THE VILLAIN (BibleBuild)

Da biy_yourmamagula

110K 13.3K 1.9K

Pensiun dari dunia Ice Skating akibat cedera kaki, Build merasa bahwa seluruh tujuan hidupnya hilang. Kondisi... Altro

0. Prolog
1. The Rising Star, Build Jakapan
2. I Wish I Was You, Pete
3. I Am Pete Jakapan
4. The Night Club
5. By The Way, I'll Change The Story
6. Something's Wrong
7. The Unspoken Truth
8. Ain't Your Omega (M)
9. Unpredictable Secret
10. Desire (M)
11. Q-Time With Phi Mile
12. Mr & Mr(s) Ratanaporn
13. The Man Who Can't Be Moved
14. Who's Nirmala?
16. Have You Ever Loved Me?
17. Tasted Like a Real Heaven (M)
18. I Got You
19. Are You Coming Back, Pete Jakapan?
20. Start, Now! (Jak's POV)
21. The Forbidden Name
22. Jealousy, Jealousy
23. Adopted Son?
24. Lana, The Last Nirmala
25. Accident

15. Lies Over Lies

3.6K 470 89
Da biy_yourmamagula

"Kamu, kamu orangnya! kenapa susah sekali sih untuk memahami semua- aw! nenek! sakit!" Nattawin yang semula berfokus pada layar handphone pun beralih mengusap belakang kepalanya yang terasa panas akibat ulah Sunee, wanita berusia 74 tahun yang telah berbohong tentang kondisinya hingga ia melakukan penerbangan dari Thailand-Vietnam pada waktu dini hari.

"Suruh siapa daritadi tidak menyahut panggilan, hah? anak nakal!" Dengan nada garang miliknya, Sunee menimpali sang cucu sulung seraya menaruh piring di atas meja ruang keluarga.

Menatap objek yang tersuguh, Nattawin pun tanpa sadar menyunggingkan seutas senyum. "Sudah cukup lama sejak Jakapan bilang bahwa ia merindukan donat buatan nenek. Kalau aku bawa untuknya saat pulang, apakah kondisi dan rasanya masih terasa enak?" Pertanyaan yang ia ajukan untuk dirinya sendiri itu diselaraskan dengan pergerakan tangan dalam menyambar salah satu donat bertabur gula halus di bagian atasnya, salah satu varian yang menjadi favorit Jakapan dari seluruh donat buatan Sunee.

"Natt, kamu tahu tidak, kenapa donat bentuknya bulat?"

Mendapatkan pertanyaan dari sang nenek, Nattawin menggeleng seraya membuat gigitan besar pada donat di tangannya. Ada rasa lelah dalam diri si pria alpha untuk mendengarkan pertanyaan acak yang memang seringkali diajukan Sunee akhir-akhir ini.

"Donat itu bulat, karena memang seharusnya begitu." Satu tangan Sunee beranjak mengambil piring donat hingga terpampang tepat di depan wajahnya. "Kalau bentuknya segitiga, nanti disangka mengikuti kisah cintamu-"

"Uhuk-" Nattawin yang baru saja akan menelan hasil kunyahannya pun tersedak hingga wajahnya berubah merah.

"Ya Tuhan, Nattawin! kalau habis mengunyah itu ditelan, bukan disemburkan lewat hidung!" Dengan cekatan Sunee menuangkan teh dari teko ke dalam cangkir di atas meja dan menyodorkannya pada sang cucu. "Lagipula, kenapa kamu harus bereaksi seperti itu? nenek bicara fakta. Sudah dua tahun sejak pernikahan Jakapan dan kamu hanya bisa meratapi itu semua dari kejauhan."

Meski sanubarinya nyeri seakan ditusuk sebuah belati, Nattawin tetap bungkam dan meneguk minuman hangat yang sudah ia terima dalam genggamannya. Kata-kata Sunee mungkin keterlaluan, tapi di dunia ini, meski ia masih memiliki seorang mama, hanya sang nenek yang dapat ia jamin mampu memahaminya dari luar maupun dalam.

 "Kisah cinta kalian memuat tiga orang di dalamnya. Ada kamu, Jakapan dan suaminya. Kalau satu diantara kalian tidak melangkah mundur, rasanya akan sangat sesak dan menyiksa."

