ANOTHER • Meanie (On Going)

By diphylleiagrayl

790 96 16

Wonwoo seorang pengkhayal tingkat akut dapat melihat sesuatu yang tak dapat dilihat orang lain. Ia merasa ram... More

Enigma (Segala Sesuatu Pasti Ada Sebab)
1. Fall Into the Deep Trench
2. The Man Who Suddenly Came
3. The Man Who's Always Alone
4. I Always Remember You
6. New World
7. Semicolon
8. Alteration
9. Pine Scented Past

5. Between Nightmare and Reality

62 9 2
By diphylleiagrayl

Langit malam berwarna kemerahan tanpa kehadiran bintang dan sinar bulan. Angin kencang yang mampu membekukan menyerang wajah dan tengkuk membuat siapapun enggan berdiam diri di luar dalam jangka waktu panjang. Dingin yang mampu mengembalikan seseorang dalam realitas yang sesungguhnya. Dalam kesendirian Wonwoo berdiri memandang punggung Mingyu yang semakin menjauh. Baru kali ini Wonwoo mengalami sesuatu yang indah di hidupnya. Semilir angin masih meguarkan aroma pinus saat Mingyu menoleh dan tersenyum. Dan tanpa mampu dijelaskan tiba-tiba ia merasa sedih.

"Wonwoo? Apa yang kau lakukan?" Suara akrab seseorang menyapa. Wonwoo kembali ke bumi tempatnya berpijak, orang lain pasti memandangnya aneh berdiri di situ menatap jauh udara kosong. Ia menoleh dan menemukan Hansol bersama temannya tak jauh dari pintu masuk.

"Hanya berdiri memandang pria yang tadi membantuku. Kalian darimana?"

Kerutan di dahi Hansol membuatnya salah tingkah. Pastinya pemuda itu keheranan melihatnya mampu berinteraksi dengan ornag lain selain dirinya. "Apa tadi kau mendapatkan masalah? Benar, kami baru dari kafe untuk mengerjakan proyek tugas bersama. Seungkwan akan menginap di tempatku malam ini." Wonwoo mengangguk mendengar penuturan Hansol. Ia kembali melanjutkan, "tadi ada segerombolan orang yang menghadangku, yah itu salahku karena menabrak mereka lalu mereka mulai meminta uang. Saat aku katakan tidak ada mereka menghajarku." Wonwoo meringis, ia yakin sekali luka robek di bibirnya pasti membuka lebih lebar.

"Apa—kau baik-baik saja?"

Wonwoo menahan diri untuk tidak memutar bola mata. Mengapa orang-orang selalu menanyakan sesuatu yang jawabannya sudah pasti di depan mata. "Dengan kondisi babak belur begini apa kau bilang baik-baik saja?"

Hening beberapa saat sebelum Seungkwan si pemuda gembil membuka suara. "Lebih baik kita masuk ke dalam. Di luar sangat dingin." Benar yang dikatakan Seungkwan, tubuhnya mulai menggigil padahal ia memakai pakaian super tebal. Ketiganya memasuki apartmen. Lampu lobi masih terang namun tak ada satupun orang lain di sana, lagipula dengan cuaca seperti ini lebih baik bergelung selimut sambil menikmati secangkir teh atau kopi hangat.

Beruntung, tanpa menunggu lama denting lift berbunyi dan mereka menuju ke kamar masing-masing. Wonwoo masih berkutat dengan pikirannya, tidak menyadari sekelilingnya dan tidak menyadari bahwa Seungkwan sedang serius menatapnya.

"Kau bilang namamu Jeon Wonwoo kan?" Seungkwan memecah keheningan. Wonwoo menoleh kepadanya dan mengangguk.

"Sepertinya aku pernah mendengar namamu atau membaca namamu di suatu tempat. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

Seumur hidup Wonwoo belum pernah bertemu dengan Seungkwan. Lalu ia teringat jika dulu ia pernah menulis buku yang tergolong best seller. "Pasti kau membaca namaku di sampul buku. Aku pernah menulis buku dan mungkin secara tidak sengaja kau melihatnya? Kalau kita berdua pernah bertemu, sepertinya tidak. Baru hari ini aku mengenalmu." Lift berhenti dan pintu terbuka.

"Sampai bertemu lagi." Wonwoo melambaikan tangan meninggalkan keduanya. Ia ingin cepat-cepat membersihkan diri dengan air hangat, mengobati lukanya dan meminum teh favoritnya. Karena besok libur jadi tak ada masalah tidur terlalu larut.

