Supranatural High School [ En...

By rainsy

2.6K 91 35

Mereka berpikir, aku gila. Aku selalu diasingkan. Bahkan orangtuaku sendiri pun sampai pernah mengirimku ke R... More

Kertas Selebaran
Teror (1)
TEROR (2)
Malam Satu Suro (1)
Malam Satu Suro (2)
Selamat Berjuang
Ujian Masuk
Pintu Rahasia
Peraturan Sekolah
Dia Telah Kembali
Topeng yang Terlepas
Kisah Lampau
Kutukan Sedarah
Gerhana Bulan
Hari yang Baru
Pelatihan
Museum yang Terabaikan (Noni Belanda)
Museum yang Terabaikan (Penjajah)
Bangkitnya Cay Lan Gong
Kesurupan Massal
Ritual
Rajah
Makanan Sesaji
Segel Pentagram
Gerbang Gaib
Gending Jawa
Dedemit
Arthur Samuel (Khodam)
Baron Bagaskara
Dylan Mahardika
Ernest Prasetyo
Ziarah
Welthok
Kelas Utara
Timur & Barat
Kelas Selatan
Helga Maheswari
Santet
Timbal Balik
Jenglot
Kuncoro
Umpan
Hira
Kuntilanak Merah
Taktik Licik
Penyelamatan
Jerat
Lolos
Tugu
Mata Batin

Membunuh atau Dibunuh

3 0 0
By rainsy

Melihat puing-puing dari bangunan tua yang ambruk berserakan di tanah, menjadikan seorang pria muda yang beberapa menit lalu baru terbangun dari pingsannya, menjadi kalap. Dengan mata berair, ia berlari tergopoh-gopoh membongkar satu demi satu reruntuhan beton yang menggunung di sana.

"Hel ..., Helga." Aiden berucap lirih seiring munculnya raut frustasi di wajah tampannya, karena tak menemukan sosok yang dicemaskannya berada di sana.

Sejenak, remaja lelaki itu menghentikan kegiatannya, untuk mengamati setiap jengkal dari porak porandanya gedung tua yang menjadi tempat di mana Helga disekap.

Pilar-pilar kayu yang menjadi penyangga pintu juga jendela telah patah menjadi dua. Meja, ranjang serta perabot lain yang mengisi bangunan tua itu pun kini tak lagi berbentuk. Bahkan, daun pintu yang seharusnya berdiri tegak, sekarang justru terbaring menjadi alas kayu berlubang yang terhampar tak berguna di lantai. Jika tempat itu saja sudah hancur separah itu, kenapa Aiden tak menemukan satu tanda pun tentang keberadaan Helga? Apakah itu artinya Helga masih hidup?

"Gak ada apapun di sini. Itu berarti Dylan CS udah berhasil lebih dulu bebasin Helga sebelum gedung ini runtuh." Lapor Raga yang rupanya juga ikut membantu melakukan pencarian di sekitar puing reruntuhan. Mendengar hal itu, sekelumit rasa lega tercipta di relung dada Aiden yang semula terasa menghimpit saluran napasnya. Namun, jika begini ..., ke mana perginya mereka? Dan kenapa bangunan itu sampai ambruk?

Di tengah sibuknya pemikiran Aiden perihal keberadaan kelima Adik kelasnya saat ini, Friedrich selaku tetua yang diamanatkan untuk menjaga keselamatan seluruh anak didiknya di SHS tersebut, mengajak Aiden, Raga dan Rucita untuk kembali. Mengingat kondisi juga energi mereka bertiga yang telah terkuras habis akibat serbuk racun juga ulah Jin hitam peliharaan Rakta yang memiliki kemampuan untuk menyerap energi mereka.

"Tempat ini tidak aman untuk badan kalian yang sedang lemah. Tuan muda Devian memerintahkanku untuk membimbing kalian keluar dari tempat ini. Biarkan kami yang akan melanjutkan tugas berbahaya kalian untuk mencari Helga dan yang lainnya." bujuknya yang langsung ditolak mentah-mentah oleh Aiden.

