How to Break a Heartbreaker

By galaxywrites

12.9K 2.3K 198

Orlando Jaska dikenal sebagai selebriti ganteng, penyanyi dengan heavenly voice, dan playboy menawan yang bis... More

Prologue
01. How to Revenge
02. Do You Love Me?
03. Encounter
04. Twenty Millions
05. Niskala's Artists
06. His Personal Assistant?
07. His Ultimate Type of Girlfriend
09. Our Ex(es)
10. In Case You Didn't Know
11. Time to Workout
12. Girls Around You
13. Comparison and Contrast
14. Get Attacked
15. Unusual Wedding Party
16. Suspicious Boyfriend
17. Bad News Ever

08. Past and Present

735 134 16
By galaxywrites

CHAPTER 8 - Past and Present


Kantin cukup sepi siang ini. Hanya ada beberapa murid yang baru saja selesai olahraga datang kesini untuk menghilangkan dahaga setelah lari keliling lapangan dan beberapa murid lain yang kebetulan sedang jam kosong.

Aku baru saja masuk ke kantin sendirian karena Audy memilih untuk ganti baju duluan, pemandangan pertama yang menyapaku adalah sosok Bagas yang duduk membelakangi pintu masuk. Di samping Bagas ada Lando. Mereka berdua tidak menyadari kehadiranku.

Aku benci Bagas. Dua hari yang lalu Bagas resmi berstatus sebagai mantanku. Hubungan berumur dua  bulan kami kandas karena cowok itu tiba-tiba jadian sama Ami, dan itu terjadi di luar sepengetahuanku.

Kebersamaan Bagas dan Lando adalah hal yang asing mengingat mereka tidak begitu akrab. Mereka tidak satu kelas dan tidak satu ekskul juga. Kebersamaan dua orang yang kubenci ini harusnya membuat langkahku langsung menjauh. Namun niat itu terurungkan ketika aku mendengar namaku disebut oleh Lando.

"Kemarin lo sempat jalan sama Citra, kan? Kok tiba-tiba jadi sama Ami, sih? Ami kan temen sebangku Citra," ucap Lando dengan nada biasa saja.

Diam-diam, aku duduk di kursi belakang Lando, menyimak percakapan itu tanpa sepengetahuan mereka.

Bagas diam saja. Padahal aku penasaran setengah mati.

"Ah, gue tahu, pasti karena lo sadar kan Citra sebenernya biasa aja? Cewek itu emang nggak ada istimewanya kecuali gampang diisengi. Jelas cantikan  dan pinteran Ami sih. Walaupun sebenernya cewek gue yang paling cantik satu sekolah," sahut Lando.

Bagas tertawa. Tawa yang membuatku seperti habis dilempar balok.

"Iya sih, Citra membosankan," jawab Bagas enteng.

Mataku mendadak terasa panas. Dadaku seolah diremas tangan tak kasat mata. Aku benci mulut lelaki. Baik Bagas dan Lando mulutnya sampah sekali.

Dengan perasaan sakit bukan main, aku bangkit dari dudukku dan meninggalkan kantin.

Aku tahu aku memang tidak secantik Ami atau Tiara si pacar Lando, tapi apa perlu mereka menjadikan itu lelucon? Apa mereka memang sering membicarakan dan menjelek-jelekan perempuan begitu? Kalau iya, aku sumpahin mereka impoten.

Sisa hariku mendadak buruk karena mendengar percakapan sialan itu. Aku tak bersemangat belajar, tak bernafsu makan dan yang ingin kulakukan adalah segera pulang.

Jarak sekolah dan rumahku sebenarnya tidak terlalu jauh. Namun, aku lebih suka naik bus karena lebih cepat, walaupun kalau lagi sial kadang menunggu bus memakan waktu cukup lama.

Aku baru saja melintasi lapangan, sosok Lando muncul. "Pulang bareng nggak, Cit?"

"Nggak," tolakku mentah-mentah.

"Gue bawa motor. Mending ikut gue deh daripada nungguin bus. Lama tau."

"Mending gue jalan kaki daripada naik motor lo dan dipelototin cewek lo yang paling cantik satu sekolah itu."

"Tiara udah balik duluan. Ikut gue aja, gue kadang bingung soalnya kalah ditanya nyokap kenapa nggak bareng lo aja."

"Nggak mau. Nggak sudi banget pulang bareng lo."

"Idih, sombongnya." Lando berdecak dan menatapku sok ngambek.

