How to Break a Heartbreaker

De galaxywrites

12.8K 2.3K 198

Orlando Jaska dikenal sebagai selebriti ganteng, penyanyi dengan heavenly voice, dan playboy menawan yang bis... Mai multe

Prologue
01. How to Revenge
02. Do You Love Me?
03. Encounter
04. Twenty Millions
05. Niskala's Artists
06. His Personal Assistant?
07. His Ultimate Type of Girlfriend
08. Past and Present
09. Our Ex(es)
11. Time to Workout
12. Girls Around You
13. Comparison and Contrast
14. Get Attacked
15. Unusual Wedding Party
16. Suspicious Boyfriend
17. Bad News Ever

10. In Case You Didn't Know

791 122 17
De galaxywrites

CHAPTER 10 - In Case You Didn't Know


Aku memang sudah menduga acara malam ini akan ramai mengingat ini acara yang terbuka untuk umum, gratis dan diselenggarakan di atrium mall. Tapi aku tidak menyangka akan sepadat ini. Orang-orang berkerumun bukan cuma di lantai dasar tempat atrium berada, tapi di lantai-lantai atas, dari kaca pembatas yang memungkinkan mereka bisa melihat pemandangan di lantai bawah. Saking ramainya, aku takut gedung mall ini akan rubuh.

Lando masih di backstage, sedang bersiap-siap. Aku sebisa mungkin membantu cowok itu. Dia tadi minta buatkan air lemon hangat. Hal dadakan yang tidak sempat kupersiapkan dari hotel tadi. Alhasil, aku harus mencari lemon di foodmart. Untung saja ada salah satu kru  acara yang membantuku untuk menyediakan air panas.

Lando sedang memasang in ear monitor dibantu oleh staff lain. Aku belum melihatnya manggung secara langsung, tapi mendapati dirinya kini dikelilingi orang-orang mau memastikan dia naik ke panggung dalam keadaan siap dan sempurna, dia betul-betul tampak seperti seorang selebriti.

Sebenarnya sejak SMA aku tahu Lando akan jadi orang yang berhasil di bidang musik. Aku bisa membayangkan sosoknya jadi penyanyi sungguhan. Dia aktif di band sekolah, penampilan-penampilannya ketika ada acara sekolah juga tidak pernah mengecewakan. Aku hanya tidak menyangka sukses yang dia raih akan sebesar ini.

Basis penggemar Lando tidak main-main. Seperti yang kulihat tadi, penggemarnya bukan hanya remaja tanggung seperti Gisya. Tapi juga perempuan dewasa seperti Audy. Bahkan ada juga ibu-ibu, laki-laki yang tampak maskulin, sampai anak kecil sekalipun.

Mungkin hal itu terjadi karena dia bukan cuma modal tampang doang. Meski tampang memang modal penting di industrinya ini, tapi lebih dari itu, Lando punya bakat. Suaranya merdu dan dia bisa membuat lagunya sendiri. Lagu-lagu yang selalu trending di berbagai kalangan.

Sebelum Lando naik ke panggung, mata kami bertemu. Tak ada yang ingin kusampaikan dan aku juga tidak mungkin tiba-tiba mengepalkan tangan ke udara dan memberikannya semangat. Aku cuma balas menatapnya dengan bibir terlipat. Lando juga tidak mengatakan apapun dan melanjutkan langkahnya menuju panggung.

Suara teriakan langsung terdengar. Kuyakin Lando sekarang sudah naik panggung dan menyapa penggemar.

Aku memilih tetap di backstage, beristirahat sejenak karena Lando tidak mungkin membutuhkanku ketika dia tampil di panggung. Baru saja aku ingin mengeluarkan ponselku, Mbak Anggun datang dan menyerahkan selembar kertas untukku.

"Cit, ini riders atau list request Lando ke pihak acara selama manggung. Semuanya udah kucek dan aman kecuali Late Harvest. Kalau acara selesai nanti mereka nanti kasih kamu wine-nya, kamu terima aja dan antar ke kamar Lando. Kayaknya Lando dan beberapa anak band bakal balik hotel duluan biar aman. Kita juga mungkin di mobil beda karena aku dan Satya harus membereskan beberapa hal."

"Oh, oke Mbak," balasku sambil membaca isi kertas di tanganku.

