Percobaan 44

By nataliafuradantin

51.1K 2.6K 382

Jata benar-benar kehilangan kesabaran. Setelah enam bulan menikah, Puput tetap perawan. Tentu saja, harga dir... More

Sebelum Semuanya Dimulai
Prolog: Bayangan Kelam
1. Suami Istri Baru
Cast
2. Malam Pertama
3. Bulan Madu
Mimpi Buruk
4. Gairah Tak Kesampaian
5. Lobster
Canyon Keramat
Demam
8. Mata Merah
Mandi
Laba-Laba Jantan
11. Peringatan
12. Kurapan?
Ini Cinta?
14. Terluka
15. Asrul
16. Makanan Busuk
17. Saran Papa
18. Video Hebat
19. Penyusup
20. Buku Reproduksi
Siapa Dia?
Gangguan
Bau Belerang
Lamaran Asrul
25. Penumpang Hitam
Perawan?
Mimpi Buruk (Lagi)
28. Psikiater
29. Dokter Azizah
30. Hati Perempuan
31. Tangan Cinta
32. Kunjungan si Cantik
33. Gagal Menjadi Manusia
34. Matang Kaladan
35. Bicara Sendiri
36. Peluk Aku
37. Pasangan Mesum
38. Jurang Kelam
39. Makhluk Itu Lagi
40. Orang Loksado
41. Wina Lagi
42. Pindah Tidur
43. Dukun Billy
44. Sepasang Korban
45. Ritual Billy
47. Torpedo
48. Kunjungan Sang Petinggi
49. Godaan Asrul
50. Mimpi di Siang Hari
51. Amplop Billy
52. Terjerumus
53. Petaka
54. Suami yang Payah
55. Bahaya dan Aib
56. Penjelasan
57. Kesepakatan
58. Berbaikan
59. Mesra Lagi
60. Utusan Khusus
61. Dia Kanaya
62. Buaya Besar
63. Janji Dengan Asrul
64. Serangan Kepada Matias
65. Ikatan Leluhur
66. Ayah dan Anak
67. Ikatan Naga
68. Perubahan
69. Kekerasan
70. Bilah
71. Latihan Jata

46. Janji

243 25 6
By nataliafuradantin

Jata agak terlambat ketika sampai di rumah, karena harus melakukan pengecekan rutin generator yang sempat tertunda karena melihat peristiwa anak tenggelam tadi. Hari masih terang saat Jata sampai di rumah. Aroma durian dan masakan menyambutnya di depan pintu.

"Dapat durian dari mana, Put?" tanya Jata seraya meletakkan ransel lalu mengeluarkan dompet, laptop, dan ponsel.

"Kak Asrul tadi datang ke sini mencari Kakak sambil ngantar durian," jawab istrinya yang masih sibuk menata meja makan.

Jata mendekat dan mengamati makanan di atas meja. "Ini apa?"

"Itu sup sumsum tulang kambing, Kak. Kata orang bagus untuk memperkuat stamina laki-laki."

Jata terheran. "Kamu tadi ke pasar? Naik apa?"

"Aku nggak ke pasar. Aku titip sama Bu Gani. Nanti gantian, kalau aku turun ke pasar, Bu Gani titip. Biar praktis, gotong royong dengan tetangga."

"Hmm, pintar kamu," puji Jata.

"Kenapa pulang terlambat? Kak Asrul sudah pulang sedari tadi," tanya Puput.

"Ada orang tenggelam di bendungan. Aku ikut melihat tadi," jawab Jata. Perasaannya kembali tidak enak dengan nada pertanyaan Puput.

"Oh, yang tadi diceritakan Kak Asrul," jawab Puput datar.

Kini nama Asrul pun turut memicu perasaan tidak enak di hati Jata. "Ngapain aja dia di sini?"

Puput menoleh, terheran dengan nada sinis itu. "Kenapa bertanya begitu? Dia cuma datang di teras buat mengantar durian. Nggak lama terus pulang. Cuma begitu aja. Kakak pikir dia mau ngapain?"

"Aneh aja. Tadi kulihat dia juga ikut melihat jenazah di bendungan. Ketemu aku tapi nggak ngomong apa-apa malah datang ke sini membawa durian."

Puput mendongak dan mengamati wajah suaminya dengan saksama. Ia merasakan ada yang aneh setiap Jata menyebut bendungan dan jenazah. "Kak Jata ngapain aja di bendungan tadi? Ketemu Wina?"

Tembakan itu membuat Jata kelimpungan. Bagaimana Puput bisa tahu ia bertemu Wina? Apakah Asrul ... tidak mungkin! Asrul tidak akan berbuat serendah itu.

"Kenapa nanya itu?"

Puput tidak menjawab. Tangannya meraih tangan Jata dan mulai mengendus badan tegap itu. "Bau apa ini, kok mirip kembang setaman?"