"Gimana bisa Master ngomong kayak gitu setelah semua yang kita lewatin untuk sampe di sini. Kita harus nemuin Helga lebih dulu, Master! Dia butuh kita!" bantah Aiden begitu tegas menolak ajakan sang Kepala Sekolah. "Bukannya Master sendiri yang mengajarkan kita untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab dalam setiap keputusan yang kami ambil? Lantas, jika kami dengan gampangnya memutuskan untuk kembali pulang, lalu di mana tanggung jawab kami yang sudah kepalang berjanji pada orangtua Helga?" Aiden menatap lurus ke arah manik mata Friedrich, seolah tengah mencari jawaban atas apa yang ditanyakannya. "Gak bisa, Master. Pokoknya saya gak bakal mau pulang sebelum bisa nemuin dan nyelametin Helga!" tandas Aiden lantang. Kemudian berlari menjauh dari kerumunan para Guru SHS yang menyayangkan sikap keras kepalanya.

"Gimana ini, Master? Kita gak mungkin ngebiarin Aiden nyari Helga sendirian. Kita harus ngejar dia!" Raga yang dikenal begitu dekat dengan Aiden, hendak menyusul karibnya itu. Namun segera, tangannya dicengkram oleh Juru Masak SHS berbadan subur yang berada di belakangnya.

"Jangan lakukan itu." Dustin menggelengkan kepalanya lemah. Melarang dengan keras seiring semakin kuatnya Dustin meremas pergelangan tangan Raga yang ia tahan. "Tugasmu sudah selesai. Biarkan kami yang akan melanjutkannya. Tempat ini sudah sangat berbahaya untuk kalian. Nyawa kalian yang akan menjadi taruhannya."

"Hutan ini adalah Hutan ilusi yang Rakta buat untuk menyegel Pentagram Emas Manusia agar tidak kemana-mana. Jika Gerhana Bulan benar-benar akan terjadi malam ini, maka ritual pemindah kutukan itu pasti akan terjadi pula. Dan Tuan Muda Devian tak ingin kalian menjadi mangsa lezat dari Monster yang sedang Rakta ciptakan. Pulanglah, portalnya akan segera Kubuka."

Friedrich mengetuk beberapa kali tanah di antara kedua kakinya menggunakan tongkat miliknya. Dan setelah tujuh kali ujung tongkat kayu itu membentur tanah, sebuah lubang yang mengeluarkan cahaya putih terang pun muncul.

Raga dan Rucita yang berdiri tidak jauh dari lubang portal tersebut, menyipitkan matanya. Menahan silau yang menyorot tajam ke arah indra pengelihatan mereka.

"Citra, antar mereka pulang." titah Friedrich yang dijawab anggukan kepala dari Guru Konseling yang berada di samping kiri Dustin.

"Percayakan pada kami, Aiden pasti akan menyusul kalian keluar. Biar kami yang akan mencari Anak Keras Kepala itu." seloroh Chester yang tampak geram mengingat betapa nakalnya salah satu murid tingkat akhirnya tersebut.

©Rainsy™

Trangg!!!

Dentingan suara dari beradunya cakar panjang milik Kuntilanak Merah dengan keris yang sedari tadi Arthur bawa sebagai senjata, berhasil menahan serangan yang Kuntilanak Merah tujukan pada Ernest dan Helga.

"Nest! Cepat bawa Helga pergi! Lindungi dia!" intruksi Arthur membuat Ernest yang sempat terperangah karena syok mendapat serangan secara tiba-tiba itu, seketika langsung mengangguk. Dan dengan segera menyeret Helga untuk berlari bersamanya.

Melihat incarannya dibawa kabur, Makhluk gaib peliharaan Rakta itu pun mengejar. Namun usahanya berhasil dicegah oleh Baron yang menjerat kaki makhluk itu dengan tumbuhan rambat yang dijadikannya tali.

"Mau ke mana lo? Lawan gue dulu!" tantang Preman bongsor itu, dengan sekuat tenaga berusaha menahan sosok dedemit tersebut yang hendak kembali melayang terbang.

Tak ingin kehilangan kesempatan emas guna menghabisi sosok yang merupakan wujud asli dari Hira tersebut, Arthur segera menghunuskan keris yang digenggamnya pada punggung Kuntilanak Merah. Namun tinggal beberapa inci lagi senjata tajam itu berhasil tertancap, secara mendadak, Kuntilanak Merah itu justru menghilang dari pandangan mereka. Membuat Arthur dan Baron jadi kelabakan mencari keberadaannya.

"Ngilang ke mana dia?" Baron bertanya setelah menyapu keadaan di sekitar menggunakan indra pengelihatannya. Dan Arthur hanya menjawabnya dengan mengangkat kedua bahu tanda tak tahu.

