ABIGAEIL

By parkchim_chim2

727K 53.8K 4.8K

Abigaeil, namanya manis dan imut anaknya si buntalan daging mengemaskan yang selalu menjadi primadona para te... More

1
02
cast
03
04
05
06
07
08
10
15
09
11
12
13
14
16
00 : 41
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27.
28
29
30
31
32
33
34
35..
36
37
38
39
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
Tesss
52
53
54
👋👋
55
56
57
58
59
60
61

40

10.8K 928 189
By parkchim_chim2





🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀














Rayidanta mengelap sudut bibir Abigaeil yang kotor akibat Taco yang sedang dimakannya, Makan dengan sangat lahap dan nikmat tentu saja.
disampingnya ada Zaidan yang ikut memakan satu corn dog sembari bersandar di badan food truck.
Ketiga nya sedang jalan-jalan menikmati angin sore taman Menteng yang ramai dikunjungi.

" Abis ini langsung pulang ya, Papa udah chat suruh pulang"

Ujar Ray setelah menelan gigitan terakhir hamburger miliknya.

" Kok pulang, kan belum jam 5 Abang" Abi berdecak pelan kan janjinya dia boleh keluar sampai jam Lima sore tapi apa ini, baru jam empat dan dia sudah diminta kembali ke rumah.

" Mau hujan, Papa ga mau kamu kenapa-napa" jawab Ray berusaha memberikan pengertian pada adiknya

" Tapi kan_ hhh, ya deh " anak itu menghembuskan nafasnya lalu mengangguk pasrah

" R-ray~ "

Rayidanta menoleh ketika mendengar suara memanggil namanya, matanya melebar sempurna melihat Siapa yang berdiri dibelakangnya.

Bukan hanya Ray, Zaidan juga tidak kalah terkejut melihat persepsi seorang itu. Sosok yang sudah berapa lama menghilang itu tiba-tiba muncul disini.
Melempar corn dog nya ia segera berjalan menarik pelan tubuh mungil adiknya untuk berlindung di belakang nya, dia tidak mau adiknya bertemu orang itu.

" Zaidan" panggil nya lagi

" Sedang apa anda disini! " Zaidan menyeru menatap tajam sosok dihadapannya itu.

" Hhh, begitu cara kamu berbicara pada Mama, nak? "

Zanetta, orang itu adalah Zanetta. Sosok wanita cantik yang beberapa bulan ini menghilang tanpa jejak dan kabar. Tapi hari ini tiba-tiba hadir ditempat ini.

Rayidanta menatap lekat Mama dan juga Zai bergantian. Bagaimana manik legam adiknya menyorot tajam sosok wanita yang tampak cantik meskipun tak lagi muda.

Itu Mama-nya sosok yang diam-diam dirindukan Rayidanta. Tidak banyak yang berubah dari wanita itu tetap cantik, sorot mata itu tetap sama seperti terakhir kali ia melihatnya. Sorot tajam yang begitu mengintimidasi, masih sama dengan Mama-nya yang angkuh dan terlihat sombong.

" Tcih.." Zaidan berdecih membuang tatapannya

" Lama tidak bertemu? kalian apa kabar Sayang? "

Zanetta melengkungkan senyum di bibirnya seketika sorot tajamnya melunak menatap bergantian dua Putranya begitu lekat.

" Itu..." gumamnya tangannya hampir terangkat guna menyibak rambut acak-acakan Ray ketika melihat bekas luka di kepala sang Anak. Tapi ia tidak berani melakukan nya melihat mata elang itu.

Tentu saja bekas kecelakaan beberapa Minggu lalu, dan zanetta tampak merasa bersalah melihat luka itu sampai membekas mengotori wajah tampan sang anak meskipun tidak banyak.

" Gak perlu basa-basi, Mama mau apa? Tidak puas selama ini?! " Zaidan mendengus

" Masih berani Mama menunjukkan wajah Mama pada kami! "

Abigaeil terdiam di belakang tubuh tinggi Zaidan menjatuhkan Taco nya ketika telinganya berdenging  mendengar suara wanita itu, tidak asing di telinga nya tapi entah kenapa ia ketakutan mendengar suara itu.

