NING, Dan Sebuah Kisah Dalam...

By Diarysna

47.4K 4.3K 1K

(ON GOING) "Ning, rasa cinta adalah hal yang ghaib, jika gak mempercayainya berarti sampeyan gak memiliki ima... More

PROLOG
Bab 1. Sang Bidadari Al-Qur'an
Bab 2. Anak Rembulan
Bab 3. Sang Penolong
Bab 4. Wasiat
Bab 5. Hutang Budi
Bab 6. Getaran Rasa
Bab 7. Secercah Cahaya
Bab 8. Titik Terang
Bab 9. Sebongkah Tanya
Bab 10. Pendar Rembulan
Bab 12. Sajak Ranah Kinanah
Bab 13. Mengeja Surga
Bab 14. Yang Terpilih
Bab 15. Pemantik Rasa
NOTE
Bab 16. Sketsa Waktu
Bab 17. Buah Bibir
Bab 18. Rahasia Hati
Bab 19. Jejak Yang Retak
Bab 20. Seterang Siang
Bab 21. Bagai Pungguk Merindukan Rembulan
Bab 22. Hati Yang Tergores
Bab 23. Ikatan Dari Masa Lalu
Bab 24. Nasib Dan Takdir
Bab 25. Menunggu Titik Temu
Bab 26. Rangkaian Harapan
Bab 27. Mengambil Langkah
NOTE

Bab 11. Janji

1.1K 145 20
By Diarysna

Sembari menerawang ke arah langit dari balik jendela, Bu Nyai Fatma menggamit erat ponselnya, sesekali matanya jatuh pada layarnya, binar mata harap-harap cemas menguar.

Perempuan berusia separuh baya itu tak pernah se-antusias ini. Seolah sebentar lagi harapannya akan bertaut. Kebahagiannya lekas tergenapi.

Sejak suaminya, Pak Kyai Fardan wafat, air mata rasanya sudah kering. Hatinya mengebal bak baja. Kesedihan berlalu berganti tekad kuat untuk meneruskan perjuangan suaminya mengabdi di pesantren.

Bu nyai Fatma lantas mendirikan komplek Sayyida Al-Hurra, komplek Tahfidhz putri di pusat pesantren. Salah satu komplek di pesantren Al-Dalhar yang perkembangannya paling pesat. Metode hafalannya paling efektif.

Sedang komplek Salaf yang dulu dipimpin oleh Kyai Fardan dilanjutkan oleh kakak dari Bu Nyai Fatma yakni Kyai Zainal.

Meski begitu, suksesor Kyai Fardan yang sesungguhnya adalah Dzakwan, anak pertamanya, yang sekarang sedang menyelesaikan Strata 2-nya di Al-Azhar Universiy, Mesir.

Bu Nyai Fatma menarik napas. Semua ingatan itu perlahan menyergapnya. Ingatan tentang kebersamaan antara Badri, Kafabihi dan Abah di aula komplek.

Tiba-tiba ponsel dalam genggaman Bu Nyai Fatma itu bergetar. Sebuah panggilan telfon baru saja masuk. Tercetak di sana, Kang Mas Kafabihi Ahmad.

"Assalaamu a'laikum." suara berat di seberang sana terdengar.

"Waa'alaikumus salaam."

"Nyuwun sewu, aku baru buka hape. Baru pulang dari kampus. Enten nopo, nggih?"

"Aku mau ngasih kabar, Mas."

"Kabar apa, Ning?"

"Aku udah ketemu."

"Ketemu sinten?"

Bu Nyai Fatma tersenyum, tampak tak sabar mengucapkannya. "Ketemu Abdullah Kafabihi. Putranya Mas Badri."

Beberapa detik berlalu, dan tak terdengar tanggapan apapun di seberang sana. Bu Nyai yakin Pak Kyai Kafabihi itu mungkin telah kehilangan kata-katanya saking kagetnya.

"Di komplek mana dia, Ning?" Kalimat itu seolah diucapkan dengan nada sedikit tercekat. Terdengar antusias di saat yang sama.

"Komplek, Al-Manshuriyyah, Mas."

"Gus Busyro?"

"Nggih."

"Alhamdulillah."

🌺🥀🍀


Una menghela napas cukup dalam. Rongga dadanya terasa sesak dipenuhi udara. Kepalanya terasa pening serta pikirannya mengelana, menciptakan banyak cabang.

