The Fate of Us | Jaerosè

By jaeandje

256K 22.5K 3.9K

Bagaimana jadinya apabila seorang Ketua Dewan Rumah Sakit secara tiba-tiba 'melamar' salah satu dokter reside... More

PROLOGUE
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
24
25
26
27
28
29
30
31

23

5.6K 544 101
By jaeandje

22.32

Hai? Adakah yang masih nungguin cerita ini?

I know its been 1 month since the last part was published, tapi awalnya gue beneran ga berniat ngegantungin kalian semua😭🙏🏻

Desember itu bulan terhectic gue di tahun 2022. UAS, kegiatan ospek jurusan (gue panitianya dugh🙄), Laprak, tugas artikel dll. Pokoknya beneran setiap hari itu full sampe gue ngga sempet buka aplikasi lain selain wa sama ig dan jujur gue keteteran banget waktu itu:")

Notif kalian nanyain 'kapan update' itu selalu muncul, gue liat kok. Tapi ya gitu ketutup sama notifikasi lain yang bikin gue lupa, sorryyyy bangett🥺

Anyway, here's the chapter that you guys have been waited for

HAPPY LATE NEW YEARS ALL!!

please, enjoy!

Belum genap dua jam tidur, Jehan terbangun karena terusik oleh sesuatu yang entah apa itu. Ketika Jehan membuka matanya, dia tidak melihat Rasel di sampingnya dan itu membuat Jehan terkesiap bangun sepenuhnya.

"Sel?"

Tidak ada jawaban.

Jehan turun dari kasur untuk mencari Rasel ke setiap sudut kamar yang super besar ini. Dia  menyusuri mulai dari balkon dan kamar mandi.

Namun dua netranya tidak menangkap sosok istrinya dari ketiga tempat tersebut. Hasilnya nihil. Perasaan tidak enak pun muncul dibenak Jehan.

"Rasel!"

Tanpa berlama-lama Jehan memutuskan untuk mencarinya diarea luar kamar dengan destinasi pertamanya adalah dapur atau mini bar. Mungkn sudah sepuluh menit Jehan mencari dan belum menemukannya, bahkan Jehan sudah bertanya kepada ajudan-ajudan yang berjaga.

"Kamu berjaga terus disini?"

"Iya, tuan. Ada apa?"

"Liat nyonya? Maksud saya, liat Rasel lewat sini ngga?"

"Tidak, tuan. Sebentar biar saya tanya tim yang menjaga di ruang CCTV--" Dia mencoba bertanya dengan handy talkie yang selalu dipegang.

'Di rekaman ini kami melihat nyonya masuk ke kamar tapi kami tidak melihat nyonya keluar'

Mendengar langsung jawabannya, Jehan kembali ke kamar ketika baru teringat kalau ia melewatkan satu tempat yaitu walk in closet tanpa mengucapkan apa-apa lagi kepada salah satu ajudannya.

Tepat saat Jehan masuk ke dalam kamar, indra pendengarannya menangkap sebuah isakan yang cukup keras. Jehan berjalan menuju sumber suara tersebut dengan perasaan tidak tenang. Benar saja walk in closet adalah tempat suara isakan itu berasal. Seketika Jehan mengutuki dirinya sendiri karena melewatkan tempat itu.

"Sel--" Jehan langsung menghampiri tatkala netra coklat nan tajamnya melihat sosok yang ia cari sedari tadi sedang duduk di sofa kecil pojokan dan memeluk kedua kakinya yang ditekuk sambil menangis.

"Dari tadi gue cariin ternyata disini.." gumam Jehan.

Helaan lega keluar dari hidung mancung Jehan. Ia duduk di depan Rasel seraya mengelus lembut puncak kepala wanita itu. Entah apa yang membuatnya terisak begini. Jehan juga tidak akan langsung bertanya sampai Rasel sendiri yang membuka suara.

Isakan tangis yang memenuhi ruangan malah semakin kencang sejak pria itu mengelus kepalanya. Hal ini membuat Jehan panik tetapi ia menyelipkan sedikit rambut ke belakang telinga, berharap wanita itu menunjukkan wajahnya.

"You had a bad dream?" tanya Jehan berhati-hati dan mendapat gelengan sebagai responnya. "Terus kenapa, hm?"

"Can you stop being sweet to me, please?!" jawab Rasel dengan nada yang cukup tinggi. Atau bisa dibilang wanita itu membentak Jehan dan suaminya itu terkejut bukan main.

"Kalo pada akhirnya kita pisah, berhenti bersikap baik, manis dan peduli ke gue. Jangan bikin gue makin jatuh cinta sama lo, hati gue ngga sekuat itu."

"G-gue denger, Je. Gue denger semua omongan lo--" ucap Rasel dengan suara serak. Ia membuka suaranya tanpa mengangkat kepala.

Mulanya Jehan mengernyit tak paham namun tidak lama kemudian dia menghembuskan nafasnya. Ketakutan yang Jehan rasakan sebelum tidur tadi nyatanya terjadi juga.

Dari sini Jehan menyimpulkan bahwa penyebab Rasel menangis di dini hari seperti ini karena wanita itu mendengar semua monolog Jehan tentang hubungan mereka sekitar sejam yang lalu.

"Lo serius mau kita cerai?"

Rasel sedikit mengangkat kepalanya namun tetap menghindari bertatapan dengan Jehan. Menopang dagunya pada tekukkan lutut dan memandangi lantai dengan sorot sendu.

Ingatan bagaimana kedua orang tuanya pergi atau bagaimana keluarganya menelantarkannya kembali terlintas dipikirannya. Rasel tersenyum kecut mengingat itu semua.

"Pada akhirnya gue sendirian lagi.."  Satu kalimat ini sukses menusuk hati Jehan hingga yang terdalam.

"Liat gue, Sel" Rasel tidak bergeming. Dia tidak menuruti perkataan Jehan karena dia masih tidak mau bertatapan dengan suaminya.

Tentunya Jehan tidak diam saja. Dengan satu tarikan, Jehan berhasil mengangkat Rasel ke pangkuannya. Dan bisa dilihat ekspresi kaget terlukis jelas di wajah sembab Rasel.

Akhirnya mereka pun bertatapan.

Rasek sontak memundurkan wajahnya. Jarak mereka berdua sangat tipis sehingga mereka bisa melihat detail wajah satu sama lain. Rasel kembali dibuat takjub oleh pemandangan yang sedang ia lihat, begitupun Jehan.

Saking takjubnya, pikiran Rasel teralihkan untuk sementara. Ditambah jantungnya yang kini sedang berdegup kencang membuat persoalan yang menjadi penyebab Rasel menangis terlupakan.

Jehan tersenyum manis sambil menatap lekat sang istri dipangkuannya. Wajah tembamnya basah, kedua mata coklatnya membengkak dan hidungnya sedikit memerah.

Tangan kiri Jehan memegang pinggang Rasel, menjaga supaya wanita itu tidak terjatuh dari posisi ini. Sementara tangan kanannya bergerak membelai lembut rambut panjang Rasel.

Rasel tersihir oleh tindakan dan ketampanan suaminya. Namun setelah kembali tersadar, ia mencoba turun dari pangkuan Jehan. Tapi tak dipungkiri tindakan Jehan tadi berhasil membuat tangisan Rasel berhenti.

"I told you to stop act being sweet to me--"

"Kita ngga akan cerai, Rasel" cela Jehan yang membuat Rasel diam terpaku. "Gue udah terlanjur sayang sama lo soalnya,"

"You're a liar."

"No, I'm not"

a few hour ago..

"I think we should get a divorce"

Mendengar perkataan cucunya itu, kakek sontak menatapinya dengan tatapan serius. "Yakin? Apa yang bikin kamu sampe mikir gitu?"

Jehan menggenggam kuat tangannya sendiri. Arah pandang mata tajamnya tidak putus dari sekumpulan foto yang berserakan di atas meja. Pikirannya pun sedang bergulat menghadapi kenyataan ini.

Raut wajah Jehan saat ini sangat menggambarkan berbagai macam perasaan yang tercampur aduk. Mulai dari rasa bersalah, bingung, khawatir, frustasi bahkan putus asa.