Selesai membersihkan diri, ia merasa hidup kembali. Penat dan lelah seolah terangkat dari bahunya. Wonwoo mengambil obat-obatan, duduk di meja dapur sambil menunggu air yang dimasaknya matang. Sebagaimana wujud dari sebuah apartemen tua dengan harga murah, dapurnya sama kecil dengan ruangan lain. Berbagai lukisan kelas dua menghias di beberapa sudut tembok. Awalnya tembok itu berwarna kusam dihiasi cairan kecoklatan yang entah datang darimana, saat dicat ulang kesan suram itu masih ada hingga ia memutuskan untuk menaruh beberapa figura lukisan di sana. Saat membeli, Wonwoo melakukan perombakan besar-besaran. Mulai dari pembersihan (yang semula ruangan-ruangan itu penuh dengan debu dan sarang laba-laba, entah kapan terakhir kali dibersihkan) hingga mengubah letak tata ruangan.

Sekujur tubuhnya mati rasa dan ia baru merasakan itu. Wajahnya menjadi kaku ketika ia memberi alkohol. Jika sampai hari Senin tidak ada perubahan mau tidak mau ia akan meminta cuti. Wonwoo iri kepada siapapun yang bisa bertarung. Tadi ia sedikit kagum kepada Mingyu karena mampu melawan mereka sendirian tanpa satupun luka. Berbanding terbalik dengan dirinya. Dari dulu ia tidak pernah merasakan bagaimana rasanya memukul, yang ada ia selalu menjadi pihak yang dipukul.

Wonwoo kembali teringat percakapan terakhir mereka. Apa-apaan ia berbicara seperti itu sungguh sebenarnya apa yang diinginkannya. Pria itu pasti memandangnya aneh. Daripada itu ia masih penasaran dengan sosok Kim Mingyu. Tinggal dimana pria itu? dan mengapa akhir-akhir ini ia selalu muncul. Jika mengingat masa lalu, tak sekalipun ia pernah mengenal seseorang bernama Kim Mingyu dengan perawakan seperti itu. Waktu ia hidup di Changwon, Kim Mingyu yang dikenalnya adalah seorang lelaki sepuh yang berusia hampir delapan puluh tahun.

Sibuk berkutat dengan pikirannya, desis air mendidih menyadarkannya kembali. Setelah selesai menyiapkan teh Wonwoo kembali ke kamanya. Dinding kelabu yang ditutupi wajah-wajah penulis terkemuka menatapnya. Terkadang dalam kesendirian ia berbicara kepada mereka. Ketika kehabisan ide gagasan dalam tulisan atau rasa bingung tiba-tiba melanda Wonwoo pasti mencurahkan segalanya ke poster-poster itu.

Matanya saat itu menatap figure Lovecraft, seorang penulis sub genre fiksi aneh yang karya-karyanya selalu menjadi favoritnya. Wonwoo berpikir makhluk aneh ciptaan Lovecraft sejatinya tidak hanya di fiksi melainkan ada di dunia nyata atau lebih tepatnya di dunia yang hanya bisa dilihat olehnya.

Wonwoo menatap mata itu, tanpa diketahui sebabnya ia merasa seperti menyelam  ke dalam ke tempat tak berujung yang tiba-tiba membawanya. Ketika ia mengedipkan mata hal yang aneh terjadi. Ia tidak lagi berada di kamarnya. Tidak ada dinding kelabu dengan poster-poster, tidak ada rak buku di sudut ruangan, teh hangat yang baru dibuatnya juga menghilang tanpa jejak. Kehangatan ruangan tergantikan dengan desau dingin angin menghantam wajah.

Rasa takut kembali menyerang.

Tempat itu adalah tempat yang sama ketika ia bangun di perpustakaan. Tempat yang ia rasa hanya ada di mimpinya namun begitu nyata. Wonwoo terengah-engah. Dingin membuat dadanya sesak. Mengapa ia kembali ke tempat ini?

Danau yang pertama kali dilihatnya terhampar di depannya. Kanopi-kanopi daun masih menutupi seluruh tempat itu sehingga kegelapan menyerang, semua masih sama. Wonwoo tahu ia hanya bermimpi namun apa mungkin seseorang dapat memimpikan tempat yang sama hingga kedua kalinya?