"Ini kamu simpan aja. Setiap manggung request Lando paling cuma ini. Next time aku mungkin bakal minta tolong kamu untuk double check lagi apakah semua listnya dikasih sama mereka atau enggak."

"Siap, Mbak."

"By the way, Kalau kamu mau ikut nonton Lando bisa kok. Jangan di backstage aja, nanti bosen. Di luar walau ramai tapi aman. Gabung aja sama kru, mereka deket panggung, kerja sambil have fun," ucap Mbak Anggun dengan senyum manisnya.

Aku terkekeh singkat dan mengangguk. Mbak Anggun berjalan mendahuluiku melakukan tugasnya yang entah apa.

Suara di luar makin terdengar ramai. Teriakan dan jeritan antusias terdengar jelas. Lando mulai menyanyikan lagu Lepaskan Saja, lagu upbeat yang membuat penonton mau tidak mau pasti ikut bernyanyi dengan segenap hati. Itu lagu move on yang dikemas dengan ceria dan agak marah-marah, jadi enak kalau dinyanyikan sambil berteriak. Aku bisa membayangkan betapa hebohnya situasi di luar sana. Aku tidak terlalu suka keributan.

Selama beberapa menit kemudian, aku memutuskan untuk membereskan barang-barang Lando. Tidak menyimpannya, hanya merapikan saja. Lando kemungkinan akan kembali ke backstage sebentar untuk minum dan menata rambutnya yang pasti tidak on point lagi. Oleh sebab itu, Mbak Tia, stylist sekaligus hairdo Lando masih siap dengan barang-barangnya.

Entah sudah berapa lagu yang Lando bawakan, suasana heboh yang mengelilingi atrium mall tidak juga surut, malah makin menjadi-jadi. Aku jadi bertanya-tanya pada diriku apakah ini saat yang tepat menginjakan kaki keluar dan ikut menyaksikan penampilan Lando?

Aku bisa mengintip saja dari sudut panggung, tidak perlu bergabung ke tengah keramaian. Kurasa itu bukan ide yang buruk. Aku nyaris saja merealisasikannya tapi suara musik berhenti. Lalu, grasak-grusuk Lando kembali ke backstage diikuti anggota band lainnya juga.

Berusaha peka, aku langsung menyerahkan air minum untuknya yang langsung disambutnya dengan cepat. Dia menengak sebotol air itu seolah besok kiamat. Aku juga memberikan air minum ke pemain bandnya yang juga tampak lelah.

Lando berbincang dengan staff teknis. Mbak Tia berhadapan dengan Lando, menyeka keringat cowok itu dengan tisu. Kemudian tangan perempuan itu dengan cekatan merapikan rambut Lando dan membuka jaket jeans cowok itu, menyisakan kaus hitam lengan pendek.

Aku tidak bisa mengalihkan perhatian dari Lando. Dia sangat... ganteng. Eh tunggu, bukan cuma itu, tapi dia sangat hot. Kaus lengan pendek ngepas badannya itu membuat otot lengannya terlihat jelas. Dipadu dengan celana jeans kasual robek-robeknya dan rambut basah akibat keringat, dia terlihat laki banget. Tanpa sadar, aku jadi menelan ludah.

"Mau pake outer kemeja atau gini aja?" tanya Mbak Tia.

"Nggak usah, Mbak. Gini aja. Panas juga ternyata."

Setelah mengatakan itu, Lando menerima gitar akustik yang diserahkan padanya dan mengalungkannya ke bahunya. Dia siap tampil dengan alat musik itu.

Lando memergokiku tengah memandangnya lekat. Dia langsung menaikan satu alisnya, bingung. Aku buru-buru buang muka dan menatap apapun kecuali wajah Lando.

"Cit?" panggilnya.

Aku mendongak, kembali menatapnya. "Hah? Apa?"

Lando mengisyaratkanku untuk mendekat. Aku maju beberapa langkah. Lando langsung menarik lenganku mendekat. Mau tak mau, langkahku jadi sejajar Mbak Tia yang masih membantu menghapus keringat di leher Lando.

"Kenapa?" tanyaku, agak takut. Soalnya aku makin bisa melihat otot-otot lengan Lando secara jelas. Kalau aku menuruti rasa penasaranku dan memegang lengan itu, aku yakin aku pasti kena pelotot satu ruangan ini. Dicap mesum apalagi kepada Lando belum ada di daftar rencanaku.

"Bantu rekam gue abis ini," kata Lando santai.