Suara lantunan sima'an Al-Qur'an dari komplek Tahfidzh Asiyyah masih melangit. Lantas pecah di udara, membanjiri seluruh permukaan atap pesantren yang tergenang sisa cahaya matahari.

Sebentar lagi waktu dzuhur tiba.

Awan-awan perlahan berarak, semburat hujan tampak erat terikat. Tinggal menanti detik sampai satu tetes noktah berdetak di bumi.

Gadis itu sudah menutup mushaf Al-Qur'annya beberapa menit lalu. Bibir tipis merah mudanya tak lagi bergumam.

Ia teringat dengan secarik kertas yang terselip diantara halaman kitab Mafatih Al-Ghoib yang baru dikembalikan Gus Anam kemarin sore begitu berakhir kelas terakhir di hari Sabtu.

Satu penggal sajak berbahasa arab tanpa harokat yang tertulis rapih.

ﻳﻨﻔﺘﺢ ﻗﻠﺐ ﺍﻟﻤﺮﺍﺓ ﺇﻟﻰ ﻣﻦ ﻳﺪﻕ ﻋﻠﻴﻪ ﻛﺜﻴﺮﺍ

Yang kurang lebih, artinya; 'Hati wanita akan terbuka untuk ia yang mengetuknya berkali-kali.'

Apakah Gus Anam sedang mengutarakan perasaannya? Setelah ratusan salam-nya yang terabaikan sejak beberapa tahun lalu. Apakah sekarang puncaknya?

Una dihinggapi kegelisahan. Apa yang harus ia lakukan? Tanggapan seperti yang harus ia berikan?

Ah, ia ingat setelah dirinya tiba di asrama, sebuah pesan masuk dari Gus Anam membuat Una mengernyitkan dahi.

Udah dibaca, Ning?

Padahal saat itu Una bahkan belum membereskan isi tasnya sama sekali. Karena itu juga gadis itu jadi curiga dan langsung mengecek kitab Mafatih Al-Ghoib-nya dan benar saja. Di sana lah ia menemukan secarik kertas itu.

Malamnya selepas Isya, lagi-lagi ada pesan masuk dari Gus Anam.

Maaf, Ning. Semoga sampeyan ndak marah. Saya hanya menyampaikan apa yang saya rasakan selama ini. Saya tak meminta semuanya serba cepat. Saya berniat serius, dan saya siap untuk menunggu sampai sampeyan siap.

Membaca itu sontak saja membuat kepala Una pening. Gadis itu tahu suatu saat nanti ia akan berada di posisi ini, tapi ia tak menyangka harus mengalaminya sekarang.

Ya Allah, baru beberapa minggu lalu isi kepalanya terkuras untuk memikirkan seorang bernama Abdullah Kafabihi, membuat banyak kegiatan dan hafalannya terasa tersendat. Sekarang, begitu ia terbebas dari sosok Abdullah Kafabihi, serta mulai bisa melanjutkan banyak targetnya dengan tenang, seorang pria lain malah datang lagi.

Menyita isi kepalanya sekali lagi.

Ah, Gus Anam adalah pemuda alim dan sholeh. Una tahu betul itu. Seorang calon suami idaman? Tentu saja. Tapi bukan itu masalahnya sekarang. Selain karena Una memang masih ingin fokus pada Al-Qur'an dan pendidikannya, ia juga belum merasakan apapun pada pria mana pun.

Jika hanya sebatas rasa kagum, mungkin. Ia pernah merasakannya, entah itu pada Gus Anam atau pada santri misterius bernama Abdullah Kafabihi itu. Tapi sekali lagi itu hanya rasa kagum biasa. Tidak lebih.

Baiklah, jika Gus Anam siap untuk menunggu, maka Una juga tak akan membalas pesannya dulu. Sampai ia siap. Bukan begitu?

"Mbak Na!" Teriakan Naora yang mencuat dari tangga menuju rooftop membuat Una sedikit terkesiap.

"Dalem?"

"Ke kamar bentar, deh."

"Ada apa, Ra?"

"Bentar, aja.

Una akhirnya nurut dan menyusul Naora menuju kamarnya di lantai satu. Tiba di sana, gadis itu sudah menemukan adik sepupu Naora yang masih kelas 2 Madrasah Aliyyah yakni Hilma tengah duduk manis menenteng sebuah kitab kuning.

"Minta bantuan, Mbak," kekeh Naora.

"Bantuan apa?"

"Ini si Hilma maknain kitab Fathul Qorib buat ngaji sorogan besok senin."

