Dunia Lara (Sekuel Sayap-saya...

By Rasdianaisyah

108K 14.7K 1K

Mati. Mati. Mati. Lumi hanya ingin mati. Menyusul anak yang tak bisa ia lindungi. Atau ... setidaknya biarkan... More

Prolog
BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
BAB 6
BAB 7
BAB 8

BAB 5

5.6K 1.5K 121
By Rasdianaisyah

Dia hitam, kecil dan jelek. Sama sekali tidak secantik kucing ras. Tentu saja, induknya hanya jenis kucing kampung yang Lumi temukan di pinggir jalan dalam kondisi menyedihkan. Satu-satunya makhluk yang kemudian sudi berteman dengannya, meski kadang bersikap sangat menyebalkan dan sombong.

Namun kini Catty sudah mati, hanya menyisakan seekor anak kucing yang sama persis dan kini menatap Lumi dengan berani, seolah menantangnya berkelahi. Ah, dia benar-benar anak Catty.

“Dia cantik sekali kan, Mbak.” Nisya yang ternyata suaminya Iron pekerjakan sebagai sopir mereka begitu kontak kerja dengan perusahaan sebelumnya habis, akhir-akhir ini jadi sering datang berkunjung. Hal tersebut juga atas permintaan Iron.

Wanita itu masih secerewet dulu. Meski seringkali Lumi sama sekali tak mengindahkannya, Nisya akan terus bercerita tentang banyak hal. Sesekali bernostalgia saat mereka masih tinggal bersebelahan.

Nisya juga sering menceritakan tentang Rayhan, putranya yang dulu dikandung berbarengan dengan Pelita. Beruntung sekali Nisya, meski dulu kandungannya terbilang lemah, tapi bayinya bisa bertahan.

Ah, andai Pelita masih hidup, mungkin nanti Lumi bisa menjodohkannya dengan Rayhan. Bila benar putra Nisya menuruni sifat lembut kedua orangtuanya, Pelita akan menjadi salah satu gadis paling beruntung. Sayangnya, tidak demikian.

Berusaha mengenyahkan ingatannya tentang Pelita, Lumi menatap si kucing jelek di dalam kandang kecilnya lebih seksama. Meski sedikit angkuh, anak Catty tampak begitu manis, seperti adiknya. Tanpa sadar Lumi tersenyum dan berseru spontan, “Cingta.”

“Cingta?” ulang Nisya tak paham, tapi Lumi tak menanggapi meski ia ingin mengangguk bosan. Alih-alih ia malah membuka tutup kandang dan menarik tubuh kurus Cingta yang semula sedang asyik menjilat ekornya.

Si kucing kecil sempat memberontak sebelum kemudian kembali anteng setelah Lumi menggaruk-garuk lehernya. “Cinta,” katanya lagi dengan nada lebih pelan. Membuat Nisya langsung paham dan tersenyum lebar.

“Jadi namanya Cinta?”

Lumi kembali tidak menyahut dan hanya mengelus kepala mungil si kucing hitam.

“Namanya bagus, Mbak.”

Tiga pekerja yang minggu lalu Lumi cederai sudah kembali bekerja, tapi mereka tampak sedikit menjaga jarak darinya. Baguslah. Lumi juga mual melihat wajah-wajah munafik itu.

Untuk sementara, yang Iron izinkan mendakati Lumi hanya dirinya sendiri dan Nisya. Agar Nisya bisa sering-sering berkunjung tanpa harus meninggalkan putranya, Iron bahkan meminta keluarga kecil wanita itu untuk menempati paviliun. Suami Nisya sempat menolak, karena katanya itu sangat berlebihan.

Namun, tak ada yang cukup berlebihan bila hal tersebut bisa mengembalikan keadaan Lumi. Jadilah, Nisya dan suaminya menyanggupi. Terlebih selama ini Iron cukup baik kepada mereka bahkan memberi gaji dengan nominal yang tidak main-main. Rasanya keterlaluan kalau mereka menolak membantu.