"Hah?"

"Lo jangan disini aja. Tonton gue dari deket panggung. Rekam pake hp lo, nanti kirim ke gue. Ngerti?"

"Ah, itu, eng, gimana? Gue harus rekam lo?" Entah kenapa aku jadi agak lambat memproses informasi.

"Iyaaa," sahutnya. "Yang bagus, ya. Kalau jelek, gue pecat lo."

Semua rasa kagumku padanya mendadak lenyap karena nada menyebalkan itu.

"Bisa minta tolong sama anak EO atau dokumentasi, Lan. Ada tripod, pasti lebih stabil untuk rekam video," saran Mbak Tia. Kini dia sudah selesai membantu Lando dan membereskan tisu-tisu di dekat meja.

"Nggak usah, ini untuk koleksi pribadi. Jadi Citra aja," balas Lando. Dia menatapku minta persetujuan, karena tidak ada alasan untuk menolak, aku mengangguk.

"Portrait atau landscape?" tanyaku.

"Portrait. Fokusnya ke gue."

"Oke, paham. Mau nyanyi lagu apa abis ini?"

"In Case You Didn't Know." Lando menunjuk gitarnya dengan isyarat dagu. Memang sih lagu itu paling cocok dibawa akustikan. Sayang, aku bukan penggemar berat lagu itu.

"Kenapa?" tanya Lando tiba-tiba.

"Apanya yang kenapa?" tanyaku bingung.

"Lo keliatan nggak suka. Entah nggak suka lagu itu atau nggak suka dengan ide bahwa gue akan segera bawain lagu itu."

"Ngomong apa sih?" Aku pura-pura tak mengerti.

"Mas Lando, dua menit lagi, ya," kata Mbak-Mbak kru yang daritadi memang terlihat super repot.

Lando menatapku dengan dahi berkerut menilai. Aku pasang muka santai saja. Memberikan penilaian yang jujur terhadap lagu itu kepada Lando bukan ide yang bagus. Lando selalu moody-an. Kalau dia tahu aku punya sentimen aneh dengan lagu itu, dia bisa tersinggung dan bad mood di panggung. Aku tidak mau bertanggung jawab atas itu.

Lando kemudian naik ke panggung. Sesuai instruksinya, aku segera menyusul keluar backstage. Dari pintu belakang, aku bisa dengan mudah memutar ke arah sudut panggung. Tak perlu berhimpit-himpitan dengan orang, paling cuma perlu permisi dengan kru acara yang kebetulan menghalangi jalan.

Akhirnya aku menemukan tempat yang strategis. Di sisi kiri panggung, dekat dengan drum band yang kini kosong karena Lando tidak membutuhkan band pengiringnya.

"Lagu ini gue bikin pas lagi kangen seseorang." Intro Lando itu sukses membuat seisi mall kompak berteriak. Tidak ada yang menyangka cowok itu akan curhat dulu sebelum memulai lagunya.

Bukannya tersentuh atau penasaran dengan monolog sok romantis itu, aku justru mau tertawa. Sepertinya ucapannya itu adalah hasil latihan.  Seniman biasa menjual cerita agar karyanya bisa terdengar magis. Tapi daripada mengomentarinya, aku segera mengarahkan kamera ponselku ke panggung, tepat dimana Lando berada.

"Seseorang yang nggak pernah gue lempar kata cinta secara langsung, tapi gue perlakuin istimewa."

Makin baperlah para penonton. Dan aku makin ingin ikut berteriak, bertanya kapan ini mulainya.

"Tapi dia nggak sadar. Atau mungkin sadar, tapi pura-pura nggak sadar," lanjut Lando. Suara petikan gitar Lando mulai terdengar.

"So, in case she didn't know, this song is for her."

Lando tersenyum. Manis. Dia menatapku, mungkin ingin memastikan aku sudah merekamnya. Aku cuma mengangkat jempol ke udara sebagai isyarat. Sedetik aku bisa melihat raut sinis Lando sebelum akhirnya dia mulai bernyanyi.

"Bener potrait kan? Kok tampangnya seolah-oleh gue salah?" gumamku heran.

"Didn't I tell you?

I've been looking at you,

adore every moves you do

spending my time,

thinking what the hell should I do?

