NING, Dan Sebuah Kisah Dalam...

By Diarysna

52.2K 4.6K 1K

(ON GOING) "Ning, rasa cinta adalah hal yang ghaib, jika gak mempercayainya berarti sampeyan gak memiliki ima... More

PROLOG
Bab 1. Sang Bidadari Al-Qur'an
Bab 2. Anak Rembulan
Bab 3. Sang Penolong
Bab 4. Wasiat
Bab 5. Hutang Budi
Bab 6. Getaran Rasa
Bab 7. Secercah Cahaya
Bab 8. Titik Terang
Bab 9. Sebongkah Tanya
Bab 10. Pendar Rembulan
Bab 11. Janji
Bab 12. Sajak Ranah Kinanah
Bab 13. Mengeja Surga
Bab 14. Yang Terpilih
Bab 15. Pemantik Rasa
NOTE
Bab 17. Buah Bibir
Bab 18. Rahasia Hati
Bab 19. Jejak Yang Retak
Bab 20. Seterang Siang
Bab 21. Bagai Pungguk Merindukan Rembulan
Bab 22. Hati Yang Tergores
Bab 23. Ikatan Dari Masa Lalu
Bab 24. Nasib Dan Takdir
Bab 25. Menunggu Titik Temu
Bab 26. Rangkaian Harapan
Bab 27. Mengambil Langkah
NOTE
Bab 28. Isyarat Semesta

Bab 16. Sketsa Waktu

1.2K 136 25
By Diarysna

Kyai Kafabihi meletakan cangkir kopi di mejanya. Malam mulai meninggi, sepotong rembulan dengan bundaran nyaris sempurna tersangkut di antara carikan awan.

Lelaki itu menengadah. Dari balkon lantai dua rumahnya, beliau bisa menyaksikan Bahrul Falah terhampar luas. Kerlip lampu berpijar di antara puluhan bangunan yang berjajar, sebagian puncaknya menjulang menggapai rembulan.

Tonggak estafet Bahrul Falah telah sampai di generasi ke empat; para cicit Kyai Soleh. Dan kini, Kyai Kafabihi Ahmad sebagai anak tertua dari cucu pertama Kyai Soleh  mengemban amanah sebagai pimpinan tertinggi pesantren.

Di antara siluet bangunan itu, kubah raksasa berwarna emas adalah pemandangan paling fantastis dari atas sini. 
Cahaya berkilauan, seakan purnama tengah mendarat di sana. Jaraknya sekitar seratus meter dari sebuah gang besar berlapis paving block depan rumahnya.

Bagunan itu adalah Masjid Jami' Bahrul Falah. Bangunan pertama yang berdiri di pesantren. Dibangun oleh Kyai Soleh, kakek buyutnya puluhan tahun lalu.

Tiba-tiba, seseorang dari balik punggungnya berjalan pelan dan menyentuh bahunya dengan lembut.

Kyai Kafabihi mendongak. Senyum kecil menghias wajahnya yang terlihat muram.

"Lagi mikirin apa, toh, Bah?"

Lelaki itu sekali lagi hanya menanggapi dengan senyuman simpul. Ummi Nafis menghela napas, menyeret kursi di sebelahnya.

"Semua udah kehendak Gusti Allah, Bah."

Tatapan mata Kyai Kafabihi menyorot lirih menuju istrinya, lantas anggukan tipis menjadi satu-satunya tanggapan yang ia berikan.

"Besok Abah jadi ke Jakarta?" tanya Ummi Nafis memecah hening yang melintas beberapa detik lalu. Ia teringat soal undangan untuk suaminya dari istana negara. Undangan untuk memimpin do'a di sana.

"Insyaallah, Mi."

"Biha sama Ashfal, kan juga jadinya besok ke Jakarta."

Kyai Kafabihi menoleh. Keningnya berkerut. "Loh, bukannya mereka berangkat hari selasa?"

"Ndak jadi, Bah. Acara nikahannya, kan hari Selasa, jadi biar bisa istirahat dulu di hotel."

"Oh."