Jata mengendus bajunya. Tidak ada apa-apa selain bau keringat dan debu. Dari mana Puput tahu aroma Wina? "Mana ada? Aku nggak bau apa-apa. Kamu pikir aku petugas pemakaman?"

"Siapa perempuan yang lengket-lengket ke kamu, Kak? Ayo jujur, kamu ketemu Wina, kan?"

Jata menelan ludah. Dilihatnya wajah Puput mulai memerah karena marah. Gawat, pikirnya. "Aku tadi...."

Kata-katanya Jata tersekat. Ia kembali mengingat kejadian aneh bersama mantan pacarnya itu. Di sana tadi, ia tidak menampik bahwa perasaannya tiba-tiba berbunga saat jemari Wina menyentuh tangannya. Kenangan indah semasa SMA, di mana mereka sering menyusuri selasar pertokoan dengan bergandengan tangan, kembali membuncah dengan sangat gamblang. Oh, apa yang mereka perbuat di tepi bendungan tadi? Mengulang potongan masa lalu? Dirinya seperti hilang akal saja.

"Kak! Ayo jujur, kalian ngapain aja?" desak Puput. Tangannya meraih tangan Jata lalu mengendusnya. Wajahnya menegang setelah melakukan itu. "Ada bau kembang setaman juga di sini," gumamnya lirih. Sesudah itu ia mendongak, menatap suaminya dengan terluka dan berkaca-kaca. "Kalian ngapain aja?" tuntutnya.

Jata terpaku menatap wajah sendu itu. Di sela keheranan karena Puput dapat mengetahui perbuatannya dengan Wina, rasa bersalah mulai menggunung.

Melihat suaminya terdiam, tangis Puput pun pecah. Diamnya Jata adalah pengakuan. Ia berlari ke kamar, terduduk meringkuk di sudut ruang dengan tersedu. Sakit sekali hatinya dikhianati seperti itu.

"Put?" Jata menyusul ke kamar. Tadi sempat terlintas beberapa alasan untuk menutupi. Akan tetapi, ia tidak terbiasa berbohong. Mulutnya terkunci begitu saja.

"Put?" Jata duduk di samping istrinya dengan perlahan. Puput tidak mau melihat padanya. Ia mulai memahami, mengapa ayahnya segan dengan ibunya. Dimarahi istri itu rasanya sangat tidak enak.

"Put, aku mau mengaku," bisiknya. Kata-kata itu sukses membuat Puput menoleh. "Wina tadi memang memegang tanganku. Aku nggak tahu kenapa. Tiba-tiba dia melakukan itu."

"Apa rasanya, Kak?" tanya Puput lebih mirip rintihan.

"Aku...."

"Kamu merasakan nostalgia, debar-debar kayak dulu, kan?" potong Puput.

"Aku minta maaf, Put. Tadi itu kejadiannya sangat cepat. Tahu-tahu dia sudah memegang tanganku."

"Masa cuma pegang tangan? Badanmu bau wangi semua!"

"Cuma pegang tangan, Put! Itu pun nggak sengaja!"

"Dia peluk kamu dan cium kamu, kan?" Puput terisak.

"Mana ada?" Jata mengendus kembali baju dan tangannya. Ia tidak mencium bau kembang apa pun. "Jangan-jangan kamu juga mengalami halusinasi, Put."

Kemarahan Puput meledak. Sontak, ia memukul dada suaminya sambil memekik, "Aku benci orang selingkuh! Benci banget!"

Jata menangkap sepasang tangan mungil itu, lalu menariknya mendekat. Puput terhuyung, rebah menubruk dadanya. Direngkuhnya tubuh mungil yang terisak itu. Tubuh Puput terasa kurus dan rapuh. Ia baru sadar, berat badan gadis itu telah menyusut. Hatinya serasa teriris. Apakah menjadi istrinya demikian menyiksa?

"Aku minta maaf untuk masalah tadi. Aku sayang kamu, Put," bisiknya.

"Kalau Kakak berkhianat, Kakak sama saja menghancurkan aku!"

Jata menatap dengan lembut istrinya yang tengah emosi. Ia mempererat pelukan. "Aku nggak selingkuh, Put. Aku nggak akan mengkhianati kamu." Dikecupnya dengan sayang pipi Puput yang halus dan bening.

Tangis Puput mulai mereda. "Apa buktinya?"

"Aku sudah berjanji di hadapan Tuhan, kan? Putri Paramitha, aku akan mencintai dan menghormati kamu sebagai istriku, dalam suka dan duka...."

Kata-kata itu sukses membuat Puput mendongak kembali, mencari seraut wajah yang membuat hari-harinya jungkir balik. "Cukup, Kak. Jangan diteruskan kalau kamu tidak sanggup menepati."