Beberapa detik lenyap dari pandangan, tiba-tiba Kuntilanak Merah itu muncul kembali, melayang tepat di atas kepala Arthur. Dylan yang melihat hal itu langsung mendelik, kemudian berseru, "Arthur! Awas, di atas lo!"

Paham akan inti dari seruan peringatan yang Dylan lontarkan, dengan mata terpejam Arthur refleks menghunuskan kerisnya ke arah atas.

JLEBB

Benda tajam yang dipungut Arthur saat masih di dalam gedung tua itu berhasil menembus bagian perut dari sosok astral yang coba menyelakainya. Namun, alih-alih terluka dan kesakitan karena tusukan keris, Kuntilanak merah itu justru memamerkan senyum mengerikannya. Disusul dengan tawa renyahnya yang begitu nyaring menggelegar.

Hihihi ..., hihihihi ....

Saking kuatnya suara cekikikan itu terdengar, Dylan, Baron dan Arthur sampai harus menutup sepasang telinga mereka yang berdengung.

Di tengah sakitnya siksaan yang mendera panca rungu mereka, Dylan CS semakin dibuat syok ketika Kuntilanak Merah lain, tiba-tiba saja bermunculan di balik pohon pinus, di balik semak, di atas pohon, dan beberapa lagi hadir di sekitar mereka.

"Apa-apaan ini? Kenapa Kuntilanaknya jadi banyak gini?" Baron dibuat panik. Mengetahui bahwa lawannya, ternyata memiliki jurus seribu bayangan yang serupa dengan Naruto.

Tak ingin ambil pusing, Arthur pun berusaha menepis jauh-jauh rasa takutnya yang kini di kelilingi oleh puluhan Kuntilanak dengan wujud serupa.

"Gue bakal habisi kalian semua! Ciaattt ...!!!" Dengan gerakan membabi buta, Arthur mengayunkan kerisnya ke sana-kemari. Menyayat sosok astral di hadapannya satu persatu yang justru berubah menjadi kepulan asap hitam saat badan mereka menyentuh ujung keris tersebut.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Baron dan Dylan ; yang menyerang segerombolan Kuntilanak itu, menggunakan bambu kuning serta tali yang terbuat dari ranting pohon Bidara. Namun, alih-alih menyusut jumlahnya, sosok jin wanita yang mengeroyok mereka bertiga itu justru terus menerus bertambah. Hingga membuat Arthur, Dylan dan Baron yang melawannya jadi kelelahan.

"Gue rasa, ini gak bakal ada habisnya kalo yang asli gak bisa kita temuin." ucap Arthur disela napasnya yang tersengal.

Baron menoleh, "Maksud lo, mereka semua itu cuma ilusi yang Kuntilanak Merah buat? Kayak semacem hologram gitu?"

Arthur mengangguk. "Anggep aja kita kayak lagi ngelawan Naruto. Menurut lo, di mana Naruto yang asli kalo lagi ngeluarin jurus seribu bayangannya?"

Baron tampak berpikir, pupil matanya terlihat bergerak ke arah atas selagi ia mengingat scene kartun Jepang yang cukup populer tersebut. "Naruto yang asli mungkin lagi makan ramen dan udon di angkringan." celetuknya kemudian yang langsung disambut jitakan kepala oleh Dylan juga desisan sinis oleh Arthur.

"Lagi coba ngelawak lo ya? Gak lucu tau!" sembur Dylan kesal. "Kalo Helga yang jadi target utamanya. Itu berarti yang asli pasti lagi ngejar Ernest yang lari sama Helga!" terkanya menganalisis kemungkinan yang terjadi.

"Kalo gitu, ayo cepet! Kita susul mereka aja!" ucap Baron yang langsung merangkul leher Arthur dan Dylan untuk diajaknya meninggalkan tempat itu.

SRETT

Baru satu langkah Preman bongsor itu menggerakan kakinya, tiba-tiba saja rasa perih sudah menjalar di bahunya. Melihat salah satu sahabatnya itu meringis kesakitan, Arthur dan Dylan pun kompak menoleh ke belakang.

Pupil mata Arthur melebar, memergoki Kuntilanak merah sedang mengacungkan kuku cakarnya yang tajam. Sedangkan Dylan dibuat mendelik, karena menemukan tiga luka bekas cakaran di bahu kiri Baron yang merembas mengeluarkan darah.

