Keinginan Jata untuk menikmati hubungan bersama dengan cara berbeda tidak berlangsung sesuai harapan. Akibat dituduh sebagai pemerkosa karena memaksakan hubungan seksual pada istri, mau tak mau Jata merenungkan perilakunya selama ini. Disebut tukang paksa sudah biasa. Bahkan semenjak dirinya bisa mengingat dan memiliki teman, julukan itu telah melekat padanya. Akan tetapi pemerkosa? Sungguh menyakitkan. Alhasil mereka hanya tidur bersama setiap malam.
Dua minggu sudah Jata berpuasa. Di samping kegamangan karena tuduhan Puput, pekerjaan kantor pun menuntut tenaga ekstra. Beberapa kali Jata terpaksa lembur hingga malam. Pembangkit listrik yang telah berusia puluhan tahun itu terkadang rewel, minta perhatian lebih. Perilakunya bisa Jata samakan dengan istri manja yang mengambek. Minggu ini, salah satu dari tiga generator berkapasitas masing-masing 10 MW merajuk lagi.
Asrul datang ke ruangannya saat menjelang makan siang. Wajahnya yang lesu jelas menunjukkan bahwa pemuda itu sedang bermasalah. Jata menduga masalah Fitri terus berlanjut.
"Patah hati?" Jata langsung tembak saja.
Asrul menjawab dengan desahan.
"Katanya sudah batal menikah. Kenapa masih suntuk? Kamu tinggal mencari pengganti yang lebih baik."
Asrul mendudukkan diri di depan Jata dengan kasar. Dari mulutnya tercium aroma rokok. Padahal sudah lama Asrul berhenti merokok. Mungkin karena berhentinya dahulu atas permintaan Fitri sedangkan mereka sudah putus sekarang.
"Kalau segampang itu, sudah dari kemarin aku move on, Bro."
Jata terkekeh. Ternyata tidak cuma dirinya yang menanggung masalah pelik. "Kalau gagal move on lebih bagus CLBK[1]."
"Nggak segampang itu juga CLBK, Bro."
"Omonganmu lebih merepotkan dari pantat jamuran," seloroh Jata.
"Kamu sendiri gimana? Istrimu sudah isikah?"
Jata kontan mengatupkan rahang. Melihat Asrul terbahak-bahak, ia menduga Asrul mengetahui rahasianya.
"Jangan-jangan istrimu masih perawan. Tuh, mukamu suntuk terus sejak pulang bulan madu."
Jata membuang muka lantas pura-pura menyibukkan diri dengan komputer. Tiba-tiba, Asrul menoleh ke pintu masuk yang terbuat dari kaca.
"Jat, tuh ada yang mencari kamu. Si cantik dari gedung administrasi. Sebentar lagi dia menjomlo, loh."
Jata mengikuti arah tunjuk Asrul. Napasnya langsung tersekat saat melihat siapa yang tengah berjalan gemulai menuju ruangannya. Tubuh jangkung dengan dada membusung itu langsung membuat gemuruh aneh. Apa yang terjadi dengan dirinya? Bukan sekali ini ia bertemu Wina di kantor. Sebelum menikah dulu kehadiran sang mantan tidak pernah menimbulkan reaksi seperti ini.
Berdebar-debar? Macam remaja jatuh cinta saja, Jata merutuk dalam hati.
"Hey, hati-hati. Nanti kamu kena pelet. Nih minum dulu, biar fokus," saran Asrul seperti tahu isi kepala sahabatnya.
Jata hanya berdecak.
"Kalo kamu banting setir ke Wina, aku boleh mengambil Puputkah?" Asrul terkekeh dengan suara yang sangat aneh.
Kata-kata itu terdengar sangat asing di telinga Jata. Asrul tidak pernah bercanda kebablasan seperti itu. Jata tidak menjawab. Sebuah pensil yang melayang ke badan Asrul sudah cukup untuk menyatakan kekesalan. Tawa aneh Asrul semakin menjadi.
Pintu kaca ruangan dibuka oleh Wina. Begitu wanita muda itu muncul aroma harum memenuhi sekeliling. Aroma itu terasa asing karena tidak mirip dengan parfum biasa. Entah mengapa Jata menjadi ingat dengan bunga sampai yang ditabur di kuburan.
"Halo, Mantan," suara Wina mengumandang dengan renyahnya.
Jata membalas dengan senyum tipis. "Mau ngapain, Win?"
"Ya ampun! Galakmu nggak ada kurang-kurangnya, ya?" Bibir sintal itu memulai kemanjaannya.
Kini Jata benar-benar merasakan ada hal lain memasuki ruang itu. Angin dingin menyertai kedatangan Wina. Diliriknya Asrul. Pemuda itu mengamati dirinya dengan sorot mata tajam.
