ALINGGA (Completed)

De HumayAira14

711K 58K 4K

Walaupun jahil semua orang menyukai Alingga. Kecuali Lyana. Alingga akan bersikap baik pada semua orang. Kecu... Mais

prolog
1 ALINGGA
2 ALINGGA
3 ALINGGA
4 ALINGGA
5 ALINGGA
6 ALINGGA
7 ALINGGA
8 ALINGGA
9 ALINGGA
10 ALINGGA
11 ALINGGA
12 ALINGGA
13 ALINGGA
14 ALINGGA
15 ALINGGA
16 ALINGGA
17 ALINGGA
18 ALINGGA
19 ALINGGA
20 ALINGGA
21 ALINGGA
22 ALINGGA
23 ALINGGA
24 ALINGGA
25 ALINGGA
26 ALINGGA
27 ALINGGA
28 ALINGGA
29 ALINGGA
30 ALINGGA
31 ALINGGA
32 ALINGGA
33 ALINGGA
34 ALINGGA
35 ALINGGA
36 ALINGGA
37 ALINGGA
38 ALINGGA
39 ALINGGA
40 ALINGGA
41 ALINGGA
42 ALINGGA
43 ALINGGA
44 ALINGGA
45 ALINGGA
47 ALINGGA (End)
Promo Bentar
extra part
yuuuhu

46 ALINGGA

13K 1K 153
De HumayAira14

"Lingga, Lingga!" Ujar Dewa dengan napas memburu, ia mensejajarkan langkahnya dengan Alingga.

Laki-laki dengan jas biru tua itu terdiam sejenak, menatap sahabatnya itu dengan datar.

"Lo sengaja ya biarin Lyana sama Abun couple-an gitu?" Tanya Dewa, kesal.

Alingga mendengus, kembali melangkah cepat ke belakang panggung. Dewa mengejarnya lagi.

Dengan sekali lirikan, Alingga bisa melihat senyum bahagia Lyana ketika ia di panggil ke atas panggung dan dinobatkan sebagai kostum serasi bersama Abun, bahkan mereka juga sempat berdansa. Dress renda berwarna putih yang Lyana pakai malam ini memang terlihat serasi dengan jas putih milik Abun, keduanya mencolok dan seolah bersinar.

Tidak bisa Alingga pungkiri bahwa dia cemburu, tentu saja. Memang suami macam apa yang tidak cemburu ketika istrinya malah di pasangkan dengan laki-laki lain. Walaupun Alingga sendiri tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Lyana, ia sendiri yang menolak memakai warna senada dengan perempuan itu karena berpikir warna biru tua akan terlihat jauh lebih bagus jika bersama putih.

Faktanya manusia memang tidak mau melihat keindahan dari sebuah perbedaan, hal apapun yang memiliki kesamaan menurut mereka akan cocok, begitupun hanya perkara warna.

Memiliki kesamaan artinya berjodoh, Alingga muak dengan asumsi konyol itu.

Prom night kali ini terasa begitu buruk untuk Alingga, di adakan di aula sekolah dengan suara riuh penuh tawa murid lainnya. Tapi ia sendiri bukannya menikmati acara terkhir bersama teman kelasnya itu, ia malah sibuk merengut sambil memantau Lyana dari kejauhan.

Acara prom sudah resmi di buka sejak satu jam lalu, semuanya sedang tertawa ketika mendengar para siswa yang menyanyi di atas panggung.

Baiklah, perlu Alingga beritahu jika saat ini ia bukanlah bagian dari keriuhan yang menyenangkan itu. Ia hanya banyak diam dengan tatapan datar, menerima kenyataan bahwa besok ia akan pergi, tidak akan mengabari Lyana lewat pesan atau hal apapun selayaknya pasangan suami istri. Ia tidak akan tahu apa yang perempuan itu lakuan tanpa dirinya.

"Putih nggak cocok sama putih. Tabrakan, keliatan jelek, lebih bagus sama warna dongker saling menonjolkan keindahan," komentar Alingga dengan marah.