Setelah itu, keheningan kembali menjalar di udara. Pendaran rembulan berlarian di helaian rambut putih Sang Kyai. Udara malam menelisik di sela pori-pori.

"Aku mau istirahat dulu, Mi."

Setelah menepuk pelan pundak Ummi Nafis, Kyai Kafabihi mendorong kursinya kemudian menyeret langkahnya memasuki rumah, menuju kamar.

Ummi Nafis hanya mengawasi kepergiannya dalam diam. Beliau tahu betul badai macam apa yang tengah berkecamuk di dada suaminya itu.

Setelah acara perayaan Maulid Nabi di Al-Dalhar malam itu, Kyai Kafabihi benar-benar menemui anaknya Kyai Badri. Ummi Nafis melihat dengan haru bagaimana Kyai Kafabihi memeluk pemuda itu dengan erat. Seolah tengah melepas rindu dengan sahabat paling dicintainya.

Pertemuan itu tak lama, karena begitu pemuda itu memberi tahu jika Kyai Badri sudah meninggal, Kyai Kafabihi terlihat shock.

Bahkan sepanjang perjalanan pulang ke Surabaya, Kyai Kafabihi hanya diam. Ummi Nafis berulang kali berusaha menguatkannya.

Kejadian itu sudah berlalu hampir seminggu yang lalu. Namun kesedihan di wajah Sang Kyai tak kunjung hilang.

Suatu malam, Kyai Kafabihi tiba-tiba berkata pada Ummi Nafis.

"Aku ingin sekali menunaikan janji dengan Badri itu, Mi. Tapi bagaimana, aku udah terlanjur menyetujui permintaan Bu Nyai Fatma. Ndak mungkin aku membatalkannya."

Bukan tanpa alasan kenapa Kyai Kafabihi menyetujui rencana perjodohan itu. Setelah mulai menyerah menemukan Badri dan anak turunnya, beliau merasa menerima permintaan Bu Nyai Fatma adalah hal yang realistis.

Lebih lagi, Dzakwan, anak sulung Bu Nyai Fatma itu tumbuh dalam pengawasan Kyai Kafabihi sendiri. Mengingat, sejak Mts hingga MA, Dzakwan mondok di pesantren Bahrul Falah. Dia adalah pemuda yang baik dan cerdas. Beasiswa S1 ke Mesir menjadi buktinya.

Saat itu, Ummi Nafis, perempuan berhati selembut kapas itu memandangi wajah suaminya. sembari mengusap pundak lelaki itu, ia berkata.

"Jodoh itu janji Allah, Bah. Ndak apa-apa, biar Allah sendiri yang menentukan gimana baiknya."

Kyai Kafabihi selalu merasa begitu beruntung memiliki istri seperti Ummi Nafis. Seseorang yang selalu mendukungnya. Menguatkannya. Mengingatkannya bahwa dia beserta ilmu yang dimilikinya tak akan pernah sempurna tanpa kehadiran perempuan itu.

"Perempuan yang baik hanya untuk laki-laki yang baik," bisik Ummi Nafis.

Dan baik Ummi Nafis maupun Kyai Kafabihi yakin siapa pun yang akan menjadi jodoh anak bungsunya nanti, maka dia pastilah laki-laki yang baik.

Seperti mereka mengenal Una sebagai putri mereka yang baik dan penurut.

☘️🌱🍁

"Sebenarnya, Ibu dan Kyai Kafabihi udah merencanakan semuanya dari dulu, Nang."

"Kenapa Ibu ndak bilang dari dulu?" tanya Dzakwan.

"Ibu ingin kalian berdua fokus ngaji dulu tanpa memikirkan hal lain. Sekarang, Ibu pikir waktunya udah tepat untuk memberitahumu, Nang."

"Ta ... tapi, bagaimana dengan dia, Bu? Apakah Una udah tahu?"

"Belum, Wan. Una belum saatnya tahu. Tunggu nanti, setelah qur'an dan kuliahnya selesai. Gimana menurutmu, Nang?"

"...."

"Wan?"

"Tapi, aku belum pernah bertemu dengannya, Bu."