"Lo? Berani-beraninya ya nyerang sohib gue tanpa aba-aba!" Arthur dibuat murka, dengan gerakan cepat ia melempar kerisnya ke arah Kuntilanak tersebut. Namun sayang, usahanya membalaskan dendam tak berhasil, karena makhluk peliharaan Rakta itu lebih dulu mengelak dengan terbang menghindar. Tak puas jika Kuntilanak yang menyerang Baron belum mendapat luka yang sama, Arthur dengan begitu ambisius terus mengejar para Kuntilanak yang berkelebat.

"Sial! Ke mana kalian semua?! Tadi aja beraninya keroyokan. Giliran gue serius balik nyerang, kalian malah ngilang! Sini, kalian pada! Tunjukin batang hidung kalian. Biar gue cincang kalian semua!" Masih dengan wajah marahnya, Arthur berteriak, meminta pada gerombolan Kuntilanak merah yang tadi sempat mengepungnya itu untuk keluar dari persembunyian.

Selagi Arthur sibuk menantang duel lawannya, Dylan memilih untuk membantu Baron, memapahnya kemudian menyuruhnya untuk duduk beristirahat di bawah bebatuan besar yang tak jauh dari posisi mereka sebelumnya.

"Duduk di sini dulu, Bar. Biar gue obatin dulu luka lo." titah Dylan ; yang dengan cekatan mengambil beberapa daun sirih dalam ransel bekalnya lalu ditumbuk dan diraciknya menjadi obat alami guna mengobati luka di punggung Baron.

"Aaww!! Pelan-pelan, Dy. Sakit tahu!" Baron beberapa kali melenguh, menahan perih ketika Dylan membubuhkan tumbukan dedaunan hijau tersebut pada lukanya yang menganga.

"Sorry ..., gue gak sengaja. Ck! Kayaknya luka lo cukup dalam deh, Bar. Soalnya baju lo aja sampe sobek gini." gumam Dylan mengamati luka sobek yang didapat salah satu kawannya tersebut.

"Selama ini, kayaknya kita terlalu ngeremehin Hira deh. Gue rasa ..., gak ada yang bisa dilakuin selain ngelenyapin tuh Kuntilanak Merah. Dia bener-bener berbahaya. Dia itu udah bukan lagi Hira yang kita kenal." ungkap Baron yang sepaham dengan Dylan.

"Tapi kalo kita bener-bener ngelenyapin Hira, terus apa kabar dengan Ernest? Lo tau 'kan kalo dia itu punya something sama Hira?" timpal Dylan mengingatkan.

"Maka dari itu, lebih baik ..., Hira biar gue dan Arthur aja yang bunuh. Dan jangan di depan Ernest."

Dylan tersentak, alis tebalnya tampak bertaut rapat. "Lo? Mau bunuh Hira?! Lo yakin? Orang sekarang aja lo lagi cidera gini."

"Ya elaah ..., cuma luka ginian doang mah, kecil! Bentar lagi juga udah sembuh. Kan udah diobatin sama lo." Baron menggerak-gerakkan alisnya kilas, sebagai tanda bahwa kedepannya ia akan baik-baik saja. "Udah deh. Yang terpenting sekarang, mending lo susul Ernest. Lo jagain tuh Helga, jangan sampe Kuntilanak Merah yang asli berhasil nangkep dia lagi. Kasihan juga 'kan, siapa tahu Ernest butuh bantuan. Ayo, sana pergi!" Baron memakaikan kembali tas ransel hitam yang sempat dilepas Dylan saat memberikan obat herbal padanya. Sebelum di detik berikutnya ia mendorong punggung karibnya tersebut untuk segera pergi menyusul Ernest dan Helga yang entah sudah berlari berapa jauh.

©Rainsy™

Jalan berlumpur yang diapit oleh lahan perkebunan sayur di kiri dan kanannya, menjadi pemandangan yang begitu asri menyejukan mata. Namun, pemandangan indah itu tak dapat dengan baik Helga dan Ernest nikmati, karena mereka berdua masih saja terus memacu langkahnya agar dapat sejauh mungkin berjarak dengan Hutan yang dihuni banyak peliharaan Rakta tersebut di waktu selarut dan segelap itu.

