwan sadar, bukan itu yang Al-Dalhar inginkan. Bukan itu yang ibu inginkan. Ibu menginginkan seorang perempuan yang bisa ikut berjuang, memajukan pesantren dan mengurus para santri.

Sesuatu yang tidak dimiliki oleh Najuba dan Zahda.

Dulu, Dzakwan sempat berharap adiknya, Nisrin bisa meneruskan Sayyida Al-Hurra. Sehingga setidaknya ia bisa melego ibu agar menurunkan ktiteria menantunya. Minimal tak perlu yang hafal Al-Qur'an.

Lantas, Dzakwan akan mencoba mengenalkan Najuba. Tapi, saat sadar, terlalu egois jika harus melemparkan tanggung jawab itu pada Nisrin, ia mengurungkan niatnya.

Najuba yang tanpa kepastian itu akhirnya menyerah dan memilih pergi.

Sekarang, Zahda adalah satu-satunya gadis yang paling mungkin untuk bisa ia cintai. Apalagi dengan banyak pertemuan yang terjadi, juga perhatian yang gadis itu berikan.

Tapi, sekali lagi, Dzakwan teringat akan kriteria ibu. Satu, Hafal Al-Qur'an. Dua, harus jelas nasab, nasib dan nisabnya,

Sedangkan siapa Zahda? Dia jelas bukan seorang penghafal Qur'an. Siapa keluarganya, pendidikannya dan seperti apa ekonomi mereka? Entah, lah.

Dzakwan kini sudah berpisah dengan Zahda, dan kembali berjalan menuju area masjid.

Mungkin, kali ini aku akan mendengarkan ibu soal perjodohan itu. Aku sudah gak peduli lagi soal cinta.

Tiba-tiba sebuah notifikasi berdenting di ponselnya. Notifikasi pesan Instagram. Dzakwan menghela napas. Sudah sejak beberapa hari ini, sebuah akun misterius dengan username Naa_33 mengiriminya pesan.

Awalnya, akun tersebut mengomentari story Instagram miliknya berupa foto menara masjid Al-Azhar. Lantas, lama-kelamaan mengajak sharing tentang kehidupan menjadi mahasiswa di Mesir.

Sekarang sebuah pesan baru muncul dan memaksa Dzakwan tercenung. Bagaimana bisa ia tahu domisili, rencana kepulangan sampai panggilan Gus untuk dirinya sedang Dzakwan tak pernah mem-publish info tersebut di akun sosial media mana pun.

Akhir tahun ini jadi pulang ke Jogja, Gus?

-Naa_33-

Akan tetapi beberapa detik kemudian pesan itu dihapusnya kembali. Dzakwan dengan tergesa mengetik pesan balasan.

Sampeyan siapa sebenarnya?

-Dzkwn-

Tak ada balasan, padahal akun itu masih terlihat online.

Dzakwan merasakan napasnya tertahan, kepalanya dipenuhi berbagai macam dugaan.

Apakah dia calon istriku? Ning Manunal Ahna?

🌷🌸🌺🥀

"Bismillah," bisik Una melangkah menuju gedung Madrasah Aliyyah.

Gara-gara ketiduran, ia jadi terlambat hampir sepuluh menit. Entah lah, sepanjang hari itu matanya terasa suntuk.

Semburat emas matahari mulai meluap di atap bangunan-bangunan pesantren Al-Dalhar. Udara dingin membelai wajah, memberi rona segar.

Una beruntung, Zahieq yang sejak sebelum dzuhur pergi bersama Naora juga baru tiba di asrama, jadi setidaknya ia tidak terlambat sendirian.

Una dan Zahieq sama-sama mengenakan jas Sayyida Al-Hurra. Keduanya menunduk malu-malu meminta maaf di depan lawang kelas pada Pak Kyai Afif karena terlambat datang.

"Monggo, Mbak langsung duduk, aja," balas kyai Afif.

Setelah mengangguk takzim, keduanya memutuskan untuk duduk di kursi area tentor perempuan. Di sebelahnya, jajaran kursi tentor laki-laki memanjang ke belakang.

Una mulai fokus memperhatikan kyai Afif yang sibuk memaparkan teknikal perlombaan di depan. Ah, ruangan ini adalah ruang kelasnya beberapa tahun lalu. Suasana, penataan dan aromanya tak banyak berubah. Mendadak Una jadi rindu masa-masa itu.

"Eh, Mbak, itu kaligrafi buatan sampeyan dulu, kan?" bisik Zahieq.

Una mendongak ke sebuah arah, senyumnya terkulum. "Loh, iya, masih ada, aja."