Jauh sebelum bertemu Rasel, tujuan Jehan dari dulu adalah memastikan Jeksa tidak berkeliaran dan membiarkan orang bejat itu diadili berdasarkan hukum yang ada.

Namun sekarang semenjak wanita yang kini memandang status istrinya itu datang, tujuan Jehan berubah. Apapun harus ia lakukan demi keselamatan Rasel.

Bukan karena rasa cinta seorang suami kepada istrinya, melainkan rasa kepeduliaannya yang cukup tinggi. Terlebih fakta bahwa ayahnya berkorban untuk Rasel membuat Jehan merasa bahwa ini menjadi tugasnya sekarang.

Tidak mungkin Jehan membiarkan pengorbanan ayahnya sia-sia.

Tapi mengapa saat ini Jehan malah merasa ragu?

"Rasel jadi kelemahan terbesar kamu--" kata kakek yang diangguki Jehan sehingga secara tidak langsung lelaki itu mengiyakan ucapan kakek yang sekedar menebak.

"Semenjak Rasel jadi istri aku, dia ngga pernah ngga dalam situasi yang bahaya. She's hurt because of me and I can't let that happen again--"

"Yaudah jangan cerai kalo gitu," timpal kakeknya sebelum Jehan selesai bicara.

"Justru kalau kalian pisah, kemungkinan Rasel kenapa-kenapa bakal lebih besar loh, Je"

Jehan terbungkam, masih menatapi titik yang sama dengan sebelumnya yaitu sekumpulan foto berserakan di atas meja.

"Sebelum kakek tau tujuan asli mereka, awalnya kakek juga sempet mikir kalau pernikahan kalian adalah ide yang buruk."

"Tujuan mereka sebenarnya?"

"Kamu mikir ngga kalau perpisahan kalian itu salah satu yang mereka mau?"

Jehan menatap kakeknya dengan dahi yang mengerut. Belum memahami maksud ucapan kakeknya barusan. Jujur saja persoalan ini berhasil membuat Jehan seketika tidak bisa berpikir rasional seperti biasanya.

"Kakek udah bilang semua ini skenario, Jehan. Dan kalau kalian sepakat cerai, kakek yakin perpisahan kalian itu termasuk ke dalam rencana mereka"

"Sedetail itu?"

"Demi kehancuran Kanagara, kehancuran kamu, iya sedetail itu." tukas kakek terdengar sangat tegas.

Jehan tersenyum kecut setelah menyadari sesuatu, "Jadi tujuan mereka kehancuran keluarga kita? Apa karena misi papah dulu?"

"Berarti keluarga Rasel target mereka juga?"

"Jeksa sama Lorenza ngga ngincar keluarga Rasel karena mereka tau kalau hubungan antara Aretha sama keluarga Farez dari awal emang ngga baik" jelas kakek sambil menyandarkan tubuh nya pada punggung sofa.

"Keluarga mereka hancur, keluarga kita juga harus hancur. Itu prinsip mereka. Sayangnya keluarga Rasel udah hancur jadi udah bukan target mereka lagi, tinggal keluarga kita"

"Bukan cuma karena misi Reygan, kita akuisisi perusahaan yang Jendra pegang sekarang di Singapura juga salah satu pemicu dendam Navarez. Kakek baru tau ternyata perusahaan itu udah diincar lama sama mereka,"

"Bisa dibilang perusahaan kita ngerusak alur bisnis mereka. Karena itulah Jeksa nyimpan dendam ke keluarga kita juga. Kalau Rasel ya kamu tau sendiri lah, Je"

"Dia satu-satunya saksi kejadian duabelas tahun yang lalu. Jadi tujuan utama mereka sekarang cuma kita sama Rasel"

Jehan mengusap wajahnya seraya menyandarkan diri pada punggung sofa. "Motif Jeksa itu jelas, tapi sampe detik ini aku sama yang lain belum nemu motif Lola ngelakuin ini semua."

"Lorenza Lahna, who the hell is she?!" dari intonasi nadanya Jehan terdengar sangat frustasi namun Kakek memaklumi itu.

Kakek memberi isyarat lagi untuk asistennya dan memberikan satu berkas lain kepada Jehan. Lalu setelah itu kakek berdeham. "Lorenza ada kaitannya yang bisa jadi motif dia,"

"Meskipun kakek rasa ada kesalahpahaman disini."

Jehan membuka dan membaca setiap kertas di berkas itu. Orang tua Lorenza adalah komplotan Jemian yang paling setia. Jehan tau itu. Bahkan kebanyakan informasi di dalamnya sama persis seperti yang Jehan ketahui jadi dia merasa tidak ada yang spesial dari berkas ini.

Jadi kesalahpahaman apa yang dimaksud?

"Reygan, Aretha, Farez, Jemian dan orang tua Lorenza meninggal di hari yang sama" ucap sang kakek.

"Aku tau itu. Orang tua Lola meninggal karena bunuh diri terus hubungannya sama Rasel apa?"

Kakeknya menghembuskan nafasnya. Detik saat ia mengetahui seluk beluknya, ia merasa semua ini terlalu rumit. Bermula dari Jemian yang menjadi buron utama intelijen negara yang ditugaskan ke pada Reygan dan Aretha, masih berlanjut hingga saat ini.

Sangat disayangkan masa itu Reygan, Aretha, Farez dan para agen BIN lain melewatkan satu kemungkinan mengenai putra tunggal Jemian yang nyatanya kemungkinan tersebut malah terjadi.

"Anak buah Farez berhasil menangkap orang tua Lorenza yang langsung dikirim ke badan intelijen. Disana mereka diinterogasi sama bawahannya Aretha dan selama proses interogasi mereka bunuh diri, tapi--"

"Lola mikirnya orang tua dia dibunuh sama bunda Rasel?" Kakeknya mengangguk terhadap sahutan Jehan yang disertai senyum miringnya.

Alasan itu sangat logis dan lebih dari cukup untuk menjadikannya sebagai motif Lola melakukan ini semua. Meskipun sederhana dan hanya bisa sebagai prasangka, Jehan tetap akan memberitahu Ezzra serta pihak kepolisian untuk persoalan ini.

"Padahal rekaman suara sama rekaman CCTV jelas nunjukkin kalau orang tua dia emang bunuh diri, dia butuh bukti apa lagi?"

"Orang yang udah dipenuhi amarah, rasa dendam mau apapun atau gimanapun kebenarannya ngga bakal bikin mereka sadar atau ngerubah tujuan mereka" balas kakeknya.

"What should I do now?"

"Jeksa memang hebat tapi Lorenza bermain sangat cerdik disini"

"Lorenza is smart. Really smart, Jehan. And her fiancé, Jeksa, has a very great backing, someone who has power to protect him. You and your team can not underestimate them,"

"So don't leave Rasel alone. You have to protect your wife as your father protect her."

"Kalo gitu lo bilang ngga seharusnya gue ketemu sama mamah maksudnya apa?" lirih Rasel dengan puppy eyesnya.

Jehan mengulas senyumnya tanpa mengalihkan tatapannya dari wanita yang masih duduk dipangkuannya ini.

"Itu karena gue baru tau tentang pernikahan kita ternyata salah satu skenario Jeksa--"

Rasel mengerutkan dahinya, "Jeksa Navarez? Yang lo bilang dia dateng ke rumah sakit buat manipulasi gue?" Jehan mengangguk.

"Gue juga tau kalau dia dalang penculikan lo kemarin" ucap Jehan yang membuat Rasel diam membeku.

Jehan sedikit menarik tubuh Rasel yang masih dipangkuannya agar lebih mendekat terlebih ia merasa istrinya itu melemas setelah mengetahui fakta dibalik tragedi tidak mengenakkan bbrapa hari yang lalu.

"Dia mau apa dari gue, Je?"

"Dia cuma mau kehancuran gue sama keluarga gue, ngga ada sangkut pautnya sama lo" jawab Jehan sambil tersenyum.