"Ayo, Hel! Sebentar lagi kita sampai di perkampungan itu. Kita bisa minta tolong sama warga di sana." Ernest yang posisinya setengah meter di depan Helga, menunjuk beberapa rumah berdinding bilik khas zaman dulu yang tinggal beberapa kilometer lagi berhasil mereka pijak.

Namun kaki Helga yang sepertinya sudah sangat keletihan karena terus dipaksa untuk berlari pun, tak lagi sanggup bertahan. Tubuh ringkih gadis belia itu ambruk di jalanan Desa ketika ujung sandalnya tersandung sebuah kerikil. "Aaaww!!"

Mendengar suara teriakan di belakangnya, Ernest refleks menoleh. Dan terkejut begitu mendapati bahwa lutut Helga yang mengenakan setelan piyama dengan potongan celana pendek itu terlihat lecet dan berdarah.

"Hel? Lo gak apa-apa, Hel?" Dengan cemas Ernest berbalik mendatangi Helga. Bingung tentang apa yang harus ia lakukan lebih dulu, mengobati luka Helga ataukah meminta bantuan warga?

Mengerti akan kebimbangan yang Ernest pikirkan, Helga pun meminta supaya Ernest lebih dulu mencari bantuan. Karena banyak teman-teman mereka yang terjebak di dalam Hutan, jauh lebih membutuhkan bantuan ketimbang kondisi dirinya saat ini.

"Ka-kalo gitu, lo tunggu di sini ya sebentar? Biar gue cari bantuan dulu, oke?! Lo jangan kemana-mana ya, Hel?!"

Dengan wajah meringis menahan perih di sepasang lututnya, Helga mengangguk patuh. "Come on, Hel. Kamu harus kuat. Kamu gak bisa terus menerus jadi orang yang kerjaannya cuma nyusahin orang lain." Helga mecoba men-support dirinya sendiri agar tidak cengeng dan lemah. Saking inginnya gadis introvert itu tak lagi menyusahkan banyak orang, dengan seluruh tenaganya yang masih tersisa, Helga berusaha bangkit kembali. Berjalan dengan tertatih-tatih menuju jalur yang tadi Ernest lalui. Tanpa memedulikan bahwa luka berdarah di lututnya yang terbuka itu, kini menebarkan aroma menggiurkan yang mengundang hadirnya banyak pasang mata menyala yang bersembunyi di antara ribunnya perkebunan cabai dan kacang panjang yang tumbuh subur di sisi jalan.

TOK-TOK, TOKK

Suara ketukan terdengar berkali-kali menyentuh papan pintu di beberapa rumah warga yang Ernest sambangi. Lampu teplok yang menyala di depan pagar beberapa rumah, dianggap sebagai tanda perihal keberadaan sang pemilik rumah. Karena tak kunjung ada warga yang muncul membukakan pintu, Ernest pun menghentikan kegiatannya barang sejenak. Mengedarkan pandangannya ke segala penjuru arah guna mengamati suasana perkampungan yang memang cukup sepi.

Deretan rumah yang didominasi oleh desain sederhana khas rumah berdinding bilik bambu, nyala lampu obor yang menjadi penerang di beberapa sudut jalan Desa, serta jalanan yang belum mengenal aspal, membuat Ernest merasa tengah berada di Perkampungan tempo dulu. Namun, jika mengingat Hutan juga lembah yang sebelumnya ia lewati, pemuda sipit itu merasa wajar jika menemukan ada sebuah perkampungan kuno yang tertinggal oleh zaman. Terlebih lagi, lokasi perkampungan tersebut sangat terpelosok.

Di tengah kebingungan Ernest mencari bantuan. Sayup-sayup ia kembali mendengar suara tetabuhan. Tepatnya suara musik gamelan, dengan sesekali ia juga mendengar sorak suara orang yang seperti tengah menyaksikan sebuah acara. Karena penasaran, Ernest yang sedang mencari pertolongan pun, memutuskan untuk mencari sumber suara tersebut dengan menyusuri jalan setapak yang dianggapnya menjadi asal gelombang suara musik tradisional tersebut berada.

Ayunan tungkai milik Pemuda Tionghoa itu berhenti, mana kala ia berhasil menemukan sebuah pesta yang sedang terselenggara di sebuah lapang yang letaknya berada di tengah perkampungan. Pesta meriah yang dihibur oleh beberapa penari di atas panggung yang begitu gemulai meliuk-liukan badannya itu, dihadiri oleh banyak kalangan. Pria, Wanita, Jompo, bahkan anak-anak pun terlihat hadir memeriahkan pesta tersebut.