"Nenek, tapi-"

"Apa?" Sunee menyela. "Kamu mau bilang kalau pernikahan adalah satu hal sakral yang tidak dapat dengan mudah untuk dimainkan? ya sudah kalau begitu, lepaskan Jakapan. Bisa tidak kamu melakukannya? tidak, kan?"

Nattawin tak menjawab. Pria alpha itu menatap nanar ke arah bawah seraya menggelengkan kepalanya dengan begitu lamban, tipikal remaja yang dilanda gundah-gulana, kalau menurut Sunee. "Umurmu semakin bertambah. Entah sampai kapan nenek bisa bertahan hidup dan menyaksikanmu menikah. Jujur, nenek juga sangat ingin Jakapan yang menjadi istrimu. Tapi kalau kamu terus bertindak di posisi abu-abu seperti saat ini, nenek rasa semuanya akan berakhir sia-sia." Bangkit dari posisinya, Sunee mengusap pelan surai hitam sang cucu. "Renungilah baik-baik sebelum kamu pulang. Temukanlah hal-hal yang dapat menjustifikasi semua tindakanmu kedepannya. Cinta tidak pernah salah, termasuk apa yang kamu rasakan untuk Jakapan."

Beberapa langkah sebelum eksistensinya undur dari ruangan tersebut, Sunee memutar tubuh dan tersenyum penuh arti. "Menurutmu, alasan apa yang membuatmu lebih pantas untuk bersanding dengan Jakapan dibanding pria itu?" tanyanya penuh penekanan pada satu kata sebelum melanjutkan langkah yang kian semakin jauh.

"Alasan?" Nattawin bergumam menuju udara. Gusar dalam dirinya tiba-tiba hilang tergantikan dengan satu kata yang nampak sudah begitu lama hilang dari peredaran. 

Tentang ketidakberdayaan dirinya dalam menghapus perasaan terlarang pada sang karib, tentang pedih yang ia tahan saat disadarkan bahwa ia telah mencintai seorang omega bersuami, juga tentang pemakluman yang dapat ia miliki untuk merebut Jakapan, semuanya berada dalam satu kata.

Alasan,

Alasan,

Alasan.

*

*

*

"Tuan muda!"

Anak laki-laki berusia 10 tahun yang dipanggil menyembunyikan diri dibalik semak-semak agar tak tertangkap. Samar ia dapat mendengar bagaimana pada bodyguard yang bekerja untuk keluarganya itu mulai memecah diri dan berpencar untuk mencari keberadaannya ke wilayah lain. 

Setelah ia memastikan bahwa kondisi sudah aman, alpha cilik itu segera berlari ke tepi jalan dan menghentikan sebuah taxi yang ia arahkan ke suatu tempat.

"Kita sudah sampai, nong. Apa kamu akan menemui seseorang disana? perlu paman antar?" Supir taxi yang melihat bahwa tempat pemberhentiannya tak lain merupakan sebuah pemakaman pun merasa sedikit khawatir.

"Tidak, ini bayarannya."

"Nong, ini-"

"Apa? terlalu banyak? ambil saja kembaliannya. Terima kasih sudah mengantarku."

Tak menghiraukan raut wajah penuh cemas yang ditujukan padanya, anak laki-laki itu segera turun dari mobil dan berlari melewati gerbang masuk.

Menyusuri setiap kompleks pemakaman yang sangat luas, langkah kakinya terhenti saat ia tiba di hadapan sebuah pusara berhiaskan bunga-bunga segar.

"Here lies,

Chana Aroon Wattanagitiphat

A son, a husband and a father that will be missed by everyone."

"Papa.. Natta rindu..." Isak tangis lolos dari anak bernama Nattawin yang disertai luruhan air mata pada kedua pipinya. Seminggu sejak kepergian sang pahlawan, tiada hari dilalui olehnya tanpa melarikan diri dari rumah demi mengunjungi pusat peristirahatan dari raga yang jiwanya berpulang.

"Natta tidak suka ditinggal oleh papa! Natta.. Natta tidak ada yang menemani kalau akan tidur. Mama langsung pergi ke luar negeri untuk kerja setelah satu hari papa pergi.. kalau nenek.. nenek baik tapi suka menangis kalau menemani Natta.. Natta tahu, nenek selalu ingat papa kalau lihat wajah Natta.." Kepala kecil yang terasa berat itu tertunduk ke arah bawah mengikuti kepedihan yang harus ditanggung sendiri olehnya. 