"Kenapa? Karena gue cewek biasa aja jadi gue nggak boleh sombong? Terus cewek kayak Ami atau Tiara boleh? Karena dia punya tampang cantik yang bikin cowok-cowok kayak lo ileran jadi dia bebas ngapain aja?!" balasku lebih ketus dan emosional daripada yang sempat kurencanakan.

Lando tampak terkejut.

"Udah lah, mending lo jauh-jauh dari hidup gue. Gue males banget ngeliat lo." Aku berjalan melewatinya tapi Lando buru-buru menyusul dan memblokade jalanku.

"Lo denger omongan gue ke Bagas di kantin?"

Aku memutar bola mata dan melewatinya, berusaha tak acuh. Lando menarik tanganku.

"Lo ngambek karena itu?"

"Nggak. Gue sakit hati. Puas?"

"Karena yang gue omongi benar?"

Ekspresi Lando yang tanpa dosa membuat emosiku memuncak. Sumpah. Aku ingin menonjok wajah Lando sekarang. Dia berbakat sekali membuat suasana hatiku buruk.

Dengan sisa kesabaran yang kupunya, aku berjalan cepat melewatinya. Aku tidak mau berurusan dengannya.

Aku duduk di halte, menunggu kedatangan bus, tapi tiba-tiba Lando datang dengan motornya. Cowok itu berhenti di depan halte dan menyuruhku untuk ikut dia saja.

Aku buang muka. Lando bergegas turun dari motornya. Sebelum itu terjadi, aku buru-buru bangkit dan berjalan meninggalkannya.

Lebih baik aku jalan kaki daripada harus naik ke boncengan Lando. Untung cuaca tak begitu terik jadi aku bisa berjalan dengan nyaman.

Kukira Lando menyerah, dia justru mengikutiku dengan motornya. Sambil mengendarai pelan motornya tepat di sampingku, dia kembali berceloteh.

"Padahal enakan naik motor lho, Cit."

Aku yang tidak peduli lebih memilih pura-pura tuli.

"Bagas ini pacar pertama lo kan? Atau bukan? Pas awal masuk dulu lo sempet deket sama Kevin. Itu nggak jadian, ya? Kalau gue lihat-lihat kayaknya emang lo nggak cocok sama keduanya."

Mulutku memilih bungkam. Merespons Lando hanya akan membuatnya makin tak berhenti menyudutkanku.

"Kevin sebenernya lebih oke sih daripada Bagas. Tapi dia mengidap sindrom Pangeran karena merasa paling ganteng satu sekolah, padahal sebenernya mukanya pas-pasan. Yang modelan Kevin begini layak dapetin cewek kayak princess, biar bisa dipamerin kemana-mana, kalau sama lo mah nggak cocok, Cit. Wajar aja ya dia batal nembak lo dan jadian sama kakak kelas."

Lando masih mengendarai motornya beriringan dengan langkah kakiku.

"Nah, kalau Bagas ini beneran nggak pantes buat lo. Dia berandalan sekolah. Kerjaannya bolos, ngebut-ngebutan dan dia sering bau rokok. Lo mau apa punya pacar yang ke sekolah kayak nggak mandi itu?"

Oke, ini makin menyebalkan karena dia sibuk menjelekkan orang lain tanpa sadar diri.

"Lo mending jomlo aja deh, Cit. Selera cowok lo jelek. Yang naksir lo pun pada aneh semua. Lo harusnya beruntung Bagas selingkuh dan kalian putus. Mana Bagas ngeiyain pula pas gue bilang lo biasa aja."

"Jadi inti ocehan panjang lo ini adalah  gue nggak pantes buat siapa aja karena gue biasa aja dan nggak ada istimewanya buat mereka, gitu?" Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menimpalinya.

"Hmm... lo pernah menganggap diri lo begitu?"

Aku berhenti berjalan dan menatapnya. "Nggak. Tapi semenjak omongan lo di sekolah tadi, dan ocehan lo barusan, gue jadi kepikiran kayak gitu." Suaraku mulai terdengar goyah. Aku benci marah, marah biasanya berakhir membuatku kehilangan banyak air mata.

"Ya emang Kevin atau Bagas nggak cocok buat lo."

"Lo tuh jahat banget tau nggak, Lan?" tukasku kesal. Tanpa bisa kucegah, satu isakan lolos dari bibirku.  "Apa perlu lo pertegas di depan muka mantan gue atau di muka gue kalau gue ini nggak ada istimewanya di banding cewek-cewek lain? Gue emang nggak secantik Ami, apalagi Tiara, atau kakak kelas pacar Kevin sekarang. Tapi bisa nggak lo nggak ngelempar fakta itu ke depan muka gue kayak gue ini nggak punya perasaan?"