Wonwoo berjalan mencari sesuatu di tempat itu. Apakah alam bawah sadarnya yang membawanya hingga ke tempat ini? Tapi untuk apa? Ia terus berjalan. Perjalanan kali ini berbeda dari sebelumnya, jika awal ia akan kembali ke tempat semula sekarang jalan dan jalur baru ditemukan. Wonwoo berpikir mungkin ia telah berjalan berkilo-kilometer ketika rasa lelah menghampiri. Napasnya terengah dan dadanya sesak seperti ada sesuatu yang menekan. Jika tempatnya berada di atas dataran tinggi tidak heran apabila napasnya sesak. Kejanggalan datang, jika ini sebuah mimpi bukankah seharusnya ia tidak merasakan lelah atau rasa sakit?

Dengan perkiraan, satu kilometer telah dilalui. Wonwoo menyandarkan satu lengannya ke pohon besar di seblah kanan. Kepalanya melihat ke atas untuk memastikan waktu di tempat itu. Lagi-lagi Wonwoo terpedaya, di dalam mimpi tidak semua detail pasti tampak. Saat ingin melanjutkan perjalanan di belakang pepohonan dan semak-semak liar yang tumbuh setinggi dada ia melihat sebuah rumah modern. Rumah berdinding bata dengan cat berwarna kelabu dan pekarangan terawat yang amat berbeda dari sekitarnya.

"Mengapa ada rumah seperti itu di sini?" Wonwoo bergumam. Entah kepada dirinya sendiri atau kepada pepohonan dan ranting yang mungkin turut mendengarkan. Kakinya tanpa diminta berjalan menuju rumah itu. Tiba-tiba jantungnya berdebar tanpa sebab. Sekarang ia berdiri tepat di depannya. Wonwoo tercenung. Rumah yang tidak asing. Dimana ia pernah melihat rumah seperti itu? Ia tidak punya rumah, sebab masa kecil dan masa remaja ia habiskan di panti asuhan. Lalu apa yang menyebabkannya bermimpi tentang rumah.

Belum sempat Wonwoo mencerna, entah apa penyebabnya tiba-tiba muncul percikan api dari dalam rumah yang membakar gorden dan dengan cepat menyambar apapun yang dapat disambar. Wonwoo terkesiap melihat satu ruangan di dalamnya habis dilalap api, hanya menghitung waktu api melahap bagian luar bangunan. Api berkobar besar dan semakin besar. Asap membumbung tinggi di langit-langit mencekam tempat yang sudah gelap itu. Rasa panik melanda. Dilihat dari sudut manapun tidak ada rumah di sekitarnya selain rumah itu dan tidak ada manusia di tempat itu. Wonwoo memundurkan langkah menjauh. Panas dari api turut menyambarnya. Sebuah siluet terlihat seakan tengah menari di dalam ruangan, ia membelalakan mata melihat bahwa di dalam rumah memang ada seseorang. Dari jendela, terlihat jelas sosok tubuh menggeliat di tengah kobaran api. Napas Wonwoo sesak, sekujur tubuhnya sakit. Ia berteriak memanggil seseorang di dalam untuk segera keluar. Suara seraknya bahkan terdengar mendengung di dalam kobaran api. Tanpa disangka ia mulai menangis. Menangis keras seperti anak kecil yang membutuhkan pertolongan dan perlindungan.

Angin berhembus sama sekali tidak membantu memadamkan api. Api justru semakin besar yang anehnya hanya membakar rumah dan tidak menyambar pepohonan di sebelahnya. Wonwoo memukul-mukul tangannya memohon agar dirinya di dunia nyata segera bangun dan menyelamatkannya dari tempat ini. Ia sadar satu-satunya yang mampu menyelamatkannya hanyalah dirinya sendiri.

Saat tangisannya semakin menjadi-jadi, dalam pencampuran aroma hangus bangunan terbakar dan aroma lembab pepohonan ia dapat mencium aroma pinus. Wonwoo tersedak dalam tangisnya. Ia tahu itu bukanlah aroma pohon pinus melainkan sebuah pinus yang telah diolah menjadi sebuah pengharum. Kepalanya tertoleh ke sembarang arah mencari asal aroma itu. Ia merasa akrab dan merasa terlindungi.

