ANOTHER • Meanie (On Going)

By diphylleiagrayl

790 96 16

Wonwoo seorang pengkhayal tingkat akut dapat melihat sesuatu yang tak dapat dilihat orang lain. Ia merasa ram... More

Enigma (Segala Sesuatu Pasti Ada Sebab)
1. Fall Into the Deep Trench
2. The Man Who Suddenly Came
3. The Man Who's Always Alone
5. Between Nightmare and Reality
6. New World
7. Semicolon
8. Alteration
9. Pine Scented Past

4. I Always Remember You

51 10 0
By diphylleiagrayl

Kini Wonwoo terduduk di depan sebuah minimarket. Tergopoh-gopoh pria tadi membawanya ke tempat yang lebih aman. Sakit yang luar biasa membuatnya tidak mampu menolak pertolongan pria aneh itu. Kacamata yang senantiasa menemaninya kini retak dimana-mana padahal ia baru membeli kacamata itu tiga bulan lalu. Sejujurnya Wonwoo merasa takut, takut akan apa ia juga tidak tahu. Diam-diam terselip doa semoga kali ini kesialan tidak menimpa dirinya lagi. Dapat terlepas dari makhluk yang berjalan mundur tadi lalu masuk perangkap tukang pukul yang mabuk dan sekarang ia berharap pria itu tidak berbuat sesuatu yang akan mencelakakannya.

Denting pintu di belakang berbunyi. Si pria mendekati Wonwoo dan duduk tepat di hadapannya. "Biar kubantu mengobati luka-lukamu. Tahan sedikit perihnya."

Wonwoo diam saat tangan-tangan telaten itu membersihkan lukanya. Beberapa kali ringisan terdengar ketika luka lebar di bibirnya terusap alkohol. Diam-diam ia memerhatikan wajah di hadapanya, benar-benar perwujudan dari kata 'tampan tanpa cela'. Tipikal pria yang akan membuat wanita jatuh cinta dalam sekali tatap. Siapa namanya ia belum tahu.

"Sudah selesai. Mungkin seminggu bekas memarnya akan hilang." Sunyi sejenak. Wonwoo terlalu canggung untuk berdua dengan orang asing namun sekarang ia sama sekali tidak merasakan hal itu. Kesunyian yang diciptakan justru memberikannya rasa nyaman yang tak dapat diungkapkan.

"Terima kasih. Err—"

"Mingyu. Kim Mingyu." Nama yang sangat cocok. Ada sedikit sekali manusia yang dikenalnya mempunyai nama yang cocok seperti perawakannya. Mingyu memberikannya air mineral, tenggorokannya yang kering mengkandaskan hampir separuh dari botol minum. Ia kembali memerhatikan bahwa sama sekali tak ada luka di wajah dan bahkan terlihat baik-baik saja.

"Kau sama sekali tidak terkena pukulan?"

"Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja."

Mempunyai kekuatan tubuh seperti itu adalah impian yang diidamkannya. Terselip rasa cemburu melihat kesempurnaan yang dimiliki pria itu.

"Aku belum tahu namamu." Mingyu menatap matanya. Mata itu mata yang sama dengan pria di tengah jalan itu.

"Jeon Wonwoo. Sebelumnya aku ingin bertanya," cicit Wonwoo. Suaranya berbisik seakan takut orang lain mendengar pembicaraan mereka. Rasa penasaran tidak dapat ia sembunyikan.

"Kau bilang kemarin kau tidak pernah ke perpustakaan?" Pertanyaan itu diangguki. Wonwoo kembali melanjutkan, "lalu kemarin malam kau berada di mana?" wajahnya memanas. Ia tidak pernah mencampuri urusan orang lain atau sedikit pun ingin tahu kegiatan mereka. Saat ini berbeda, ada sebuah asumsi di kepalanya.

"Setelah bertemu denganmu aku berada di rumah." Pria itu menyipitkan mata memandangnya keheranan. Jawaban yang memang dinanti. Wonwoo mempunyai dua asumsi yakni jika memang Mingyu tidak pernah berdiri di tengah jalan dan selalu berada di rumah serta lelaki di perpustakaan itu bukan dirinya maka Wonwoo yang terlalu berimajinasi. Asumsi kedua jika ternyata ucapannya yang benar ada kemungkinan Mingyu mengalami amnesia singkat dalam ingatan jangka pendeknya. Ia pernah membaca bahwa itu merupakan salah satu penyakit mental dimana pengidapnya lupa akan apa yang terjadi walau tidak semua dilupakannya, hanya beberapa kejadian yang menurut si penderita harus dihilangkan dari ingatan.