When I grab your hand in a hallway

Kiss you beneath the moonlight

telling you a joke

I never told to anyone

that's the way I love you"

Sebenarnya lagu Lando ini bagus. Aku suka musiknya, vibesnya, dan suara Lando yang semanis madu. Aku hanya merasa lagu sebagus ini tidak cocok dinyanyikan oleh Lando. Malas saja membayangkan Lando yang kukenal womanizer ini meromantisasi hal seperti yang ada pada lirik lagu ini. Lando terdengar tulus dan itu aneh untuk didengar.

"In case you didn't know

I've been craving for your love,

since long ago

Even when you are acting cool

even after I see myself as a fool

As I saw our hand intertwined

everything just feels so right

I wanna be with you all day, all night

That's the way I need you"

Sialnya aku jadi hafal lagu ini karena lagunya sering diputar dimana-mana. Sekeras apapun aku menolak, lagu ini terus melekat.

Lando bernyanyi dengan penuh penghayatan. Para penonton pun ikut terbuai. Bahkan mereka sudah mengangkat tangan dan melambai-lambaikannya sesuai musik, serta ikut menyanyikannya seolah mereka relate dengan lagu ini.

Tanganku mulai pegal karena memegang hp terlalu lama, tapi aku tidak boleh menyerah. Malas sekali kalau Lando mengomel-ngomel karena kerjaanku tidak sempurna.

"In case you didn't know

I've been craving for your love,

since long ago

Even when you are acting cool

even after I see myself as a fool

In case you already know

you can hold my hand right now

My heart is already yours

keep me as your lover,

like nothing matters more."

Lando menyelesaikan lagunya dengan sempurna diiringi tepuk tangan dan teriakan penuh kekaguman. Aku mematikan rekaman dan menyimpan ponselku kembali.

Lando kembali berbasa-basi dengan penonton. Dia sangat cakap. Kuakui, dia memang seorang bintang. Tidak ada kata canggung sama sekali.

"Oke, lagu terakhir, ya."

Ucapan Lando membuatku menghela napas panjang. Aku mengeluarkan ponselku kembali, bersiap merekam.

Intro lagu yang sangat familier terdengar. Mataku langsung memelotot. Ini Night Changes-nya One Direction.

"Idih, katanya nggak suka One Direction!" gerutuku. Sekelebat ingatan tentang ucapan Lando ketika kami SMA langsung membayangiku. Aku suka One Direction. Tapi kata Lando One Direction terlalu mainstream dan nggak ganteng-ganteng amat. Makanya dia menolak menyanyikan lagu Perfect di acara ulang tahun sekolah. Padahal Perfect adalah lagu favorite hampir semua orang kala itu. Tapi Lando menganggap lagu itu seperti kuman yang harus dijauhi.

Bibirku mencebik kesal. Sekarang dia malah seenaknya membawa lagu 1D. Awas saja, setelah ini aku akan langsung mengejeknya habis-habisan.

***

Acara hari ini digelar dengan sukses. Lando berhasil menyedot perhatian sebagaimana mestinya. Sekarang sudah jam 10 malam, rombongan sudah kembali ke hotel, kami juga sudah makan malam bersama di restoran hotel. Mbak Anggun dan Mas Satya masih mengobrol di resto bersama beberapa kru acara. Lando sudah kembali ke kamarnya. Aku berniat untuk mandi dan istirahat, tapi aku baru ingat harus mengantarkan Late Harvest ke kamar Lando.

Aku mengetuk pintu dua kali dan suara Lando langsung terdengar, dia mempersilakanku untuk masuk.

"Taruh dimana?" tanyaku ketika melangkahkan kaki ke kamarnya. Lando duduk di sudut ranjang sambil memainkan ponsel. Sepertinya dia habis mandi karena rambutnya masih basah dan ada handuk kecil yang melingkar di lehernya.

"Meja aja," jawabnya tanpa menoleh, seakan tahu apa yang kubawa.

Aku meletakan sebotol wine itu ke atas meja dekat televisi. Lando masih bergeming di posisi semula. Seharusnya di jam segini dia istirahat saja, bukannya sibuk main hp dan berniat mabuk-mabukan. Untung saja besok pesawat kami tidak terlalu pagi.

"Ada yang dibutuhin lagi nggak? Abis ini gue mau mandi dan tidur sih kalau emang udah nggak ada," ucapku. Ya, bukan aku sih yang habis manggung menghibur ratusan orang, tapi nggak bisa dipungkiri, badanku terasa seperti rontok semua. Sejak makan malam tadi aku sudah mendamba kehangatan kasurku.