Una jadi tertarik menyapu pandang ke sekitar, beberapa detik kemudian secara tak sengaja tatapannya justru beradu dengan seorang pemuda.

Deg!

Pemuda itu sempat terlihat kaget, sebelum lantas menyapanya dengan senyum canggung. Una sempat membalas senyum tipis sembari mengangguk pelan. Setelah itu, ia kemudian membenamkan tatapannya pada meja, dadanya mendadak bergemuruh hebat. Matanya mengerjap.

Dia di sini.

Una buru-buru menyambar kertas fotokopian yang baru saja diletakan di mejanya. Kertas itu berisi teknikal perlombaan, cabang kitab, serta nama tentornya.

Dan benar saja, ada nama Abdullah Kafabihi di sana sebagai tentor kitab Fathul Mu'in, cabang ilmu fiqh, sama seperti dirinya.

Perlahan, Una merasakan gelisah. Posisi duduknya jadi tak nyaman. Jantungnya berdebar hebat.

Gadis itu ingat, bagaimana usahanya selama ini untuk melupakan sosok Abdullah Kafabihi. Sejak melihat kedekatan Kafa dengan Ning Bilqis di perpustakaan, Una jadi berpikir sebaiknya menahan diri untuk mencari tahu lebih banyak.

Berhenti kepo, adalah cara terbaik agar harapan dan perasaannya tak terjatuh lebih dalam.

Meski sulit, tapi Una yakin usahanya itu akan menuai hasil. Ditambah gadis itu selalu berdo'a dan menyugesti dirinya, 'jika baik maka dekatkanlah dengan cara yang halal, dan jika buruk maka jauhkanlah.'

Sekarang takdir kembali mempertemukan mereka di kelas ini. Bukan hanya itu, keduanya bahkan menjadi tentor cabang ilmu yang serupa.

Isi kepala Una kembali dipenuhi berbagai macam pertanyaan dan dugaan. Ah, tiba-tiba Una baru ingat jika selama ini, Kafa bahkan tak tahu siapa dirinya. Tak tahu siapa nama dari gadis yang ia tolong itu.

Tanpa sadar, Una terpekur membayangkan sesuatu. Tentu, saja baik Bilqis dan Naora bisa dekat dan mengobrol dengan Kafa. Sudah jelas karena Kafa tahu siapa nama mereka.

Mungkin seolah sepele. Tapi, bukankah ada istilah, tak kenal maka tak sayang?

Una merasakan tenggorokannya tercekat.

Ya Allah, apakah ini pertanda ...?

Bagi Una, terlalu banyak kebetulan yang memaksa keduanya bertemu. Jika Naora tahu, dia pasti akan berkata, 'kalian berarti jodoh'.

"Oh, iya, sebelumnya, ini Mbak berdua yang tadi terlambat belum diperkenalkan, ya," Seru kyai Afif memecah lamunan Una.

"Coba dari yang kiri dulu?"

Zahieq dengan berani memperkenalkan diri. "Saya Zahieq Mafsa dari komplek Sayyida Al-Hurra."

"Sebelahnya." Pinta kyai Afif.

Una menarik napas dalam-dalam. "Saya Manunal Ahna dari komplek Sayyida Al-Hurra."

Pak kyai Afif lantas menyahut. "Mbak Una ini lurahnya Sayyida Al-Hurra."

Una menunduk dalam-dalam saat beberapa pasang mata segera memandangnya. Begitu pertemuan selesai dan para panitia beriringan keluar ruangan.

Una berjalan menyusuri koridor bersama Zahieq, dan lagi-lagi ia kembali tak sengaja beradu pandang dengan Kafa. Namun kali ini, entah kenapa, pemuda itu hanya  mengangguk tipis.

Una segera mengalihkan tatapannya ke depan. Bola matanya bergulir. Hatinya tiba-tiba dihinggapi kegelisahan dan rasa penasaran.


Biasanya dia selalu tersenyum. Kenapa tiba-tiba sikapnya berubah? Apakah ada yang salah?

🌷🌸🌺🥀

Bismillah semoga abis ini bisa lebih rajin update. Aaamiiin.

Mau nyapa tapi malu soalnya baru update lagi 🤭

Continue Reading

You'll Also Like

141K 6.8K 28
Hooked onto drugs, no family, no guidance or sanity until she met HIM. Cover Creds: @Triceynexttdoor โค๏ธ -BLICKY.
39.4K 3.6K 10
Wanna visit rajasthan than read this special book about my love Rajasthan ๐Ÿ’—
488K 17.2K 195
(Fan TL) Won Yoo-ha, a trainee unfairly deprived of the opportunity to appear on a survival program scheduled to hit the jackpot, became a failure of...