Sudah empat kali mereka bertemu. Wonwoo tidak tahu apakah pertemuan ini memang hanya sebuah kebetulan atau ada maksud tertentu.

"Terima kasih Mingyu-ssi atas bantuanmu. Kalau kau tidak datang mungkin aku sudah tidak bernyawa." Wonwoo mencoba berdiri, namun gagal. Ia teringat jika kakinya terkena tendangan.

"Jangan terlalu formal denganku, kau bisa memanggilku Mingyu. Aku bisa membantumu pulang kalau kau mau." Mingyu berdiri mengamit lengannya.

Ada perasaan panik. Wonwoo masih belum tahu apakah Mingyu orang yang baik atau itu hanyalah topeng yang sering digunakannya. Firasatnya mengatakan ia baik tapi ada sesuatu hal yang mengganjal.

"Kenapa diam saja? kau tak apa? Apa kau berpikir aku orang jahat?" Tepat sasaran. Wonwoo mendangak memandang matanya, apakah pria ini bisa membaca pikkiran seseorang?

"Tenang saja aku hanya ingin menolongmu. Atau kau ingin aku panggilkan taksi saja?"

"Tidak perlu. Kalau begitu antarkan aku ke apartmen di jalan Namdong." Tertatih keduanya berjalan, setidaknya berdua lebih baik daripada sendiri. Wonwoo tidak tahu mengapa ia mempercayai Mingyu. Ataukah ia hanya ingin lebih mengetahui pria itu lebih dalam.

 Semilir angin memasuki pori-pori. Angin juga menebarkan aroma pinus dari pria di sebelahnya, sangat menenangkan dan memberinya sebuah keberanian.

Tersisa lima ratus meter untuk sampai ke apartemen, Wonwoo sedikit bimbang apakah ia harus mengajak Mingyu masuk ke dalam atau menunggu di luar sampai dia pergi. Namun Mingyu sudah menyelamatkan nyawanya, sangat jahat jika ia menyuruhnya pulang begitu saja.

"Seharusnya kau pulang menggunakan bis atau taksi. Nantinya akan sakit jika berjalan sejauh ini." Mingyu memecah keheningan.

"Tidak apa, besok pekerjaanku libur. Berjalan seperti ini akan membantuku untuk cepat tertidur."

"Tertidur?"

"Ya. Kau tahu kan—insomnia akut. Biasanya saat matahari sudah muncul aku baru bisa tidur. Akan sangat menderita kalau besoknya harus bekerja sedangkan kau sama sekali tidak beristirahat. Jadi apabila lelah karena berjalan jauh biasanya aku langsung tertidur." Menjadi terbuka dengan orang lain merupakan sebuah kemajuan yang luar biasa. Serangan insomnia yang dideritanya selalu datang  bahkan di saat tubuhnya lelah,  masih  tidak diizinkan tidur. Wonwoo mencari tahu berbagai cara agar insomnianya dapat terkalahkan dan berolahraga dengan cara apapun dapat mengatasinya. 

Selama perjalanan entah hanya perasaan atau memang benar adanya bahwa  mereka dilihat oleh banyak pasang mata. Ia tertunduk malu. Apa sekiranya yang mereka pikirkan tentangnya, wajah babak belur yang sedang dibopong. Apakah mengira mereka pasangan penjahat yang habis kalah dalam perkelahian? Wonwoo membenci situasi seperti ini. Cukup urus saja urusan mereka dan jangan memasang wajah penghakiman seperti itu.

"Ada apa?" Mingyu bertanya.

"Apa kau tidak merasa kita sedang diperhatikan orang-orang? Aku membenci mereka yang menatapku seperti itu seakan melihat hal yang menjijikkan." Wonwoo yakin tidak ada yang salah dari mereka selain wajahnya yang membengkak. Mingyu merangkulnya di pundak dan apa yang salah dari semua itu? Tawa renyah terdengar dari pria di sampingnya. Tawa ramah dan tanpa paksaan. Berapa kali ia dapat mendengar tawa ketulusan dari seseorang? Mungkin hanya hitungan jari. Semua tawa di dunia bahkan dibalut dengan kepura-puraan.