"Papa bilang akan segera pulang menemui Natta. Papa bilang ada banyak mainan baru yang papa bawa sampai memenuhi mobil. Papa tidak pernah ingkar pada Natta, tidak seperti mama. Tapi kenapa.. sekarang papa membohongi Natta? pad-"

"BUBUUUUUUU~ JAK DATANG!!!"

Nattawin tersentak hingga tubuhnya melonjak dalam keterkejutan. Suara nyaring yang melengking tinggi itu cukup mengganggu pendengaran dan mengacaukan suasana sedih yang sedari tadi ia bangun di hadapan pusara sang papa.

"Siapa, sih? masa ada hantu anak kecil disini?" Tak ingin memendam rasa penasaran, Nattawin menggosok kasar air mata di wajahnya dengan lengan berbalut pakaian hangat.

Pemakaman tempat Nattawin berada saat ini memiliki desain yang mirip dengan komplek perumahan. Ada jalan yang memisahkan setiap baris pusara dengan penanda blok dari A sampai Z. Dengan sedikit rasa waswas, Nattawin beranjak dari blok H milik pusara sang papa menuju pusara paling ujung untuk mencuri tatap pada blok I yang ada di sebelahnya.

"Ini masih siang, tidak mungkin kan kalau han-" ucap lisan Nattawin tak menemui usai. Alpha cilik itu dibungkam dengan kekaguman atas eksistensi makhluk menggemaskan yang berjarak tak jauh dari posisinya berada saat ini.

"C-cantik.."

Tubuh mungil dengan rona merah pada pipi bulat yang melekuk di bagian tengahnya sebagai penanda lesung, nampak serasi dengan mata monolid yang menyerupai kucing dan menghilang saat ia merekahkan senyum cerah. Poni yang panjang dan menutupi kedua alis cukup berantakan saat hembusan angin membelainya penuh kasih sayang.

"Bubu!" Bibir merahnya mengerucut lucu membuat Nattawin yang menyaksikannya pun sibuk menggigit pipi dalamnya untuk menahan diri. "Phi Mile tadi mencubit Jak lagi. Nih, lihat-" Lengan pendek pada kaus yang digunakannya pun disingkap hingga menampilkan warna biru yang cukup jelas untuk Nattawin lihat.

"Sampai begini, bubu. Sakit sekali, tapi Jak tidak berani lapor pada ayah, nanti Phi Mile dimarahi lagi lalu semakin benci pada Jak."

Demi apapun yang ada di seluruh alam dunia, hati Nattawin terasa diremas saat mendengar penuturan anak yang menyebut dirinya sendiri sebagai "Jak" itu.

"Tapi.. bubu don't worry! Jak tidak sedih, kok. Jak hanya ingin mengatakan pada bubu kalau satu bulan yang lalu, Jak sudah dapat izin dari ayah untuk latihan menari di atas es.. um.. apa ya bubu namanya? skating.. es? ah itu deh pokoknya!" Dari posisi duduk, Jak bangkit dan mulai berdiri menghadap tegap pusara yang sedari tadi ia ajak bicara. "Bubu lihat, ya! bubu harus jadi penonton pertama gerakan yang sudah Jak pelajari sampai lecet-lecet! Bubu juga nanti harus tepuk tangan, ya?"

"Bodoh, orang sudah mati mana bisa tepuk tangan?"

Baru saja komentar pedas itu diutarakan Nattawin pada dirinya sendiri, alpha cilik itu kini dibuat terpana oleh pemandangan yang tersaji di hadapannya. Ia tak pernah menyangka, tubuh mungil yang terlihat menggemaskan itu dapat menjadi saat lentur untuk membuat gerakan berupa ayunan dan putaran indah. Meski Nattawin belum pernah menyaksikan hal serupa, ia dapat menjamin bahwa pijakan kaki pasca lompatan udara yang anak itu lakukan merupakan satu dari penampilan terbaik untuk anak seusianya.

Ekspresi wajahnya serasi dengan pesan yang anak itu coba sampaikan. Ada sedih, namun ada juga kebahagiaan yang nampaknya ingin diselipkan sebagai tameng. Dua kaki kecil yang melepaskan alas itu seakan tak peduli akan fakta bahwa pijakan keras di bawahnya telah menambahkan daftar dari luka.