Dewa mengangkat kedua bahunya. "Bukan salah warnanya, tapi salah lo kenapa ngebiarin Lyana naik ke panggung. Coba lo tahan dia tadi, pasti pemenang kostum itu ganti ke Athila, kan dia juga pakai dress putih."

"Picek berarti mata mcnya, dia gak lihat Athila!"

"Malah nyalahin mc."

Alingga melirik sinis Dewa, lalu menghela napas dan menatap tajam kearah Lyana yang berdiri bersama Abun di samping beberapa guru yang malam ini juga ikut memeriahkan acara prom night.

"Harusnya lo intropeksi diri Ga. Lo punya hak untuk ngelarang Lyana, tapi lo nggak ngelakuin itu dan marah ketika Lyana akhirnya sekarang sama Abun," Dewa menatap kearah pandang yang sama, melihat bagaimana Lyana menikmati prom night itu dengan senyum lebar.

"Dari awal juga karena lo terbiasa ngebiarin Lyana bebas, lo biarin Lyana jalan sama Abun sampai akhirnya Abun suka beneran sama istri lo, lo ngebebasin Lyana karena nggak mau dia nggak nyaman sama lo. Padahal justru itu, kebebasan yang lo kasih itu yang ngebuat Lyana ngerasa lo gak sayang dia."

"Gue sayang sama Lyana makanya gue biarin dia main sama siapapun," balas Alingga dengan pelan.

"Ga, Lyana bukan anak kecil. Larangan bukan lagi punya arti dikekang untuk dia," Dewa menepuk pelan bahu sahabatnya itu. "Lo mikir nggak sih, kenapa Lyana minta lo nggak usah kabarin dia sama sekali?"

Alingga menggelengkan kepalanya. "Gak ada waktu untuk mikirin itu, gue lebih sibuk mikirin nanti gimana dia tanpa gue."

Dewa menghela napas jengah.

"Dia mau lihat seberapa sayang lo sama dia, seberapa besar usaha lo untuk Lyana, tapi lo malah iya-in aja bukannya ngelarang atau cari cara supaya kalian tetap saling kabar. Lo nggak beneran sayang sama Lyana, itu yang dia bilang seminggu lalu."

"Dia-"

"WOOOHH! CIE YANG BESOK BERANGKAT, KIW KIW BAGI KENANG-KENANGAN DONG!"

Dewa dan Alingga menoleh, Gean bersama Abi muncul dengan kostum singlet biru kuning khas Upin & Ipin serta dasi sekolah yang di ikat di kepala, entah apa konsep kostum keduanya. Mereka terlihat percaya diri walau di jadikan bahan candaan.

"Bagi kenangan-kenangan Ga sebelum go minggat, misal uang 2M juga gak papa, ya kan Bi?" ujar Gean lalu menyenggol lengan Abi dengan gaya tengil.

Alingga mendesis kesal, perasaannya yang buruk berkali-kali lipat semakin buruk karena dua manusia di hadapannya itu. "Mata lo 2M!"

"Kalau mata gue sama Gean 2M, palingan udah gue jual-jualin tuh mata, Ga." Abi menyengir lebar. "Jiwa bisnis gue pasti makin memberontak kalau jual organ tubuh, apalagi mata mahal."

"Bego!"

"Jadi beneran besok berangkat pagi? Kemana sih sampai kita-kita gak boleh tau?" Tanya Gean.

"Mau tau?" Balas Alingga dengan senyum sinis, Abi dan Gean mengangguk cepat. "Gih tanya Dora, dia kan tau segala tempat," lanjutnya terkekeh.

"Ye sialan! Masa tanya ke dedek budeg."

"Tanya monyetnya aja sih, siapa namanya, mahmud? Jembut?" timpal Abi, bingung.

"Boots tolol Boots!"

Alingga menggelengkan kepalanya, lalu laki-laki itu berjalan menghindari keributan yang di buat oleh teman-temannya. Ia berjalan keluar dari aula sekolah, sedikit takut karena lorong cukup gelap namun berada di antara keriuhan dengan dirinya yang merasa kosong sepertinya lebih baik menghindar.