Semakin dekat dan tanpa tahu apa yang terjadi tangannya ditarik oleh seseorang untuk menjauh dari kebakaran. Wonwoo berlari mengikuti si penarik di depannya. Ranting-ranting daun melukai tangan dan kakinya yang tak ia pedulikan. Mereka semakin menjauh hingga berhenti di dekat danau tanpa riak. Wonwoo terengah membungkuk bertopang pada lutut. Ia merasa keheranan siapa orang yang membantunya, ia percaya bahwa dalam mimpi hal-hal aneh pasti terjadi tetapi tak mengira akan seaneh ini. Angin kembali menghantarkan aroma pinus yang menenangkan. Setelah mengatur napasnya Wonwoo menegapkan tubuh dan melihat sosok jangkung berdiri di sana memandangnya.

Sosok itu adalah Kim Mingyu.

Apa yang terjadi? Mengapa Mingyu ada di mimpinya?

"Kau tak apa?" Suaranya sangat menenangkan bagai oasis di gurun pasir. Wonwoo tak pernah merasa seaman ini. Tanpa sempat dicegah bulir-bulir air mata terbentuk mengalir ke pipinya. Ia malu namun tak dapat menyembunyikan betapa senangnya ia akan kehadiran pria itu.

Betapa terkejut saat tubuhnya tanpa diminta berjalan menuju pria itu. terkejutan tidak hanya sampai di sana, Wonwoo memeluk Mingyu dan menangis di pelukannya. Ia membuang jauh rasa malu dan menangis keras seperti anak kecil. Dapat dirasakannya Mingyu mengelus punggungnya menenangkan.

Mingyu sangat hangat. Hangatnya bahkan menusuk jantungnya dengan rasa nyaman dan tanpa ia sadari aroma Mingyu yang seperti aroma pinus itu mengingatkannya akan sesuatu yang membuatnya merasa aman. Setelah ia tenang, keduanya terduduk di pinggir danau. Rerumputan di bawahnya sangat lembab hingga air membasahi celana. Jika sendiri tidak akan mungkin ia berani ke pinggir danau ini. Suasananya sama mencekamnya seperti pertama kali.

Keduanya terdiam menikmati semilir angin yang menampar lembut wajah. Apabila ini di dunia nyata sudah tentu ia akan menggigil kedinginan dan lebih memilih berada di dalam rumah. Lalu ia teringat akan sosok yang terjebak di dalam kobaran api.

"Tadi sangat menakutkan. Aku melihat ada seseorang di dalam rumah dan orang itu terbakar api." Suaranya bergetar membayangkan pemandangan tadi.

"Yang terpenting  sekarang kau sudah aman." Terdapat jeda sebelum Mingyu kembali melanjutkan. "Bagaimana kondisimu? Sudah membaik?"

"Berkat kedatanganmu aku terselamatkan. Terima kasih." Hening. Wonwoo menoleh ke arah Mingyu. Ia berpikir betapa anehnya ketika baru bertemu dengan orang baru tetapi ia sudah memimpikannya. Orang-orang berkata jika kita memimpikan seseorang artinya kita terlalu memikirkan orang tersebut.

Berkutat dengan pikirannya Wonwoo tak menyadari bahwa Mingyu juga memperhatikannya. Keduanya kini saling menatap. Dalam realitas tentunya Wonwoo akan canggung di kondisi seperti ini. Tetapi justru ia merasa akrab dan merasa hangat. Mimpi pastinya tidak dapat diprediksi seperti ramalam cuaca. Mimpi akan memberikan sesuatu yang indah atau sesuatu yang buruk bahkan lebih buruk daripada saat kau hidup dan bernapas.

Begitulah yang terjadi berikutnya. Mingyu di hadapannya tiba-tiba membuka mulutnya sangat lebar. Matanya membelalak seakan melihat sesuatu yang menakutkan, tanpa diduganya suara teriakan memekakan telinga terdengar hingga ia menekan kedua tangannya untuk menutup telinga. Seiring dengan teriakan itu sesuatu yang lebih menakutkan terjadi. Wonwoo melihat kedua mata Mingyu terjatuh ke tanah, begitu juga hidung dan telinganya yang mengingatkan akan sebuah lilin yang dapat meleleh. Wonwoo panik namun terlalu takut mendekat. Kengerian di depannya terjadi tepat di hadapannya. Dalam hitungan menit seluruh tubuh Mingyu meleleh, menyisakan pakaian yang digunakannya. Wonwoo tak dapat berkata-kata saat bola matanya berputar memperhatikan sekitar dan menatap lurus ke arahnya.