Aku sering marah ke Lando. Sering juga menangis di depannya. Dan reaksi Lando selalu sama, dia mendengarkanku dengan saksama dengan muka sok kalemnya, tidak ada tampang bersalah atau niat untuk minta maaf.

Air mataku sudah jatuh dengan bebas tanpa bisa kukendalikan.

Tau tau, Lando turun dari motornya dan mendekatiku. Dia memegang bahuku dan mensejajarkan mukanya, seolah mau meneliti wajahku yang sudah dibanjiri air mata.

"Lo nangis begini cuma demi Bagas si berandalan itu?" tanya Lando tanpa dosa. Sebal, kukibaskan tangannya dari bahuku dan kutendang kakinya sampai dia mengaduh kesakitan.

"Gara-gara lo tau!" bentakku.

Lando meringis sambil menggosok-gosok tulang kakinya yang jadi korban. "Sakit banget, Cit!"

"Lo layak dapet pukulan lebih dari itu."

"Bagas ngeiyain omongan jelek gue tentang lo. Harusnya lo berterimakasih sama gue karena bisa tahu pendapatnya tentang lo lewat itu."

"Gue nggak tahu kenapa harus berterima kasih sama lo yang terang-terangan bilang ke muka gue kalau gue nggak layak dapetin siapa-siapa."

Lando kembali berdiri tegak. Dia menatapku sambil berdecak. "Lo tuh emang nggak pernah bisa ngeliat nilai kebaikan di setiap tindakan gue."

"Kebaikan apanya?!"

'"Ck, oke, oke, yaudah maaf. Jangan nangis lagi."

"Tau ah, lo ngeselin banget."

"Gue udah minta maaf lho, berenti ngambeknya."

Ngambek? Kurasa kata marah lebih cocok.

Lando meraih wajahku dan menghapus sisa-sisa air mata di pipi sambil tersenyum seolah dia adalah malaikat baik yang sudah membantuku.

Aku memelototinya. Dia cuma tertawa.

"Lo cengeng banget, Cit. Kayaknya ini udah ke tujuh kali lo nangis di bulan ini."

"Semuanya gara-gara lo. Sialan!" Aku mengibas tangannya.

"Gapapa, biar air mata lo abis buat gue aja, bukan buat cowok lain."

"Orang gila," dengkusku.

"Lebih gila mana sama orang yang nangis di pinggir jalan begini?"

Aku buru-buru menyeka pipi dan ujung mataku yang masih berair.

Lando menarik tanganku. "Ayo pulang, tuh ada mobil Bu Fatma, lo besok bisa ditanyainnya di tengah-tengah kelas kenapa nangis begini."

Dan Lando tidak memberikan kesempatan untuk aku menolak.

***

Pesawat ke Palembang akan berangkat pukul 3 sore. Sekarang disinilah aku berada, di ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta bersama Lando, Mbak Anggun, anggota band Lando dan Mas Satya selaku road manager Lando. Sebenarnya ada beberapa kru sound engineering dan bodyguard yang juga yang ikut. Tapi Mbak Anggun belum mengenalkan mereka padaku.

"Jadi ini acara launching dan sosialisasi aplikasi perbankan gitu, Cit. Acaranya di mall. Jadi, nanti bakalan ramai," jelas Mbak Anggun.

"Lando bakal tampil berapa lagu, Mbak?" tanyaku.

"Lima lagu. Sebentar kok, paling lama cuma satu jam."

Aku manggut-manggut mengerti. Aku melirik Lando, dari tadi cowok itu sibuk mengobrol dengan Mas Satya.

Melihat Lando membuatku mengingat mimpiku semalam. Kenangan masa lalu kami kembali muncul bak scene flashback. Kenangan buruk yang seakan hanya untuk mengingatkanku betapa menyebalkan dirinya dulu. Gara-gara mimpi itu, aku jadi agak bad mood melihat wajahnya pagi tadi. Mana ternyata persiapan cowok itu buanyaaaak sekali. Aku hampir lupa sarapan kalau saja Lando nggak menyodorkan cheesecake dari dalam kulkasnya padaku. Cheesecake yang ternyata super enak.

"By the way, kamu udah pernah nonton konser Lando, Cit?"

"Belum, sih, Mbak."

"Wah, sayang banget. Kalau lihat Lando manggung biasa? Manggung di acara gitu?"

"Pas SMA pernah. Manggung di pensi." Aku terkekeh singkat. Lando versi itu sayangnya belum bisa disebut selebriti.