Lando akhirnya menoleh. Aku menatapnya sambil menanti jawaban. Tapi sekitar setengah menit dia cuma diam saja.

"Ada yang bisa gue bantu lagi?" tanyaku hati-hati. Jangan bilang dia menganggapku tidak kompeten karena meninggalkannya istirahat duluan? Apa kabar jam kerjaku?

Lando menghela napas keras. Entah kenapa aku bisa mendengar nada kesal terselip disana. Dia tampak bad mood.

"Masih ada masalah tentang Kezia?"

Itu alasan yang paling masuk akal kenapa moodnya jadi jungkir balik. Dari tadi dia sibuk dengan ponselnya, kemungkinan memang sedang bercakap dengan pacar slash mantan pacarnya itu.

"Nggak ada," balas Lando akhirnya.

"Oh, oke. Jadi, ada yang bisa gue bantu lagi?"

"Nggak ada."

Aku manggut-manggut. Dalam hati sebenarnya bersyukur setengah mati. Mataku sudah berat. Habis mandi aku akan langsung melemparkan diri di kasur dan tidur sampai pagi.

"Istirahat aja. Besok bangunin gue buat sarapan."

"Mau dibangunin jam berapa?"

"Tujuh."

"Tumben pagi banget."

Lando tak berkomentar. Ok, sepertinya moodnya memang sedang jelek. Dia tidak bisa diajak berdiskusi.

"Oke, gue gedor kamar lo jam tujuh pagi," kataku. "Gue balik ke kamar dulu kalau gitu. Lo juga istirahat, ya. Good night." Aku memberikan senyum formalitas semanis mungkin. Tanpa menunggu responnya aku berbalik dan ngacir meninggalkan kamar Lando.

Tak perlu berlama-lama, aku langsung membersihkan muka dari bekas make up dan ke kamar mandi. Mungkin cuma butuh waktu sepuluh menit untuk memastikan badanku tidak lengket-lengket dan segar kembali. Kemudian aku langsung mengeringkan badan, berganti baju dan melemparkan diri di kasur.

Mbak Anggun masih belum kembali ke kamar, tapi dia mengirimkanku pesan agar aku segera istirahat, tidak perlu menunggunya. Setelah membalas pesan itu dan beberapa pesan yang masuk dari Audy dan Rex, aku segera meletakan ponsel kembali dan bergelung ke dalam selimut, bersiap tidur. Ini sudah jam sebelas malam.

Tidak ada yang lebih nikmat daripada tidur saat sedang ngantuk-ngantuknya. Tidak sulit untuk kehilangan kesadaran sejak mata terpejam. Baru beberapa menit rasanya aku sudah masuk ke dalam mimpi dan melupakan semua yang terjadi pada kehidupan nyata.

Semuanya terasa mendamaikan karena aku tertidur lelap, sampai akhirnya getaran terasa dari nakas samping tempat tidurku, diikuti bunyi ringtone yang sangat mengganggu. Aku mengambil ponselku sambil membuka mata, mencoba membaca apa yang tertampil di layar. Satu panggilan masuk dari Lando. Secara otomatis mataku melihat bagian sudut kiri layar ponselku. Sudah jam dua belas lewat dua puluh menit. Ini tengah malam. Aku baru tertidur sekitar satu jam. Aku melirik kasur sebelah, Mbak Anggun rupanya juga sudah tidur.

Sepertinya Lando sudah gila menelpon orang tengah malam begini. Dengan perasaan dongkol, aku mengangkat panggilan itu.

"Kasih gue alasan kenapa lo nggak suka lagu In Case You Didn't Know."

"Hah?"

Sepertinya aku mendengar Lando barusan berbicara pakai bahasa Inggris. Aku tidak bisa menangkap dengan jelas karena kesadaranku sepertinya belum sepenuhnya kembali.

"Kenapa lo nggak suka lagu In Case You Didn't Know?" Suara Lando terdengar lebih jelas karena nadanya jauh lebih tegas.

Tunggu-tunggu. Apakah ini pertanyaan yang layak kuterima hampir di jam setengah satu malam begini?

"Lo mabuk?" balasku pelan, takut membangunkan Mbak Anggun.

"Ada yang salah sama lagu itu?" tuntutnya.