"And two, and three and.. done! yeay! sudah selesai, bubu! mana tepuk tangannya?"

Tersadar bahwa dirinya hanyut begitu dalam, Nattawin menarik diri dan bersandar ke salah satu pohon dekat pusara. Kedua kakinya lemas dan ia menutup mulutnya agar tak mengeluarkan suara sedikitpun. 

Sesaat sebelum ia mampu untuk meredakan ketukan dalam hatinya, Nattawin menyadari bahwa hujan telah membasahi wajah tanpa komando untuk dapat dihentikan.

"Pa-papa.. apa papa mengirimkan malaikat untuk Natta? indah sekali.. dia-"

"HAYOH, KAMU SIAPA?!"

Nattawin terlonjak dan memekik kencang saat sosok yang sedari tadi ia intip tiba-tiba saja berdiri di hadapannya.

"K-kamu! itu-"

"Apa? kamu tadi menonton penampilanku, kan? mana tepuk tangannya? kamu tidak boleh sembarangan menonton tanpa tepuk tangan! penampilanku berharga, tahu!"

Butuh beberapa waktu bagi Nattawin untuk menenangkan dirinya sebelum bangkit dan berhadapan langsung dengan sosok yang ia sangka merupakan seorang malaikat. Dalam posisi yang lebih dekat, alpha cilik itu dapat memastikan bahwa tingkat kegemasan yang dimiliki anak itu jauh lebih besar dari dugaannya.

"Itu.. aku, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud untuk mengintipmu, aku.. hanya-" Memejam kedua matanya untuk sesaat, Nattawin menggelengkan kepala untuk menghilangkan rasa panik yang membuat ucapannya terbata-bata. 

"Aku minta maaf, aku tidak sengaja memperhatikanmu."

Tak langsung memberikan tanggapan atas ucapan Nattawin, anak laki-laki itu mengedipkan kedua matanya dengan tatapan polos seraya memiringkan kepala. Sukses untuk membuat Nattawin berteriak dalam hatinya.

"Jakapan." Satu tangan anak yang lebih mungil pun disodorkan pada Nattawin. "Ish, kamu tidak mau berteman denganku, ya? apa ucapan Phi Mile benar? apa karena kamu alpha.. kamu tidak mau berteman dengan omega lemah seperti aku? apa kamu takut aku repotkan? apa-"

"Tunggu, tunggu." Nattawin mengangkat kedua tangannya di depan dada. "Kamu bicara apa? siapa yang bilang aku tidak mau berteman denganmu?" Dengan gerakan cepat, si alpha cilik menerima jabatan tangan yang ditawarkan padanya.

"Nattawin, namaku Nattawin."

Senyum yang baru-baru ini menjadi kesukaan Nattawin pun kembali tersuguh dengan lebih lebar. Mengikuti hal itu, deretan gigi kecil turut dipamerkan hingga kedua mata indahnya, lagi-lagi, hilang ditelan kegembiraan.

"Natta! Natta de Coco! hihi~"

Nattawin menghembuskan nafas dan menggeleng pelan. Panggilan yang biasa digunakan orang-orang untuk mengejeknya itu, entah mengapa malah terdengar menggemaskan saat diucapkan oleh Jakapan.

"Oh, iya. Natta sedang apa disini? aku tadi sedang mengunjungi bubu, soalnya-"

"JAKAPAN!! PETE JAKAPAN ROMSAITHONG!!! DIMANA KAU?! AKU TAHU KALAU KAU DATANG KEMARI!"

Senyum pada wajah Jakapan sirna tergantikan oleh ekspresi ketakutan. Tubuh mungilnya bergetar hebat seakan suara yang baru saja memanggil namanya berasal dari seseorang dengan perangai buruk dan berpeluang untuk menyakitinya.

"Jak, itu-"

"Shuuut~" Jakapan berjinjit dan menempatkan satu jari telunjuknya di hadapan bibir Nattawin. "Itu Phi Mile. Aku tidak mau bertemu Phi Mile dulu, nanti dia mencubitku lagi. Tanganku masih sakit, masih nyut~ nyut~ rasanya."

"JAKAPAN! KELUAR KAU DASAR ANAK HARAM! SELALU SAJA MENYUSAHKANKU!"