Lelaki itu sengaja tidak memberi jawaban yang sebenarnya karena dia tidak ingin menakuti Rasel dengan mengatakan bahwa Jeksa menjadikanny target sebab rasa ingin membunuh yang belum terpenuhi.

Jehan tidak bisa membiarkan ketakutan dari kebenaran itu menghantui kehidupan Rasel sehari-hari nantinya.

Padahal Rasel tau kok kalau ucapan Jehan itu bohong.

"Lo kena imbas karena lo istri gue. Jeksa mau gue hancur jadi dia nyerang semua kelemahan gue yang salah satunya itu lo, Sel."

"Kalau gue tau dari awal lebih baik gue tolak pernikahan ini demi keselamatan lo juga--"

"Berarti secara ngga langsung lo mau cerai sama gue dong?!" sentak Rasel.

Awal menikah dulu wanita itu memiliki pola pikir yang dewasa dan logis sehingga dia selalu berani menyuarakan bahkan melawan perkataan Jehan. Namun kini Rasel nampak seperti wanita polos yang tidak dapat menangkap cepat maksud dari ucapan Jehan.

"Engga, siapa bilang? Gue belum selesai ngomong--"

"Lo yang bilang 'dari awal lebih baik gue tolak pernikahan ini' itu artinya lo mau cerai!"

"Engga, Sel. Bukan itu maksud gue--"

"Terus apa?"

Jehan mengerjapkan matanya dan terdiam. Ia tidak tau harus memberikan jawaban logis macam apa supaya Rasel berhenti bertanya tentang hal ini.

"Tuhkan malah diem! Berarti emang bener lo mikir kita harus cerai kan?"

"Ya Tuhan, engga!"

"Bohong!"

"Oke. Y-ya gue emang sempet mikir gitu karena gue tiba-tiba kepikiran selama ini gue ngga pernah ngasih lo apapun selain penderitaan dan itu bikin gue ngerasa bersalah," kata Jehan yang berhasil menggerakkan hati Rasel.

"Tapi tenang aja. Gue ngga akan ninggalin lo sendirian lagi"

Wanita itu menghapus sisa-sisa air mata yang membasahi wajahnya lalu menatap Jehan dengan tatapan penuh arti.

"Je.."

"Hm?"

Rasel menghembuskan nafasnya lalu meletakkan dua tangannya di kedua sisi bahu Jehan. "Lo ngga perlu ngerasa bersalah gitu,"

"Selama ada lo dan yang lain, gue ngga bakalan kenapa-kenapa kok" senyum manis merekah di wajah Rasel.

"Justru gue yang ngerasa bersalah karena gue belum sempet bilang makasih sama lo. Makasih ya?"

Jehan memandangi manik coklat Rasel yang begitu indah apabila dilihat sedekat ini. Dia mengulas senyum bahagianya. Sorot tulus yang memancar di kedua mata wanita itu sukses menghasilkan getaran belum pernah Jehan rasakan sebelumnya.

"No need to thank me, as long as you're okay that's more than enough for me" balas Jehan tidak kalah tulus.

Rasel merentangkan kedua tangannya, pertanda bahwa ia ingin lelaki di hadapannya ini. Jehan yang langsung memahami itu pun membawa tubuh Rasel masuk ke dalam pelukannya.

"Jangan tinggalin gue ya, Je" ucap Rasel yang sedikit samar namun terdengar penuh harap.

Jehan hanya menanggapi dengan sebuah senyuman meskipun Rasel tidak bisa melihat itu. Tangannya tidak tinggal diam, mengelus lembut samping kepala Rasel yang menyandar di dada bidangnya.

Lelaki itu menyalurkan semua rasa sayangnya yang tidak pernah ia sadari ternyata rasa tersebut bertumbuh semakin besar seiring berjalannya waktu.

"Gue ngga tau mulai dari kapan tapi gue sayang sama lo, Jehan" ucap Rasel mengeratkan pelukan nya.

Jehan mengecup kening Rasel sambil memejam matanya. "Dan gue lebih sayang sama lo, Sel"

°°°

Hari ini adalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh Rasel. Setelah hampir seminggu beristirahat penuh, dilarang oleh suaminya juga, akhirnya dia bisa kembali bekerja seperti janji sang suami.

Ekspresi senang dan bersemangat terpancar jelas di wajah cantik Rasel setelah memakai tipis lipsticknya. Kemudian ia mengambil tas hitam di atas kasur dan merapihkan selimut tebal disitu sebelum meninggalkan kamar.

Rasel melangkah dengan senyum merekah yang belum luntur dari wajahnya. Ia sangat bersemangat karena bisa kembali bertugas menjadi seorang dokter.

"Mbu Lami!!!" teriak Rasel seraya memeluk satu-satunya asisten rumah tangga disini, Mbu Lami.

Ngomong-ngomong, Rasel dan Jehan baru kembali ke rumah mereka kemarin malam setelah dua hari menginap di rumah utama Kanagara. Makanya Rasel sesenang itu bisa melihat Mbu Lami setelah seminggu tidak bertemu.

Sebenarnya Tania meminta mereka untuk menginap lebih lama, namun Jehan menolak dengan alasan mereka membutuhkan waktu luang untuk berduaan saja.

"Selamat pagi, nyonya" sapa Mbu Lami dengan senyum ramahnya.

"Nyonya, nyonya.." Rasel mencebik tak suka dengan panggilan yang satu itu. "Panggil aku Rasel aja ih, Mbuu"

Mbu Lami terkekeh lalu mengangguk tanpa menghentikan kegiatannya menyiapkan sarapan untuk Tuan dan Nyonyanya.

"Aku bangunnya terlalu siang jadi ngga bisa bantu masak maaf ya, Mbu" ucap Rasel merasa bersalah.

"Gapapa kok, Sel. Ini kan udah tugasnya Mbu. Kamu baik-baik aja kan sekarang?"

Jangan kira Mbu Lami tidak tau masalah penculikkan Rasel. Saat itu dia sangat khawatir bahkan seminggu ini dirinya rela tidak pulang sampai mendapatkan kabar tentang kondisi Rasel yang sudah ia anggap lebih dari seorang majikan.

Namun beberapa menit yang lalu Jehan meminta Mbu Lami untuk tidak menyinggung persoalan itu apabila Rasel sendiri tidak membahasnya. Memahami maksud dibalik permintaan Jehan, Mbu Lami menurutinya tanpa banyak tanya.

Rasel mengangguk disertai senyum lebarnya, "Aku tuh dari dua hari yang lalu udah baik-baik aja tapi Jehan yang lebay"

"Bukan lebay itu namanya perhatian, Rasel. Tuan khawatir kamu kenapa-kenapa lagi"

"T-tapi-- Yaudah lah yang penting aku balik kerja hari ini, yeay! Ngomong-ngomong Jehan mana ya Mbu?"

"Lagi ngangkat telfon di luar" Mendengar itu, Rasel berlari kecil ke luar rumah untuk menghampiri Jehan.

Di sisi lain, seorang pria yang sudah berpakaian rapih sedang sibuk bertelefon dengan seseorang. Ekspresi wajahnya tidak begitu terlihat senang membuat para anak buahnya bergidik ngeri seketika.

Raut yang seperti ini hanya mereka lihat ketika bosnya itu sedang marah atau merasa tidak puas terhadap sesuatu.

"Maksud lo semua datanya hilang apa? Lo tau kan data-data itu bukti apa aja?"

"Gue ngga mau tau apapun caranya lo harus ambil alih komputer lo sendiri, Ya."

"Sesuai dugaan gue, mereka ngga bakal ninggalin jejak segampang lo kira. Jeksa sama Lola ngga sebodoh itu, Nat"

"Justru gue rasa mereka sengaja ngilang kayak gini karena mereka lagi ngerencanain sesuatu. Lo harus hati-hati, jangan sampe lo sama yang lain masuk ke jebakan mereka"

"Jehan!!"

"Pancing mereka? Gue punya satu cara. But let's talk later--" Jehan sontak menoleh ke arah pintu dan menampakkan istrinya disana.

Ujung bibirnya terangkat melihat itu lalu mematikan telfon secara sepihak. "Kenapa?"

"Gapapa, habis telfonan sama siapa?"