"Lando kalau lo mabuk mending tidur aja. Demi Tuhan gue udah tidur tadi, gue jadi kebangun karena telepon lo yang nanyain pertanyaan nggak penting begini. Konyol banget tau nggak?"

"Penting," jawab Lando.

Aku menggaruk kepalaku kesal. "Kenapa, sih?"

"Ke kamar gue. Kita diskusi."

"Diskusi sama hantu? Ini jam setengah satu, lho. Nggak usah nyari ribut."

"Kesini sekarang atau gue yang ke kamar lo?"

"Ngapain, sih?"

"Ayo, cepetan. Gue tungguin."

"Terserah. Gue ngantuk." Aku mematikan sambungan dan tidur kembali. Tapi suara panggilan kembali terdengar. Aku reject, namun satu menit kemudian panggilan masuk lagi. Dengan kesal, kunonaktifkan ponselku dan kembali bergelung dalam selimut.

Satu menit, dua menit, harusnya aku bisa melanjutkan tidur dengan tenang. Namun sayangnya justru kebalikannya. Aku jadi gelisah. Seakan menolak panggilan Lando adalah dosa besar.

Dengan sebal, aku bangkit dari kasur. Tanpa cuci muka, aku langsung keluar kamar dan menuju kamar cowok itu.

"Kenapa, sih?" Aku membuka kenop pintu dan masuk begitu saja. Lando rupanya duduk di sofa dekat jendela kamarnya dengan segelas wine di tangannya. Melihat kedatanganku, dia yang semula memandang ponselnya dengan sebal langsung menampilkan senyum penuh kemenangan, padahal aku sedang berdiri sambil berkacak pinggang di hadapannya, siap untuk memakinya.

"Kasih gue alasan kenapa lo nggak suka lagu In Case You Didn't Know?"

Aku memejamkan mata sesaat, mencegah diriku untuk tidak khilaf melemparinya sandal hotel.

"Kata siapa gue nggak suka?" jawabku sesabar mungkin.

"Muka lo yang bilang begitu."

"Ini muka sebel karena dibangunin jam setengah satu malam, bukan muka nggak suka sama lagu lo."

"Bukan sekarang, tapi tadi pas di backstage dan pas gue nyanyi." Lando menengak sisa wine di gelasnya dengan enteng.

Ini aneh. Sangat. Aku tidak tahu akan ada kesempatan dimana aku diinterogasi penyanyinya langsung alasan kenapa aku nggak suka lagunya. Sepertinya dia memang mabuk berat.

"Jawab jujur aja. Gue akan anggap itu kritikan yang membangun." Tapi nada seriusnya ini membuatnya tidak terdengar seperti seorang yang sedang mabuk.

Aku menghela napas. "Lagunya bagus, kok."

"Jangan bohong, kalau nggak suka bilang aja."

"Lagunya bagus, serius," balasku dengan nada yang lebih meyakinkan. "Gue cuma kurang suka liriknya aja."

"Kenapa?"

"Terlalu bucin."

"Terus?"

"Jadi aneh aja. Kayak bukan lo."

"Cuma itu?"

"Hmmm, mungkin."

"Alasan yang nggak berdasar."

Aku memandang Lando sebal. "Itu pendapat pribadi, kok, dan nggak penting, jadi nggak perlu dipikirin. Kenyataannya lagu lo disukai banyak orang."

Lando manggut-manggut menyetujui. "Kayaknya emang selera lo aja aneh."

Hah, di saat seperti ini memang tujuan awalnya pasti adalah menghinaku.

"Kok bisa sih lo terlahir dengan selera aneh begitu?"

Aku memelototinya. "Mending lo berhenti minum dan istirahat. Mabuk bikin mulut lo tambah kurang ajar."

Lando tersenyum miring. "Gue kayaknya emang mulai mabuk. Dikit."

"Ok, tidur sana. Ntar gue beresin meja ini."

"Nggak usah diberesin. Lo bukan pembantu gue."

"Secara teknis sebenernya gue pembantu lo."

"Lo terlalu cantik untuk jadi pembantu gue."

Kekehan langsung lolos dari bibirku. "Fix, lo mabuk." Kalau omongannya sudah melantur begini, maka tidak bisa didiamkan begitu saja. Aku mendekati Lando dan membantunya berdiri.

"Tidur di kasur, gih. Kalau lo ketiduran di sofa atau di lantai besok pagi badan lo sakit-sakit semua."