" Kenapa tidak? " suara itu begitu rendah dingin dan menusuk

Zaidan mengeram tertahan

" Kalian anak-anak Mama, apakah ada alasan kenapa Mama tidak berani menemui kalian? "

" Ck... anjing " inner Zaidan mengerutu

" Setelah semua yang terjadi? setelah semua yang Mama lakukan?" suara bariton khas milik Rayidanta mengudara membuat Zanetta mengalihkan pandangannya

Senyumannya masih bertahan, cukup berani dan percaya diri tampil dihadapan anak-anak itu, seolah tidak berdosa sama sekali. Tangannya terlipat di dada menjinjing tas mahalnya.

" Memangnya apa yang sudah Mama lakukan? "

Pertanyaan itu keluar begitu saja, membuat dua anak itu mengeram

" Apakah Mama? berbuat kesalahan pada kalian? "

" Shut up!"

" Berani sekali, Mama bertanya seperti itu!
Mama tidak ingat dengan apa yang sudah Mama lakukan?? Dosa yang telah Mama perbuat! "

Ray memekik  membuat mereka menjadi bahan tontonan orang-orang yang tertarik pada drama keluarga itu. Tapi tidak sedikit juga yang memilih acuh.

" Jangan berteriak sayang, kalian ingin mempermalukan wishnutama? Ha? " Zanetta mengikis jaraknya dengan tubuh tinggi Rayidanta.

" Daripada berteriak lebih baik berikan Mama sebuah pelukan... Mama rindu sekali pada kalian"

Tangan lentik itu bergerak mengusap rahang tegas putranya, tapi tidak disangka sang anak malah menghindar.

" Don't touch me " desis Ray mundur beberapa langkah

Air wajah Zanetta berubah tampak sekali guratan kecewa bertamu diwajah cantik itu

" Baiklah... kalian tidak merindukan Mama rupanya hhh... Tidak apa-apa"

Senyum manisnya kembali merekah melirik anak satunya dan seorang lagi dibelakang tubuh besar itu...

" Zai_ Hei~ siapa yang ada dibelakang kamu nak!? "

Zanetta pura-pura terkejut melihat keberadaan remaja bertubuh mungil, dengan kulit seputih salju nya berdiri mencengkeram erat jaket yang dikenakan Zaidan. Manik cokelat itu menatap gugup wanita dihadapannya dengan tubuh bergetar pelan.

Abigaeil menahan rasa takutnya, telinganya masih berdengung dan kini kepalanya ikut-ikutan sakit ingatan malam Dimana seorang mengedor pintu kamarnya hari itu, suara pekikan Kakak jelek nya tangisan kesakitan itu suara-suara itu bermunculan di kepalanya, beserta ingatan dimana ia meringkuk di kamarnya yang gelap dan seseorang diluar pintu kamarnya yang memaksa masuk.
Semakin diingat kepalanya semakin sakit, tanpa sadar ia mengigit bibirnya hingga berdarah menyalurkan rasa takutnya dan kedua tangannya kuat meremat jaket Zaidan, dengan perasaan gugup dan ketakutan berlebihan menatap manik tajam wanita yang dipanggil oleh dua Abangnya dengan sebutan Mama.

Zanetta menyunggingkan senyum miringnya, manik itu indah. Tapi menatap nya justru membuat iblis dalam dirinya muncul kepermukaan,

Dia membenci mata itu.

" Jangan coba-coba mendekat"

Zaidan semakin menyembunyikan Abigaeil ketika Mama-nya semakin mendekat, berjaga-jaga ia sudah bertekad akan melindungi adik kecilnya, apapun caranya termasuk jika harus dengan terpaksa melawan Mama-nya sendiri.

" Ahha... kau posesif sekali nak, padahal kan Mama hanya ingin menyapa anak bungsu Mama. "

Rayidanta melotot mendengar pengakuan mama-nya, begitu juga dengan Abigaeil.