Gejolak dalam diri Nattawin tercipta untuk mendidihkan kepalanya. Ia tak dapat membayangkan bagaimana anak selucu Jakapan dapat diperlakukan dengan tidak baik oleh seseorang yang ia panggil sebagai "Phi." 

"Kamu mau ikut aku?" Nattawin menempatkan kedua tangannya di bahu sang omega.

"K-kemana..? kaki.. kedua kaki milikku sakit. Aku tidak kuat berlari.."

Nattawin yang baru ingat mengenai kaki penuh luka yang dimiliki oleh Jakapan pun mengeraskan kedua rahangnya untuk meredakan amarah. Sudah cukup, penderitaan anak yang baru saja ia temui itu nampaknya sudah terlalu jauh. Tak ada lagi penghalang dalam diri Nattawin untuk segera menarik tubuh Jakapan ke dalam gendongannya dan berlari sejauh mungkin dari area pemakaman.

"Tuan muda Nattawin! astaga, tuan muda. Anda dari mana saja? nyonya besar mencari anda!" Petugas yang berjaga di depan mansion nampak terkejut saat mendapati sang tuan muda tiba-tiba saja pulang menggunakan sebuah taxi.

"Mama dimana? apa sudah pulang?"

Petugas yang mendapatkan pertanyaan dari Nattawin menggeleng perlahan, "Mohon maaf, tuan muda. Nyonya tidak dapat kami hubungi, mungkin karena sedang ada pekerjaan. Jadi tadi kami hanya menghubungi nyonya besar saja. Tapi tuan.. itu.. siapa?"

Nattawin yang paham akan maksud pertanyaan petugas itu lebih memilih untuk mengabaikannya dan melanjutkan perjalanan. Cuaca diluar cukup dingin, ia khawatir kalau Jakapan yang sedang tertidur dalam gendongannya akan terserang flu jika tak segera mendapat kehangatan.

"KALIAN TIDAK BECUS! AKU TIDAK MAU TAHU! KALAU SAMPAI TERJADI HAL YANG BURUK PADA CUCUKU, KALIAN SEMUA AKAN MENANGGUNG RESIKONYA!!!" Gelegar kemarahan yang begitu familiar pun mengisi pendengaran Nattawin. 

"Mohon maaf, nyonya besar. Kami semua lalai, kami- tuan muda?!"

Semua orang dalam ruangan yang semula diselimuti rasa cemas pun beralih menatap ke arah Nattawin dan tentu saja, anak laki-laki yang ia gendong layaknya bayi koala.

"NATTAWIN! DARIMANA SAJA KAMU?! NENEK KIRA-"

"Nek, jangan berisik." Nattawin menghadap sang nenek seraya mengusap-usap punggung Jakapan yang tidurnya nampak sedikit terusik.

"S-siapa itu? kamu membawa siapa? kamu tidak menculik anak orang di jalan, kan? astaga Nattawin, selalu saja kamu membuat nenek pusing!"

Nattawin menyunggingkan senyum tanpa memutus pandangannya dari Jakapan, sebuah pemandangan baru yang disaksikan semua orang setelah alpha cilik itu hanya mampu menampilkan ekspresi sedih dan marah selama seminggu terakhir ini.

"N-Nat.. kamu, kamu tersenyum? kamu-"

"Nenek." Nattawin menyela ucapan sang nenek dan menatap serius ke arahnya.

"Aku mau anak ini, dia wangi, aku mau dia menjadi omegaku."

*

*

*

"Aku lebih dulu mengenalnya." Nattawin mengepal kuat kedua jemari tangannya saat memutar kenangan indah yang pertama kali ia buat dengan Jakapan. 

"Bertahun-tahun aku jatuh cinta, tidak pernah sedikitpun perasaanku padanya memudar. Semakin lama, semuanya malah semakin besar dan terasa membakar. Lisanku terkunci tapi hatiku menjerit. Kenapa aku harus merelakan Jakapan begitu saja?"

Berhasil menemukan jawaban atas 'alasan' kuat bagi dirinya melanjutkan perjuangan, Nattawin pun membulatkan tekad dan beranjak dari posisi duduknya untuk segera berkemas pulang ke Thailand. Pergerakannya begitu gesit dan penuh semangat. Meski begitu, satu panggilan yang masuk dan menggetarkan handphone miliknya cukup untuk membuat pria alpha itu tertegun seraya menampilkan ekspresi kebingungan.