Tanpa mempedulikan apapun Wonwoo bangkit dan berlari menjauhi tempat itu. Pepohonan menenggelamkan tubuhnya ke tempat yang tak pernah diketahuinya. Butuh berapa jam lagi sampai ia terbangun, apa tidurnya nyenyak sekali hingga rasanya berjam-jam taka da tanda dirinya untuk terbangun.

Jalan bebatuan membawanya ke sebuah tempat baru, pepohonan di kanan dan kirinya tidak selebat tadi. Yang dapat didengarnya hanya riak air yang mengalir dan desauan pepohonan di bawah tempatnya berdiri. Dari sana Wonwoo baru menyadari bahawa dirinya berdiri di sebuah tebing. Napasnya tersengal, dan peluh membanjiri. Wonwoo kembali menangis disertai teriakan. Beberapa menit diperlukannya untuk memnenangkan diri. Biasanya ia akan menyelesaikan suatu masalah dengan kepala dingin namun sekarang seluruh anggota tubuhnya tidak dapat lagi bekerjasama.

Perlahan Wonwoo melangkahkan kaki mendekati tepian tebing. Di bawahnya terdapat pepohonan lebat, saking lebatnya ia tidak dapat melihat permukaan. Dari tempatnya berdiri diperkirakan lima puluh meter menuju tanah. Tanpa berpikir panjang Wonwoo merentangkan tangan. Semilir angin menggelitik telinga dan terpikirkan olehnya untuk terjun ke bawah. Ini semua adalah mimpi. Jika terjatuh tubuhnya pasti akan terkejut dan terbangun. Dalam ketinggian berapapun ia tidak akan merasakan sakit karena semua hanya mimpi, kan?

Dibantu angin Wonwoo menarik napas panjang. Menghembuskannya perlahan, dan menenangkan pikiran. Dalam hati ia mulai menghitung mundur.

Tiga....

Pernah sesekali dalam hidupnya memikirkan untuk mengakhiri hidup. Sekarang ketika hidupnya di ujung tanduk justru ia merasakan takut.

Dua....

Tidak ada rasa sakit kan?

Satu...

Wonwoo terpejam dan menjatuhkan dirinya ke depan hingga dirasa tubuhnya melayang. Tubuhnya tidak dapat melawan gravitasi, dalam sekelabat bayangan tebing ia memikirkan satu nama. Mingyu.

Menunggu waktu mendengar tubuhnya berdebum. Namun Wonwoo tidak mendengar debuman  atau merasakan tubuhnya menyentuh tanah. Ia kembali ke dalam kegelapan. Kegelapan yang menenggelamkannya.

Tanpa tahu apa yang terjadi Wonwoo terbangun. Ia tersentak dan terduduk menatap sekelilingnya. Napasnya tersengal sama seperti ia berada di tempat tadi. Kelagaan menyapa indranya saat mengetahui ia telah kembali ke kamarnya, bahwa itu semua hanya mimpi dan ia tidak mati. Wonwoo menoleh ke meja kecil di samping tempat tidur dan menemukan teh di dalamnya telah lama mendingin dan tak tersentuh. Waktu menujukkan pukul dua belas malam. Ia masih terengah, tangannya mencengkram baju tepat di bagian jantung. Pakaiannya begitu basah akibat keringat. 

Wonwoo kembali tersentak teringat akan sesuatu, ia menoleh ke segala arah mencari sosok yang tadi ada di mimpinya, Kim Mingyu. Wonwoo tersadar jika itu hanyalah mimpi. Tidak mungkin Mingyu meleleh seperti itu. Pastinya sekarang pria itu tengah bergelung di dalam selimut hangatnya dan tertidur nyenyak.

Otaknya terasa kacau dan berat. Mimpi itu adalah mimpi terburuk yang pernah ia alami sumur hidup. Wonwoo melipat kaki hingga lutut menyentuh dadanya. Menenggalamkan wajahnya di sana dan tanpa diminta ia mulai terisak tak terkendali.

Ia begitu ketakutan. Dan hatinya berharap Mingyu ada di sisinya.  

TBC

A/N : Happy weekdays guys.... Semoga suka dan maaf terlambat dari jadwal. Yang suka boleh vote dan commentnya^^

Continue Reading

You'll Also Like

775K 78.2K 54
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...
42.6K 5.3K 25
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...
44.1K 9.9K 116
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...
736K 34.9K 39
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...