Namun, jika mengingat ini sudah sangat larut untuk para anak kecil masih berkeliaran, hal itu cukup aneh. Terlebih lagi, jika mengamati beragam aktivitas warga di sana yang terlihat seperti berada di sebuah klub. Pasalnya, beberapa pengunjung ada yang sedang asyik menari dengan para penari cantik di atas panggung, ada pula yang sedang khusyuk bermain judi, dan beberapa lelaki dewasa di sana pun dengan santainya terlihat meneguk cairan bening langsung dari kendi yang dicekiknya ; yang diduga berisi minuman keras. Apakah mereka sedang melakukan pesta terlarang?

Sadar bahwa dirinya berada di tempat yang salah, selangkah demi selangkah, Ernest berjalan mundur. Namun karena ia kelewat serius memerhatikan keadaan di depan matanya, Ernest sampai tak sengaja menabrak seseorang di belakangnya.

"Aduh! Maaf, Pak. Maaf. Saya gak seng ...." ucapan Ernest tergantung saat mendapati bahwa sosok Bapak-bapak yang ditabraknya itu memiliki wajah sangat pucat dengan warna mata yang putih seluruhnya. Seketika bulu roma di sekujur tubuh Ernest pun meremang tanpa diperintah, saat ditatap terus menerus oleh sosok itu dengan muka tanpa ekspresinya.

"Nest! Ernest!" Helga yang berjalan tertatih-tatih, berteriak memanggil.

Melihat teman perempuannya datang menyusul, Ernest bergegas menghampiri kemudian menyambar lengan Helga untuk dibawanya pergi dari tempat itu.

"Kamu kenapa sih, Nest? Ada apa?" Helga yang susah payah mengimbangi kecepatan langkah kaki Ernest berusaha menarik tangannya yang dicengkram Ernest. "Katanya mau minta bantuan. Tadi 'kan banyak orang di sana, kenapa malah lari?"

"Ssuuttt ..., nanti aja gue jelasin. Yang penting kita harus lari sejauh mungkin dari tempat ini lebih dulu." sahut Ernest setengah berbisik.

"Ya tapi kenapa? Kasih tau dulu dong, apa penyebabnya?" Helga yang kesal karena Ernest tak mau memberitahunya pun memilih untuk berhenti, lalu melepaskan tangan Ernest dengan satu hentakan.

"Ini perkampungan Setan, Hel! Semua penduduk di sini bukan Manusia!"

Helga dibuat mendelik. Terkejut dengan apa yang Ernest katakan. Namun rasa kagetnya tidak sebanding dengan Ernest yang melihat sosok Kuntilanak Merah, telah berhasil menemukan mereka. Dan kini tengah berdiri beberapa meter di belakang Helga.

Semilir angin malam yang menyapa, datang bersama aroma anyir dengan aura warna merah yang mengapung di udara. Dan Ernest melihat itu. Sekelebat, ingatannya akan betapa tertariknya makhluk astral pada darah Helga di beberapa kejadian, membuat Ernest sontak melirik ke arah lutut kaki Helga yang terdapat luka gores. Apa mungkin aroma dan warna merah itu berasal dari luka berdarah Helga?

"Helga! Sembunyi di belakang gue." Dengan gerakan cepat, Ernest menarik tubuh Helga yang kecil agar berlindung di balik punggungnya.

"Hira. Jangan sakiti Helga."

Bukannya menyahuti ucapan Ernest, Kuntilanak Merah itu justru menyeringai. Kemudian tertawa cekikikan.

"Apa yang lagi lo lakuin, Nest?! Dia bukan lagi Hira yang kita kenal. Gak ada cara lain buat ngalahin dia selain lo menghabisinya dengan ini!" Dylan yang muncul tepat waktu, melempar sebuah pasak kayu ke arah Ernest. Dan ditangkapnya dengan mulus oleh pemuda bermata sipit itu. "Tunggu apa lagi? Ayo, bunuh dia! Diskusi gak bakal buat Hira balik lagi kayak dulu!" desak Dylan yang masih berada beberapa kilo meter dari area perkebunan.