Semula, Nisya selalu datang sendiri dan menitipkan Rayhan pada pekerja lain. Tapi setelah satu minggu berlalu dan tak ada tanda-tanda Lumi bersikap kasar saat bersamanya, Nisya mulai memberanikan diri membawa sang putra.

Pertama kali melihatnya, Lumi menatap dan mengamati Rayhan lama. Lama sekali sampai membuat Nisya sempat waswas. Tapi Lumi tidak melakukan apa pun, hanya menatap sebelum kemudian berpaling.

Kedua kali membawa Raihan ke kamar Lumi, Nisya bahkan menawari Lumi untuk menggendongnya. Tapi lagi-lagi tidak memberi respon dan malah meringkuk di ranjang, sama sekali tidak mau melihat mereka. Cingta yang sudah menjadi ratu di rumah itu, tidur telentang di atas nakas, memamerkan perutnya yang gembul pada seluruh dunia dengan ekor yang sesekali digoyang-goyang.

Makin sering berada di sisi Lumi, Nisya kian merasa ada yang aneh dengan diri temannya.

Mereka bilang, Iron bahkan bilang, Lumi memiliki gangguan mental. Ada yang terang-terangan mengatakan bahwa dia gila.

Namun mengamati sedekat ini, Nisya yakin mereka salah. Karena ada beberapa waktu Lumi tampak begitu normal. Hal tersebut diperkuat saat Nisya masuk kamar tidur Lumi tanpa mengetuk pintu dan mendapati wanita itu sedang bermain dengan kucingnya. Begitu menyadari kehadiran Nisya, dia justru langsung mengubah sikap.

Tapi Nisya belum berani mengatakannya pada Iron, takut dirinya keliru. Nisya hanya mulai jarang membiarkan Lumi mengonsumsi obat. Setiap kali perawat datang untuk mengantarkan pil-pil itu, Nisya langsung mengambil alih dan mengatakan biar dirinya saja yang melakukan tugas tersebut. Alih-alih diberikan, Nisya justru membuangnya ke dalam kloset. Hanya untuk melihat reaksi Lumi.

Dan kecurigaan Nisya makin kuat saat satu minggu tanpa mengonsumsi obat dan Lumi masih tampak baik-baik saja.

Sampai suatu hari, setelah tiga bulan, Nisya akhirnya memberanikan diri mengajak Lumi berbicara serius, tapi sebelumnya ia memastikan kamar dalam keadaan terkunci.

“Mbak Lumi,” katanya, berusaha menghalangi pandangan Lumi yang menatap kosong ke arah dinding kamar tidurnya yang terlalu kosong untuk ukuran seseorang macam Iron.

Lumi berkeras menolak membalas tatapannya dan malah meliarkan pandangan. Tapi Nisya tidak menyerah. Ia menggenggam kedua tangan sang lawan bicara yang duduk setengah berbaring di ranjang berseprai abu-abu gelap nan polos itu.

“Jangan pendam semuanya sendiri, Mbak. Jangan kurung diri Mbak dalam keasia-siaan semacam ini. Kita tidak tau kapan ajal datang. Mbak mungkin mengharapkannya lebih cepat, tapi bagaimana kalau masih ada tujuh puluh tahun lagi? Apa Mbak akan tetap seperti ini?

“Saya tidak tahu bagaimana sakitnya kehilangan seorang anak. Dan semoga saya tidak pernah mengalaminya. Karena jujur, melihat Ray demam saja rasanya sedih sekali.

Saya tidak ingin menggurui atau apa, saya hanya ingin Mbak lebih membuka mata dan berpikir dengan baik. Saat ini Mbak Lumi masih muda. Begitu juga Mas Iron. Kalian memiliki masa depan yang baik. Pelita akan selalu menjadi anak kalian dan tidak tergantikan, tapi bukan berarti kalian tidak memiliki anak lagi.”