"Lah, kok ke aku? Sampeyan, kan sekamar sama Ning Farida yang jago kitab kuning." Seringai kecil Una membalas pupy eyes-nya Naora.

"Ning Farida lagi keluar sama Faros, Ning-ku"

"Oh."

"Kalau Mbak Retno ke mana?" Tanya Una karena melihat penghuni kamar Naora lenyap semua.

"Lagi main ke temennya di Al-Kandiyas."

Akhirnya, Una mendudukkan dirinya. Setelah meminjam kitab itu sebentar untuk mengejanya, barulah ia perlahan mulai men-dikte-kan makna kitab Fathul Qorib itu pada Hilma. Una memang tak semahir Ning Farida kalau urusan kitab fiqh, tapi soal nahwu, shorf dan mufrodat lumayan berimbang, lah.

"Wa syar'an qoriinatun tadullu alas-shidqil muda'iy bi an tuuqi'a tilkal qoriinatu fil qolbi shidqohu...," ulang Hilma sesuai dikte dari Una, tapi kemudian Hilma bertanya. "Kalau lafadzh 'qoriinatun' ini sebagai apa, nggih, Mbak?"

Setelah membaca sebentar, Una lalu menjawab. "Ini kayaknya kemungkinannya bisa dua, kalau ndak jadi badal, bisa juga jadi a'thof bayan."

Kemudian Hilma kembali membaca hasil dikte-nya Una. "Bi an wujida qotiilun au ba'duhu kar-ro'sihi fii mahallatin munfashilatin a'n baladin kabiirin kama fir rhoudhoti." Setelah berhenti, gadis manis berkaca mata itu kembali melemparkan pertanyaan pada Una. " Kalau Qotiilun, ini bentuk apa, Mbak?"

"Kalau ndak salah. Qotiilun ini ber-shighot isim maf'ul yang wazan-nya fa'iilun. Kalau di-tasyrif jadi, qotala-yaqtulu-qotlan-wa maqtalan-fa huwa qootilun-wa dzaka maqtuulun-uqtuul-laa taqtuul. Nah qotiilun itu kayaknya bermakna maqtuulun." Una kemudian perlahan membaca teksnya lagi dengan alis mata mulai bertaut. "Tapi aku ndak tahu pasti, ini emang isim maf'ul atau mashdar bi ma'na maf'ul."

"Mbak Una nanti pasti kepilih jadi tentor lagi," ujar Hilma begitu menutup kitabnya dan mengucap makasih.

"Tentor apa, dek?"

"Kan Madrasah Aliyyah kita mau ikut event lomba MQK se-Yogyakarta lagi bulan ini."

Una ber-O sembari tersenyum. "Sampeyan ikut?"

"Ikut Mbak Na, jadi tim hore. Nanti joget-joget di bawah panggung," celetuk Naora yang dibalas sungutan dari Hilma.

"Itu, sih kamu, Ra. Kalau Hilma mah kalem, ndak mungkin," bela Una, "Ngomong-ngomong tadi pagi abis dari mana, Ra?"

"Joging Mbak Na ke Alkid, sekalian sarapan,"

"Pasti jogingnya cuma dikit, masih banyakan jajan-nya," goda Una.

"Tahu, aja." Naora terkekeh.

☘️🍀🌱


"Hayo! Kamu abis jalan sama Naora, toh!"

Reza yang baru saja melepaskan helm-nya serta-merta menoleh dengan wajah terkejut.

"Hah! Ora!"

Idham mengendus, senyum kecutnya tercetak di tengah pipinya yang cubby. Bola matanya bergerak di sela kantung matanya yang sipit. "Gak ngaku, loh, Kaf. Jelas-jelas kita lihat, yo."

Kafa yang sedang mencuci piring bekas makan-nya hanya tersenyum.

"Lihat apa, toh!? Aku baru pulang kerja kelompok," kilah Reza pura-pura cuek, menggantungkan jaketnya di hanger pintu kamarnya.

"Kerja kelompok sambil makan bubur ayam berdua di alkid," goda Idham.

Reza jadi tampak salah tingkah, akan tetapi dia masih berusaha mengelak. "Opo, toh, Dham gak jelas amat."

"Wis ngaku ae, Za. Kasihan pacarnya gak diaku, nanti giliran diakuin sama orang lain, kamu ngamuk." celetuk Wisnu teman satu kamar Reza sambil terkekeh.