"Nanti juga ketemu. Ibu yakin kamu ndak akan kecewa. Dia adalah yang terbaik, Nang."

"..."

---

Dzakwan terkesiap begitu seseorang menggoyangkan bahunya.

"Wan, bangun! korang nak talaqqi ape nak tidoh?"

Dzakwan pura-pura meringis pada Faisal, temannya dari negeri Jiran yang sekarang sedang menghela napas.

Dilihatnya ke sekeliling, ia masih berada pada sebuah halaqoh di masjid Al-Azhar. Langit cerah membentang di atas kepala. Beberapa larik cahaya mengendap di lantai dan lekukan bangunan masjid.

Dzakwan membuka kitabnya. Kegiatan talaqqi ini semacam bandongan. Metodenya ialah meyampaiankan ilmu secara face to face dari seorang Syeikh. Dilakukan secara musyafahah (lisan) kepada murid-muridnya.

Seorang Syeikh itu akan duduk, biasanya pada sebuah kursi. Lalu murid-muridnya akan membentuk halaqoh mengelilinginya. Metode seperti ini juga yang diterapkan Nabi Muhammad saw sejak awal-awal kedatangan Islam.

Di masjid Al-Azhar sendiri ada banyak sekali ruwaq. Di antaranya yang masyhur ialah, ruwaq usthmaniyyah, ruwaq fathimiyyah, ruwaq magharibah, ruwaq al-atrak, dan ruwaq abasiyyah.

Ruwaq adalah bangunan tambahan yang berada di sekitar masjid. Fungsinya antara lain sebagai tempat tinggal setiap pelajar selama menimba ilmu di masjid Al-Azhar. Umumnya setiap ruwaq dihuni oleh para pelajar yang berasal dari satu negara.

Seperti ruwaq atrak disediakan untuk pelajar berkebangsaan Turki.

Sedang untuk para pelajar melayu seperti dirinya, biasa bergabung di ruwaq jawi. Ruwaq yang menjadi jejak pelajar nusantara sejak akhir pemerintahan Mamalik. Di sana, kebanyakan pelajar berasal dari Indonesia, Malaysia, dan Filipina.

Dzakwan termenung sekali lagi. Kata-kata yang Ibu ucapkan beberapa hari lalu itu berhasil memenuhi kepalanya.

Kaget?

Tentu saja. Pemuda itu tak menyangka jika dirinya benar-benar akan dijodohkan dengan putri bungsu dari Kyai Kafabihi Ahmad. Ia kira, selama ini ibu hanya bergurau saja saat menggodanya.

Ah, Ning Manunal Ahna. Tak banyak yang Dzakwan ketahui soal gadis itu. Meski dulu ia menghabiskan waktu enam tahun di Bahrul Falah, tapi nyaris tak pernah melihat putri bungsu Kyainya itu.

Tentu saja, hal itu karena sejak Mts, gadis itu sudah dipondokan di Yogyakarta. Belakangan Dzakwan baru tahu jika gadis itu akhirnya melanjutkan sekolah menengah atasnya ke Al-Dalhar.

Dan sekarang ia menjadi santriwati kepercayaan ibu.

Yang aneh adalah, Dzakwan bahkan tak tahu seperti apa rupa gadis itu. Ya, beberapa tahun berlalu dan ibu tak pernah sekali pun mengiriminya foto wajah Ning Una. Entah apa alasannya. Padahal ibu suka sekali menggoda dirinya dengan menyebut-nyebut nama Ning Una.

Ah, lagi pula jika dipikir, rasanya tak akan sulit bagi ibu untuk mendapatkan foto salah satu santriwatinya itu.

Jujur, Dzakwan adalah tipe pemuda yang tak suka dengan perjodohan. Ia lebih suka memilih sendiri.

Sayangnya, terakhir kali pemuda itu memilih, ia malah dikecewakan. Hal itu kemudian mempengaruhi fase kehidupannya selanjutnya. Salah satu alasan kenapa Dzakwan memilih untuk menutup rapat hatinya dan melampiaskan semua itu dengan terus belajar.