" Of course not, dia adik aku! Anak bungsu Mama Riani...! " Zaidan menyela segera menentang iris menusuk sang Mama.

jangan kamu berani menyebut nama jalang itu dihadapan Mama Zaidana!  karena Mama akan sangat marah"

Zanetta masih tersenyum tapi zaidan bisa melihat manik berkilat tajam penuh kemarahan. Tapi anak itu tidak gentar sama sekali dia justru menikmati kemarahan sang Mama.

" Hhh, jalang kok teriak jalang... ga malu? "

" Zai.."

Rayidanta sedikit meringis mendengar suara rendah adiknya, tidak sopan sama sekali apalagi diucapkan pada sosok yang harusnya mereka hormati.

" Hahaha..! " entah apa yang lucu justru zanetta malah tertawa terdengar sumbang suaranya.

Plakkk!

Abigaeil berjengit kaget menutup matanya ketika mendengar suara renyah tamparan yang cukup keras menyentuh wajah Abangnya.

Dia sudah menangis dan hampir berteriak tapi suaranya tertahan begitu juga dengan isakan nya, dia tidak suka wanita itu.

" MAMA! "

Rayidanta berteriak menentang mama-nya.

" Itu pelajaran karena kamu sudah lancang! "

" Begitukah Sehan mendidik adik-adiknya?! mendidik kamu Zai! Itukah yang kamu pelajari dari Sehan..?! " zanetta mengeram tertahan tidak terima tentu saja mendengar ucapan sang Anak

Zaidana yang sempat tertoleh saking kuatnya tamparan itu, panas dan perih ia akui tapi entah kenapa hatinya jauh lebih sakit, sakit karena Mama-nya menyakiti dirinya.
Tapi itu tidak bertahan lama rasa sakit dan kecewanya meluap berganti amarah kala mulut licin zanetta menyinggung Mas-nya.

Panutannya, pengganti orangtuanya ia tidak terima Mama-nya mengatakan hal buruk tentang Mas-nya.

" Tcih...! " anak itu meludah terlihat kasar dan tidak sopan. Tapi Zaidan tidak menggubris sekitar apalagi imagenya sebagai wishnutama, tentunya penilaian publik akan miring melihat kelakuannya hari ini.

" Jangan pernah berani menyebut nama mas Sehan dengan mulut ular Mama... Mama tidak pantas hanya untuk sekedar menyebut namanya saja, dan satu lagi jangan pernah tanyakan bagaimana mas Sehan mendidik kami! Tapi tanyakan peran anda sebagai seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya! "

Zanetta bungkam mendengar ucapan Zaidan, begitu juga dengan Rayidanta.

" Percayalah kapanpun Zai pernah berbuat baik itu karena hal yang Zai pelajari dari Mas, kakak dan juga abang-abang. Dan kalo hari ini Mama liat Zai bersikap kurang ajar dan tidak sopan itu adalah hal yang Zai pelajari dari Mama sendiri, Bukannya anak harus mencontoh orangtuanya?
dan ini yang Zaidan contoh dari Mama! " Manik bulat milik zaidana total memerah tinggal berkedip saja linangan air mata itu akan segera jatuh dadanya membusung bergerak naik turun dia kecewa, dia marah dan sakit hati tentunya.

Zanetta mengalihkan pandangannya menelan salivanya kerongkongan terasa tercekat, entah mengapa perkataan Zaidan kali ini begitu menyayat perasaannya...

Sementara Abigaeil dibelakang sana ikut terdiam dia tidak mengerti apa yang sedang terjadi disini. Sebenarnya apa yang diributkan oleh Abang-abang nya. Harusnya tidak boleh berkata begitu kan pada seorang ibu? Tapi melihat ekspresi dan tatapan dua Abangnya itu jelas sekali hubungan antara ibu dan anak itu tidaklah baik.

" Begitukah? Hhh_ tapi Mama rasa tidak, Sehan tidak sebaik itu. Dan harusnya kamu juga tahu!
Kalo apa yang Mama lakukan sekarang adalah untuk kalian! untuk masa depan kalian... Mama mengorbankan segalanya untuk kebahagiaan kalian"

" TAPI ZAI GAK BUTUH! "

Zai berteriak membuat Zanetta bahkan Abi dibelakang nya terlonjak kecil.