"Hmm, bau parfum cewek!" Idham pura-pura mengendus jaket Reza. "Hayo abis pelukan, ya!"

"Pelukan gundulmu!"

Mereka tak dapat menahan tawa jika sudah melihat si kribo asal Minang itu misuh sembari hendak menimpuk Idham pakai sepatu.

Setelah Idham pura-pura kabur, kepalanya mencuat lagi dari lawang.

"Apa lagi?! Aku timpuk beneran kamu, Dham."

"Ora, loh, Za. Aku cuma mau bilang Hati-hati, Naora tuh banyak cowoknya," kata Idham sedikit lebih serius.

"Ya biarin, aku temenan doang, kok."

"Masalahnya, cowok yang jadi teman Naora itu, ya rata-rata naksir juga sama dia. Contoh, Ibnu, Hadyan, Kipli, Bocil, Damput, wah, pokoknya banyak. Hati-hati, deh."

Saat Kafa hendak melangkah menjauhi mereka menuju koridor asrama, Idham menyerunya.

"Oh, iya, Kaf. Sampeyan dicariin."

"Sama siapa?"

"Gus Anam," jawab Idham, lalu melanjutkan, "Katanya soal acara perayaan Maulid Nabi besok."

Kafa hanya mengernyit, beberapa pertanyaan menggantung di atas kepalanya. Bukankah dirinya tak terlibat sebagai panitia maupun petugas untuk acara besok?

"Makasih, Dham."

Kafa tak mau ambil pusing dan memilih berlalu sambil menenteng beberapa piring, sendok, dan gelas yang selesai dicuci di westafel menuju dapur ndalem untuk kemudian disusun di rak.

Sudah hampir siang, Kang Rofi'i biasanya sudah mulai masak, dan piring-piring bekas makan santri akan dipakai lagi untuk jadwal lauk makan sore.

Mendengar soal Reza dan santri wati bernama Naora itu, entah kenapa membuat Kafa lagi-lagi tercenung.

Bayangan wajah gadis itu selalu hadir. Kafa berulang kali mengucap istighfar. Hal tersebut sungguh tak bisa ia kendalikan. Sejak pertemuan di depan kelas itu, yang sudah hampir sebulan lalu, hatinya jadi sering dilanda gelisah.

Kafa tak pernah mengalami perasaan seperti ini sebelumnya. Rasa takjub bercampur penasaran. Rasa bahagia sekaligus resah. Ah, wajah dan senyum itu begitu memberi kesan di hatinya.

Bagaimana mungkin gadis itu rela mencarinya selama berbulan-bulan? Padahal Kafa sendiri sudah melupakan kejadian di ATM itu. Ia ikhlas dan gadis itu tak dianggap punya hutang apapun padanya. Tapi, gadis itu tetap mencarinya. Merasa wajib untuk menyampaikan amanah itu. Suatu imbalan yang ia katakan sebagai hak-nya Kafa.

Bayangkan, perjuangan macam apa yang telah dilaluinya. Mengingat, gadis itu bahkan tak tahu identitas Kafa sama sekali.

Tunggu! Saat itu ia bilang bahwa dirinya tahu Kafa dari temannya. Siapa temannya? Teman satu prodi? Satu fakultas? Ah, entah lah.

Kini, Kafa hanya merasakan kekaguman pada sosok itu. Kekaguman yang kemudian bertunas sebagai sesuatu aneh yang ia rasakan; keinginan untuk mengenal sosoknya lebih jauh.

Sosok Gadis misterius yang dipanggil Ning.

Ya Allah, Kafa bahkan tak tahu siapa nama gadis itu? Dari pesantren mana ia? Fakultas dan prodi apa yang diambilnya?

Meski hasrat itu bermekaran bak jamur di musim hujan, Kafa jadi merasa bersalah dan bimbang juga. Tak seharusnya ia memikirkan masalah ini. Sekarang, harusnya ia hanya perlu fokus ngaji dan kuliah. Fokus pada tujuannya menjadi pakar ilmu hadis. Masih banyak hadis yang harus ia hafal. Masih banyak ilmu yang belum ia kuasai dan pahami, serta masih banyak guru sanad yang harus ia temukan.

Bukankah, ia ingin mewujudkan cita-citanya yang tertunda, yakni melanjutkan kuliah ke timur tengah? Ia harusnya fokus mencari beasiswa selama merampungkan S1 ini.

