AMBER and the vampire prince...

By Nkalestar

307K 13.3K 1.1K

WARNING (18+)❗ Takdir mempertemukan Amber dengan makhluk yang selama ini di anggap manusia hanyalah sebuah mi... More

Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24
Bagian 25
Bagian 26
Bagian 27
Bagian 28
Bagian 29
Bagian 30
Bagian 31
Bagian 32
Bagian 33
Bagian 34
Bagian 35
Bagian 36
Bagian 37
Bagian 38
Bagian 39
Bagian 40
Bagian 41
Bagian 42
Bagian 43
Bagian 44
Bagian 45
Bagian 46
Bagian 47
Bagian 48
Bagian 49
Bagian 50
Bagian 51
Bagian 52
Bagian 53
Bagian 54
Bagian 55
Bagian 56
Bagian 57 (END)
Extra Part (1)

Bagian 21

3.8K 170 39
By Nkalestar

"Bagaimana keadaan teman saya, Dok? Dia tidak menderita sakit parah, kan?"

"Tenanglah dulu, Nona Celine. Biarkan dokter memeriksanya dulu."

Selagi menunggu dokter itu yang memeriksa Amber, Axelle mulai berpikir penyebab Amber sampai seperti itu adalah karena Giovanni yang menyedot darah gadis itu terlalu banyak.

Lalu, bagaimana Axelle tahu kalau itu adalah ulah Giovanni? Karena Giovanni sendiri telah sengaja meninggalkan baunya di badan Amber. Tangannya sedari tadi mengepal dan kukunya mulai sedikit memanjang namun berhasil ia sembunyikan.

Axelle pamit kepada Celine dengan alasan ingin pergi ke kamar mandi, namun nyatanya pria itu pergi ke rimbunan pohon yang berada di belakang rumah sakit tersebut. Pria itu meluapkan kekesalannya pada beberapa batang pohon yang tak berdosa itu. Ada beberapa pohon yang roboh akibat ulahnya.

"Sialan kau, Giovanni! Kau berani mengambil gadisku dan membuatnya seperti itu! Aku tidak akan membiarkanmu lolos kali ini. Aku akan menghabisimu!"

"Ouch...!"

Axelle lebih menajamkan indra pendengarnya. Ia tadi sempat mendengar suara seseorang lebih tepatnya seorang gadis yang sedang kesakitan. Axelle menajamkan pendengarannya lagi.

"Kakiku berdarah dan aku tidak bisa berdiri. Bagaimana ini?!"

Axelle mengenal pemilik suara tersebut. Axelle melesat begitu cepatnya menuju ke sumber suara. Axelle bersembunyi di salah satu pohon dan mengintip seseorang yang rupanya Gracia.

Gadis itu terlihat mencoba menghentikan pendarahan di kakinya menggunakan dedaunan. Sesekali gadis itu meringis saat daun itu bersentuhan langsung dengan luka terbuka itu.

Entah dorongan dari mana hingga Axelle akhirnya menemui gadis itu dan membantunya. Axelle merobek bagian tangan baju kemejanya untuk membalut luka Gracia. Gracia sendiri sempat terkejut dengan kedatangan Axelle yang tiba-tiba dan membantunya. Ia hanya diam melihat Axelle yang merawat lukanya.

"Kenapa kau begitu ceroboh sekali! Jangan sampai dirimu terluka, itu sama saja kau melukaiku!"

Gracia mengangkat salah satu alisnya tanda ia tidak mengerti dengan yang Axelle bicarakan. Axelle telah membalut rapi luka gadis itu dan menatap Gracia yang kini juga sedang menatapnya. Ada sesuatu yang masuk di dalam hati Axelle ketika mereka saling menatap seperti itu.

"My mate."

Gracia dibuat semakin bingung dengan ucapan Axelle yang sangat sulit ia mengerti. Mate?Apa maksudnya?

"T--terima kasih, Tuan."

Gracia melirik bagian tangan baju kemeja Axelle yang telah robek. Gadis itu menjadi tidak enak hati telah membuat baju pria itu rusak. Ia berpikir untuk meminjamkan kemeja milik kakaknya untuk dipakai Axelle.

Gracia hendak berdiri tetapi rasa sakit di kakinya membuat ia hampir roboh, beruntung Axelle yang dengan cepat menangkap dan menggendongnya. Gracia yang berada digendongan Axelle, dan sekarang dia tidak dapat menahan rasa malunya. Wajahnya sudah sangat memerah dan ia mencoba menyembunyikan wajahnya di dada Axelle.

"Di mana rumahmu?" Tanya Axelle.

"D--di sana," Ucapnya sambil menunjuk dengan jari telunjuknya ke sebuah rumah yang tak jauh dari tempat mereka. Axelle berjalan menuju ke rumah itu.

"Terima kas---"

"Kenapa kau bermain ke hutan seorang diri!? Berbahaya! Bagaimana jika orang lain selain aku yang menemukanmu terluka dan tidak berdiri seperti tadi?!"