" A-abang~ " Abigaeil beringsut mundur menutup telinganya, semakin ketakutan ditempatnya.

" Tidak dengan cara murahan seperti ini! tidak dengan menyakiti bahkan membunuh orang"

Air mata Zaidan mengalir begitu saja.
menatap nanar wajah cantik mama-nya.

" Jaga bicaramu, M-mama tidak pernah membunuh siapapun" desis zanetta membuang tatapannya.

Baik Zaidan dan Rayi hanya bisa terkekeh, tatapan keduanya saling beradu.

" Mama gila~ " itu adalah kata yang diucapkan Rayidanta

" Aku gak nyangka, tapi memang Mama segila itu... Mama sakit dan harusnya Mama berobat" sinis nya

" Jangan ikut-ikutan Ray! "

" Apa yang kalian tuduhkan itu tidak semuanya benar!
Bukan Mama yang sudah menghabisi Riani... Wanita itu sendiri yang mengundang mautnya Mama hanya mempermudah nya" Zannneta tersenyum lagi melirik Abigaeil yang membola, kaget tentu saja apalagi ini?

Rayidanta menegang begitu pula Zai sama-sama mengalihkan pandangannya pada Abigaeil yang tampak syok.

" MAMA STOP! MAMA BENAR-BENAR SUDAH TIDAK WARAS!! "

Ray segera menyela ketika melihat Mamanya hendak berbicara lagi.

" Abang~ "

Zaidana melirik adiknya begitu pula dengan Rayidanta kala mendengar suara kecil itu mengudara, rasanya mereka lupa bahwa masih ada adik kecilnya yang tidak mengerti apa-apa harus menyaksikan perseteruan antara ibu dan anak itu dan mendengar apa yang seharusnya tidak ia dengarkan

" A-adek, maaf... Kamu pasti takut" Ray menyamakan posisinya dengan Abigaeil mengusap kepala adiknya sejenak sebelum kembali pada sang Mama.

" Lebih baik Mama segera pergi dari sini"

" Bang?! " Zai mendelik, Mama-nya kan buronan Papanya

" Pergi sebelum bodyguard datang, dan Ray harap sampai kita ketemu lagi Mama sudah berubah. Keluarga kita sudah baik-baik saja ma. Tidak perlu lagi ada dendam~
Kami cukup bahagia jadi tolong jangan mengusik kebahagiaan ini.. Mama masih Mama-nya Ray kan? kalo iya, tolong tinggalkan saja kami..Please.."

Rayidanta tersenyum tipis sekali masih mengusap kepala adiknya melirik zanetta yang ikut menatap Abigaeil.

" Begitukah... Hhh, senang mendengarnya"

Zanetta kembali tersenyum ditengah memerah nya irisnya, seolah perdebatan barusan tidak pernah terjadi.

" Dan tidak mau kah, kau menyapa Mama sebelum pergi nak? "

" Aku juga Mama mu, meskipun aku membenci hidup mu " Zanetta menyeringai

Wanita itu tersenyum mendekat pada Abigaeil yang menyembunyikan dirinya memeluk lengan panjang Ray menatap takut zanetta meskipun wanita itu tersenyum, tapi bagi Abi itu menyeramkan Abigaeil merasa terancam dengan senyuman itu.

" Kau manis sekali"

Kegiatan zanetta yang hendak menyentuh kepala Abigaeil terhenti sebab tangan Rayi mengehentikan nya.

" Dan satu lagi, jangan pernah menyentuh Abigaeil" suara bass milik Ray penuh penekanan membuat Zanetta mengurungkan niatnya.

" Haha, baiklah... Tapi Mama tidak berjanji tidak menyentuh anak ini, karena dia manis sekali haha~"

" Kita akan segera bertemu lagi nak"

Ujar zannneta tersenyum pada Abigaeil, lantas pada dua Putranya dan berlalu dari sana.

Ketiganya menatap punggung wanita cantik yang berjalan pongah memasuki mobil Mercedez Benz yang terparkir tidak jauh dari sana.