Alingga harus terbiasa tanpa mereka, disana mungkin saja ia akan sendirian, mengingat ia punya kesulitan beradaptasi dengan orang baru.

"Besok berangkat jam enam, apa perlu minta Lyana antar gue? Atau biarin aja dia pulang ke rumahnya?" gumamnya, bingung dengan keadaan sekarang.

Alingga berjalan lumayan jauh, lalu duduk di sebuah kursi dan kembali termenung. "Kalau gue mintar antar Lyana nanti dia makin sedih, mungkin biarin aja."

Laki-laki itu menghela napas berat, menyandarkan tubuhnya dan mulai memejamkan mata.

Papa bilang hanya 3 tahun, itu bukan waktu yang lama kan untuk Lyana menunggunya?

Semoga saja.

***

"Mas, mas Lingga?"

Guncangan di bahunya itu membuat Alingga mengeliat dan membuka matanya, ia mengernyit beberapa saat melihat dengan pandangan bingung. "Pak Panji?"

Satpam sekolahnya itu mengangguk. "Haduh mas Lingga kok bisa gitu ketiduran disini, yang lain udah pada pulang dari tadi."

"Hah, gimana?"

"Untung loh saya cek dulu, kalau nggak mas Lingga pasti udah di bawa kuntilanak sekolah, katanya sih kuntilanak suka yang ganteng-ganteng."

Alingga celingukan, kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul dan ia berdiri menatap sekitar. "Jam berapa sekarang pak?"

"Jam satu."

"Aduuh!" Laki-laki itu mengusap kepalanya dengan kesal, berdecak berkali-kali. "Beneran semua udah pulang?" tanyanya lagi.

Satpam itu kembali mengangguk. "Udah, guru-guru juga udah pulang mas."

Alingga mendesis, kesal pada dirinya sendiri. Kenapa bisa dia sampai tertidur di lorong sekolah, sendirian pula.

Laki-laki itu merogoh saku celananya, mengambil ponsel dan mengusap layarnya. Ada banyak panggilan tak terjawab dari Lyana membuat laki-laki itu semakin kesal.

Apa Lyana mencarinya? Apa perempuan itu mengkhawatirkannya? Apa Lyana marah karena Alingga tidak mengabarinya? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di dalam kepalanya dan membuatnya sakit, apalagi pertanyaan Lyana pulang bersama siapa? Benar-benar membuat kepalanya terasa hampir ingin pecah.

Alingga menghela napas, ia mengepalkan tangannya seraya mulai melangkah. Tapi baru tiga kali kakinya berjalan ia menoleh kebelakang. "Pak panji.."

"Iya, mas Lingga?"

"Antarin saya ke parkiran pak, saya takut hantu."

***

Alingga sudah memastikan Lyana tidak pulang kerumahnya melainkan pulang ke rumah perempuan itu sendiri, besok ia akan berangkat dan Alingga tidak ingin ada masalah di antara mereka sebelum ia pergi.

Maka tepat jam 2 malam, motornya berhenti di sebuah rumah berwarna putih dengan pagar hitam yang sudah terkunci. Alingga menurunkan kucingnya dari motor dan berdiri di depan pagar itu.

"Udah pada tidur Jen, nggak enak kalau bangunin jam segini," ujarnya sambil meletakkan Jennie di bawah dan laki-laki itu duduk di sampingnya.

"Apa naikin aja pagarnya ya terus masuk kamar Lyana dan ena-ena perpisahan, tapi kan kemarin udah tiga kali Jen. Menurut kamu gimana?" Tanya Alingga sambil mengusap kepala Jennie.

Kucing itu hanya menggerakkan ekornya lalu tidur di depan Alingga.

"Ah pelor banget kamu Jen, liat tanah aja udah ngantuk. Daddy dong lembur kemarin sampai jam 3."