"Mile? mau apa bajingan itu menghubungiku?"

*****

"Khun Wichapas baik-baik saja. Dokter sudah melakukan pemeriksaan menyeluruh dan tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan. Barang dan mobil Khun Wichapas pun aman, kami tidak mendeteksi adanya jejak kejahatan." Seorang petugas polisi memberikan keterangan pada Peter, Nodt, Jakapan dan Ta yang baru saja tiba di depan kamar rawat Wichapas.

"Terima kasih banyak atas bantuannya," ujar Peter yang dapat merasa sedikit lebih lega setelah mengetahui kondisi anak sulungnya.

"Syukurlah, yaampun, dad, jantung papi rasanya akan lepas saat mendapat kabar." Nodt mengusap dadanya perlahan seraya menetralkan nafas.

Peter yang melihat wajah pucat istrinya pun dengan sigap memberikan rangkulan sebagai penenang. "Ya sudah, ayo kita semua masuk."

Beberapa langkah sebelum tiba di pintu ruangan, Jakapan mendapatkan panggilan yang membuatnya menoleh ke arah sang mertua dan adik ipar. "Maaf, ayah menelfonku. Kalian masuklah, aku akan menjawab panggilan terlebih dahulu," ujarnya tersenyum setelah mendapat persetujuan.

"Halo, ada apa ayah?" Jakapan menyenderkan tubuhnya pada salah satu dinding.

"Sayang, sudah tidur? maaf ayah mengganggumu malam-malam begini."

"Tidak, ayah. Aku sekarang sedang ada di rumah sakit, jadi aku masih terjaga."

"Rumah sakit?! kamu kenapa, Jak? apa kamu sakit? rumah sakit mana?!"

"Ayah, tenang. Aku baik-baik saja," Jakapan terkekeh kecil mendengar keributan di seberang telfon. "Bukan aku yang sakit, tapi Wicha. Tadi kami mendapat panggilan dari rumah sakit yang mengabarkan kalau dia pingsan di tengah jalan. Ayah tidak perlu khawatir, dokter dan polisi sudah mengatakan kalau tidak ada yang salah dengannya. Mungkin, Wicha hanya kelelahan."

"Astaga, kenapa bisa sampai seperti itu? kamu harus lebih memperhatikan suamimu, Jak. Sepertinya Wicha terlalu banyak pikiran setelah bertengkar dengan Peter di ruang rapat tadi."

"Hah? bertengkar? siapa? Wicha dengan daddy? ada apa?" Jakapan baru mengetahui kabar ini. Pantas saja sedari tadi Peter nampak sedikit lebih murung dari biasanya.

"Masalah pekerjaan, mereka hanya berselisih paham. Oh iya, Wicha dirawat di rumah sakit mana, sayang?"

"Ayah mau kemari? tidak perlu, yah. Besok atau mungkin sebentar lagi juga dia bisa pul-"

"Jakapan, dimana?"

Jakapan sedikit tertegun mendengar nada bicara ayahnya yang entah mengapa, cukup berbeda. "Um.. ini. Wicha ada di Rumah Sakit Samitivej Sukhumvit," ujarnya seraya membaca tulisan yang tertera di bawah nomor kamar.

"Oh.. iya. Kamu sudah makan? apa perlu ayah suruh koki untuk memasak dan mengirimkannya kesana?"

"Eh, tidak usah. Aku sudah makan, ayah istirahatlah."

"Ya sudah kalau begitu. Sebenarnya, tadi ayah menghubungimu karena ingin memberitahu soal studio kaca di mansion yang kamu ingin gunakan kembali."

"Oh, iya! aku lupa menanyakannya. Bagaimana, yah? apa sudah selesai?" Jakapan tiba-tiba saja merasa bersemangat.

"Sudah, sayang. Kalau kamu mau melihatnya, besok berkunjung saja ke mansion."

"Okay, kapten!"

"Haha, ada-ada saja kamu ini. Itu saja yang ingin ayah sampaikan, kamu segeralah istirahat kalau sudah selesai urusannya."

"Baik, ayah. Selamat malam."