"Kepo amat"

"Dih! Apa banget mainnya rahasia-rahasiaan," sinis Rasel. Ia mendelik tak suka ke suaminya lalu kembali masuk ke dalam rumah. Seketika wanita itu merasa menyesal telah menghampiri kesini.

Jehan terkekeh geli seraya memasukkan ponsel nya ke dalam saku celananya. "Gitu aja ngambek"

Marven yang menyaksikan pasangan suami istri itu dari kap mobil hanya menggelengkan kepala. Pasalnya bos sekaligus temannya itu suka sekali mengusili Rasel. Marven tidak habis pikir.

Sementara di sisi sana, Jehan berusaha meraih tangan Rasel yang berulang kali dihempas oleh wanita itu.

"Astaga, gue bercanda. Tadi gue telfonan sama orang kantor--"

"Ngga peduli" cetus Rasel sambil melahap waffle yang telah disiapkan oleh Mbu Lami.

Jehan berdiri di samping Rasel lalu membungkuk sedikit untuk mendekatkan wajahnya dengan wajah wanita yang sedang sibuk mengunyah sarapan.

Cup

Dilihat ada kesempatan, Jehan mengecup singkat bibir ranum Rasel yang membuatnya berhenti mengunyah dan melotot kaget. "Lo ap--"

"That was for my morning kiss" ujar Jehan tersenyum penuh kemenangan.

"Morning kiss mata lo!" sentak Rasel berusaha menutupi rasa gugupnya. Sebenarnya Rasel tak masalah tapi kalau tiba-tiba seperti itu apakah kalian pikir hati Rasel kuat?

Rasel mencubit pinggang Jehan sehingga suami nya itu meringis pelan. "Ada Mbu Lami loh, Je"

"Emang kenapa? Ngga masalah kan, Mbu?" Jehan melihat ke arah Mbu Lami yang sedang menuangkan air putih untuknya.

Rasel juga menatap Mbu Lami dengan penuh harap jawaban wanita paruh baya sesuai apa yang ia pikirkan. Tetapi Mbu Lami hanya menunjukkan senyum canggungnya. Tidak tau harus memberikan tanggapan apa kepada pasangan ini.

"Lebih baik saya kembali ke belakang, Tuan, Nyonya.." ucap Mbu Lami dengan senyum yang tertahan kemudian pergi meninggalkan Rasel yang melongo dan Jehan yang terkekeh puas.

"Lo sih ah!" Rasel memukul pelan lengan Jehan yang malah semakin tertawa. "Main nyosor aja! Nyadar tempat coba?!"

"Lagian gue rasa cara itu bisa bikin lo luluh, masih pagi udah ngambek--"

"Siapa yang ngambek sih?! Gue ngga ngambek, Jehan. Cuma kesel aja gue nanya tinggal jawab apa susahnya? Malah 'kepoamat' dih" cibir Rasel.

Jehan terkekeh mendengar cibiran wanita itu, lalu menangkup wajahnya untuk ditatap lekat. Namun justru Jehan mengulangi tindakan mengejutkan yang membuat Mbu Lami pergi.

Cup

Rasel mengerjapkan matanya berulang kali dan tubuhnya membeku tepat setelah Jehan kembali mengecup bibir ranumnya namun kali ini Rasel merasa kecupan barusan lebih lama dibanding kecupan sebelumnya.

"Gemes banget, istri siapa sih?" godaan Jehan sukses menimbulkan semu merah di kedua pipi tembam Rasel.

"Kan gue udah bilang tadi gue telfonan sama orang kantor, mau nanya apa lagi, hm?"

Rasel tidak menjawab. Pandangannya sengaja menghindari tatapan Jehan. Setelah apa yang lelaki itu lakukan, Rasel merasa malu dan jantung nya berdegup kencang sekarang. Padahal ini bukan kali pertamanya Jehan bertindak begitu.

"Sel, kenapa?" tanya Jehan.

"Gue malu," gumam Rasel dengan suara kecil sehingga terdengar samar di telinga Jehan.

"Sel?"

Rasel menggeleng lemah lalu menutup wajahnya di lengan Jehan, membuat suaminya itu semakin terheran. "Gue malu tau?!"

Jehan sontak mengulas senyumnya, membiarkan Rasel bersembunyi disitu. "Malu kenapa? Karena gue ciu--"

"Sst! Ngga udah diungkit!"

"Yaudah iya-iya. Lo ke rumah sakit dianter sama Marven dulu gapapa? Gue ada meeting penting sama salah satu investor proyek jadi gue harus berangkat sekarang,"

"Serius sekarang? Lo belom sarapan loh.." Rasel tak sadar mengangkat kepalanya dan menatap Jehan.

"Gue bisa sarapan di kantor" balas Jehan disertai senyumnya.

Rasel mengerutkan bibir bawahnya. Padahal dia lagi kepingin sarapan bareng sama Jehan. Tapi ya apa boleh buat, Rasel tidak bisa memaksanya bukan?

"Yaudah.." ujar Rasel lesu. Ia hendak menyantap kembali sarapannya namun dirinya menjadi tak bersemangat.

Jehan terkikik. Ia melihat jelas bagaimana istriny itu menghela nafas dan tiba-tiba tidak bersemangat. Tangan kekarnya dengan lengan baju yang sudah digulung, bergerak mengelus lembut puncak kepala Rasel.

"Ngga usah bete gitu karna gue tinggalin, nanti malem ketemu lagi kok" goda Jehan yang langsung direspon sinis.

"Apa sih?! Udah sana! Katanya ada meeting" sinis Rasel sambil memaksakan diri melahap waffle yg dibuat Mbu Lami.

Jehan melebarkan senyumnya. "Ngambek lagi nih ceritanya?"

"Engga! Siapa juga yang ngambek? Udah sana!" tukas Rasel berusaha mengelak.

Lagi-lagi kekehan keluar dari mulut Jehan seraya memakai jas hitamnya. Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku celana kemudian mendekat ke arah Rasel.

Jehan sedikit membungkukkan badannya untuk mencium kening Rasel sebelum berangkat, satu kebiasaan barunya ketika hendak pergi sendirian tanpa Rasel di sampingnya.

Cup

"Selamat bertugas kembali, Bu Dokter." ucapnya. Sebenarnya Jehan masih merasa berat hati jika Rasel berkegiatan tanpa ada seseorang yang mengawasinya.

Meski begitu, janji adalah janji. Jehan bukan tipe orang yang suka mengingkari apapun janji itu.

Iya, kesepakatan mereka berubah semalam. Dan bodohnya Jehan luluh dengan mudah hanya karena sorot puppy eyes yang memancar di kedua mata indah Rasel.

Jehan mengecup kening Rasel sekali lagi namun kali ini ia mencium pipi kanan istrinya itu juga. "Semangat kerjanya hari ini. Nanti gue jemput ya?"

Setelah itu, Jehan benar-benar pergi dari hadapan istrinya yang entah sejak kapan melamun di meja makan sana. Sebelum memasuki mobilnya, dia mengingatkan Marven untuk memastikan Rasel baik-baik saja sampai di rumah sakit.

"Lo ngga perlu dateng ke meeting pagi ini. Cukup pastiin Rasel ngga kenapa-kenapa dan lo jangan macem-macem sama dia!"

Untuk saat ini hanya Marven seorang yang Jehan percayai.

Sementara disisi Rasel, wanita itu masih melamun di tempatnya. Dia dibuat melongo kaget oleh tindakan suaminya beberapa detik yang lalu.

Padahal ini bukan pertama kalinya Rasel dicium kening tapi kenapa jantung Rasel selalu brdegup tak beraturan seperti saat ini?

Rasel memegangi pipi yang dicium Jehan dan perlahan kedua ujung bibirnya tertarik mengingat sikap manis suaminya tadi. Kalau Jehan bersikap  begini tetus menerus sepertinya Rasel akan gila.

Baru dikecup saja jiwa Rasel sudah melayang, bagaimana jika lelaki itu melakukan yang lebih?