"Nanti kamu sempetin keluar dari backstage, biar bisa liat Lando manggung secara langsung. Dia keren banget."

Aku cuma tersenyum mengiyakan.

Tak lama panggilan boarding terdengar dan kami siap berangkat. Sekitar pukul 4 sore kami akhirnya tiba di Palembang. Lando dan Mbak Anggun lebih dulu masuk ke mobil sedangkan aku harus menunggu bagasi terlebih dahulu. Sekitar lima belas menit barulah aku bergabung bersama mereka.

Hotel tempat kami menginap rupanya cukup jauh dari bandara. Jadi di sisa waktu perjalanan kulihat Lando memilih untuk tidur, sedangkan Mbak Anggun fokus pada iPad-nya yang sepertinya berisi agenda Lando sebulan ke depan.

Berhubung ini kali pertamaku ke Palembang, aku memilih untuk menikmati pemandangan jalanan. Jalanan cukup macet karena mungkin ini masih jam-jam orang pulang kerja. Mendapati kenyataan bahwa aku sekarang sedang di luar kota, menemani Lando, membuatku tak habis pikir sendiri. Kehidupan memang terkadang sulit sekali ditebak.

Tiba di hotel, kami dipersilakan untuk membereskan barang dan beristirahat oleh perwakilan humas pihak penyelenggara. Mereka mengharapkan kami turun pukul 7 untuk makan malam.

"Cit, aku sama Satya bakal rapat bentar ya sama koordinator eventnya, kemungkinan kami bakal ke venue juga buat cek stage nya secara langsung. Kamu bantuin Lando ya beberes barangnya, dan mungkin dia butuh sesuatu juga," titah Mbak Anggun yang jelas langsung kusetujui. Itu memang alasan utamaku disini. Melakukan pekerjaan sebagaimana seharusnya.

Setelah meletakkan koperku ke kamar dan cuci muka agar lebih segar, aku mengetuk pintu kamar Lando. Tak butuh waktu lama dia membukakan pintu untukku.

"Ada yang bisa gue bantu?" tanyaku.

"Ada," jawab Lando tanpa ragu. Dia menyuruhku masuk. Lando sepertinya sudah mandi. Bomber jacketnya yang dipakai tadi sudah berganti dengan kaus putih polos dan celana khaki pendek.

"Kode koper yang ini berapa, ya? Bantal gue dalem ini, kan?" Lando menunjuk koper besar berwarna silver miliknya.

"818," kataku. Aku segera mengambil kopernya dan membantunya membukanya di lantai. Kukeluarkan bantal yang dia maksud. Aku tidak tahu orang gila mana yang bawa bantal dari rumah padahal dia akan menginap di hotel yang menyediakan bantal empuk.

"Kenapa sih harus bawa bantal sendiri?" Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya ketika menyerahkan bantal putih itu kepadanya. Sebenarnya aku sudah bingung sejak awal dia memintaku ikut mengemas bantalnya, tapi karena pagi tadi mood-ku tidak terlalu bagus, jadi aku diam saja.

"Lebih nyenyak aja tidurnya kalau pakai ini," jawab Lando enteng sambil meletakan bantal saktinya itu ke kepala tempat tidur.

Berhubung koper silver ini sudah terbuka, aku memutuskan untuk membereskan barang-barangnya, termasuk mengeluarkan sneaker yang akan dipakainya untuk manggung nanti, jaket yang entah dipakai buat kapan, dan obat-obatannya.

"Alergi lo nggak kambuh lagi kan, Lan?" tanyaku.

"No worries. Gue baik-baik aja."

"Baguslah."

"Tolong make sure lagi aja menu malam nanti nggak ada buah kiwinya."

"Pasti. Ada lagi?"

"Acara besok jam 6 sore, kan?"

"Iya. Lo tampil sekitar jam 7. Tapi sorenya ada wawancara dulu sama media."

"Oke, besok pagi, sekitar jam 10 temenin gue ngopi di bawah. Katanya coffee shop-nya enak."

"Nggak breakfast dulu?"

"Kayaknya kalau pagi banget gue masih belum bangun."

Aku mengangguk mengerti.

"Oh iya, gue udah bilang ke Mbak Anggun untuk minta pihak EO sediain wine setelah acara selesai. Pastiin wine nya dianter ke kamar gue sebelum jam sepuluh malam besok."

Aku menatap Lando yang masih duduk dengan tenang di pinggir ranjang empuknya. "Lo mau mabuk? Sendirian?"