Ernest menatap pasak kayu dalam genggaman tangannya dengan ekspresi ragu. Di tengah kebimbangannya harus berbuat apa dengan senjata pemberian Dylan tersebut, makhluk astral perempuan itu sudah lebih dulu menyerang. Melukai lengan kiri Ernest dengan cakar hitamnya yang panjang. Saking terkejutnya diserang secara tiba-tiba, pasak kayu yang semula digenggam Ernest pun terlepas dan terjatuh menggelinding ke tanah.

Ernest mendesis menahan rasa sakit yang menjalar naik ke pundaknya. Melihat pemuda itu kesakitan, seketika sorot mata Kuntilanak merah itu berubah normal.

"Kak Ernest? Apakah aku yang melakukannya? Maafkan aku." Hira yang berada dalam diri hantu wanita itu tampak merasa bersalah. Namun rasa berdosanya itu dalam sekejap berganti lagi dengan gurat bengis di wajah seramnya kala suara gaib seperti dentingan lonceng, mengusik gendang telinganya. "Hihihi ..., hihihi ...." Sorot mata Hira kembali berganti warna menjadi merah darah.

"Hira. Kalo masih ada lo di dalam sana, lo harus bisa lawan dan tentang Rakta. Buat dia sadar kalau lo itu bukan peliharaan dia!"

Bukannya pulih, Hira yang sudah lepas kendali itu justru kembali memberi luka cakaran lain di perut bagian kanan Ernest.

Tak bisa membiarkan sahabatnya itu dicecar banyak serangan, dari arah belakang, Dylan berusaha menusuk punggung Kuntilanak itu menggunakan bambu kuning yang runcing. Bak sudah mengetahui apa yang akan Dylan lakukan, Kuntilanak merah itu lebih dulu melempar tubuh Dylan sangat jauh dengan energi besar yang dimilikinya. Kejadian itu tentu saja membuat Helga yang menyaksikannya semakin kalut dalam ketakutan.

"Hel, lari sejauh mungkin dari tempat ini. Biar Kuntilanak ini, gue yang hadang." pinta Ernest saat dirinya mulai kuwalahan karena telah memiliki banyak luka di tubuhnya. Dengan langkah terhuyung-huyung, Ernest berjalan mendekat ke arah makhluk astral bergaun merah tersebut. Merentangkan tangannya lebar-lebar, kemudian berujar, "Bunuh aja gue, Hira. Tapi setelah itu, lo harus janji gak bakal lukain siapapun lagi."

Pemasrahan diri Ernest yang diakhiri dengan matanya yang terpejam, disambut rona gembira di wajah Kuntilanak Merah yang kembali tertawa cekikikan. Kuku panjang berwarna hitam yang menghiasi ke-sepuluh jari dedemit itu tampak meruncing. Tanpa menunggu lama, makhluk yang diperintahkan untuk membawa Helga dan membunuh siapa saja yang coba menghalanginya itu langsung melayangkan cakarnya lagi ke arah Ernest dan ....

JLEBB!

"Akhh ..., uhuk-uhuk!"

Ernest membuka sebelah matanya saat merasa ada beban berat yang bersandar di bahu kirinya. Dan beban itu rupanya ialah Kuntilanak Merah. Ernest semakin dibuat syok ketika mengetahui, Helga yang semula disuruhnya melarikan diri itu, justru tengah berdiri di belakang Kuntilanak Merah dengan menggenggam pasak kayu di tangannya.

"Hel?"

Dengan tangan gemetar, Helga yang juga terkejut atas apa yang dilakukannya tersebut, kini jatuh merosot, terduduk lesu di tanah.

"A-aku membunuhnya? Aku membunuh Hira?"

Bersambung

Continue Reading

You'll Also Like

43.8K 1.7K 200
Not the romance stories, but these are just my unspoken feelings. You may read it or not. :)
222K 27.4K 48
Kumpulan cerpen dan mini cerbung, bedasarkan kisah nyata yang dimodifikasi ulang. Dikemas menggunakan bahasa yang ringan dan mudah dipahami. Dengan s...
32K 1.8K 42
Maya akan menjadi sepenggal cerita dalam misteri meninggalnya beberapa pemuda di kampung pesisir. Tapi kematiannya yang seakan tenang membuat semua t...
57.3K 6.3K 46
Bagaimana jadinya pasca kecelakaan telah merubah hidupnya. Kecelakaan yang menimpanya empat tahun lalu membuka mata batinnya untuk melihat yang tidak...