°°°

Sesampainya di rumah sakit, Marven tidak langsung pergi begitu saja. Sesuai perintah Jehan, ia berbincang-bincang dulu dengan tim keamanan Hadvent untuk bekerja sama dan memberi mereka titah khusus.

Memang harus sebegitunya untuk mengawasi Rasel.

Kemudian setelah itu Marven berencana ke ruang istirahat para dokter, mencari keberadaan Rasel untuk mengatakan sesuatu sekaligus berpamitan sebelum Marven benar-benar pergi dari kawasan rumah sakit.

Namun tidak sampai di tujuan, mata Marven menangkap orang yang ia cari sedang berjalan bersama temannya yang sangat familiar di matanya.

"Sel.."

"Marven!"

"Berhubung lo belum pergi, gue mau minta bantuan lo dong boleh ngga?"

Marven mengernyit, "Bantuan apa?"

"Kita berdua masih belum bisa ngehubungin Lola sampe sekarang nah gue mau minta bantuan lo karena gue tau lo sama Jehan lebih dari mampu buat nyari informasi seseorang ya kan?"

Jisya yang sebenarnya sudah mengetahui faktanya hanya bisa diam serta berpura-pura tidak tau sesuai permintaan Marven dan Jehan sebelumnya.

Sedangkan Marven menghembuskan nafasnya. Andai saja Rasel tau bahwa sahabat yang dia cari bersekongkol dengan anak dari pembunuh kedua orang tuanya. Lebih parahnya lagi menyimpan dendam yang begitu besar sampai memalsukan identitasnya demi mendekati Rasel untuk membalaskan dendamnya.

Marven cukup menyayangi hubungan pertemanan Rasel dan Lola harus berakhir seperti ini.

"Tolong ya, Ven? Udah lama gue ngga denger kabar Lola--" pinta Rasel dengan sorot puppy eyesnya.

"Ck! Lo ada janji sama keluarga pasien, buruan kesana" celetuk Jisya yang membuat Rasel menepuk jidatnya.

"Oh iya! Yaudah pokoknya gue minta bantuan lo ya, Ven! Hati-hati dijalan ke kantornya, jangan lupa suruh Jehan jemput gue nanti." kata Rasel sedikit berteriak seraya meninggalkan Jisya dan Marven disitu.

"Lain kali mungkin aja gue ngga bisa bantu lo dari pertanyaan Rasel tentang Lola lagi kayak barusan" ucap Jisya sambil mengikat rambut panjangnya.

"Gue ngga bisa terus-terusan tutup mulut disaat gue udah tau kebenarannya, Ven. Secepatnya Rasel harus tau tentang Lola dan gue saranin Jehan sendiri yang ngejelasin semuanya" Jisya menatap Marven dengan tatapan serius.

"Dikhianatin sahabat sendiri emang sakit dan gue tau Jehan ngga tega tapi gue rasa lebih baik Rasel ngerasain hal itu sekarang daripada dibohongin suaminya sendiri"

°°°

Jehan tersenyum seraya melihat sosok didepannya berlari kecil ke arahnya dengan beberapa jajanan ditangan dia. Tak lupa ekspresi bahagia yang terlukis di wajah cantiknya.

"Kita belum sampe 10 menit disini loh, Sel. Jajan apa aja itu?"

"Gue kangen jajanan gue waktu kuliah dulu jadi gue beli semuanya deh mumpung disini, gapapa kan?"

"Bakalan habis semuanya ngga?"

"Habis kok"

"Yakin? Daerah sini ada tempat langganan gue, Marven sama Ezzra dulu dan gue mau ajak lo makan malam disana soalnya,"

"Ya ajak aja sih ini kan cuma cemilan" gerutu Rasel. "Em-- Tapi gimana kalo makan malam dulu? Makan ininya nanti aja dirumah" ucap Rasel berubah pikiran.

Rasel menyengir sembari menatap Jehan yang dibuat tertawa kecil olehnya. "Makan malam dulu aja yuk, Je? Gue laper banget sekarang"

Jehan malah tertawa gemas lalu mengangguk, ia mengambil semua jajanan Rasel dari tangannya. "Tunggu disini, gue simpen ini dulu ke mobil"

Rasel menuruti apa kata suaminya. Ia menunggu di sebuah bangku kosong yang tersedia disana sambil memainkan ponselnya.

Tidak memakan waktu lama, Jehan kembali dengan kondisi jasnya dilepas dan kedua sisi lengan bajunya tergulung hingga sikut, karena parkiran mobil mereka tidak begitu jauh dari posisi Rasel saat ini.

"Yuk," celetuk Jehan mengulurkan tangannya dan Rasel langsung menerima uluran tersebut dengan  menggenggamnya.

Pasangan ini berjalan berdampingan menyusuri tempat yang cukup ramai dilalui banyak orang. Tempat yang Jehan rekomendasikan tadi akan memerlukam beberapa menit dengan jalan kaki. Namun keduanya tidak masalah karena dengan begitu mereka bisa menikmati waktu berduaan seperti pasangan umum lainnya.

Lagipula Jehan dan Rasel belum pernah melakukan ini sebelumnya jadi Jehan rasa dengan adanya waktu luang di malam ini bukankah lebih bagus dihabiskan berduaan?

Saat ini menunjukkan pukul tujuh malam dan mereka berada disebuah yang bisa dibilang seperti pasar malam berdasarkan ajakan Jehan yang ingin menepati janjinya tadi pagi.

Rasel mengayun-ayunkan tangannya yang menyatu dengan tangan Jehan bak anak kecil. Wanita itu tersenyum lebar sembari melihat sekelilingnya, entah mengapa rasa bahagia memenuhi benaknya saat ini.

Dia terlalu kalut dalam rasa bahagia itu sampai tidak menyadari bahwa sedari tadi Jehan menatapnya. Lucu. Satu kata yang pas untuk mendeskripsikan apa yang lelaki itu lihat.

"Tempatnya dimana ih, Je?" tanya Rasel merasa aneh. Pasalnya mereka berjalan sampai Rasel mendapati kawasan yang mereka lalui berubah.

Rasel melihat kawasan sekarang sedikit lebih elit dari yang sebelumnya.

"Sabar dong, gue kan masih mau jalan-jalan sama lo" jawab Jehan.

"Tapi gue laper!!" rengek Rasel mengerutkan bibir bawahnya.

Jehan tidak menanggapinya dengan jawaban, namun dengan tarikan kearah sebuah tempat makan yang cukup ramai sehingga mata Rasel pun berbinar lalu mensejajarkan langkahnya dengan langkah Jehan.

"Yeay, makan!" bisik Rasel antusias.

Jehan menggelengkan kepalanya. Sudah tidak lagi kaget dengan tingkah antusiasme istrinya terhadap aktivitas mengisi perut begini.

Setelah mengonfirmasi bookingannya dengan waitress, Jehan menarik Rasel menuju meja pilihannya yaitu di lantai paling atas yang bisa sekaligus melihat pemandangan indahnya malam hari.

Sementara Rasel belum berhenti memandangi interior sembari mengambil beberapa foto yang menurutnya terlalu indah untuk dilewatkan. Ya maklum aja soalnya dulu Rasel jarang ke tempat mewah begini.

Tapi semenjak menjadi bagian Kanagara, hidup Rasel dipenuhi kemewahan dan ia tetap mencoba membiasakan dirinya. Hanya saja pertanyaan Rasel cuma satu.

Apakah keluarga suaminya ini mengenal akan kalangan bawah sepertinya? Pasalnya pasar malam yang kita ketahui sederhana, dipenuhi berbagai pedagang kaki lima bukanlah pasar malam yang dimaksud Jehan.

Kawasan mewah dan elit inilah definisi pasar malam bagi lelaki itu. Meskipun ada beberapa pedagang kaki lima langganannya semasa kuliah dulu, tapi Rasel tetep aja kaget.

Berarti tempat makan langganan Jehan, Marven dan Ezzra dulu termasuk kalangan atas.

Di balkon lantai tiga, lantai paling tinggi di restoran ini, Jehan dan Rasel mendapat meja paling pojok. Lebih tepatnya Jehan memang sengaja memilih titik ini.

"Kenapa mojok banget sih?!" gerutu Rasel.