" Arrggg! anjing! anjing! "

Zaidan mengumpat kesal mengusak rambutnya kasar.

" Kok Lo biarin Mama pergi sih bang?!" tanya Zaidan

Rayidanta mengeleng lantas menghembuskan nafasnya kasar

" Terus kamu mau apa? biarin Mama bersikap bodoh ditempat umum dan mempermalukan Papa? kamu pikir papa akan diam saja, Papa pasti sudah mempunyai rencana untuk ini semua" terang Ray sebenarnya dia juga ragu tapi dia juga tidak tega jika Mamanya tertangkap dan diadili.

Dia sadar tindakannya itu salah, tapi dia menyayangi mama-nya. berharap satu hari nanti mamanya akan berubah dan kembali lagi menjadi sosok Mama yang dikenalnya seperti ketika ia masih kecil dahulu.

" Terserah Lo! tapi ini salah bang.. Lo ngambil resiko yang besar ngelepas Mama gitu aja. " desis Zai

Berteriak kesal seraya menendang bangku plastik yang disediakan food truck hingga terpental, pemilik food truck yang sedari tadi bersembunyi didalam mobilnya mengelus dada sabar. dia bisa mendengar samar-samar keributan yang terjadi didepan kedainya, tapi ia tidak berani sekedar melerai atau ikut campur.
ngeri dia apalagi urusannya bersama orang kaya.

" Tenang Zai, Lo bikin adek takut"

Zaidan menatap Abi, benar saja sekarang anak itu sudah menangis manik kucingnya menyendu dengan bibir berkedut kebawah.

" Mau kemana? " Ray bertanya ketika melihat Zaidan memutar tubuhnya tanpa menghiraukan dia dan Abigaeil.

" Bunuh orang! " ketus Zai pergi dari sana.

Abigaeil yang melihat Zaidan menjauh langsung melemas, hampir jatuh jika tidak ada Rayidanta yang masih memeluk dirinya.

" Adek! " pekik Ray menatap cemas sang adik.

" Mana yang sakit? " tanyanya

Abigael mengeleng pelan, berusaha untuk tetap berdiri padahal kakinya sudah lemas tanpa alasan.

" Pulang" lirihnya

Rayidanta mengangguk mengendong tubuh yang lebih kecil darinya, memasuki mobilnya sendiri.

" Maaf ya, kamu harus dengerin pertengkaran Mama dan Abang"

" Kamu pasti takut? sekali lagi Abang minta maaf ya adek"

Rayidanta memasang seat belt pada adiknya mengusap pipi chubby yang memerah itu, lantas tersenyum pada Abigaeil.

Abigaeil dia hanya diam pikirannya berkecamuk ada sesuatu yang mengganjal di hatinya tapi dia tidak bisa mengutarakannya.
wanita tadi siapa sebenarnya dia?
jikalau dia Mama dari dua Abangnya itu berarti dia istri papa-nya kan, lalu mamanya? Riani?

Dan kenapa orang itu ingin menabraknya hari itu?
kenapa dia tidak menyukai Abigaeil apa salahnya?
dan wanita itu adalah orang yang sama. Seperti yang pernah diceritakan Kakak jeleknya dahulu, orang yang telah menyebabkan Mamanya, pergi dari dunia ini.

Tapi apa alasannya? apa alasannya harus membunuh mama-nya?
lalu Ray dan Zai?
Apakah karena alasan itu mereka menyayangi nya sekarang, karena rasa bersalah mereka atas apa yang terjadi kepadanya. Akibat kesalahan Mama mereka.

Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi otak kecilnya, berputar hingga membuat kepalanya berdenyut sakit.

" A-abang? "

Rayidanta berdehem melirik Abigaeil fokusnya masih pada jalanan didepan sana.

" O-orang tadi?... Dia yang udah bikin Mama pergi tingalin Abi kan? "

Ray tercekat mendengar pertanyaan sang adik.

" D-dia jahat kan, abang? "

Abigaeil melirik Rayidan semampunya, mengigit bibirnya ketika melihat wajah sang Abang yang mengeras.

