PUPUT mengurut tengkuk suaminya yang membungkuk dan tak henti-hentinya muntah. Seluruh isi perutnya terkuras. Sampai hanya keluar cairan kuning, muntahnya belum berhenti. Dioleskannya minyak gosok aroma terapi di leher dan dada lelaki itu.
"Minum, Kak." Puput menyodorkan air putih. Jata meneguknya dengan tergesa.
"Gimana, udah enakan?"
Suaminya, yang wajahnya telah memucat, mengangguk lemah.
"Tadi waktu belum tahu kok enak aja? Kenapa jadi sensitif begini, sih?" gerutu Puput. Dalam hati ia kecewa. Sup itu dimasak dengan sepenuh cinta. Mendapatkan bahannya saja tidak mudah. Bu Gani sampai bertanya sana-sini untuk memesan pada penjual yang tepat.
"Karena rasanya seperti...." Jata muntah kembali.
"Ayo, berbaring di kamar aja, Kak. Mau kopi?"
Jata mengangguk. Aroma kopi yang harum sepertinya bisa mengusir pikiran menjijikkan tentang torpedo dan biji pelir kambing. Ia membaringkan diri di kasur dengan posisi setengah duduk. Ketika kopi panas yang mengepul itu datang, perasaannya menjadi lebih baik.
"Kopinya kurang pahit, nggak?" tanya Puput.
"Cukup. Makasih."
Puput duduk di sisi dinding yang lain sambil mengawasi suaminya. Raut wajah prihatin itu membuat Jata iba.
"Makasih, ya. Kamu sudah susah-susah membuat sup buatku, tapi aku malah memuntahkan semuanya."
"Nggak papa. Lain kali kalau mau masak sesuatu yang aneh aku akan minta pendapatmu dulu."
"Sisa supnya gimana, Put?"
"Entahlah. Mungkin besok kuberikan Bu Gani buat makanan anjing."
Jata mengangguk lagi. Ia kembali menyeruput kopi.
"Kakak nggak kepingin makan? Perutnya kosong, kan?"
"Rasanya masih enek banget."
Mereka bertatapan sejenak. Waktu seolah berdetak mundur, kembali ke saat sebelum muntah-muntah terjadi, saat mereka berpangkuan di depan meja makan. Pijar-pijar membara itu muncul kembali di mata keduanya, menjalar ke hati, kemudian menggerakkan tangan untuk saling meraih.
Jata meraih tubuh mungil itu rebah ke dadanya. Puput tidak melawan. Pun tidak tegang seperti yang sudah-sudah. Matanya tetap menatap dengan binar membara. Bahkan napasnya mulai memburu.
Jata bisa merasakan tubuh mungil itu memanas. Demikian pula tubuhnya, turut membara. Sambil mengelus tubuh mungil itu, ia memeriksa sang adik. Betapa kecewanya, saat mendapati bagian menggembung di sela paha itu tetap lunak seperti pantat bayi.
"Si adik masih tidur?" tanya Puput dengan berhati-hati.
"Masih," desah Jata. Suaranya sungguh lemah dan mengandung kekecewaan yang besar. "Boleh dibantu, Put? Coba kamu pegang, siapa tahu bereaksi."
Puput menatap dengan setengah ngeri. "Kamu serius?"
Jata mengangguk. Dengan mengernyit menahan perasaan, tangan mungil Puput bergerak ke bawah secara perlahan. Jata mendesah dan memejamkan mata, berusaha merasakan sentuhan itu.
"Begini terasa?" tanya Puput.
Jata menggeleng.
"Aku sudah meremasnya, Kak."
"Hah? Kenapa aku nggak merasakan apa-apa?"
"Ini, coba Kakak lihat sendiri."
Jata bangkit duduk untuk melihat ke area di antara kedua pangkal paha. Memang benar tangan Puput ada di sana, tengah meremas si adik yang masih tertidur. Ia benar-benar heran karena tidak merasakan apa-apa. Tangan Puput seperti meremas milik orang lain.
Dengan rasa penasaran yang tinggi, Jata membuka celana. Ia syok menemukan apa yang berada di sana. Torpedo dan biji pelir kambing! Benda itu berbulu lebat, berwarna belang-belang cokelat dan hitam. Aroma khas kambing tercium keras.
Rasa mual Jata kembali seketika. Sambil menutup mulut, dipegangnya celana dan segera menghambur ke kamar mandi. Sekali lagi, ia muntah-muntah hingga tubuhnya lemas dan dipenuhi keringat dingin.
"Jaaaa-taaaaaa ...!"
Sebuah desah halus menyeruak bersama alunan angin menuju kamar mandi. Desah itu suara perempuan. Suaranya halus namun mengerikan. Bulu kuduk Jata berdiri seketika. Cepat-cepat dibasuhnya muka dan kepala dengan air. Ia berharap seperti kejadian tadi sore, efek makhluk gaib itu melemah. Agaknya serangan kali ini berbeda. Panggilan itu tidak hilang dengan siraman air dingin.