"Kalo lagi ngedate kayak gini lebih enak di pojokkan tau," balas Jehan menahan senyum.

"Lebih enak gimana?" Rasel mengernyit bingung.

"Perlu gue perjelas?" tanya Jehan dengan alis yang terangkat.

Detik itu juga otak Rasel berhasil mencerna apa yang dimaksud suaminya dan ia membulatkan matanya. "Lo mesum juga ya?!"

Jehan tertawa mendengarnya sementara Rasel mencebik kesal sambil membuka buku menu di tangannya. Untung saja percakapan mereka tidak terlalu kencang sehingga pengunjung lain tidak dapat mendengarnya.

Mau taruh dimana muka Rasel nanti?

-

"Dulu lo, Marven sama Ezzra sering kesini?"

"Iya, hampir setiap minggu sekali kita pasti kesini"

"Setiap minggu?!" Rasel memekik kaget. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

Tongkrongan macam apa yang ke restaurant mahal setiap seminggu sekali?

"Waktu itu gue sama Ezzra niatnya cuma ikut Marven ke tempat kerja kakaknya yang ternyata di restaurant ini, eh taunya keterusan sampe sekarang" kekeh Jehan yang seketika teringat dengan momen semasa sekolah dulu.

"Loh Marven punya kakak?" tanya Rasel cukup terkejut dengan informasi itu. "Kakaknya kerja disini? Yang mana?"

Jehan menopang kedua tangannya pada pagar balkon rooftop yang dimiliki restaurant ini. Area inilah yang sering didatanginya bersama Marven dan Ezzra dulu. Sedikit memalukan memang, di saat orang lain ke tempat ini bersama pasangan nya, sementara mereka bertiga sesama jenis pula.

"Divisi hukum perusahaan Jendra masih kurang pegawai jadi gue suruh Jendra rekrut mumpung kakaknya Marven kuliah jurusan hukum--"

"Jadi kakaknya lagi di Singapura sekarang?" tanya Rasel yang diangguki Jehan. "Wow.."

Setelah menyantap makan malam, pasangan ini tidak langsung pergi. Jam juga belum menunjuk kan tengah malam jadi Jehan memutuskan untuk mengajak istrinya ke rooftop yang menampakkan keindahan malam Kota Jakarta.

Akhirnya Jehan bisa merasakan atmosfer yang berbeda dari sebelumnya di area rooftop yang mayoritas dipenuhi oleh orang yang sedang menghabiskan waktu malam bersama pasangan nya.

Satu impian terpendamnya terwujud malam ini.

Jehan merogoh saku dalam jasnya ketika teringat sesuatu. Setelah mendapatkan sebuah benda di dalam sana, Jehan pun berpindah posisi menjadi berdiri tepat di belakang Rasel yang sedang memejamkan mata, merasakan desiran angin malam yang terasa begitu sejuk.

Rasel tersentak saat ia merasakan ada seseorng yang memasangkan sesuatu di lehernya. "Eh??"

"Jangan pernah lepas kalung ini lagi, gue mohon. Kalung ini satu-satunya harapan gue kalo gue lagi ngga di samping lo, Sel"

"Oh iya kalung ini.." gumam Rasel tersenyum tipis saat memandangi benda kecil namun indah yang  terpasang di lehernya.

"Jangan dilepas lagi ya?" Jehan menatap Rasel yang sudah membalikkan arah tubuhnya dengan tatapan memohon.

Rasel tersenyum lalu mengangguk. "Maaf, gue terlalu marah waktu itu--" lirihnya.

"Gue yang harusnya minta maaf" ujar Jehan seraya memeriksa kalungnya sudah benar-benar terpasang.

Tanpa aba-aba, Rasel memeluk lembut Jehan sehingga suaminya itu sedikit terkejut. Namun tak lama Jehan membalas pelukannya sambil tersenyum manis.

"Lo ngga tau sebesar apa rasa terima kasih yang gue rasain ke lo sama keluarga lo, Je.." ujarnya cukup samar karena Rasel membenamkan area wajahnya pada dada bidang Jehan.

"Gue sampe bingung harus bales pake apa karna gue rasa bilang makasih doang ngga cukup"

Jehan menghembuskan nafasnya seraya mengeratkan dekapannya. "Gue udah pernah bilang, selama lo baik-baik aja udah lebih dari cukup buat gue sama keluarga gue terutama mamah"

"Udah hampir setengah tahun kita nikah tapi kenapa lo masih aja ngerasa sungkan? Padahal orang tua kita itu temen deket loh.."

Rasel melepaskan sedikit dekapannya supaya ia dapat melihat Jehan. "Gue ngga tau. Kadang gue tuh suka mikir gue pantes ngga sih di posisi gue yang sekarang ini?"

"Orang tua kita emang temenan deket tapi dari duabelas tahun yang lalu gue biasa sendirian, hidup gue juga susah. Semenjak gue jadi bagian keluarga lo, gue ngga terbiasa"

Jehan tersenyum sambil menyisipkan rambut Rasel ke belakang telinganya. "Roda itu berputar. Ada saatnya orang ngerasa terpuruk, ada saatnya orang itu bangkit"

"Duabelas tahun lalu itu masa terpuruk lo dan ini saatnya lo bangkit. Lo pantes ngerasain gimana rasanya hidup sebagai kalangan atas, lo pantes untuk ngerasain itu, Sel"

"Gue ngga masalah kalau lo belum terbiasa, yang gue permasalahin disini itu gimana cara lo mandang rendah diri lo sendiri. Gue ngga suka itu,"

Jehan menatap Rasel dengan sangat lekat. Ia bisa melihat mata Rasel berkaca-kaca sekarang tanpa menyadari bahwa perkataannya sukses menyentuh hati kecil wanita di hadapannya ini.

"Mamah sama papah gue yang milih lo langsung, itu artinya lo pantes lebih dari siapapun. Buat apa ngerasa diri sendiri ngga pantes jadi istri gue?"

"Lo udah jadi bagian Kanagara sekarang dan lo boleh ngelakuin apapun sesuka hati lo, jadi jangan sungkan lagi. Kita ini suami istri, Sel. Keluarga gue, keluarga lo juga"

Rasel mengulas senyum manisnya seraya satu butir air mata menetes jatuh dari ujung kedua mata coklatnya. "Aku punya keluarga lagi skrng jadi ayah sama bunda ngga usah khawatir.." ucapnya di dalam hati.

"Hubungan kita bisa dibilang terpaksa kan? Tapi kenapa gue malah bersyukur terikat di hubungan ini?"

Jehan tersenyum, "Gue juga bersyukur kok ngga cuma lo doang"

Rasel tiba-tiba mengalungkan kedua tangannya di leher Jehan sambil menatap setiap inci wajah sang suami. Memandangi pancaran yang tidak hanya ketampanan namun juga ketulusan yang belum pernah Rasel dapatkan dari seorang pria sebelumnya.

"Don't be mad at me because I think I'm in love with you, Jehan"

"Why should I be mad at you when I fell in love with a woman who also says she's in love with me?" balas Jehan tanpa berpikir lama.

Jehan menyimpan tangannya dikedua sisi pinggang ramping Rasel, menarik tubuh istrinya itu supaya mendekat dan menghapus jarak antara mereka berdua.

"Gue denger lo belum pernah berhubungan sama cewek manapun, jadinya gue cewek pertama di kehidupan lo nih?" tanya Rasel tersenyum bangga kepada dirinya sendiri.

"Setau gue, lo juga belum pernah berhubungan sama cowok manapun. Artinya gue juga cowok pertama buat lo ya kan?" balas Jehan seraya mendekatkan wajahnya.

Rasel mengernyit, "Tau dari mana? Lo periksa latar belakang gue tanpa seizin gue ya?!"

"Lo pikir gue bakal nikah sama seseorang tanpa tau latar belakangnya?"

"Ngga sopan!" cetus Rasel dan Jehan pun tertawa.

"Gapapa dong, udah jadi suami istri ini.."

"Dih! Sebelumnya kan belum--"

"Yang penting sekarang udah," Rasel mencibir sementara Jehan terkekeh.

