Promise Me, Sensei ✔

By eminamiya_

16.3K 1.8K 296

Aku menyadarinya, semakin aku mencintaimu, semakin aku takut pada diriku sendiri. *** Aku tidak tahu, apakah... More

Opening
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Hello
Info

1

1.8K 197 15
By eminamiya_

Promise me, Sensei

Story by : Eminamiya

Rate : M


HARGAI USAHA PENULIS DENGAN CARA TIDAK MENJIPLAK ATAU MENG-COPY CERITA INI

DON'T LIKE, DON'T READ

Happy Reading






Hyuga Hinata

Lima kali, enam kali, tujuh kali.

Tidak. Aku bahkan tidak bisa menghitung sudah keberapa kali mataku mencuri pandang ke sana; ke depan, tepatnya pada sosok yang kini tengah melangkahkan kaki secara perlahan untuk mengelilingi sejumlah murid yang sedang fokus dengan kanvas lukis.

Sosok tinggi tegap dengan kedua tangan yang disilangkan di belakang punggung. Matanya melirik serius, seraya kaki-kaki jenjang yang sangat menawan itu terus membimbingnya mengitari para murid sambil sesekali bibirnya berucap.

Lagi, tanpa sadar lagi-lagi mataku melihat.
Seperti ada gaya magnet yang begitu kuat seolah menarik bola mataku agar terus menatap ke arahnya.

Siapa?

Dia... guru Seni di sekolahku; Namikaze Naruto, atau sering kami panggil dengan sebutan Naruto-sensei. Pria menawan yang baru setahun ini mengabdikan diri sebagai pengajar di sekolah tempatku menempuh ilmu. Sosok tenang, ramah dan juga begitu tampak dewasa. Serta, tak memungkiri betapa besar dampak yang diperoleh dari karisma kuatnya itu.

Serta jika aku boleh berkata yang sebenarnya, saat ini, dia adalah satu-satunya orang yang benar-benar mampu menarik penuh atensiku.

Bukan seperti murid lain yang tertarik karena menurut mereka; Sensei adalah orang yang begitu keren sebab bisa berbicara dalam tiga bahasa, atau karena dia memiliki selera fashion kekinian dan selalu tampak modis disertai mobil mewah yang senantiasa menemani.

Tapi bagiku, saat tanpa sengaja mendapatinya duduk sendirian di taman belakang sekolah sembari membaca buku kecil di tangannya, dengan mata yang tampak sangat fokus pada deretan tulisan yang ada dalam buku tersebut, ditemani hembusan angin kecil yang yang menerpa rambutnya hingga membuat helaian lembut tersebut bergerak-gerak, dan kala dia terkekeh pelan memperlihatkan lesung di kedua pipinya karena entah apa yang dia baca, sudah mampu membuatku tak berkedip untuk beberapa saat--menggerakkan sesuatu di dalam diriku hingga menimbulkan sensasi aneh seperti desiran di dada.

Hingga akhirnya, tanpa membutuhkan waktu yang begitu lama sampai aku menyadari, jika aku telah terpesona olehnya.

Pendapat yang terdengar polos? Aku tahu.

Serta saat ini, sensasi menggetarkan itu kembali hadir menerpaku.

Melihatnya begitu serius memperhatikan tiap lukisan dari hasil kerja tangan para murid, membuat ia berkali-kali lipat sangat mengagumkan di mataku.

Aku terlalu fokus memperhatikan, hingga tanpa kusadari, jika kini matanya juga telah balas menatap.

Satu detik, dua detik--ah! Aku tersentak dengan mata membulat seketika.

Astaga!

Jantungku berdetak cepat, tubuhku gelagapan dan dengan buru-buru memalingkan wajah untuk menghadap pada kanvas di hadapanku--berusaha bersikap seolah sedang menyibukkan diri, serta coba mengukir apa saja yang terlintas di kepala secara asal. Mengikuti tiap garis yang tertera hingga menyatukannya dari titik satu ke titik lainnya.

"Apa yang kau lukis?"

Eh?

Aku kaget. Suara berat yang terkesan tenang itu terdengar begitu dekat.

Untuk meyakinkan diri bahwa tak ada yang salah dengan pendengaranku, secara perlahan, kugerakkan batang leher untuk sedikit melirik.

Benar saja! Saat bola mataku dapat melihat dengan jelas sosok yang kini telah berdiri tepat di belakang sembari memperhatikan dengan saksama hasil karya yang kubuat, aku hanya mampu terpaku.