Memutuskan panggilan, Jakapan mempersiapkan dirinya sebelum masuk dan menemui Wichapas di dalam ruang perawatan. Pertanyaan yang menjadi beban dalam kepalanya tentang insiden susu sapi itu masih betah menghantui dan membuatnya kian merasa terancam. "Tenang, Jak. Kamu harus bersikap seolah-olah kamu tidak mengetahui apapun. Jangan sampai pria itu tahu kalau kamu mencurigainya," ujar sang omega seraya membuka knop pintu dan melenggang lewat akses masuk tersebut.

"Sayang~" Mengabaikan kondisi sekitar, Jakapan berlari dan memalsukan tangis tanpa air matanya seraya menghamburkan diri ke dalam pelukan Wichapas. "Berani kamu menghindari tindakan yang akan aku lakukan sebentar lagi, akan aku potong kemaluanmu." Bisikan bernada ancaman itu ia ucapkan tepat di salah satu telinga Wichapas sepelan mungkin.

"Kamu kenapa? kamu sakit? apa ada yang terluka? cepat beritahu aku!" Jakapan beralih menangkup kedua pipi Wichapas yang sedari tadi masih berusaha untuk mencerna tindakan ajaib istrinya. 

"Oh syukurlah, wajahmu masih tampan. Muach! Mmm~ muach!"

Kirimlah ucapan berbela sungkawa atas berpulangnya akal sehat Wichapas ke pangkuan Sang Pencipta. Pria alpha itu tidak pernah menyangka bahwa maksud 'tindakan' yang diucapkan Jakapan sebelumnya adalah sebuah kecupan basah pada pipi kanan dan kirinya. Sukses untuk memecahkan rona merah yang menjalar di seluruh wajah hingga kedua telinganya.

"A-aku, tidak-"

"No, no, no. Jangan banyak bicara, wahai suamiku. Kamu pasti masih lemas, berbaringlah." Dengan berhati-hati, Jakapan menuntun Wichapas untuk kembali berbaring seraya mendekatkan wajahnya. "Bekerja samalah denganku, aku juga tidak ingin melakukan hal menjijikan itu denganmu," bisiknya penuh penekanan.

"Kau pikir aku mau? sepertinya aku harus mencuci wajahku dengan antiseptik agar tidak infeksi." Wichapas yang merasa terhina pun membalas ucapan pedas sang istri dengan cara berbisik yang sama.

"Kau kira aku apa? anjing rabies?"

"Anjing gila lebih tepatnya."

Perseteruan itu masih berlangsung dengan volume rendah. Keduanya menyunggingkan senyum penuh kepalsuan hingga tiga orang lain dalam ruangan mengira bahwa mereka hanya bertukar kalimat godaan. Ya meskipun, Nodt dan Ta yang sudah mengetahui bagaimana hubungan diantara keduanya cukup meragukan hal itu.

"Kau ini pemimpin perusahaan, bisa-bisanya kau mengabaikan kondisi fisikmu sendiri sampai pingsan di tengah jalan. Apa sih yang ada dalam kepalamu?" Peter yang duduk di sofa seberang ranjang pun menatap tajam ke arah Wichapas.

"Dad, jangan begitu. Wicha masih sakit, kamu jangan menyudutkannya terus." Nodt yang berada di sebelahnya pun berusaha untuk menenangkan sang suami.

"Kamu tahu? dia sudah membuat kekacauan di ruang rapat. Emosi dan keegoisannya itu selalu unggul untuk memegang kendali. Entah harus kutaruh dimana wajah-"

"Aku sudah katakan, seorang wanita tua gila membuatku pingsan! kenapa daddy tak mempercayaiku?" Wichapas yang mulai jengah dengan ucapan Peter pun berusaha untuk membela dirinya.

Menyadari bahwa situasi kian memanas, Jakapan yang tidak ingin terlibat lebih jauh dalam perseteruan keluarga itu langsung mengambil celah dan masuk dalam percakapan. "Yaampun, kamu ini bagaimana sih, sayang? kemarin kan kamu cerita padaku kalau kamu ingin menyelesaikan pekerjaan bulan ini lebih cepat agar bisa cuti dan pergi bermain golf dengan daddy."