"Ezzra bilang gini ke gue-- 'Gue terkesan sama lo karena lo bisa bikin hati Jehan yang sedingin es batu mencair, dulu ngga ada satupun cewek yang bisa naklukin hati dia. Tapi lo berhasil, applause dari gue'--"

Jehan menunggu wanita itu melanjutkan kalimatnya tanpa melepaskan pegangannya pada pinggang Rasel.

"Gue jadi bangga sama diri gue sendiri" ucap Rasel penuh percaya diri disertai senyuman bangganya. "I am so honored to be the first woman to melt your cold heart, Jehan.."

Jehan mengikis jarak antara wajahnya dengan wajah Rasel, "It's an honor for me too to be the first guy you loved in your life, Miss"

Rasel semakin melebarkan senyumnya ketika melihat Jehan yang tersenyum manis ke arahnya. Mereka bertatapan, bertukar sorot mata yang menunjukkan bahwa mereka saling menyayangi.

Tanpa disadari, jarak diantara wajah keduanya sangat tipis sekarang. Keindahan malam dan bulan sabit serta beberapa pengunjung restoran yang mendatangi rooftop menjadi saksi momen romantis pasangan ini.

Namun tak lama kemudian, Rasel sadar akan tempat dan situasi sekitarnya. Ia menahan muka Jehan di bagian bibirnya, "Mau ngapain, hm?"

"Kiss you." jawab Jehan tanpa berpikir.

Rasel sontak melotot saat dirasa suara Jehan terlalu kencang hingga berpotensi orang lain mendengarnya.

"Heh! Banyak orang disini nanti mereka denger!" bisik Rasel.

"Gue ngga peduli,"

Rasel pun mencoba menjauhkan diri dari Jehan namun suaminya itu tetap menahan kedua sisi pinggangnya. "Enak aja, malu ah!"

"Sel.." rengek Jehan dengan ekspresi cemberut. "I miss your lips so bad--"

"Apa sih ngomongnya?!" cetus Rasel. Ia tertegun melihat wajah Jehan seperti sedang merajuk lalu menghela nafas.

"Yaudah tapi jangan disini." kata Rasel pasrah. Ia mengaku lemah dengan tingkah Jehan seperti ini.

"Nanti dirumah aja,"

"Bener ya? Gue tagih nanti."

Tetapi keinginan Jehan tidak terealisasi begitu mereka sampai di rumah. Bukan Rasel yang mengingkari janjinya tetapi kedua sahabat Jehan yang tb-tiba datang tanpa diundang dan mengajaknya untuk minum anggur bersama.

Ya Rasel sih seneng-seneng aja karena ia tidak jadi melakukan hal yang sempat tertunda tadi di restauran. Dalam hati ia berterima kasih kepada Ezzra dan Marven yang kedatangannya tiba-tiba begitu. Berbeda dengan Jehan, dia mendesah kecewa.

"Malam ini suami lo gue pinjem bentar ya, Sel?" sahut Marven yang sedang melahap potongan pizza.

Jehan melihat kedua temannya dengan tatapan sinis. Ia kesal dengan mereka karena datang di waktu yang sangat tidak tepat.

"Mau boys time nih ceritanya? Yaudah gue ke kamar duluan ya," ucap Rasel dengan senyum senang nampak jelas sekali di wajahnya.

"Selamat malam, Nyonya. Mimpi indah ya!" seru Marven disertai senyuman lebarnya.

Jehan menatap nanar kepergian Rasel menuju kamar. Mengapa disaat momen penting begini pasti ada saja gangguannya? Sepertinya kedua temannya ini memang tidak ingin membiarkan Jehan bermanis-manisan sebentar saja.

"Lo berdua ngapain ke rumah gue sih?! Ganggu quality time gue sama Rasel aja tau ngga?!" decak Jehan seraya melepaskan jas hitamnya lalu duduk di tengah antara Ezzra dan Marven.

"Loh bukannya dari tadi lo quality time sama dia? Sekarang gantian dong quality timenya sama kita berdua" ucap Marven dengan wajah tanpa dosa.

"Bukan ide gue ya, Je. Tadinya gue kesini mau ngobrol sama lo tentang pengeboman beberapa bulan yang lalu tapi si Marven malah maksa gue" tukas Ezzra mengklarifikasi bahwa dirinya tidak bermaksud mengganggu waktu manis pasangan itu.

Jehan tidak begitu menghiraukan karena ia sibuk menuangkan anggur merah ke dalam gelas yang  Marven sediakan tanpa meminta izin lebih dulu. Tapi Jehan tak masalah, toh sudah terlanjur juga.

Beberapa menit awalnya suasana cukup hening. Mereka bertiga menikmati tegukan demi tegukan anggur yang rasanya seperti sudah sangat lama dari terakhir mereka minum bersama karena smenjak Jehan menikah, mereka bertiga selalu kesulitan mencari waktu yang tepat untuk berkumpul santai begini.

Marven lebih dulu mengajak Ezzra dan Jehan bersulang dengan masing-masing gelas yang berisi anggur merah.

"Jadi gimana hubungan lo sama Rasel?" celetuk Ezzra tiba-tiba penasaran.

"Gimana apanya?" Jehan menaut heran ke arah Ezzra. Tidak mengerti maksud dari pertanyaan itu.

Ezzra tersenyum kecil, "Gue liat-liat ada kemajuan diantara lo berdua, iya kan?"

"Ya lo bisa liat sebucin apa si Jehan akhir-akhir ini, Zra" sahut Marven terkikik tak jelas. "Gue aja muak liatnya..."

"You love her, don't you?" tanya Ezzra.

Jehan diam termenung sambil mengetuk-ngetuk gelas kacanya. "I think I do--"

"Es batu mencair!!!" seru Marven sedikit heboh sehingga Ezzra dan Jehan mendesis kesal dan Marven hanya cengengesan.

"Selama gue di samping Jehan, gue ngga pernah liat dia selemah ini karena cewek. Gimana gue ngga heboh coba?"

Ezzra mengangguk setuju sambil meneguk anggur merah di gelasnya. "Saking dinginnya hati lo, gue sampe mikir kayaknya lo emang ngga tertarik berhubungan sama cewek manapun"

"Gue sempet khawatir malah karena lo ngga bisa hidup sendirian terus, tapi Rasel berhasil ngilangin kekhawatiran gue"

Marven memanggut-manggut. Ia sependapat dengan perkataan Ezzra. Sebelum Rasel datang, mereka sebagai teman dekat Jehan tentunya memikirkan bagaimana cara meluluhkan hatinya yang sedingin es. Tak terhitung jari berapa wanita yang ditolak oleh lelaki itu.

Tampaknya Jehan memang tidak tertarik berhubungan dengan siapapun. Alhasil Marven dan Ezzra pun memiliki ketakutannya sendiri terhadap masa depan Jehan. Pasalnya suatu saat nanti Jehan tidak mungkin hidup sendirian terus menerus, karena pada dasarnya manusia diciptakan untuk berpasangan.

Sudah banyak sekali cara yang mereka berdua lakukan sebagai teman dekatnya ditambah kakek Jehan yang meminta mereka secara pribadi untuk mencarikan cucunya pasangan tapi tidak ada satupun cara yang berhasil.

Bahkan Marven pernah sangat nekat mengganti jadwal pertemuan Jehan dengan kencan buta tanpa memberitahu Jehan. Tetapi cara tersebut hanya dilakukan sekali saja karena Marven cukup kapok didiami selama tiga bulan.

Sampai ide perjodohan Tania yang datang sangat tiba-tiba membuat Marven dan Ezzra senang tak tertolong. Mereka berdua sangat antusias begitu Tania memaksa sehingga Jehan pun tidak dapat membantah.

Namun mereka juga sangat dikejutkan oleh fakta bahwa hubungan Jehan dan Rasel bukanlah perjodohan semata. Keterkaitan mereka berdua jauh lebih erat dari yang mereka bayangkan. Bisa dibilang dua insan itu memang ditakdirkan terikat dalam hubungan ini.