Jata mengangkat alis dan tersenyum. Hatinya menjadi hangat saat mengulang janji pernikahan yang hampir lima bulan lalu diucapkan. "Siapa bilang aku tidak sanggup menepati? Putri Paramith...." Tangan Puput telah membekap mulutnya.

Pandangan mereka tertaut. Pijar-pijar cinta meletup di dalamnya. Seketika bumi berhenti berputar. Waktu berhenti mengalir. Rangkaian peristiwa semenjak pertama bertemu hingga mengikat janji tertayang dengan indah, menghanyutkan keduanya. Jata merengkuh istrinya dengan erat. Puput membiarkan dirinya hanyut dalam kehangatan.

"Put?" panggil Jata lirih. "Aku senang bisa begini."

"Aku enggak," balas Puput dengan sama lirihnya.

"Hah?" Jata terperangah. Apa lagi yang akan diprotes istrinya itu?

"Badanmu bau masam."

"Masam? Katamu bau kembang setaman?" Jata mengembuskan napas lega.

"Kembang setamannya sudah busuk."

☆☆☆

Setelah Jata mandi dan berganti baju, mereka makan dengan berdiam diri. Sup sumsum kambing itu memang sangat gurih. Jata makan dengan lahap dan sempat menambah dua kali.

"Apa nggak sebaiknya kita periksa ke dokter untuk masalahmu itu, Kak?" tanya Puput memecah kesunyian.

"Iya, aku juga berpikir begitu. Tapi nanti dulu, ah. Aku masih malu."

Puput mengangguk. Sesuatu mengganggu pikiran, seperti ada yang mau dikatakan.

"Kak?" panggilnya dengan ragu. "Kamu kan sudah janji, kalo aku mau ke dokter kandungan kamu juga akan ke psikiater."

Jata menatap istrinya lurus-lurus. "Put, tolong untuk masalah halusinasi itu, kamu percaya saja sama aku, ya? Aku nggak gila atau gangguan jiwa. Aku nggak butuh psikiater."

Puput menarik napas karena kecewa. "Kak Jata, masalah itu jangan disimpan-simpan. Aku sudah baca-baca di internet. Kalau cepat diobati, gangguan jiwa itu bisa sembuh cepat. Tapi, kalau dibiarkan saja, kamu bisa menjadi orang gila yang keluyuran di jalan-jalan."

Jata cuma tertawa. Tangannya menyendok sup kembali, mengambil beberapa potongan daging. "Tenang, Put, suamimu ini sehat walafiat, kecuali masalah si adik."

"Janji itu harus ditepati."

Jata masih tersenyum dengan santai. "Satu-satu, dong. Pilih, mana yang mau didahulukan, ke dokter untuk masalah adik atau ke psikiater?"

Puput menggigit bibir, kemudian menunduk dan melanjutkan makan. Keduanya pilihan yang tidak enak.

"Oh, ya. Kamu sudah punya keputusan soal selaput dara? Kalau sudah, kita kontrol ke Dokter Azizah." Jata melanjutkan.

"Belum. Aku malas mikir."

"Ya deh, terserah kamu. Aku ke dokternya kalau kamu sudah memutuskan, biar bisa sama-sama konsultasi." Jata senang bisa mengulur waktu. Ia malas pergi ke dokter mana pun.

Pikiran tentang impotensi itu membawa ingatan akan rencana ritual dengan Wina. Radar Puput ternyata sangat tajam. Rasanya ia tidak bakal bisa melakukan ritual tanpa ketahuan sang istri. Apakah sebaiknya ia ajak saja Puput menemani? Dengan hati-hati, diceritakannya pertemuan dengan Billy dan Wina hari itu.


☆Bersambung☆

Buat yang nggak sabar nungguin apdetan, langsung cuuus aja ke Dreame.

Cerita ini udah tamat di sana. Sobat bisa memanfaatkan koin gratis di aplikasi itu.

Selamat maraton!

Continue Reading

You'll Also Like

13.7K 270 50
First published: 18 Oktober 2020 Namanya Kirania Rosalind, oleh orang-orang terdekatnya sering dipanggil Kara, perempuan berusia 25 tahun yang harus...
2.6K 112 6
Kumpulan cerita pendek based on true story dari rekan-rekan kerja di udara. Bandara, Pesawat dan Cinta mereka adalah saksi bagaimana cinta itu dapat...
119K 5.9K 39
Gadis pertama berdiri tegang melihat gadis kedua terduduk lemah di atas kursi roda. Wajah gadis kedua pucat. Ada kesakitan yang merayap di wajah gadi...
439K 9.9K 18
Aku wanita yang setiap harinya penasaran dengan suamiku dan mencari dirinya! YA! Aku mencari suamiku! Bukan, bukan mencari seorang suami, tapi...