Wichapas yang merasa tak pernah mengatakan hal itupun menoleh bingung ke arah istrinya. "Hah? kapan ak-"

"Ish! kamu suka malu-malu begitu, hahaha." Jakapan meraih satu tangan Wichapas dan memberikan remasan kuat sebagai pertanda bahwa ia hanya perlu diam mengikuti skenarionya. "Begini loh, daddy, papi. Wicha itu tadi malam cerita padaku, katanya dia senang sekali daddy dan papi pulang. Dulu kan katanya Wicha dan daddy sering bermain golf bersama, di.. aduh dimana itu tempatnya aku lupa?" Jakapan yang mengandalkan isi novel pun berusaha keras untuk mengorek lebih dalam ingatannya.

"Laguna Golf Phuket?" timpal Ta.

"Nah, iya itu! kok kamu bisa tahu?"

Ta melirik ke arah Peter lalu tersenyum. "Ya bagaimana mau tidak ingat? selama kami di Paris, daddy selalu saja bercerita tentang bagaimana ia rindu bermain golf di Thailand dengan Phi Wicha. Katanya, saat Phi Wicha berusia 9 tahun, kemampuannya sudah luar biasa hingga sulit sekali untuk daddy kalahkan."

Jakapan menutup satu mulut seraya menatap penuh binar ke arah mertua dan suaminya. "Yaampun, manisnya. Kalian berdua saling merindukan momen yang sama. Ayo, sayang! kamu harus cepat sembuh, ya?" ujarnya mengusap surai hitam Wichapas.

Rasa bangga memenuhi relung hati Nodt. Menyaksikan bagaimana keras sifat suaminya luluh akibat sepatah kata yang diucapkan Jakapan, Nodt menyadari bahwa menantunya itu memiliki keahlian dalam mengendalikan situasi dengan amat baik. "Tuh, dad. Katanya Wicha rindu. Daddy juga jaga kesehatan, ya. Kalian berdua harus semaksimal mungkin menjaga diri agar dapat segera pergi main golf lagi."

Kelima anggota keluarga itu melanjutkan percakapan seakan lupa bahwa malam kian semakin larut. Meskipun, Peter, Wichapas dan Nodt lebih banyak menyimak cerita-cerita lucu yang diberikan oleh Jakapan juga Ta. Semuanya hampir dikatakan sempurna bila saja sebuah bantingan pintu tidak terdengar dan diikuti oleh kehadiran seseorang yang paling tidak diharapkan.

"Siapa kau?" Peter yang semula duduk di atas sofa pun bangkit dan menatap tajam ke arah pria di seberang tempatnya berada.

"Itu.. s-saya.."

"Saya tanya sekali lagi, kau siapa? berani sekali menerobos ruangan tanpa permisi!"

Nodt dan Ta sudah melirik tajam ke arah Wichapas yang anehnya, justru nampak terkejut. Dugaan Jakapan bahwa suaminya telah menghubungi sang kekasih gelap pun nampaknya harus terbantahkan. Kalau bukan Wicha, bagaimana ceritanya dia bisa tiba-tiba muncul disini? pikirnya.

"Oh, apa kau penguntit? haruskah saya panggilkan penjaga untuk menyeretmu-"

"Daddy, jangan!" Jakapan segera berlari mendekat ke arah pria yang disebut penguntit oleh sang mertua dan menarik lengannya untuk berjalan mendekati ranjang. "Maaf, dad, pap, aku lupa memberitahu kalian. Ini Naphat, atau lebih lengkapnya,  Tawan Nanaphat Vikairungroj." Mengabaikan ekspresi penuh amarah pada wajah sang suami, Jakapan beralih menggandeng satu lengan Naphat seakan mereka adalah karib yang sangat dekat.

"Karena sebentar lagi aku akan kembali menjadi atlet, Naphat pun direkrut oleh ayah untuk menjadi manager pribadiku yang baru!"



Hi, ini Biy!

Apa kabar kalian semua? 

Terima kasih ya, untuk dukungan dan doa-doa baiknya, biy beneran nangis pas semalem baru sempet bacain satu-satu. Nanti biy bales ya ^^

Biy udah cukup kenyang istirahatnya, jadi mari kita lanjutkan cerita BibleBuild dan mendukung mereka dengan ugal-ugalan :"D <3

See you next chapter!

Continua a leggere

Ti piacerΓ  anche

3.3M 25.9K 47
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
3.1M 31.5K 29
(βš οΈπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žβš οΈ) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] β€’β€’β€’β€’ punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
2.9M 42.8K 30
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
603K 26.1K 41
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...