Awalnya Ezzra dan Marven sedikit meragukan bahwa cara ini juga gagal. Namun nyatanya mereka salah.

"Pilihan orang tua emang ngga pernah salah--" ujar Marven senyum tak jelas. Ia berterimakasih kepada Tania yang sudah mempertemukan si es batu dengan Rasel di dalam hatinya.

"Gue jadi penasaran.."

"Hal apa yang Rasel punya sampe bikin lo jatuh cinta sama cewek untuk pertama kalinya?"

Jehan menyimpan gelasnya lalu menyandarkan diri pada sofa. "Her eyes, her hair, her nose, her cheeks, her lips, her baby face, her smile, it's just her beauty is everything"

"Gue bisa aja bilang alasan gue jatuh cinta karena fisiknya yang nyaris sempurna tapi bukan itu. Gue ngga tau pasti apa yang bikin gue sejatuh cinta ini sama Rasel--"

Marven merotasikan bola matanya dengan keadaan setengah mabuk namun ia masih tetap bisa mendengar sekaligus mencerna perkataan Jehan yang menurutnya kelewat cringe.

"Jehan, Jehan.. I know you love her but I didn't expect your love to her to be this much," kekeh Ezzra sambil menggeleng-geleng namun dia memahami perasaan seseorang ketika sedang kasmaran seperti Jehan saat ini.

"Agak aneh ngeliat lo bucin kayak gini tapi gue seneng karena akhirnya lo punya kebahagiaan lo sendiri sekarang"

Ezzra menepuk-nepuk bahu Jehan, "Berarti Rasel cinta pertama lo kan? Gue harap lo bisa jadiin dia yang terakhir sampe akhir hidup lo, Je"

°°°

Rasel melepaskan kacamatanya saat dirasa penat disekitaran dahinya. Menatap layar laptop selama lebih dari dua jam ternyata melelahkan namun penelitian yang sedang ia lakukan harus ia selesaikan progresnya.

Suasana kamar yang harum dengan wewangian ciri khas orang kaya itu hanya diisi oleh suara detikan jam dinding yang menunjunkkan pukul satu malam.

"Cowok-cowok kalo lagi minum alkohol bareng itu biasanya sampe jam berapa sih?! Lama amat dah perasaan," gerutu Rasel.

Tadinya Rasel berniat untuk langsung tidur, tapi ia tidak merasa ngantuk sama sekali makanya Rsel memilih untuk melanjutkan progres penelitiannya sambil menunggu Jehan selesai juga.

"Apa tidur duluan aja? Tapi tidurnya pengen sambil peluk Jehan--" rengeknya.

Rasel mengerucutkan bibir bawahnya. Bosan dan jenuh karena Jehan tak kunjung selesai. Dia bisa saja tidur saat ini juga, tetapi ia tidak mau tidur sendirian. Wanita itu ingin sang suami berada di sisinya ketika dirinya tertidur.

Ceklek.

Suara pintu kamar yang terbuka berhasik membuat Rasel mengalihkan kepalanya. Ekspresi wajahnya berubah sumringah melihat sosok yang ia tunggu akhirnya muncul dengan penampilan yang sedikit berantakan.

"Jehan!" Rasel tersenyum senang ke arah suaminya. "Udah beres?"

"Kenapa belum tidur?" tanya Jehan heran sekaligus kaget.

Dua kancing atas kemejanya terbuka sehingga menampakkan sedikit dada bidangnya ditambah rambut yang berantakan dan buliran keringat, terutama dalam keadaan mabuk begini sungguh menguji iman Rasel yang memandanginya.

Rasel sudah mulai terbiasa kok, tapi ya tetap saja terkadang ia berdegup kencang hanya penampilan seksi suaminya seperti ini.

"Ngga bisa tidur.." cicit Rasel sedikit memanyunkan bibirnya.

"Terus lo nungguin gue? Ini udah tengah malem loh, Sel" balas Jehan dengan suara berat nan seraknya.

"Kenapa ngga bilang sih, hm? Kalo gitu gue bisa beres minum lebih cepet,"

"Gue ngga mau ganggu waktu kalian, Je.."

Rasel menyimpan laptopnya di nakas samping kasur kemudian menepuk-nepuk dadanya seraya merebahkan diri. "Jehan sini coba,"

"Ngapain?

"Tidur disini--"

Dia memberi tanda kepada suaminya untuk tidur di dalam pelukannya sambil senyum penuh harapan. Namun Jehan malah menggeleng.

"Ngga mau, gue masih bau alkohol soalnya" jawab Jehan sembari melepaskan jam tangan dalam keadaan sedikit mabuk.

"Gapapa, gue pengen peluk lo. Sinii cepetan" Lagi. Rasel menepuk-nepuk dadanya. Mempersilakan sang suami rebahan di dalam dekapannya.

Karena tidak mabuk total, Jehan masih sangat bisa untuk mendengar dan memahami ucapan Rasel dengan jelas. Buktinya lelaki ini tersenyum manis sebelum mengikuti kemauan sang istri.

Dengan langkah pelan, Jehan menghampirinya lalu merebahkan dirinya tepat di rengkuhan Rasel yang sudah kesenangan karena keinginannya dituruti.

Dada serta lengan Rasel dijadikan bantal untuk Jehan rebahan dan lelaki itu melingkarkan tangan kekarnya di perut datar Rasel. Sementara Rasel memeluknya sambil mengelus rambut Jehan tanpa ada masalah padahal aroma alkohol cukup kuat menyeruak dari tubuh suaminya.

"Ezzra sama Marven pulang?"

Jehan menggeleng tipis, "Engga. Buat malam ini mereka bilang numpang tidur disini"

"Besok mau dibangunin jam berapa, hm?"

"Jam 7"

Rasel sedikit tersentak, "Kok pagi banget? Jam segini aja lo belum tidur, nanti waktu istirahatnya ngga cukup--"

"Cukup asal gue tidurnya kayak gini terus" cela Jehan yang mengeratkan dekapannya. "Ck! Apaan deh?!"

"Buat janji lo malam ini bakal gue tagih besok ya" ucap Jehan setengah sadar karena rasa kantuk yang mulai melandanya.

Rasel terkikik lalu terlintas ide jahil di otaknya, "Kenapa ngga sekarang aja?"

"Jangan pancing suami lo yang lagi mabuk, Sel" jawab Jehan yang membuat Rasel tertawa kecil.

"Yaudah selamat tidur, suami"

Tangan Rasel masih mengelus lembut kepala suaminya sementara Jehan mulai merubah posisinya, pria itu menenggelamkan wajahnya diceruk leher jenjang Rasel. Mereka saling memberi kenyamanan untuk satu sama lain.

Cup

"I love you, Sel"

Meskipun samar, tetapi Rasel mendengar dengan sangat jelas ucapan yang membuatnya mengulas senyum. Namun wanita itu sedang membeku saat ini karena suaminya mengecup singkat leher jenjangnya.

Dan hal itu sukses membuat kewarasan Rasel menghilang seketika.

to be continued~~~

Jiakhhh siapa yang takut mereka cerai????

Tenangg, mereka udah saling bucin satu sama lain kok wkwkwk

Info. Part selanjutnya bakal gue publish besok ya.

Atau kalian maunya kapan?🤔 TAPI GA BISA SEKARANG BANGET YA, GUE ADA RAPAT SOALNYA HEEE🙏🏻

Bagaimana part ini? Semoga tidak mengecewakan kalian yang udah nungguin ya:(

Spoiler for next part : Something will happen between Rasel and Jehan.

See u di part selanjutnyaa!❤️

Continue Reading

You'll Also Like

41.9K 4.8K 18
Terpaksa Menikah dengan seorang pria yang tidak ia ketahui, tinggal di rumah yang sama dengan pria asing memiliki status suami, tidak membenci namun...
33.5K 4.4K 42
[DISCLAIMER!! FULL FIKSI DAN BERISI TENTANG IMAJINASI AUTHOR. SEBAGIAN SCENE DIAMBIL DARI STREAM ANGGOTA TNF] "apapun yang kita hadapi, ayo terus ber...
194K 9.5K 32
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
92.7K 17.7K 187
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...