"Jangan pedulikan mereka. Bukankah mereka semua seperti itu?" Dalam hati ia bertanya apakah Mingyu pernah ditertawai atau ditatap dengan pandangan sinis? Jelas sepertinya tidak. Wajah seperti itu akan didamba bukan dihina. Lalu seperti apa kehidupannya?

"Apa yang kau kerjakan di rumah?" Reflek Wonwoo bertanya. "Aku tidak tahu tapi aku merasa selama dua hari ini kita sering bertemu. Apa hanya sebuah kebetulan?" Ia memang merasa penasaran sejak kemarin yang ada di otaknya adalah lelaki itu. Ataukah dampak yang ditimbulkan dari pertemuan pertama mereka memberikan kesan yang mendalam, ia tak tahu.

"Kau benar juga, tapi sepertinya jelas hanya sebuah kebetulan. Beruntung aku sedang lewat di jalan tadi jadi aku dapat membantumu. Untuk pekerjaan aku bekerja menjadi perobek karcis di bioskop. Pekerjaan yang sangat menguntungkan." Wonwoo mengangguk. Ada rasa tidak percaya, wajah tampan seperti itu seharusnya menjadi model papan atas bukan hanya perobek karcis di bioskop. Untuk saat ini ia menyetujui apa kata Mingyu bahwa setiap pertemuan mereka hanyalah sebuah kebetulan. Sisa perjalanan mereka habiskan dengan dengung angin yang menjadi penghantar keduanya. Keduanya tiba di depan gedung bobrok berlantai sepuluh.

"Ini tempat tinggalku. Apakah kau mau ke dalam—eh?" Ia menjadi kikuk. Sama sekali ia tidak berharap Mingyu menyetujuinya. Walaupun kenyamanan tercipta dari pria itu tapi rumahnya adalah tempat dimana ia aman dari manusia. Tempat dimana kesendirian adalah surga kecilnya. Mingyu melepaskan rangkulan, beberapa saat ia terdiam dan jawaban yang diberikan cukup melegakan. "Sepertinya aku akan langsung pulang. Tapi apa kau yakin bisa berjalan sampai kamarmu?" Wajah khawatir Mingyu menghangatkan perasaannya. Ia melirik jam di sudut jalan yang menunjukkan pukul sepuluh malam.

"Ada lift di dalam. Nanti justru kau yang pulang kemalaman. Terima kasih banyak atas bantuannya." Wonwoo menundukkan tubuh sembilan puluh derajat.

"Jangan sungkan. Aku senang membantumu. Kalau begitu aku pergi dulu." Mingyu menepuk pundak Wonwoo. Beberapa saat ia tidak tahu apa yang merasukinya, ketika beberapa langkah pria itu berjalan Wonwoo mengeluarkan kata-kata yang seperti bukan keluar dari mulutnya.

"Jika suatu saat kita bertemu lagi apa kau masih mengingatku?"

"Tentu saja. Aku akan selalu mengingatmu."


TBC


A/N: I really enjoyed  write  this chapter. I hope you all enjoying this chapter  too^^ Maaf kalau terlalu singkat tapi udah 1k words lebih mungkin udah cukup lah ya, hehe. Setelah membaca jangan lupa tinggalkan jejak ya. See you >_<

Continue Reading

You'll Also Like

50.9K 2.3K 42
Almeera Azzahra Alfatunnisa Ghozali seorang dokter muda yang tiba-tiba bertemu jodohnya untuk pertama kali di klinik tempatnya bekerja. Latar belakan...
588K 59.1K 46
Bekerja di tempat yang sama dengan keluarga biasanya sangat tidak nayaman Itulah yang terjadi pada haechan, dia menjadi idol bersama ayahnya Idol lif...
776K 49.4K 95
Cerita sekuel dari 'Katakan: karena sebuah cerita berawal dari sebuah kata Meraih cinta itu mudah, tidak semudah itu memang. Mungkin tampak lebih mud...
273K 23.4K 35
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...