Ucapan tanpa jawaban itu membuat Alingga terkekeh, ia menekuk kakinya dan memeluk lututnya sambil menatap rumah Lyana.

Alingga tahu, ini adalah hari terakhir ia di jakarta.

Laki-laki melepas jasnya dan ia letakkan di samping, ada satu fakta yang baru ia tahu dan pikirkan malam ini. Bahwa Lyana ingin laki-laki yang bisa memperjuangkannya, dan Alingga bukan laki-laki seperti itu. Ia terlalu pengecut bahkan hanya untuk sekedar melarang Lyana pergi dengan laki-laki lain.

Alingga tahu ia punya banyak keterbatasan dalam mencintai Lyana, ia sadar itu.

Maka setiap malam ia selalu berpikir, jika Lyana nanti menemukan seseorang yang bisa memperjuangkannya jauh lebih dari Alingga, dan jika perempuan itu meminta untuk menyelesaikan hubungan mereka sampai disini. Maka Alingga akan merelakannya, ia tidak akan mengikat Lyana di saat perempuan itu ingin lepas darinya.

"Besok kita berangkat Jen, kira-kira Lyana bakalan oleng ke cowok lain gak ya?" tanya laki-laki itu dengan mata berair.

"Tapi kalau oleng juga nggak papa sih, dia punya hak buat bahagia daripada nungguin gue yang gak jelas gini."

Malam itu semakin dingin, namun Alingga tetap memilih duduk di depan pagar rumah Lyana.

"Kalau Lyana naksir cowok baru kira-kira siapa ya Jen?"

"Apa Abun? Atau cowok lain?"

"Jen jawab dong.."

Laki-laki itu menghela napas, ia tidak berhasil bertemu dengan Lyana apalagi meminta maaf. Mungkin memang ia harus pergi tanpa mengucapkan apapun pada perempuan itu.

"Lyana cantik banget ya Jen," Alingga menarik napas lagi, lalu menempelkan dahinya ke lutut karena merasa matanya memanas.

Beberapa menit terdiam, akhirnya ia berdiri. Menggendong kucingnya dan menatap rumah Lyana lagi.

"Pulang Jen, kita butuh istirahat."

Alingga membalikkan badannya dan terdiam, ia mengerjap beberapa kali ketika perempuan dengan dress putih berdiri di hadapannya dengan kedua tangan menenteng high heels.

Mata perempuan itu memerah, make upnya luntur dan terlihat aneh. "Gue tuh nungguin lo yang tidur! Capek tau! Tau-tau pas gue tinggal ke kamar mandi lo nya pulang!" ujarnya dengan marah.

"Tadi kata pak Panji gak ada orang," ujar Alingga panik.

"Anjing lo! Suami brengsek, udah mau pergi lama gak tanggung jawab lagi ninggalin gue di sekolah!"

"Pergi lo sana! Sialan, brengsek!"

"Na, dengerin dulu-"

"Pak buka!" Lyana berteriak memanggil satpam rumahnya, selang beberapa detik seorang pria paruh baya datang dan membuka pagar.

"Anjing lo!"

Setelah sekali lagi memaki Alingga dengan suara serak dan air mata yang menetes, Lyana langsung berlari masuk ke dalam rumahnya.

***

"Papa ambil dulu berkas yang ketinggalan, kamu masuk-masukin aja barangnya."

Selepas kepergian Papa masuk ke dalam rumah, Alingga termenung sambil menatap barang-barang yang masih sisa setengah belum di masukkan ke dalam mobil. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku dan tangan kirinya memegang ponsel yang ad di sakunya.

Dengan perasaan takut, namun perlahan ia mengeluarkan ponselnya itu. Ia menatapnya cukup lama, ragu untuk melakukan sesuatu karena takut seseorang disana malah semakin marah.

Tapi apakah salah jika ia berharap Lyana datang dan mengucapkan salam perpisahan untuknya, atau mungkin sekedar satu pelukan hangat?

Ia akan benar-benar meninggalkan kota ini, kota dengan banyak luka yang mencoba membunuhnya secara perlahan.