"Minum wine sedikit nggak bikin semabuk dugaan lo, kok. Gue udah biasa begitu sehabis manggung di luar kota."

"Minum sendirian?"

"Iya, kenapa? Mau gabung?"

"Nggak, bukan gitu."

"Baguslah, kalau lo mabuk juga bahaya. Mbak Anggun mungkin bakal nyekik gue kalau tahu lo berakhir di ranjang gue di hari pertama lo kerja."

Aku memelototi Lando. Mulutnya itu memang tidak ada filternya.

Lando terkekeh. "Bercanda, Cit. Lo aman kok sama gue."

"Ck, gue tuh takut lo malah ngelantur dan bikin keributan di hotel karena mabuk."

"It's not gonna happen. I promise."

Aku menghela napas dan mengangguk. Aku juga tidak ada hak untuk ikut campur keputusannya. Mbak Anggun saja tidak melarang.

"Ada lagi yang harus gue lakuin?"

"Gue akan telepon lo kalau emang ada yang gue butuhin lagi. Kunci akses ambil satu, in case gue nggak keluar kamar atau angkat telepon sampai jam sepuluh pagi besok, lo bertanggung jawab untuk cek keadaan gue. Tapi please ketuk dulu. Untuk kartu akses apartemen gue di Jakarta lo juga bisa pegang satu. Lo mungkin bakal sering bolak-balik ke apartemen. Nanti ingetin gue lagi aja pas udah balik ke Jakarta."

"Oke, deh."

"Dan gue ada pertanyaan. Lo beneran bisa nyetir, kan?"

"Setelah gue membawa lo dengan selamat sentosa dari Niskala ke apartemen lo, apa lo masih meragukannya?"

Lando mencibir. "Gue nggak punya ingatan ngeliat lo belajar nyetir soalnya."

"Gue belajar pas baru masuk kuliah, sih."

"Pakai mobil cowok lo yang jago nge-drift itu?"

Eh, kok dia bisa tahu?  Soalnya yang betul-betul telaten mengajariku menyetir memang Ari. Si cowok penyuka mobil dan balapan. Pacarku sebelum Rex.

Rupanya dia masih ingat ucapanku di mobilnya waktu itu.

"Mobil bokap juga pas lagi balik ke Bogor," tambahku sambil menggaruk ujung alisku yang tidak gatal.

"Oke, terserah. Karena lo bisa nyetir, jadi kemana-mana kalau gue lagi males bawa mobil, lo harus jadi sopir gue. Baik pas pake van kantor atau pun mobil pribadi gue."

"Iya, Mbak Anggun juga udah bilang soal ini. Tenang aja."

Lando menggangguk. Dia melirik jam tangannya. "Sekarang gue sedang nggak butuh apa-apa, sih. Gue mungkin mau cek sosial media dulu. Lo istirahat aja. Kalau gue butuh sesuatu, gue bakal telepon atau chat lo."

"Oke. By the way, kamar gue dan Mbak Anggun di sebelah. Dan juga, kalau lo mau cari Mbak Anggun, beliau lagi rapat sama koordinator acara dan Mas Satya sekarang."

"Oh begitu, oke."

Aku tersenyum sekali lagi sebagai bentuk formalitas. Lalu berbalik badan hendak pergi.

"Eh, Citra," tahan Lando tiba-tiba.

"Iya?" Aku kembali menoleh kepadanya.

"Mantan lo yang jago nge-drift dan ngajarin lo nyetir itu bukan Bagas, kan? Gue sempat liat sosmednya dia emang sering ikut balapan liar. Lo nggak balikan sama dia kan pas kuliah?"

Aku tercengang. Benar-benar tidak berekspektasi pertanyaan ini.

"Bukan Bagas," jawabku akhirnya. "Mending gue makan cabe rawit satu kilo daripada balikan sama dia."

Lando terkekeh. Kemudian dia memberi isyarat dengan jarinya agar aku segera keluar dari kamarnya.

***

Thanks for reading guys!
untuk cerita ini udah sampai Chapter 17 di Karyakarsa. Kalau mau baca lebih dulu, bisa main ke KK, yaa.

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 36.8K 50
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
28.6K 4.9K 14
"Tahu apa yang paling nggak pasti di dunia ini?" "Perasaan manusia." • Ini kisah tentang aku; alunan musik blues dan ambisi yang meradang. Ini kisah...
1.1K 185 7
He always checks on her. One day he didn't, she's gone. [starring Gala-Rya from Damaged, in an alternative universe.] ㅡJan, 2020. written in Indonesi...
810K 77.1K 51
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...