"Jaaaaa-taaaaa ...!"
Walaupun merinding dan jantungnya berdebar kencang, Jata berusaha mendengarkan dengan saksama. Ketika panggilan itu terdengar lagi, ia tahu suara itu berasal dari arah belakang rumah. Jata keluar menuju teras belakang. Pandangannya menyelidik ke hutan di belakang rumah. Hanya ada kegelapan di sana.
Ia termangu sejenak. Untuk beberapa saat tidak terlihat sesuatu yang aneh. Ia hampir kembali ke dalam ketika melihat sesuatu bergerak dari arah hutan. Dan, muncullah makhluk itu.
Jantung Jata menggila. Ia bersiap untuk menghadapi yang terburuk. Makhluk itu bergerak perlahan. Semula hanya sosok hitam. Semakin lama semakin jelas wujudnya.
Ternyata yang datang kali ini tidak sebanyak makhluk hitam yang dulu pernah dilihatnya. Hanya tiga sosok saja yang berjalan dengan gemulai, mendekat ke pagar. Sekarang Jata dapat melihat dengan jelas wujud mereka. Makhluk sebelumnya bermuka datar dan sangat kurus. Makhluk yang ini memiliki wajah yang lebih mirip manusia. Kulitnya lebih putih. Satu hal yang berbeda dari makhluk yang lain adalah ketiganya memiliki tanduk di kepala, masing-masing berjumlah dua. Makhluk yang tengah memiliki tanduk paling panjang, melengkung ke atas. Dua makhluk di sampingnya memiliki tanduk yang lebih kecil.
"Jaaaaa-taaaaa ...!"
Panggilan itu kini seperti diembuskan di telinga Jata, walaupun makhluk itu berada beberapa puluh meter di kejauhan. Mereka tetap bergerak mendekat. Jata akhirnya dapat melihat sosok mereka secara utuh. Tubuh mereka sama persis dengan tubuh manusia. Yang tengah memiliki tinggi lebih dari kedua makhluk yang lain. Jata bisa berkata bahwa paras mereka cantik andai tidak memiliki mata yang merah membara. Mereka bahkan memiliki mulut mungil seperti manusia.
Makhluk yang di tengah menggerakkan tangan ke bawah mulut. Dengan gerakan gemulai, ia mengembuskan udara ke arah Jata. Seketika itu juga, udara dingin yang membekukan menerjang dengan keras. Ia terhuyung menabrak dinding. Dadanya seperti remuk.
Jata berusaha bangkit secepatnya. Ia segera melihat ke belakang lagi. Ketiga makhluk itu sudah lenyap. Hanya kegelapan yang dingin tersisa di sana.
"Kak Jataaaa!" pekik Puput tiba-tiba. Tahu-tahu gadis itu sudah menyusul.
"Kenapa, Put? Kamu juga melihatnya?" Jata meraih gadis itu ke dalam pelukan.
"Itu! Itu! Ada ular besar di belakang!"
Otomatis Jata menoleh mengikuti arah telunjuk Puput. Benar saja. Tiga ekor ular sebesar paha, berwarna kehijauan, bergerak menjauh menuju hutan. Kepalanya tak terlihat, hanya bagian belakang terlihat melata. Hanya beberapa detik sebelum mereka menghilang di kegelapan.
"Ssst. Mereka sudah pergi. Ayo cepat masuk. Kita masih punya persediaan garam banyak. Besok pagi kita tabur di halaman belakang," kata Jata.
Dengan bergandengan tangan, mereka masuk ke dalam rumah.
"Kenapa tadi muntah-muntah lagi, Kak?" tanya Puput sambil mendongak.
"Nggak tahu, masih teringat bau torpedo kambing," jawab Jata asal.
Puput merasa iba. "Aku buatin mi instan, mau? Perutmu sama sekali kosong, loh."
Jata mengangguk. Puput segera bekerja di dapur. Sambil menunggu mi-nya siap, Jata pergi ke kamar mandi untuk memeriksa si adik. Hatinya berdebar, takut bila masih mendapati torpedo kambing di sana. Dengan memejamkan mata diturunkannya celana. Perlahan dan takut-takut, tangannya meraba gundukan di selangkangan. Ternyata itu si adik miliknya. Jata membuka mata. Benar. Si adik bergantung manis di sana, masih dalam tidur yang panjang.
"Welcome back, Little Brother!"
Tanpa menunggu pagi, Jata membuat catatan di Notes ponsel.
Percobaan ke-39 gagal karena torpedo kambing. Mbeeeekkkkk! @$$&%§¥£€!
☆-Bersambung-☆
Harap meninggalkan jejak berupa follow, vote, komen, dan share. Tindakan kecil bagi Sobat Pembaca, tapi mood booster buat Fura.
Makasiiih 😘😘😘