Seandainya saja Lintang masih ada, mungkin ia tidak akan segila ini dan memutuskan untuk pergi lari dari keadaan, atau seandainya kakek tiba-tiba muncul dari dalam rumah dan mengatakan Sini sama kakek aja, kamu aman.

Mungkin Alingga akan mencoba menetap, ia akan belajar bagaimana menghadapi masalah tanpa harus memikirkan harus lari pada siapa.

Tapi kemudian ia sadar, harapannya itu adalah harapan paling mustahil. Lintang dan kakek tidak akan kembali, kenyataanya mereka sudah melihat dan menertawakan bagaimana seorang Alingga begitu pengecut dalam menghadapi dunia.

Lagi-lagi Alingga hanya bisa menghela napas, memikirkan bagaimana perasaan Lyana sekarang, mereka sedang bermasalah dan ia akan pergi tanpa tahu kapan akan kembali.

Dewa dan yang lain sudah ia beritahu kalau akan berangkat pagi ini, Gean dan Abi sudah ada di jalan untuk terakhir kali bertemu dengannya.

Hanya Lyana, hanya Lyana satu-satunya yang ia biarkan tanpa mengatakan apapun.

Lyana akan semakin marah, Alingga sudah bisa membayangkan bagaimana marahnya perempuan itu ketika ia tinggalkan begitu saja.

Ah, Ya Tuhan.. desisnya pelan.

Beberapa menit terdiam, Alingga mengusap layar ponselnya. Mencari kontak Lyana dan mengetik cepat.

Istri pengeran Lingga

: aku udah mau berangkat.

:kalau mau ketemu dulu, aku tunggu gak papa.

: papa bisa ngerti kok.

: maaf soal semalam, aku kira kamu udah pulang.

: maaf karena jadi laki-laki gak bertanggung jawab, maaf bikin kamu kecewa setiap hari.

: Lyana, aku sayang kamu.

: semoga kita ketemu nanti dalam keadaan yang lebih baik, aku akan coba memperbaiki diri untuk jadi suami yang kamu inginkan, suami yang bertanggung jawab buat kamu.

: Na, aku kangen kamu.

"Ayo, udah di masukin semua?" Papa kembali datang, menatap Alingga dengan kedua alisnya yang terangkat.

"Tunggu Gean sama Dewa pa, mau kesini katanya."

Papa mengangguk, memasukkan beberapa barang ke dalam mobil. "Cepat ya, gak ada waktu!" ucap Papanya dengan santai.

Alingga menunduk melihat layar ponselnya, ia memejamkan matanya dan mengangguk-anggukan kepala.

Setelah 20 menit menunggu, tidak ada apapun.

Lyana tidak membaca pesannya.

"Yaudah ayo pa, biar Gean sama Dewa ketemu di jalan."

To be contine..

Ada harapan happy end gak? Atau sad end? Wkwk😅

Continue lendo

Você também vai gostar

185K 18.2K 22
[HIATUS] [Content warning!] Kemungkinan akan ada beberapa chapter yang membuat kalian para pembaca tidak nyaman. Jadi saya harap kalian benar-benar m...
PERFECT MISSION [END] De Vaa

Ficção Adolescente

330K 27.2K 58
"Lo mau jadi pacar gue yang ke 898 gak, Ay?" "Mau. Tapi lo harus siap, jadi mantan gue yang ke 899." Arthur Adam El-farez. Cowok jangkung berparas t...
My Cold Prince De RARAROSE

Ficção Adolescente

2.6M 159K 57
High rank 1 #mostwanted (08 nov 2020) 1 #coldprince (13 nov 2020) 1 #remajabaper (15 nov 2020) 1 #wattpadstory (15 nov 2020) 1 #manis (20 nov 2020) 1...
319K 19.8K 55
☠️ PLAGIAT DILARANG KERAS☠️ FOLLOW SEBELUM BACA!!! Menceritakan tentang seorang gadis bernama Ayla Humairah Al-janah, yang dijodohkan oleh kedua oran...