.
.
.
CHAPTER 8 ; Edward's POV
Edward menatap lekat langit malam melalui jendela kamarnya.
Pikirannya melayang tertuju pada satu sosok yang akhir-akhir ini memenuhi isi kepalanya.
Catherine Rosalina Berdinth.
Semua mimipi buruk yang ia alami selalu berpusat pada gadis itu.
Hanya sekedar mimpi...
Edward selalu mengulang perkataan itu diotaknya.
Seharusnya semua akan baik-baik saja kan?
Tak ada yang perlu di khawatirkan. Semuanya tetap akan baik-baik saja meskipun mimpi itu menjadi kenyataan.
*
Setidaknya itulah yang difikirkan Edward sebelum akhirnya berita hilangnya Putri Catherine membuat satu manor heboh bukan main.
Dada Edward seakan diremas oleh tangan tak kasat mata, jantungnya berdetak begitu kencang, keringat dingin mulai mengalir di tubuhnya dan pria itu kesulitan bernafas.
Catherine....
"Tuan, kami akan segera menemukan Putri Catherine"
Mata Edward memerah dan dengan tangan bergetar dengan nafas yang tidak teratur, James menjadi samsak emosi sang tuan.
"Cari Catherine, sekarang.juga"
*
Edward menyugar rambutnya.
Sudah lebih dari 6 jam setelah Catherine ditemukan. Tapi dadanya masih belum menemukan ketenangan.
Edward kembali menegak kembali 1 gelas alkohol yang tersedia diatas meja, berharap hal itu dapat menghilangkan rasa sesak di dadanya.
Tok... Tok... Tok...
"Duke Emeric?"
Catherine?
Perlahan lelaki itu melangkah kearah pintu dan membukanya.
"Duke"
Tak menjawab, Edward hanya menggeser tubuhnya seakan meminta Catherine memasuki kamarnya.
"Maaf mengganggumu saat jam istirahat Duke"
Meskipun masih belum terlalu larut, namun tetap saja saat ini merupakan jam istirahat.
Edward hanya mengangguk dan mempersilahkan Catherine untuk duduk di sofa sementara lelaki itu membereskan botol dan gelas alkohol yang tadinya tergeletak diatas meja.
Untuk sesaat, Catherine hanya bisa bungkam sembari mengamati seluruh pergerakan Edward dengan seksama.
"Ada yang ingin kau bicarakan?"
Karena di kamar pribadi Edward hanya memiliki 1 sofa panjang yang mengarah ke barat, jadi Edward mendudukan dirinya di sebelah Catherine.
"Maaf... untuk kejadian yang terjadi hari ini, aku benar-benar tidak mengira bisa menimbulkan kekacauan seperti ini...." Ucap Catherine dengan suara pelan.
Untuk beberapa saat Edward terdiam. Mencerna satu pemikiran yang hinggap di kepalanya.
"Apa ada yang membuatmu tidak nyaman di mansion?"
Dengan cepat Catherine menggeleng,
"Tidak sama sekali, mansion ini sangatlah nyaman Duke"
Edward menatap lekat Catherine.
"Tidak perlu meminta maaf"
Catherine membalas tatapan Edward.
"Kalau begitu bolehkah aku meminta sesuatu?"
Untuk pertama kalinya, Edward mendapatkan pertanyaan semacam itu dari gadis dihadapannya.
"Katakan"
"Tolong lepaskan Siana"
Ya, Catherine telah mengetahui apa yang terjadi pada Siana.
Berbeda dengan Abigail yang hanya dihukum cambuk karena kelalaian-nya menjaga Catherine, Siana disisi lain harus mendapat hukum cambuk dan penjara untuk sementara waktu sampai Edward memutuskan untuk memecatnya atau lebih parah- membunuhnya.
Bagaimanapun Siana tetaplah seorang pelayan Emeric, meskipun memiliki title pelayan pribadi Catherine namun sejatinya tuan yang harus dipatuhi Siana merupakan Edward. Membantu Catherine kabur dan membahayakan nyawa sang calon nyonya sudah menjadi cukup alasan mengapa ia pantas di bunuh.
Mengingat kasta Siana yang rendah, tidak akan ada yang peduli dengan nasib gadis malang itu.
Kecuali Catherine.
"Aku yang meminta Siana untuk berkeliling pusat kota dan menuju kuil. Siana tak mampu menolak.... Jika ada yang harus disalahkan itu aku, Duke"
"Kesalahannya adalah melupakan tugas utamanya"
"Tugas utamanya adalah melayaniku, dan dia melakukannya dengan sempurna" sanggah Catherine.
"Membuatmu aman dan nyaman adalah tugasnya"
"Tapi aku baik-baik saja Duke.... Tidak ada yang terjadi padaku selama kami di luar manor. Dan aku berjanji tidak akan pernah lagi keluar tanpa pengawalan" mohon Catherine.
Edward diam. Untuk beberapa saat pria itu hanya bisa bungkam dengan mata terkunci pada netra violet dihadapannya.
"Aku akan membebaskannya, dia akan keluar dari manor ini besok"
Setelahnya, Edward bangkit tanpa ingin menatap raut Catherine.
"Duke, tidak, kumohon"
Dengan cepat Catherine meraih tangan Edward yang telah bangkit dari duduknya.
Sebelum diterima di manor ini, Siana hampir dijual ke rumah bordil. Jika gadis malang itu kembali dibuang ke jalanan, sungguh Catherine tak ingin membayagkannya.
"Kumohon biarkan dia kembali menjadi pelayanku... aku akan lakukan apapun..."
Catherine tidak bisa membiarkan Siana menanggung seluruh akibat dari perbuatannya.
Kali ini, keheningan berjalan cukup lama.
Masih dengan posisi berdiri dengan tangan yang di genggam penuh permohonan oleh Catherine, Edward mencerna segalanya.
Lelaki itu tidak setuju untuk kembali mempekerjakan Siana, namun dia juga tidak bisa membiarkan Catherine bersedih.
Setelah beberapa menit tak mendapat jawaban, Catherine mengeratkan genggaman tangannya.
"Duke...."
"Baiklah"
Gadis bernetra violet itu sontak saja melebarkan kedua matanya.
"Apa?"
"Kau mendapatkan yang kau mau, Siana akan kembali padamu setelah lukanya sembuh"
Mata Catherine bergetar dan dirinya menghembuskan nafas lega.
Gadis itu tersenyum manis. Dengan kesadaran penuh Catherine bangkit dari duduknya dan untuk pertama kalinya ia memeluk sang tunagan.
"Aku benar-benar berterimakasih Duke" lirihnya.
*
Deg
Deg
Deg
Edward terdiam. Merasakan detak jantungnya yang terus menggila sejak pagi tadi kini kembali tenang.
Rasa frustasi yang sejak pagi tadi menghampiri dadanya kini berubah jadi rasa hangat.
Jauh dalam lubuk hatinya lelaki itu bertanya-tanya,
Bagaimana bisa seorang gadis dapat mempengaruhinya sebesar ini?
***
TBC
Published, 13-06-2022