Tepat setelah mengatakan kalimat terakhir, barulah Lumi menatapnya. Rahang wanita itu berkedut. Ada kobar amarah di dalam telaga bening segelap malam itu.

Orang gila tidak mungkin mengerti kata-kata Nisya. Tapi Lumi memahaminya. Karena itulah dia bereaksi seperti sekarang. Membuat Nisya semakin yakin bahwa ... Lumi sama sekali tidak sinting.

Namun Lumi tetap tidak mengatakan apa pun. Dia hanya mengatur napas selama beberapa saat sebelum kembali mengalihkan atensinya. Tentu saja, kalau Lumi bereaksi berlebihan, kondisinya bisa diketahui oleh semua orang.

Menurunkan kelopak matanya, Nisya tatap Lumi sendu. Ia menggenggam tangan Lumi lebih erat dengan satu tangan, sedang tangan lain menarik dagu Lumi dengan lembut hingga pandangan mereka kembali bertemu.

Kemudian Nisya berkata, “Saya tahu Mbak Lumi tidak gila.”

Seketika pupil Lumi melebar. Seolah ingin lari, ia kian menenggelamkan tubuh ringkihnya ke bantal empuk yang dijadikan sandaran.

“Saya di sini,” lanjut Nisya, sama sekali tak memberi Lumi ruang untuk merasa terkejut. “Insyaa Allah saya bisa membantu Mbak dan menjadi pendengar yang baik. Mbak Lumi hanya perlu mempercayai saya.”

Menolak mempercayai kata-kata Nisya, Lumi berusaha menarik tangannya dari genggaman wanita itu. Usaha pertama gagal karena Nisya ternyata tidak selemah itu.

Kesal, Lumi kemudian menyentak tangannya dan mendorong tubuh mungil Nisya hingga wanita tersebut jatuh tersungkur dari ranjang.

Lumi memang jahat, ia akui itu. Tapi sifat iblis yang ada dalam dirinya hanya berlaku untuk orang-orang yang berusaha mengusik. Dan Nisya bukan bagian dari mereka.

Jadilah saat melihat Nisya kesakitan, secara refleks Lumi langsung melompat dari ranjang dan berseru, “Lo nggak apa-apa?” dengan nada penuh sesal.

Berhenti meringis dan mengaduh, Nisya mengangkat pandangan dan tersenyum jail. “Tuh kan, Mbak Lumi nggak gila.”

Sial. Kali itu Lumi benar-benar ketahuan.

Air muka Lumi langsung berubah seketika. Menjadi begitu datar dan dingin. “Sekali pun gue pura-pura gila, itu bukan urusan lo, Nis.”

“Jelas itu urusan saya.”

Lumi tertawa kering. Ia berdiri menjulang dengan wajah mengerikan. Lingkar hitam begitu jelas terlihat di bawah matanya, juga rambut yang berantakan. Benar-benar merefleksikan diri sebagai manusia hilang akal. “Siapa lo?”

“Saya teman Mbak.”

Lumi mendengus. “Gue nggak punya teman!”

“Hak Mbak Lumi menganggap saya teman atau bukan. Dan hak saya menganggap Mbak Lumi sebaliknya.”

Rahang Lumi makin mengencang. Ia menunduk, menatap Nisya dengan pupil matanya yang gelap dan tampak menyeramkan. “Keluar. Dan jangan pernah berani mengadukan ini ini pada Iron!”

“Kenapa?” menyentuh bagian bokongnya yang nyeri, Nisya bangkit berdiri. Tak ada raut gentar sama sekali dalam ekspresi wajahnya yang selalu tampak bahagia dan berseri-seri, seolah dia manusia spesial yang diciptakan tanpa masalah sama sekali. Diam-diam, Lumi merasa iri.

Nisya tumbuh di lingkungan miskin. Suaminya juga bukan orang yang hebat. Dan selama ini mereka hidup melarat sebelum kemudian Iron berbaik hati menawarkan pekerjaan dengan gaji lumayan. Tapi Nisya selalu tampak baik-baik saja. Senyum tak pernah lepas dari bibir kecilnya.