Lando tidak menolak. Aku dapat mendengar dia meringis sebelum akhirnya bangkit berdiri dari sofa dan menjatuhkan bokongnya kasur. Dia mengusap-ngusap belakang lehernya dan matanya jadi tidak fokus. Sepertinya dia memang mabuk.

"Mau minum air putih?" tawarku.

Lando menggeleng.

"Kalau lagi mabuk lo emang suka random nelponin orang dan nanya hal nggak penting, ya?"

"Nggak. Gue nelponin cewek buat gue ajak tidur."

Aku melengos. Entah dia bercanda atau tidak, tapi ucapannya itu menjijikan untuk dibayangkan.

Lando tersenyum miring. Lagi. Senyum yang sangat menyebalkan.

"Senyum lo bikin takut. Gue selalu ngerasa bakal diisengin kalau liat senyum lo," akuku jujur.

"Mungkin bukan takut. Senyum gue terlalu memesona  makanya lo insecure."

"Idih, narsis banget."

Lando terkekeh, dia merebahkan badannya ke kasur. Sekarang dia tiduran terlentang dengan kaki masih menjuntai ke bawah.

Aku berusaha tidak peduli, terserah dia mau tidur bagaimana.

"Gue balik dulu."

"Cit?" panggilan Lando mengurungkan niatku untuk keluar dari kamar ini.

"Apa lagi?"

"Gue suka banget lagu In Case You Didn't Know."

Tatapanku kembali tertuju pada Lando. Cowok itu bangkit lagi dari posisi rebahannya. Dia duduk di pinggir kasur sambil memandangku yang berdiri di sampingnya. Tatapan Lando mirip anak anjing yang innocent.

Aku tidak tahu kenapa dia mengatakan itu. Semua musisi pasti menyukai karya buatannya, jadi tidak ada yang spesial dengan informasi yang diutarakan Lando barusan. Karena bingung harus menjawab apa, jadi aku cuma mengangguk seakan menyetujui ucapannya.

"Gue tahu kenapa lo nggak suka lirik lagu itu."

"Karena selera gue jelek?" tebakku.

"Itu salah satunya."

"Emang ada hinaan lain lagi?"

Lando tersenyum. Dia tiba-tiba menarik tanganku hingga aku jatuh menabrak tubuhnya. Aku segera berpegangan pada kedua bahunya. Mataku memelotot ketika merasakan kedua tangan Lando menahan pinggangku agar tidak lari ke mana-mana dari hadapannya. Tapi posisiku tidak stabil, sebelah lututku harus beristirahat di kasur samping pahanya agar bisa menahan tubuhku untuk tidak terjatuh di pangkuannya.

Wajahku dengan Lando mungkin hanya berjarak beberapa sentimeter. Aku dapat mencium aroma manis dari mulutnya. Dengan jarak sedekat ini, aku bisa melihat garis-garis wajah dan matanya yang tampak mengantuk.

"Cause same as the lyrics, we've kissed beneath the moonlight too."

Ucapan Lando yang terdengar seperti bisikan itu efeknya membuat jantungku langsung berdetak kencang.

Dengan gerakan yang sulit kuproses, Lando menarik pinggangku dan memutarnya sampai aku terjatuh di tempat tidur dengan dia di atasku. Mataku mengerjap karena merasa pusing. Gerakan mendadak ini tidak cocok untukku yang darah rendah.

"Should we kiss again?" tanya Lando dengan bibirnya yang kini hanya berjarak satu senti dari sudut bibirku.

***

CHAPTER SETELAH INI ATAU HIDDEN CHAPTER HANYA TERSEDIA DI KARYAKARSA YA.
UNTUK CHAPTER 11 TETAP AKAN DIUPDATE DI WATTPAD.

THANKS FOR READING! <3

Continuă lectura

O să-ți placă și

Love Hate De C I C I

Ficțiune adolescenți

3M 209K 37
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
3.1M 31.5K 29
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
4.8K 1.1K 33
"Aku tidak suka gadis bodoh." Adam dan Naira yang kini beranjak dewasa dan memasuki masa-masa indah selama di SMA. Menjalani kehidupan dari masa rema...
5.6K 402 19
seorang murid baru bernama " zhong chenle " yg di sukai 6 anggota yg di sukai kalangan wanita di kampus " UNIVERSITAS NEO COOL TEKNOLOGI " ( bukan...