Aku terdiam, sebelum kembali tersentak saat menyadari bahwa Naruto-sensei tengah menundukkan tubuh sehingga membuat wajahnya telah berada tepat di samping wajahku, dengan mata yang masih terpaku pada lukisan asal-asalan yang ada.

Tak membutuhkan waktu yang terlampau lama, hingga akhirnya dia terkekeh pelan lalu kembali menegakkan diri lantas menyentuh pelan kepalaku.

Ya, Tuhan, aku bisa terkena serangan jantung jika terus seperti ini.

"Cobalah untuk lebih fokus."

Hanya itu kalimat yang keluar dari mulutnya, dan ia melangkahkan kaki menuju depan kelas karena bel tanda berakhirnya pelajaran telah terdengar.

Aku menghela napas pelan, merasa lega meski jantungku tetap dalam keadaan yang mengenaskan; berdetak dengan begitu cepat.

"Baiklah, kelas hari ini kita akhiri sampai di sini." Naruto-sensei, orang yang menjadi satu-satunya perhatian utama dari seluruh pasang mata yang menghuni ruangan ini, segera bergerak untuk meraih buku kecil yang sedari tadi diletakkannya di atas meja, lalu kembali menatap ke arah para murid sembari membenarkan letak kacamata yang bertengger di wajahnya dengan perlahan.

"Jika masih ada yang tidak kalian mengerti, bisa bertanya langsung padaku," ujarnya memberi pernyataan, lalu diikuti dengan teriakan para murid yang mengiyakan perkataan tersebut, lantas membuat ia tersenyum singkat hingga menampilkan lesung pada kedua pipinya, lalu melangkahkan kaki untuk keluar dari kelas.

Namun, sebelum dia benar-benar menghilangkan diri di balik pintu, aku sempat menyadari, bahwa sekilas Naruto-sensei kembali melirik ke arah diriku melalui sudut matanya.

Hanya singkat, tapi berhasil membuatku begitu salah tingkah. Secara refleks, wajahku berpaling ke arah lain dan mendapati Miko Shion, sahabatku yang kini sedang menatap dengan wajah yang cukup menyebalkan; alis menukik, bibir melengkung ke bawah, dan tatapan mata tajam.

"Beruntungnya...," ucapan singkat yang tanpa perlu kupertanyakan lagi apa maksud dari perkataan itu.

Tentu mengenai Naruto-sensei yang mendekatiku. Atau lebih tepatnya saat Sensei menyentuh kepalaku.

Mengingatnya lagi hal itu, berhasil membuat wajahku terasa panas dan pasti sedikit memerah.

.

.

.

Hari telah beranjak senja. Langit yang awalnya dipenuhi oleh nuansa warna biru dan putih, kini telah berubah menjadi jingga terang yang menyilaukan mata.

Jam telah menunjukkan waktu yang semakin tenggelam, dan dari jendela ruang seni, aku bisa melihat beberapa murid yang berjalan menjauhi gerbang masuk sekolah--beranjak pulang untuk menuju ke dunia mereka yang lain selain gedung pendidikan.

Beberapa saat yang lalu, Haruno Sakura, salah satu sahabatku yang berada di kelas berbeda denganku, telah memberi ajakan untuk pulang bersama karena kegiatan kelas tambahannya telah usai. Hal ini memang selalu kami lakukan setiap kali pulang sekolah karena berhubung jarak antara apartemennya dan milikku tak begitu jauh. Namun, tanpa alasan yang pasti, aku menolak karena masih ingin menetap di sini.

Kau tahu, biasanya, seseorang membutuhkan waktu untuk menyendiri, walau terkadang tanpa alasan mengapa dia melakukannya.

Aku menghela napas, meraih ponsel lalu memperhatikan tanggal yang tertera pada layarnya.

Mendadak saja aku merenung. Kepalaku teringat akan ujian kelulusan yang tak lama lagi akan diadakan.

Rasanya, belum lama saat pertama kali aku menginjakkan kaki untuk masuk ke SMA, saat awal aku menapaki langkah untuk melanjutkan jenjang pendidikan di sini. Tapi sekarang, sudah hampir selesai saja semua perjuanganku.

Sebenarnya, aku cukup penasaran dengan kehidupan seperti apa yang akan aku hadapi setelah ini nanti.

Orang-orang berkata, bahwa semakin dewasa, semakin kita akan paham apa itu beban hidup. Semakin kita merasa bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang bermain dan bahagia, tapi juga tekanan dan perjuangan. Aku mulai memikirkan seberapa berat kenyataan yang akan kuhadapi ke depannya.

Kini, mataku bergerak, memandang segala hal yang bisa tertangkap oleh indra pengelihatan hingga membuat bibirku menyunggingkan satu tersenyum simpul pada akhirnya. Aku benar-benar akan meninggalkan tempat ini. Waktu sungguh berlalu tanpa disadari.

Drrrtt... drrrtt...

Getaran pada ponsel yang secara mendadak hadir, menghancurkan lamunan singkatku. Pandangan mataku yang awalnya tertuju pada tirai putih yang melambai-lambai di sisi jendela, kini beralih untuk menemukan sebuah nama yang terpampang pada layar ponsel.

Ibu.

Aku mencoba untuk mengatur posisi duduk agar lebih nyaman, lalu menggeser tanda untuk menerima panggilan sehingga suara ibu seketika terdengar.

Diawali dengan menanyakan bagaimana keadaanku, hingga apakah selama ini aku telah mengonsumsi makanan yang baik dan berakhir dengan mengatakan bahwa ibu sangat merindukanku karena sudah cukup lama kami tidak bertemu.

Aku hanya tersenyum dan membenarkan. Terakhir kali kami bertemu, memang saat hari libur musim panas lalu.

Setelah panggilan telepon selesai, aku kembali membiarkan diriku untuk terpaku pada pikiran.

Bicara mengenai ibu, aku jadi mengenang beberapa hal, terutama saat hari kematian ayah.

Aku masih mengingat dengan jelas bagaimana hancurnya ibu kala itu. Meski usiaku masih menginjak enam tahun, akan tetapi, aku telah bisa mencerna dengan cukup baik keadaan dan situasi yang terjadi.

Paham bagaimana sulitnya ibu ketika ia harus berjuang sendiri untuk menghidupi aku dan kakak -- berusaha agar kami tak kekurangan apa pun dalam masa tumbuh kembang kami. Memastikan kami selalu sarapan dengan makanan bergizi setiap hari dan bisa tidur dengan nyaman di kamar yang hangat.

Meski setelah kematian ayah, ibu selalu tampak baik-baik saja, seolah menunjukkan bahwa dirinya adalah orang yang kuat meski apa pun yang telah menerpa, tapi, aku tahu jika ibu masih sering terbayang-bayang sosok ayah dalam angan. Terbukti, aku pernah mendapatinya menangis tersedu-sedu sambil memegang bingkai foto ayah di dapur pada tengah malam.

Hatiku tentu saja ikut sedih, namun tak bisa melakukan apa-apa selain berdiam diri di tempat, untuk waktu yang cukup lama.

Setelah melihat hal itu, dengan segera aku menceritakan pada kakak mengenai keadaan ibu, hingga akhirnya, kakak memutuskan membuat perjanjian denganku; bahwa kami harus melindungi ibu dan membuatnya selalu tersenyum. Tidak boleh membuat ibu menangis lagi, apa pun yang terjadi!

Perjanjian dua orang bocah yang bahkan belum mengerti apa-apa tentang hidup.

Kenangan lama yang sampai kapanpun tak akan pernah hilang dari memori benakku.

Kembali pada kenyataan saat ini, aku menghembuskan napas berat setelah kegiatan mengenang. Mataku bergerak dengan perlahan menuju kanvas lukis yang ada di hadapanku--memperhatikan sebuah sketsa tipis dari cat yang nampak belum begitu berbentuk di sana.

"Belum pulang?"

Aku tersentak.

Suara berat yang berasal dari arah belakang, membuatku membalikkan kepala dengan cepat, hingga tatapanku langsung menangkap sosok Naruto-sensei yang baru saja masuk di sana. Dia tersenyum singkat lalu melangkah dengan teratur untuk mendekat ke arahku.

Cahaya jingga senja yang masuk melalu jendela kelas seketika menyelimuti seluruh tubuhnya, membuat sosok tinggi itu terlihat semakin menawan di mataku.

Aku hendak bangkit berdiri, berniat untuk sekedar membungkukkan badan guna memberi hormat. Tetapi, ia segera mencegat dan meminta agar aku tetap duduk di tempatku.

Sedikit kikuk, aku hanya bisa terdiam sembari melihatnya yang kini mengambil posisi tepat di sampingku, sehingga kepalaku hanya setara dengan tinggi rusuknya.

"Kali ini, apa lagi yang kau buat?"

Diselimuti gerak yang gugup, aku mendongak agar bisa melihat wajah Naruto-sensei yang juga tengah menatapku. Namun, tak butuh lama sebelum aku kembali memalingkan wajah untuk melihat ke arah depan.

Jujur saja, aku merasa malu jika ditatap seperti itu.

Sebenarnya, Ini bukanlah pertama kalinya Naruto-sensei mendapatiku sedang duduk sendirian di kelas. Bahkan, tak jarang juga ia akan ikut serta untuk mengajari jika itu menyangkut tentang pelajaran.

Itulah Naruto-sensei, dia memang sangat baik.

"Entahlah, Sensei. Aku hanya sekedar mencoba-coba."

Daapat kulihat Naruto-sensei menarik sebuah kursi lain dan mengambil posisi untuk duduk di sebelahku. Tangannya terangkat dan menyentuh pelan hasil coretan yang kubuat; memberi elusan singkat di sana, serta menghadirkan satu anggukan singkat pada kepalanya.

"Ini tampak seperti seorang wanita, siapa?"

Hening sesaat. Mata Naruto-sensei menatapku begitu dalam, dan tanpa kuasa membuatku harus menunduk.

"Tidak ada, Sensei. Bukan siapa-siapa."

Naruto-sensei tak memberi tanggapan dan memilih untuk menegakkan posisi duduknya.

"Kalau begitu, kenapa hanya dipandangi? silakan lanjutan," ucapnya kemudian.

Aku menggeleng pelan. "Sepertinya, aku tidak akan melanjutkannya."

"Kenapa begitu?"

Kepalaku berpikir sebentar. "Entahlah. Mungkin karena bentuknya tampak berantakan. Aku jadi tidak berniat untuk melanjutkan."

Aku jujur berkata demikian. Terkadang, kepala akan memikir ulang untuk melakukan suatu hal jika merasa bahwa dasar yang dimiliki untuk sebuah awalan tidak akan bisa menjamin apa yang diharapkan pada akhir. Aku hanya merasa jika sesuatu yang hanya akan melelahkan dan tak memberikan hasil apa pun, tidak patut untuk dilanjutkan.

Putus asa? Mungkin seperti itu.

Mendengar jawabanku, Sensei tampak merenung, selanjutnya memperhatikan barang-barang yang ada di sekitar kanvasku. Ada beberapa alat lukis yang berteteran di sana, mulai dari kuas, pensil, hingga cat. Tangannya terulur, meraih sebuah kuas kecil yang sedari tadi berada dalam genggaman jemariku. Aku dapat merasakan sentuhan halus dari jemari panjangnya meski hanya sebentar.

Diawali dari menggulung lengan kemeja yang ia kenakan hingga batas siku, sebelah tangan Naruto-sensei mulai sibuk menggerakkan kuas yang sudah dilumuri cat ke atas kanvas.

Sosoknya nampak begitu tenang sembari belahan bibir itu bergerak lembut untuk menjelaskan apa saja yang harus kulakukan dengan lukisanku.

Aku memperhatikan. Sebenarnya bukan pada apa yang tengah ia katakan, melainkan pesona yang keluar dari dirinya. Menikmati dengan begitu hikmat tiap gestur yang Naruto-sensei tampilkan dan membuat mataku terasa bergetar karena begitu kuatnya gejolak yang mendadak timbul di dadaku.

Begitu terbuai akan pesona, hingga aku harus sedikit tersentak kaget saat Naruto-sensei seketika saja balas menatap padaku. Senyuman manis terukir di wajah tampannya kala dia menyadari raut terkejut pada wajahku.

"Semua tidak akan berakhir sia-sia jika kau mau berusaha. Bukan masalah apakah hasilnya akan sesuai dengan keinginanmu atau tidak, tapi jika kau mau berjuang, aku yakin kau akan menemukan sesuatu yang lebih dari sekedar hasil yang baik, yaitu kepuasan. Kau akan mulai memahami sampai mana kemampuanmu dan belajar untuk lebih baik lagi ke depannya."

Senyuman itu mengembang semakin lebar.

"Hidup ini bukan hanya sekedar tentang kesempurnaan, tapi juga tentang menjadi lebih baik."

Aku tertegun.

Ucapan yang tiba-tiba saja Sensei utarakan menghunus tepat pada batinku. Aku mulai mengutuk diri sendiri karena menyadari jika selama ini memang selalu takut jika menyelesaikan sesuatu yang bahkan belum kuketahui seperti apa hasilnya, hanya karena sebuah tantangan awal yang harus dihadapi dalam tahap penyelesaian.

Sensei menyadarkan, jika selama ini, aku memang telah salah karena tak mau berusaha terlalu jauh untuk hal yang telah kumulai dan lebih memilih untuk terkurung dalam rasa tak yakin akan diri sendiri.

Serta sekali lagi, aku belajar darinya.

Ini ... inilah alasan mengapa Naruto-sensei begitu istimewa bagiku. Dia selalu bisa menempatkan dirinya pada posisi yang tepat dengan keadaanku. Selalu memberi energi positif yang tidak bisa kusangkal akan kehadirannya.

Serta sekarang, aku merasa jika perasaanku padanya tumbuh menjadi semakin dalam. Terlalu dalam hingga rasa takut mulai menggerogoti lara.

Mengingat keberadaanku di sekolah ini yang tak memakan waktu yang begitu lama lagi, jika seandainya aku lulus nanti, secara tak langsung, itu berarti aku akan meninggalkan segala hal yang berkaitan dengan tempat ini. Termasuk Naruto-sensei.

Dengan kuat, kuremas erat ujung rok di pahaku untuk menekan rasa gugup yang seketika menyerang. Menatap sekilas pada Sensei yang tampak memandang ke arah luar jendela. Ia sedang menikmati matahari senja yang terlihat semakin menenggelamkan diri di ujung sana.

Tanpa sadar, aku menelan ludah dengan paksa.

Mungkin ini akan terdengar gila, tapi ... aku hanya tidak ingin membuang kesempatan yang kumiliki. Belum tentu aku bisa berada dalam situasi yang sama seperti ini lagi di lain waktu.

Tidak berharap lebih, aku hanya sedang berusaha meraih sesuatu yang seperti Naruto-sensei katakan tadi; kepuasan.

Setidaknya, aku ingin merasakan sebuah kepastian untuk perasaanku.

"Sensei..."

Dalam keheningan, Naruto-sensei menolehkan wajahnya; menatap tepat ke arah mataku sembari senantiasa mempertahankan senyuman di wajah. Meski terhalangi oleh kacamata yang bertengger di sana, hal itu tetap tak bisa mengalahkan keindahan mata yang dimiliki olehnya.

"Ya?" suara itu membalas dengan lembut.

Gawat! Tiba-tiba saja aku merasa jika bibirku bergetar. Sesuatu yang telah berada di ujung lidah, kini seolah menolak untuk keluar dari belahan bibir. Kepalaku hanya bisa tertunduk pada akhirnya.

"Ada apa dengan wajahmu? Kenapa memerah?"

Aku terkejut saat merasakan sesuatu yang hangat dan besar tengah menyentuh pipiku. Tanpa menoleh sekalipun, aku sadar jika tangan Naruto-sensei sedang mengelus wajahku.

Getaran di dada terasa semakin mejadi-jadi.
Segala kegugupan yang sedari tadi menyerang seolah menguap entah ke mana.

Dengan segala kemampuan yang aku miliki, haruskah aku...

"Sensei, aku menyukaimu."

Terdiam. Bola mata Naruto-sensei membulat terkejut seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan. Dia seketika terpaku dengan tangan yang masih menempel pada wajahku.

"Apa?"

Aku mematung. Terdiam seribu bahasa. Merasa bingung dan malu secara bersamaan dengan apa yang baru saja terjadi. Bahkan, untuk sekedar melihat wajah Sensei yang kini kuyakini tengah menatap dengan heran, rasanya menjadi tak sanggup.

Kehangatan yang kurasakan di pipi berangsur-angsur hilang saat ia menarik kembali tangannya untuk menjauh.

Tak ada suara. Kami berdua terdiam.

Hingga akhirnya, suara kekehan menarik perhatian dan membuatku kembali berusaha memberanikan diri untuk menatapnya.

"Kenapa kau menyukaiku?" tanyanya.

Kuremas semakin kuat ujung rokku. Telapak tanganku kini mulai terasa berkeringat. Aku merasa gugup setengah mati.

"Karena ... Sensei adalah orang yang baik."

Sungguh, aku bersumpah sempat melihat Naruto-sensei menghadirkan seringai tipis secara singkat saat mendengar alasanku. Entah apa makna dari lengkungan sabit tipis itu.

Ia menghembuskan napas panjang dengan sekali tolakan, lalu memposisikan diri lebih dekat kepadaku.

"Aku baik?" ulangnya yang malah membuatku mengangguk canggung.

"Bukankah seorang guru memang harus bersikap baik pada muridnya?"

Mataku sedikit bergetar. Hatiku mendadak merasa terpukul dan perih. Ungkapan yang terdengar seperti pertanyaan telak yang menampar, membuatku menjadi hampa.

"Y-Ya, Sensei. A-Aku tidak bermaksud apa-apa. Hanya sekedar ingin mengatakannya sebelum aku lulus dari sekolah ini. A-Aku--" mulutku mencoba untuk memberi penjelasan, akan tetapi, kata yang terlontar tak berlangsung mencapai akhir. Aku malah terdiam, seolah baru saja menyadari dengan sesadar-sadarnya, jika apa yang baru saja kuperbuat, adalah hal yang memang tidak pantas untuk dilakukan.

Lagi, keheningan kembali menghampiri kami.

Naruto-sensei tampak tak ingin mengatakan apa-apa untuk menanggapi. Sedangkan aku? bahkan untuk menatap wajahnya saja rasanya sudah tak mampu.

"Agh! tidak perlu dipikirkan, Sensei."

Aku sudah merasa terlalu malu. Serta sepertinya, berlama-lama di sini bukanlah hal yang tepat. Itu hanya akan membuatku semakin merasa bersalah dan tak nyaman. Lagi pula, tak ada yang perlu dikatakan lagi. Pergi dengan secepatnya adalah pilihan yang paling masuk akal untuk saat ini.

"Kalau begitu aku--"

"Baiklah."

Ucapan dari mulutku terpotong. Gerakanku yang baru saja hendak melepas pinggul dari dudukan kursi, mendadak terhenti. Ucapan singkat Naruto-sensei membuatku terpaku dan menatap dengan pandangan heran.

Dengan rasa yang tak menentu dalam benak, kucoba memastikan apa maksud dari ucapan tersebut.

"A-Apa?"

"Baiklah kalau begitu."

Bibirku terkatup rapat, menunggu dengan jantung yang tiba-tiba saja kembali berdetak tak menentu. Ingin mengetahui apa yang selanjutnya ingin ia katakan setelahnya.

"Aku tak begitu yakin, tapi mari kita jalani saja dulu."

Mataku melebar. Dadaku bagai tersiram air yang begitu dingin sehingga membuat gemetar.

"M-Maksud Sensei..."

Sensei tersenyum. "Uhm. Mari kita jalani hubungan itu."









BERSAMBUNG...



Wow, cepat banget ya keterimanya? Wkwk.

Kalo kalian cermati lebih teliti, ada bagian yang ngejelasin kalo,

"Sebenarnya, Ini bukanlah pertama kalinya Naruto-sensei mendapatiku sedang duduk sendirian di kelas. Bahkan tak jarang juga ia akan ikut serta untuk mengajariku jika itu menyangkut tentang pelajaran."

Dari situ sebenarnya udah bisa diambil kesimpulan, kalo ternyata mereka tuh sering ngabisin waktu berdua dan ngebahas banyak hal (kankalo udah sering berduaan, bisa aja timbul perasaan walau hanya secuil, ahay!). Cuma.. ya itu, gak bisa aku uraikan satu per satu. Karena emang FOKUS CERITA INI BUKAN UNTUK NGELIAT PERJUANGAN SI CEWEK BUAT NGEDAPETIN HATI GURUNYA, ada konflik lain (╥﹏╥)

Jadi menurut aku, gak cepet-cepet amat perasaan ceweknya keterima. Asalkan paham sama tiap detail cerita aja, wkwk.

Continue Reading

You'll Also Like

5.6K 779 23
DISCONTINUED. Tentang 6 Kim bersaudara yang tinggal dibawah satu atap yang sama -Kim Jisoo -Kim Jennie -Kim Chungha -Kim Sejeong -Kim Yerim dan satu²...
193K 10.6K 20
#Note! : Dianjurkan untuk baca lebih dulu "Marriage Life" sebelum membaca ini.# "Perasaan ini akan menyatukan kita atau malah akan menghancurkan kita...
8.1K 638 41
((PROSES REVISI)) Evelyn dengan segala kesempurnaan nya menyimpan perasaan sejak lama pada lelaki bernama Dipta. Seolah sedang ada keajaiban membuat...
171K 19.5K 39
VOTE DAN COMMENT JANGAN LUPA, TERIMA KASIH. Naruto Namikaze itu kejam, suka sekali membully Hinata yang polos. Menurut Naruto itu balas dendam. Ever...