Apalagi kini ia diamanahi menjadi lurah santri komplek Al-Manshuriyyah yang baru menggantikan Cak Haikal yang sudah boyong.

Semalam telah diadakan pemungutan suara untuk menentukan lurah santri baru.

Ada tiga kandidat yang maju ke pemungutan suara, yakni Kafa, Idham, dan Gufron. Hasil akhirnya, seperti dugaan mayoritas santri, Kafa menang telak.

Sebagai seorang lurah santri sudah seharusnya ia menjadi teladan dan menerapkan kedisiplinan di asrama.

Maka, kini ia selalu berusaha menahan dirinya sebisa mungkin dari hal-hal yang hanya akan mengganggu fokusnya. Sekarang, bukan waktu yang tepat untuk mengenal seorang gadis mana pun. Akan ada waktunya, nanti. Sayangnya, sugesti itu tak cukup berhasil untuk mengeyahkan bayangan itu dari pikirannya.

"Matur suwun, Mas Bro," ucap Kang Rofi'i sang abdi ndalem saat melihat Kafa menaruh baskom berisi piring dan gelas.

"Sami-sami. Perlu bantuan lagi gak, Kang?" Tawar Kafa yang melihat Kang Rofi'i tampak sibuk mengupas bawang.

"Emang gak sibuk, Mas Bro?"

"Enggak."

"Kalau minta tolong ambilin panci di Al-Kandiyas mau ndak?" Kang Rofi'i nyengir.

"Mbak Dijah?"

"Iya, kemaren dipinjem tapi belum dikembalikan."

"Oke, siap, Kang." Kafa menyanggupinya. Ia sudah cukup kenal dan beberapa kali pernah mengobrol dengan Mbak Dijah, abdi ndalem di komplek sebelah.

Kafa kemudian bertolak ke arah komplek Al-Kandiyas, menyusuri koridor yang penuh motor terparkir.

Mbak Dijah, biasanya sedang sibuk di dapur ndalem. Entah sedang masak atau mencuci. Biasanya Kafa terlibat obrolan santai dengan gadis asal Cilacap itu ketika Kafa tengah menyiram tanaman hias atau mencuci motor milik Pak Kyai Busyro.

Tiba di dapur ndalem Al-Kandiyas, Kafa segera memanggilnya. Pintu-nya sedikit terbuka, dan terdengar Mbak Dijah sedang ngobrol sama seseorang dengan dialek ngapak-nya.

"Nggih, Ana apa, Kang?" Setengah badan Mbak Dijah menyembul dari lawang.

"Dikon njiot panci sama Kang Rofi'i, Mbak."

"Astaghfirullah! nyong kelalen, koh. Bentar, ya." Tubuh perempuan itu segera menghilang. Di saat yang bersamaan, teman ngobrol Mbak Dijah bilang mau undur diri karena udah siang.

Kafa masih berdiri di depan lawang, ketika seorang gadis keluar dari sana dengan tangan menjinjing satu kresek penuh sesuatu, tatapan pemuda itu terangkat dan secara bersamaan bola mata mereka bertemu.

Gadis itu tampak malu-malu mengangguk, "Monggo, Mas."

Kafa yang sempat terdiam seolah memikirkan sesuatu, terlambat membalas anggukannya.

Ketika langkah gadis itu sudah mulai menjauh, Kafa mulai menyadari kalau dirinya pernah berjumpa dengan gadis itu sebelumnya.

Kalau tidak salah, dia adalah teman dari gadis misterius yang dipanggil Ning itu?

Kenapa dia ada di sini?

Ah, jangan-jangan gadis misterius itu adalah santri Al-Dalhar juga.

🍀🍁🌱

Minta dukungannya dengan klik Vote dan Komennya, ya ^_^
Salam cinta untuk semua pembacaku ❤️ ttd : Diarysna

Continue Reading

You'll Also Like

141K 6.9K 28
Hooked onto drugs, no family, no guidance or sanity until she met HIM. Cover Creds: @Triceynexttdoor ❤️ -BLICKY.
177K 6.5K 81
Not many people understood 12 year old Jessica, as a person and an individual. That doesn't include, however, her older sister, who Jessica adores w...
1.7M 141K 65
RATHOD In a broken family, every person suffers from his insecurities and guilt. Successful in every field but a big failure when it comes to emotio...
62.3K 3.2K 53
The Rajputs well known as the most powerful and devil's for the people who tries to messed up with them people got goosebumps just by listening to th...