"M--maafkan saya. Saya hanya sedang mencari beberapa tanaman herbal untuk penyakit batuk ibu saya."

"Tanaman herbal? Kenapa tidak beli obat saja."

"Kami tidak punya uang untuk membelinya. Hasil jualan saya hanya cukup untuk membeli bahan makanan kami selama dua hari saja."

" .... "

Axelle melirik gadis yang berada digendongannya ini. Wajah yang sedih yang ditunjukkan gadis itu, membuat hatinya teriris. Dia tidak menyangkan kehidupan matenya begitu berat.

"Axelle."

"Ha?"

"Panggil aku Axelle. Jangan Tuan."

"Ba--baiklah, Tuan Axelle."

"Ck, kau ini benar-benar bodoh! Sudah kubilang panggil aku Axelle, jangan Tuan!"

"A ... Axelle ...?"

"Pintar."

Mereka telah tiba di depan rumah sederhana milik Gracia. Gracia meminta Axelle untuk menurunkannya, namun pria itu tidak menghiraukan dan justru tetap menggendongnya hingga di depan pintu. Axelle mengetuk pintu itu beberapa kali dan menunggu beberapa saat, sampai seorang anak kecil membukakan pintu untuk mereka.

Anak kecil laki-laki tersebut menatap heran Axelle dan Gracia. Lalu dia berlari kembali memasuki rumahnya tanpa mengucapkan apa-apa, mungkin memanggil sang ibu untuk memberitahu bahwa kakaknya datang membawa tamu.

Gracia mempersilakan Axelle untuk memasuki rumahnya. Axelle mendudukan Gracia di kursi dan ia masih berdiri memandangi rumah itu. Gracia jadi tidak enak hati telah menyusahkan Axelle beberapa kali.

Gadis itu hendak berdiri namun Axelle langsung menghentikannya dan memberikan tatapan tajam. Gracia kembali duduk dan tidak berani menatap balik Axelle. Bocah laki-laki tadi datang dan membawa dua gelas teh hangat dan menyuguhkannya di meja.

"Ibu sudah tidur?"

"Sudah, Kak."

"Baguslah. Kamu lanjutkan saja belajarmu, ya."

"Siap, Kakak!"

Bocah itu berlari kecil memasuki kamarnya. Kini tinggal ia dan Axelle saja yang berada di ruang tamu. Tidak ada pembicaraan apapun sampai akhirnya Gracia yang membuka mulutnya dahulu. "Maaf hanya bisa menyuguhkan teh hangat ini saja dan maaf juga karena ibuku tidak bisa menemuimu yang notabenya adalah tamu kami."

"Tidak masalah."

"Em, kalau begitu aku akan mengambil baju untuk mengganti kemejamu yang sudah rusak karenaku. Tunggu sebentar."

Belum juga Gracia berdiri, tubuhnya sudah lebih dulu berada kembali di gendongan Axelle. Gracia menatap pria itu yang hanya menatap lurus. Tidak bisa dipungkiri bahwa dirinya merasa sangat nyaman saat bersama Axelle meskipun mereka baru kenal kemarin.

"Jangan lakukan ini, Axelle. Turunkan aku, aku akan mengambilkan bajunya di kamarku."

"Berisik. Aku melakukan ini bukan untukmu, tapi untuk mateku! Cepat tunjukkan di mana kamarmu!"

Gracia akhirnya menurut saja. Gadis itu menunjuk sebuah pintu bewarna coklat. Axelle menghampiri pintu tersebut. Gracia mendorong pintu dan tampaklah kamarnya yang rapi. Axelle melangkahkan kakinya memasuki kamar tersebut dan ia berjalan ke depan lemari.

Gracia membuka lemari itu dan mengambil kemeja yang ia gantung rapi. Ia membandingkan ukurannya dengan tubuh Axelle yang besar berotot tersebut. Gadis itu terlihat kecewa lantaran ia merasa kemejanya agak kekecilan untuk Axelle.

Axelle melihat perubahan ekspresi Gracia, lalu ia membawa gadis itu keranjangnya dan mendudukannya di sana. Axelle membuka satu persatu kancing kemejanya dan mengambil kemeja yang berada di tangan Gracia.

Gracia menutup mukanya dengan tangannya setelah Axelle membuka baju tepat di depan matanya. Axelle menatap datar dan lanjut memakai kemeja itu tanpa mempedulikan Gracia yang salah tingkah

"Lumayan."

Gracia mengintip sedikit dari celah tangannya. Axelle dengan otot-otot perut dan lengannya yang tercetak jelas dengan kemeja tersebut. Sungguh Gracia amat sangat malu. Dia belum pernah melihat seorang lelaki dengan tubuh dan wajah sempurna seperti Axelle ini.