Tak ada yang bisa melayangkan cintanya sangat tinggi sekaligus menjatuhkannya begitu dalam selain gadis itu.

Gadis bernama Najuba Lubna.

Seorang gadis cantik asal Surabaya yang ia kenal saat menimba ilmu di Madrasah Aliyah Bahrul Falah. Tepatnya saat keduanya menjadi perwakilan Bahrul Falah untuk maju ke debat bahasa Arab provinsi.

Dari sana juga benih-benih cinta itu bersemi. Saat malam, Dzakwan sering diam-diam menyelinap ke dalam kelas putri hanya untuk menyelipkan surat cinta di meja milik Najuba.

Sebuah hal beresiko karena jika sampai diketahui oleh ustadz pembimbing, ia akan habis di-ta'zir.

Reputasi Dzakwan yang dikenal sebagai santri berprestasi sekaligus kesayangan para guru juga terancam runtuh. Untungnya, bahkan sampai mereka lulus, hubungan itu tak tercium oleh siapa pun.

Seperti kisah cinta lintas asrama lainnya, baik Dzakwan dan Najuba dihiasi oleh kerinduan dan harapan-harapan panjang. Kesempatan untuk saling pandang selepas sekolah menjadi satu-satunya penawar rindu. Begitu lulus, baru lah tak terhitung keduanya memutuskan bertemu.

Hal yang selalu Dzakwan ingat adalah sore itu. Sore saat Dzakwan berpamitan untuk melanjutkan studinya ke Mesir.

"Tunggu aku pulang, Najuba,"

"Insyaallah, Gus."

"Jaga diri, jaga hati," kekeh Dzakwan menghadap gadis itu.

Gadis itu mengangguk. Tersipu mengulum senyum.

Awalnya, Dzakwan kira hubungan mereka akan baik-baik saja. Apalagi, komunikasi mereka tetap baik selama menjalani LDR itu. Tidak ada tanda-tanda hal buruk akan menimpa.

Namun tiba-tiba, tepat ketika Dzakwan menyelesaikan Strata satu-nya. Gadis itu mengirimi sebuah file video padanya.

Sebuah undangan digital.

Undangan pernikahan.

Hati pemuda itu seketika dibuat hancur berkeping-keping. Bayangan masa depannya runtuh menjadi puing-puing.

Sejak saat itu, Dzakwan merasa Tuhan mengambil satu per satu hal berharga yang dimilikinya. Tak ada yang tahu gejolak di hatinya itu.

Orang-orang termasuk ibu mungkin melihat Dzakwan sebagai pemuda baik, cerdas dan faham agama. Mereka tidak tahu jika sudah lama hatinya kerap menggugat Tuhan. Menanyakan keadilan pada Tuhan.

Setelah DIA mengambil Abah, ternyata itu belum cukup. Setelah DIA mematahkan hatinya, itu juga belum cukup.

Sampai kemudian DIA menitipkan itu di badannya. Sesuatu yang menggerogoti hidup Dzakwan secara perlahan. Merampas waktu yang dimilikinya.

Dzakwan tak memiliki banyak kesempatan lagi. Hidupnya terbatas.

☘️🌱🍁

Jangan lupa vote dan komennya, ya :)
Salam cinta buat semua pembaca cerita ini. ❤️

Ttd : Diarysna

Continue Reading

You'll Also Like

1M 28K 11
Awal : 21 Agustus 2021 Selesai : 14 Februari 2022. TIDAK MENERIMA PLAGIAT DALAM BENTUK APAPUN! Proses revisi. Sudah tersedia di shoppe "aepublishing...
51.3K 1.1K 19
It all started with Christy Nelson when she met the Original hybrid, Klaus Mikaelson. At first, they started off antagonistic. And then, a connection...
392K 40.6K 22
انا العاصفة الحمراء ألتي تراهن وتربح انا القوة العظيمة الذي سوف تنهك كُل الارواح الجنون والتلاعب بحد ذاته هنا أستطيع ان اتلاعب بعقلك حَد الجنون امر...
71.8K 7.5K 55
A life of a strict father who is a soldier raising his 2 kids along with his duties.