Jata meneguk air putih sebelum mempersilakan Wina duduk. Luar biasa, kancing blus ketat itu sekarang terbuka lebih banyak. Lekuk di antara dua kubah yang membusung itu terlihat jelas. Darah mulai mengalir deras ke bawah, lalu berkumpul dan berdenyut di sana.
Serta merta, Jata teringat perkataan Puput tentang proses ejakulasi. Sangat benar apa yang dikatakan istri polosnya. Seharusnya ia bisa memutus rantai proses itu di suatu tempat sehingga tidak terjadi proses berikutnya. Dirinya sudah sering melakukan itu dan jarang gagal. Akan tetapi, berhadapan dengan Wina saat ini, sang adik mempunyai kesadaran sendiri, bangkit tanpa diminta pemiliknya. Beruntung ia duduk di balik meja sehingga tonjolan itu tidak terlihat. Entah bila terlalu lama diteruskan. Ia tidak yakin bisa mengendalikan diri.
Jata menengok jam tangan. "Aku mau pulang makan. Kalau ada perlu, cepat ngomong."
"Iya, iya. Jangan khawatir. Aku tahu diri, kok. Aku nggak akan mengganggu kenikmatan pengantin baru. Aku cuma mau bilang bulan depan ada auditor datang. Bos besar minta kalian bersiap-siap," kilah Wina.
"Cuma itu?" Aneh sekali, pikir Jata. Perempuan ini sengaja mendekatinya atau bagaimana? Gedung tempat kerja Wina terpisah beberapa puluh meter dari gedung tempatnya bekerja. Bukan sekali ini saja Wina harus menyampaikan berita kepada karyawan di gedung ini, namun baru kali ini Wina menyampaikannya dengan datang berkunjung.
"Iya, cuma itu." Wina tersenyum manja. "Tapi Bos Besar pesan, kerusakan di power house[2] segera dibenahi biar nggak ada temuan. Siapkan juga daftar masalah untuk didiskusikan lusa."
"Kamu bisa kirim pesan lewat WA atau telepon. Nggak perlu datang kayak gini."
"Jata, mantanku yang paling ganas, jangan mikir macam-macam. Aku datang ke sini karena mau jalan-jalan. Duduk terus di kantor seharian bikin kakiku bengkak. Lihat!" Wina mengangsurkan kaki jenjang mulus yang bak milik model ke depan. "Jadi, Jata, aku butuh jalan-jalan supaya ototku kencang dan bengkaknya hilang. Lumayan, seratus meter jalan bikin jantung sehat, lho."
Jata menelan ludah. Lagi-lagi Wina menyebabkan denyutan di selangkangan semakin kencang.
Alasan, batinnya. Masa jalan-jalan pakai high heels kayak gitu? Ia melengos diiringi dengkus keras.
"Terserah apa maumu!"
Wina tersenyum melihat wajah merona di hadapan. Di usia yang telah matang, tak mungkin dirinya salah memaknai tatapan penuh percikan yang diberikan Jata. Ia tahu Jata pun merasakan gelora yang sama. Hanya mulut lelaki itu saja yang pedas. Di dalam sana, sesuatu tengah menggelembung minta dipenuhi. Oh, rupanya ini yang membuat hatinya tidak karuan sejak pagi. Tidak sia-sia dirinya merindukan lelaki itu dan memimpikannya beberapa kali. Ternyata diam-diam ikatan batin mereka bersambung kembali.
"Ya udah. Aku juga nggak mau lama-lama di sini, kok." Sesudah itu Wina bangkit, sengaja dengan gerakan meliuk yang mengundang. "Kalau kangen aku, jangan sungkan telepon atau kirim pesan."
Perempuan yang tengah mengajukan gugatan cerai itu geli sendiri. Menggoda suami orang itu ternyata enak sekali. Dulu, dirinya selalu mati-matian menahan sikap karena kerap dituduh sebagai penggoda iman walau tidak melakukan apa pun. Bahkan suaminya pun sempat menuduh perempuan murahan. Ia lelah dengan semua itu. Mengapa tidak sekalian saja menikmatinya? Toh julukan itu telah melekat padanya. Dan Jata, lelaki menawan itu, tengah terengah menahan hasrat.
"Bye," pamit Wina. Bibir bergincu merah keunguan yang kontras dengan kulit putihnya itu melengkung membentuk senyum kemenangan. Ia bisa menebak bahwa selangkangan sang mantan tengah berdenyut keras.
Rasain! batinnya geli.
_________________
[1] CLBK = singkatan gaul untuk Cinta Lama Bersambung Kembali
[2] power house dalam PLTA adalah tempat atau ruang instalasi turbin dan generator, dimana tenaga air diubah menjadi energi listrik.