"Tampan," Celetuk Gracia tanpa sadar. Axelle tentu saja bisa mendengarnya meskipun suara gadis itu seperti cicitan tikus. Ia menyeringai dan berjalan mendekati Gracia. Mendekatkan mulutnya ke telinga gadis itu dan berbisik, "tentu saja Alpha ini tampan. Dan kau Lunaku harus cantik."

Gracia reflek mendongakkan wajahnya. Wajah mereka sangat dekat hanya tinggal beberapa centi saja, tapi Garcia merasa ada yang berbeda dari pria ini, yaitu warna matanya. Ia tak salah lihat, sebelum-sebelumnya warna mata Axelle adalah coklat tapi sekarang berganti warna emas. Dia adalah jiwa wolfnya Axelle yang berhasil mengambil alih tubuh Axelle. Bukankah Axelle sebelumnya tidak mau mengakui Gracia sebagai lunanya?

Sementara jiwa Axelle yang berganti terkurung, marah-marah tidak karuan kepada wolfnya yang seenak jidatnya mengatakan omong kosong pada Gracia.

Gracia mendorong tubuh Axelle menjauhinya. Ia mencoba berdiri dengan pelan meski sesekali bibirnya mengeluarkan ringisan. Gadis itu berjalan menuju ruang tamu dan diikuti Axelle di belakangnya.

"Aku akan kembali," Ucap Axelle. Kini benar-benar Axelle asli bukan lagi wolfnya.

"Ya, hati-hati. Terima kasih untuk pertolonganmu, Axelle."

"Aku juga, untuk kemeja ini."

"Iya."

Gracia mengantar Axelle hingga di depan pintu. Axelle pergi tanpa menoleh lagi padanya dan hilang ditelan rimbunnya pepohonan. Gracia seketika itu langsung memegangi dadanya yang jantungnya tidak berhenti berdetak cepat sejak tadi.

"Kenapa aku jadi begini saat bersamanya? Aku pikir aku sehat-sehat saja, tapi kenapa jantungku dari tadi berdetak kencang seperti ini?" Gumamnya pada dirinya sendiri. Gadis itu kembali memasuki rumahnya. Beberapa saat akhirnya dia sadar kalau dirinya pulang dengan tangan kosong tanpa membawa tanaman herbal untuk obat ibunya.

Gadis itu hendak kembali melangkah keluar rumah, tetapi perkataan Axelle yang melarangnya pergi ke hutan terngiang di kepalanya. Tapi kalau ia tidak pergi, bagaimana ia bisa mendapatkannya? Akhirnya dia memutuskan untuk mencarinya di hutan itu lagi.

Baru juga dirinya membuka pintu, sudah ada kantong plastik bening yang berisi obat berada tepat di depan pintu. Gadis itu mengambilnya dan membaca keterangan obat tersebut dan ternyata itu obat untuk penyakit ibunya.

Gracia celingak-celinguk mencari siapa yang telah meninggalkan obatnya di sini. Tidak ada siapa-siapa selain pepohonan yang bergerak tertiup angin dan secarik kertas yang hanya bertuliskan huruf A.

"A? Siapa? Apa itu ... Axelle?"

Gracia menatap obat di tangannya sebentar. Tebakannya itu tidak mungkin salah kalau memang benar pria itulah yang mengirimkannya obat. Siapa lagi? Tidak ada orang yang tahu tentang penyakit ibunya termasuk tetangganya sendiri dan dengan secarik kertas bertuliskan inisal tersebut, dia semakin yakin.

Senyuman manis mengembang di wajahnya. Gadis itu membawa masuk kantong obat tersebut dan langsung saja memberikan obat itu untuk diminum sang ibu agar dapat segera sembuh dari penyakitnya dan dapat beraktivitas seperti sedia kala lagi.

***

Note : Axelle memang tidak mau mengakui Gracia sebagai matenya. Tapi bangsa werewolf terkenal akan keposesifan mereka terhadap matenya apalagi seorang Alpha seperti Axelle. Sifat posesif itu tumbuh saat mereka baru pertama kali bertemu, itu sudah menjadi hukum alam. Kalau ada bangsa werewolf yang sampai bisa mereject matenya, berarti dia sudah kehilangan akal sehat.

Continue Reading

You'll Also Like

1.4K 102 4
Ketika dunia dilanda fenomena aneh yang melahirkan manusia - manusia super. Membuat mereka menjadi pahlawan dunia. Namun, bukan berarti dunia aman di...
237K 9.8K 32
Nakala Sunyi Semesta Setelah tragedi di rel kereta api malam itu Kala di buat heran dengan hal aneh yang terjadi pada nya, kala pikir malam itu dia m...
1.2M 122K 46
Di novel 'Kisah Naqila', Nathaniel Varendra adalah sosok antagonis paling kejam. Ia bahkan tak segan membunuh seseorang yang dianggap mengusik ketena...
2.9M 185K 46
[Part lengkap] Blur : Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang...