Supranatural High School [ En...

By rainsy

2.6K 91 35

Mereka berpikir, aku gila. Aku selalu diasingkan. Bahkan orangtuaku sendiri pun sampai pernah mengirimku ke R... More

Kertas Selebaran
Teror (1)
TEROR (2)
Malam Satu Suro (1)
Malam Satu Suro (2)
Selamat Berjuang
Ujian Masuk
Pintu Rahasia
Peraturan Sekolah
Dia Telah Kembali
Topeng yang Terlepas
Kisah Lampau
Kutukan Sedarah
Gerhana Bulan
Hari yang Baru
Pelatihan
Museum yang Terabaikan (Noni Belanda)
Museum yang Terabaikan (Penjajah)
Bangkitnya Cay Lan Gong
Kesurupan Massal
Ritual
Rajah
Makanan Sesaji
Segel Pentagram
Gerbang Gaib
Gending Jawa
Dedemit
Arthur Samuel (Khodam)
Baron Bagaskara
Dylan Mahardika
Ernest Prasetyo
Ziarah
Welthok
Kelas Utara
Timur & Barat
Kelas Selatan
Santet
Timbal Balik
Jenglot
Kuncoro
Umpan
Hira
Kuntilanak Merah
Taktik Licik
Penyelamatan
Jerat
Lolos
Membunuh atau Dibunuh
Tugu
Mata Batin

Helga Maheswari

3 0 0
By rainsy

"Satu minggu. Beri aku waktu satu minggu untuk mengungkap kebenaran ini. Semua tuduhan kalian adalah salah. Dan pelaku sebenarnya pencurian itu akan segera aku temukan." seloroh Helga dengan lugasnya. Melirik reaksi kedua orangtuanya yang berada di belakang dengan ekor matanya kilas, lantas mengamati satu persatu paras pengunjuk rasa yang hampir menghancurkan rumahnya tersebut. "Dan jika pada akhirnya benar, Ayahku adalah pelakunya. Maka kami akan mengabulkan keinginan kalian untuk melakukan kompensasi." tandas Helga mengundang kasak-kusuk yang mulai ramai di antara kerumunan warga Desa.

Tak sedikit dari mereka yang bisa dengan gampangnya akan memercayai ucapan anak remaja seperti Helga. Namun, jika mengingat bahwa Helga cukup banyak berperan menjadi penolong secara tidak langsung ketika mereka membutuhkan bantuan beberapa tahun silam, membuat para warga jadi dilema.

"Apa jaminannya omongan kamu itu bisa kami percaya, Hel?!" ungkap seorang Bapak-bapak akhirnya melontarkan pertanyaan yang tadi sempat mengambang di bibir warga lainnya.

"Biar saya yang jadi jaminannya!" seru seorang Kakek tua yang berada di tengah kerumunan menyela. Mendengar seseorang mengasongkan dirinya sebagai jaminan, Kakek itu pun sontak menjadi titik fokus baru bagi netra para pendemo.

Kakek dengan jenggot putihnya yang panjang  itu berjalan tertatih-tatih keluar dari kerumunan yang tadi sempat menenggelamkan keberadaannya. Bermodalkan tongkat sebagai pegangan, juga dibantu oleh Helga yang dengan sigap memapahnya, Kakek tua renta itu berangsur menaiki teras rumah kediaman Pak Wijaya ; yang jaraknya satu meter lebih tinggi dibanding dengan pelataran rumah tersebut, Pria yang sudah berusia lanjut itu memilih untuk berdiri di sisi Helga yang tadi sempat kosong, merasa dirinya sudah berada di tempat yang benar, Kakek-kakek yang merupakan tetangga Helga itu pun kembali berbicara, "Jika kalian masih menghormatiku sebagai sesepuh di sini, maka hormatilah juga apa yang Helga katakan. Jika selama ini kalian begitu sangat memercayaiku, maka kalian pun harus lebih memercayai ucapan Helga. Karena seluruh sikap tindak tanduk Raden Sultan Diningrat diwarisi padanya. Saya yakin, Helga akan segera menemukan jalan keluar dari masalah yang saat ini tengah kita hadapi." tuturnya mengungkap seberapa persen para warga harus percaya akan janji yang Helga ucapkan.

Kakek berusia lebih dari satu abad yang kerap di sapa Eyang Fatah itu adalah anak tunggal dari mendiang sahabat karib Raden Sugeng Diningrat yang notabene merupakan Kakek buyut Pak Wijaya, Ayah Helga. Meski tak lagi muda,  namun di usianya yang senja itu, Eyang Fatah masih cukup dikatakan prima. Pasalnya, kelima indera dalam tubuhnya masih berfungsi dengan sangat baik. Bahkan deretan giginya pun masih utuh. Lengkap. Tidak ada satupun yang hilang. Entah ritual apa yang beliau lakukan, hingga bisa berumur panjang dan memiliki tubuh sesehat itu. Yang jelas, Helga cukup senang dapat berjumpa kembali dengan seseorang yang sangat berkharisma dalam hidupnya itu.

Di saat Helga mulai melihat sesuatu tak kasat mata. Hanya Eyang Fatah-lah yang memberitahukan pada gadis muda itu bahwa apa yang ia lihat adalah benar adanya, dan mewanti-wanti pada Helga bahwa kemampuan barunya itu jangan sampai disalahgunakannya. Di saat Helga mendadak mendapat bisikan gaib ketika salah seorang warga kehilangan anaknya secara tak wajar, Eyang Fatah-lah orang pertama yang meminta warga untuk memeriksa tempat yang Helga dengar dari suara gaib tersebut. Dan ketika Helga bermimpi akan banjir bandang di Desa tersebut, Eyang Fatah-lah satu-satunya orang yang berusaha keras untuk menyelamatkan warga dari bencana yang seminggu kemudian benar-benar terjadi.

Hanya Eyang Fatah yang mampu mengerti dan memahami kemampuan Helga di Desa itu. Bahkan, saat orangtua  Helga berniat memasukan putrinya itu ke dalam RSJ, Eyang Fatah jua-lah satu-satunya orang yang datang menghadang. Berusaha melarang Pak Wijaya agar tidak membawa Helga ke sana. Namun watak keras kepala Pak Wijaya membuat Eyang Fatah tak berdaya. Terlebih lagi status Eyang Fatah yang hanya sekadar menjadi tetangga rumah keluarga Pak Wijaya. Bukan termasuk ke dalam keluarga inti yang memiliki hak besar untuk menentang keputusan Pak Wijaya dulu.

Melihat Sesepuh yang paling disegani di Desa itu ikut turun tangan. Tanpa diperintah, para warga yang berunjuk rasa pun berangsur membubarkan diri dengan suka rela. Setelah memastikan bahwa keadaan telah kondusif, Helga menghela napasnya lega. Mengulas senyum manis lalu meraih jemari Eyang Fatah untuk kemudian dikecupnya kilas sebagai tanda penghormatan. "Aku kembali, Eyang." ucap Helga lembut tanpa memudarkan senyumnya.

Eyang Fatah ikut menyunggingkan senyum, seraya mengusap lembut puncak kepala Helga yang tampak lebih tinggi dari sebelumnya. "Bagaimana sekolahmu, Nduk?" celetuknya bertanya.

"Aku sangat bahagia di sana, Eyang. Di SHS aku mendapat begitu banyak teman yang memiliki kemampuan sepertiku. Mereka semua begitu menyayangi dan menjagaku." beber Helga dengan antusiasnya.

"Eyang senang melihat kamu seceria ini. Tetap terus menjadi Helga yang seperti Langit Cerah ini, ya?" ungkap Eyang Fatah yang disambut tawa kecil dari Helga.

"Eyang. Terima kasih, ya? Terima kasih karena Eyang telah membantu kita untuk membubarkan para warga yang berdemo tadi." sela Pak Wijaya mengakhiri temu-sapa manis Helga dan Eyang yang terasa hangat tadi.

Senyuman di wajah Eyang Fatah menyusut seraya merespon ucapan terima kasih yang didapatnya dengan anggukan kepala. Merasa kecanggungan mulai terlihat kala pupil mata Helga bertemu dengan retina mata Pak Wijaya, dengan cekatan, Rosmala pun bergegas meminta semua orang yang ada di terasnya untuk masuk ke dalam rumah.

Setelah membantu suaminya untuk beristirahat kembali di atas ranjang, Rosmala beringsut menyambut kepulangan Putri tunggalnya itu dengan pelukan hangat. "Ibu senang akhirnya kamu mau pulang ke rumah." ungkapnya sembari mengusap-usap punggung anak gadisnya itu yang justru terfokus meneliti jengkal demi jengkal luka mengoreng di sekujur tubuh ayahnya yang terbaring.

"Sudah berapa lama dia ..., seperti itu?"

Pertanyaan yang Helga lontarkan dengan  nada lirih nyaris berbisik itu, sontak merenggangkan dekapan hangat di tubuh Helga. Menyadari ada sesuatu yang harus diluruskan, Rosmala pun segera meralat ucapan putri sematawayangnya itu. "Maksudmu, Ayahmu, kan? Jangan panggil Ayahmu dengan sebutan 'dia' . Karena bagaimana pun, Beliau adalah Ayah biologismu, Nak."

Bukan lagi hal yang aneh jika sikap Helga pada Pak Wijaya begitu dingin. Pasalnya, sejak Pak Wijaya nekad meninggalkan Helga untuk melakukan pengobatan di RSJ, beliau-lah aktor utama yang begitu gigih mengatakan bahwa kemampuan supranatural yang Helga miliki merupakan sebuah penyakit  kejiwaan yang harus mendapatkan pengobatan secara medis.

Kebencian masih tercetak jelas di kedua bola mata indah gadis muda yang merupakan Kepala dari Pentagram Emas Manusia tersebut. Namun tak dapat dipungkiri bahwa di balik padatnya kebencian yang mengendap, terdapat pula secuil kekhawatiran yang terselip di dalamnya. Seolah enggan dinasihati oleh Sang Ibu, Helga memilih untuk melangkah mendekati tempat di mana Pak Wijaya merebahkan diri. Dengan gerakan pelan, Helga mengulurkan telapak tangan kanannya untuk mendeteksi aura aneh yang terpancar dari tubuh sakit Sang Ayah. Pergerakan tangan Helga berhenti mendadak, ketika netra remaja itu menemukan sebuah benda aneh tergeletak di atas kasur ; tepatnya di bawah telapak tangan kiri Pak Wijaya. Helga memungutnya dan mengamati dengan seksama benda yang ternyata merupakan sebuah sisik hewan tersebut. "Ini seperti sisik ikan." selorohnya, disambut kernyitan samar di dahi Rosmala.

"Kamu lihat sendiri 'kan? Penyakit Ayahmu ini aneh. Gimana bisa ada sisik ikan yang muncul dari tubuhnya?" celetuk Rosmala menunjukan bahwa apa yang ia katakan lewat sambungan telepon pada pihak SHS adalah benar adanya.

"Bukan dari tubuhnya. Tapi dari tubuh jin yang dimasukan ke dalam badan Beliau." ungkap Helga dengan gamblangnya. Membuat Pak Wijaya yang sedang menahan rasa letihnya itu jadi membelalakan mata. Bahkan Eyang Fatah yang sedang minum teh bersama Arnold di ruang tengah pun langsung bangkit berdiri kala mendengarnya.

"Jadi bener, Hel? Ayah kamu ini kena Santet?!" tanya Arnold bergegas menghampiri.

Helga mengangguk. "Ada orang yang mengirim sosok Jin penunggu Sungai untuk masuk ke dalam tubuh Ayah. Dan penyakit yang Ayah indap ini sebenarnya bukan penyakit. Tapi wujud asli dari jin tersebut." imbuh Helga yang kemudian menjelaskan lebih detail lagi wujud dari jin kiriman tersebut. "Tubuh jin itu kurus dan tinggi, bahkan nyaris seperti tinggal tulang berlapis kulit saja. Punggungnya bersisik dan bersirip. Wajahnya hampir menyerupai seekor ikan. Tapi bedanya, sosok jin ini memiliki kaki dan tangan yang digunakannya untuk bergerak."

Mendengar penuturan Helga, Arnold yang notabene adalah Paman Helga yang berusia 27 Tahun itu, dibuat merinding. Bulu roma di sekujur tubuhnya, kompak berdiri menegang. Membayangkan bahwa mungkin dirinya juga bisa menjadi target berikutnya, mengingat betapa setianya Arnold yang selalu menemani Pak Wijaya saat masih dalam masa kampanye sampai saat Beliau sudah menjabat sebagai Kepala Desa seperti saat ini.

Bak mengetahui kegusaran yang tengah Paman mudanya itu rasakan, Helga berkata, "Paman jangan cemas. Pak Wijaya adalah satu-satunya target yang menjadi sasaran dari sumber kemarahan  Si Pelaku Asli. Gak akan ada orang lain yang akan menjadi rumah singgah berikutnya dari jin ini."

"Jadi benar, ada orang yang dengan sengaja nyuruh dukun buat nyantet Mas Wijaya gitu?" tukas Arnold ingin tahu

"Ya. Benar sekali. Dan orang itu adalah orang yang sama dari Pelaku hilangnya barang-barang berharga di Desa ini. Aku rasa, jika sebelumnya Ayah tidak sesumbar dengan ucapannya. Paling tidak, teror yang akan didapat tidak seberat ini."

"Tunggu dulu. Jadi, maksudmu Ayah yang salah? Ayah sendirilah yang menjadi penyebab tubuh  Ayah seperti ini, Hel?!" sela Pak Wijaya tampak tak mau disalahkan.

"Bukan Ayah yang salah. Tapi watak egois dan rendahnya iman Ayah karena kurang begitu memercayai hal-hal yang gaib itulah yang menjadi penyebab semua ini terjadi. Menjadi Pemimpin itu gak cukup dengan banyaknya harta yang dimiliki juga otak pintar dan sifat yang rasional. Tapi ketebalan iman berikut kuatnya ilmu spiritual juga diperlukan sebagai tameng. Dan Ayah tidak memiliki kedua hal terakhir itu."

"Kamu pikir Ayah yang mau jadi Lurah di Desa ini? Ayah tidak menawarkan diri. Warga kita-lah yang terus ngedesak Ayah buat jadi Pemimpin mereka. Mereka ingin Desa kita dipimpin langsung oleh keturunan Raden Sugeng Diningrat katanya."

"Itu hanya keinginan, Yah. Itu hanya keinginan semu mereka yang berharap, Ayah bisa seperti Kakek Buyut yang mampu mengayomi seluruh warganya dengan welas asih dan budi pekerti. Tapi lihat kenyataannya, Ayah tidak bisa menjadi Beliau. Ayah berbeda dengan Raden Sugeng Diningrat."

Dari ambang pintu, Eyang Fatah melihat Pak Wijaya mengepalkan satu tangannya yang bergetar hebat. Ucapan Helga barusan sepertinya sudah menyinggung atau bahkan mungkin sangat melukai harga diri Pak Wijaya. Melihat reaksi Pak Wijaya yang hanya bisa menahan amarahnya yang hampir membuncah itu dengan mengeratkan gigi-giginya  sampai terdengar gemeletuk, menandakan bahwa saat ini, lelaki dewasa itu tengah berusaha mengendalikan diri. Sebelumnya Eyang Fatah sempat waswas, kalau-kalau Pak Wijaya sampai menampar Helga seperti waktu dulu. Namun kali ini, sepertinya tidak demikian. Entah hanya demi kesembuhannya atau memang Pak Wijaya sedang berusaha memperbaiki wataknya, orang itu kini akhirnya dapat mengendalikan emosinya.

"Iya. Kamu benar, Nak. Ayah yang salah. Ayah yang kelewat bangga dan besar kepala saat mendengar mereka mengajukan nama Ayah sebagai kandidat terkuat saat Masa Pencalonan kemarin. Tanpa menyadari, bahwa jiwa kepemimpinan Ayah itu tidak sebanding dengan jiwa kepemimpinan yang Eyang Sugeng miliki. Bagaimana Ayah bisa memimpin warga Desa jika dalam keluarga ini saja, Ayah tidak bisa menjadi Pemimpin yang bijaksana." Aku Pak Wijaya menyesali apa yang dulu pernah ia lakukan terhadap Helga, putrinya.

Dengan gemetar, Pak Wijaya meraih jemari tangan kanan Helga yang berada di sisi tubuhnya, untuk kemudian digenggamnya erat. "Maafkan Ayah, Nak. Maafkan semua kesalahan yang telah Ayah perbuat padamu dari dulu hingga saat ini. Ayah menyesal. Dan sekarang, Ayah tahu bahwa kemampuan supranaturalmu itu adalah kelebihan. Bukan kekurangan. Kamu ..., mau 'kan maafin Ayah?" ungkap Pak Wijaya dengan sorot mata yang berkabut.

Devian benar. Sepertinya hanya permintaan maaf dan pengakuan dari Sang Ayah-lah yang dapat membuat batu besar di dada gadis itu hancur. Setelah mendengar permintaan maaf itu secara langsung, entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja Helga merasa sebuah beban berat yang mengganjal di hatinya selama ini seolah terangkat sepenuhnya. Kebencian dan rasa kekecewaan terhadap Sang Ayah yang telah bertahun-tahun mengendap menjadi racun di hatinya pun seolah meleleh dan lenyap tak berbekas. Kini, Helga dapat mulai membuka kembali lembaran baru bersama kedua orangtuanya. Lembaran baru yang akan mereka isi tanpa adanya permusuhan juga kebencian lagi.

Tanpa diminta, sebuah garis lengkung tersemat di bibir keriput Eyang Fatah, kala menyaksikan pasangan Ayah dan Anak itu akhirnya berbaikan. Kakek yang merupakan Tetua di Desa itu merasa senang dan bangga telah menjadi saksi bersatunya sebuah keluarga yang akan terus menghangat itu.

"Btw, apa ada cara buat nyembuhin Ayah kamu dan ngusir jin kiriman itu dari tubuh Mas Wijaya?" Kalimat tanya yang Arnold ajukan serta merta menyudahi aksi berbaikan tersebut. Bak diingatkan untuk melakukan sesuatu, Helga pun bergegas menuju ke area belakang rumahnya.

"Nak! Helga, kamu mau ke mana?" Melihat sang putri setengah berlari menuju halaman belakang, Rosmala pun bergegas mengejarnya. Menyusul langkah gadis introvert itu kalau-kalau dia juga membutuhkan bantuan.

Rosmala semakin dibuat kebingungan saat memergoki anak sematawayangnya itu sibuk menggali tanah yang berada di tiap sudut rumahnya. Penasaran kenapa  Helga begitu husyuk dengan aktivitasnya, dengan perlahan Rosmala pun datang menghampiri.

"Apa yang sebenarnya kamu cari di sini, Hel? Kamu sampai menggali sebanyak ini."

Belum sempat sepatah katapun jawaban terlontar dari bibir ranum milik Helga, sebuah benda dengan bentuk seperti paku berukuran besar namun berwarna emas yang Helga temukan di penggaliannya yang ketujuh seolah menjadi jawaban lain dari apa yang Rosmala tanyakan tadi.

"Tusuk konde siapa itu, Hel? Ibu 'kan tidak pernah bisa membuat konde."

"Inilah sumbernya. Ini bukan tusuk konde biasa, Bu. Ini Santet Tusuk Konde. Lewat cara inilah Si Dukun mengirimkan jin yang akan menyebabkan Ayah mengalami gejala penyakit yang aneh. Saat berada di luar rumah, Si Korban Santet Tusuk Konde ini akan seperti orang normal yang sehat pada umumnya. Tapi saat kembali ke rumah, ia akan sakit-sakitan. Tidak akan ada obat yang mujarab untuk menyembuhkannya selain menghancurkan benda santet ini." Helga mengatakan hal itu sebelum di detik berikutnya ia pun menghancurkan tusuk konde yang ditemukannya itu dengan memukulnya hingga pecah menjadi berkeping-keping menggunakan sebuah batu.

Bersambung


Continue Reading

You'll Also Like

30.5K 1.8K 20
Setelah kepergian orang tuanya (Amelia) memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya setelah kurang lebih 6 tahun berada di luar kota. Amel bernia...
135K 10.5K 75
[COMPLETED] Kepindahan Dinda ke rumah baru yang baru saja selesai dibangunnya membawa kenangan masa remaja yang luar biasa menyenangkan. Pasalnya, li...
45.5K 3.1K 32
Dia berbeda! Dia istimewa! Dan dia berbahaya bagi siapapun yang berani mengusiknya! Generasi ketiga dari Tegal Salahan. Lebih seru! Lebih menegangkan...
87.2K 10.6K 68
A bunch of one shoot story with my fave ship