Benci melihat wajah bahagia yang tak pernah ia rasakan itu, Lumi membuang pandangan.

“Kenapa mbak Lumi tidak mau Mas Iron tahu? Takut Mas Iron nggak perhatian lagi?”

“Lo!” Lumi kembali memelototinya, tapi Nisya justru hanya tersenyum jail sambil mengangkat bahu.

“Mas iron sayang kok sama Mbak Lumi. Kalau pun dia tahu Mbak Lumi cuma pura-pura gila, saya yakin Mas Iron nggak bakal marah. Dan kalau Mbak malu karena ketahuan pura-pura gila, Mbak cukup berpura-pura sembuh secara perlahan saja.”

“Diam, Nisya! Gue nggak butuh saran dari lo!”

“Bagaimana kalau saya tidak mau?”

“Lo ancam gue?”

Nisya mengerucut miring sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di dagu, bersikap pura-pura berpikir keras untuk membuat Lumi kian dongkol. “Hmm, saya tahu, ” katanya seketika, “Mbak Lumi takut kalau jadi sembuh, Mas Iron bakal meninggalkan Mbak, ya?”

Lumi menggeram marah, ia berusaha mengambil sesuatu dari nakas, tapi tak ada apa pun di sana selain Cingta yang masih tertidur pulas, masih dengan memamerkan perutnya yang mulai bulat karena keseringan makan. Lumi tidak mungkin menggunakan makhluk menyebalkan itu untuk dilemparkan pada Nisya.

Ada pilihan lain sebenarnya. Mencekik misal. Tetapi, hati Lumi yang lemah tidak pernah kuasa menyakiti orang yang pernah berlaku begitu baik padanya. Sial!

“Hanya ada satu pilihan.” Nisya melangkah anggun ke sana ke mari seperti setrikaan di depan Lumi dengan wajah yang dibuat-buat sok serius. Kerutan di antara alisnya benar-benar hanya lelucon. “Kita harus melakukan kesepakatan.”

“Gue nggak mau!”

“Mbak Lumi nggak punya pilihan.”

Lumi menggeram lagi. “Apa mau lo?!”

“Mbak Lumi, harus mau kembali sembuh atau pura-pura sembuh, dan menjalani hidup dengan baik dalam satu tahun terakhir ini. Lebih dari itu dan Mbak Lumi tetap ingin dalam kondisi seperti ini, saya bakal kasih tahu Mas Iron kebenarannya.”

“Dan lo pikir gue mau? Sekalipun lo kasih tau Iron, gue nggak bakal peduli.”

“Kalau Mas Iron pada akhirnya lelah dan menyerah, terus benar-benar mencari wanita lain, apa Mbak masih nggak peduli?”

Dan seketika, Lumi pun bungkam.

***

Hmmm hmmm hmmm ....
Lumi kembali lagi, Cah.

Wkwkwk, siapa yang ngira kalau perempuan sekalem Nisya ternyata bisa ngancem juga🤭

11 Agust 2022

Continue Reading

You'll Also Like

948K 71.6K 55
Irish ragu dengan apa yang ia lihat kali ini. Ia tidak minus. Seratus persen ia yakin pandangannya tidak bermasalah. Dia juga tidak punya kemampuan u...
43.2K 4.8K 27
Juwita pernah menaruh hati pada Jeremy, namun terpaksa ia pendam karena sahabatnya Serena memiliki perasaan yang sama dan berbalas. Bertahun-tahun ia...
241K 37.7K 50
[BACA SAAT ON GOING. INTERMEZZO PART DIHAPUS 1X24 JAM PUBLISHED] May contain some mature convos and scenes Menurut perjanjian, Robyn hanya boleh be...
574K 54.8K 123
Gadis Sekarwangi, tidak pernah menyangka jika rumahtangga yang ia bangun bersama suaminya, Pradipta harus berakhir ditengah jalan karena sang suami k...