" M-aaf ~ Abang minta maaf..." lirih Ray sebagai respon pertanyaan Abigaeil

Anak manis itu tertegun ekspresi wajah Rayidan seolah menjawab semua pertanyaan, maka dengan senyum sendunya ia mengangguk.

Berarti selama ini ia tinggal bersama anak seorang yang telah membuatnya terpaksa berpisah dari Mama-nya.

Hampa sekali rasanya, Abigaeil bahkan tidak pernah membayangkan jika hidupnya akan serumit ini. Kenapa rasanya sakit sekali.

" Hum, Abi tau dan semua pasti ada alasan na kan, Abang? " ujar Abi parau, Jujur entah kenapa dia merasa sakit hati sesak rasanya melihat tatapan berlinang air mata Rayidan. Abi tidak mau menyalahkan siapapun

Memejamkan matanya ketika tidak mendapat balasan lagi dari sang abang.

.
.
.
.
.
.
.

Mobil yang dikemudikan oleh Rayidanta sampai dipekarangan rumah. Tanpa menunggu Ray membukakan seat belt nya, Abigaeil turun lebih dulu dari dalam mobil menghiraukan Ray yang memanggil namanya.

" Adek? " Ray mendesah kecewa melihat punggung sempit itu berlalu memasuki rumah.

" Adek pasti benci sama gue, karena gue anak Mama~ orang yang udah bikin surga nya Adek pergi dari dunia ini..."

Ray mengusap air matanya yang menetes begitu saja.

" ARGGG! "

kepalan tangannya terus memukul-mukul kemudi mobil yang keras hingga membuat punggung tangannya memerah.

Dia kesal dan marah pada semua keadaan ini..

Sementara itu Abigaeil berjalan pelan memasuki rumah membawa setumpuk pertanyaan dikepalanya.

Apakah dia selemah itu sehingga tidak ada yang memberikan ia penjelasan apapun tentang alasan kematian sang Mama. Apakah kematian Mama tidak penting hingga tidak ada yang peduli tentang siapa pelakunya

Menghiraukan sapaan para maid, anak itu terus berjalan meniti tangga padahal dia tahu tangga adalah area terlarang untuk nya.

Hingga di anak tangga terakhir langkahnya terhenti menatap sepasang kaki terbungkus sendal rumah menghadang langkahnya, Abigaeil mendongak mata sayu-nya menatap si sulung yang berdiri seraya berkacak pinggang bersiap dengan segala ocehannya.

Sehan menatap wajah muram sang adik niatnya untuk mengomel terhenti saat melihat betapa layu nya adiknya itu, apa yang terjadi pada anak itu tidak biasanya Abigaeil memasang wajah seperti ini.

" Adek? kenapa? " tanya Sehan

" M-mas..."

" Kenapa, Adek kenapa? " Sehan mengulang pertanyaannya

" Mama~ pergi karena di bunuh ya? "

Sehan mendelik terkejut mendengar pertanyaan Abigaeil darimana anak itu mengetahui hal itu.

Belum habis dia kembali dikejutkan dengan Abigaeil yang tiba-tiba saja meluruh begitu saja hampir membentur lantai tapi dengan cepat Sehan memeluk anak itu. Jantungnya bekerja lebih cepat bagaimana jika tadi adiknya terjatuh kebelakang mengingat anak itu masih berdiri di anak tangga, Sehan meringis membayangkannya melirik Abigaeil dipelukan nya.

" A-dek astaga! "

" Abi? denger Mas??"

Sehan berteriak menguncang tubuh mungil itu, tidak lama teriakan semakin heboh ketika melihat cairan kental berwarna merah mengalir dari kedua hidung kecil adiknya. Abigael mimisan.

" ADEKK! "

.
.
.
.
.

Semua berkumpul di kamar si bungsu tanpa kehadiran dua yang lebih muda lainnya, Ray dan Zai.
melihat dokter Tio yang sedang menyuntikkan obat. Semua hanya terdiam sibuk dengan pikirannya masing-masing

" Tidak apa-apa Tuan, kondisinya cukup stabil, Anak anda sepertinya sedang terguncang "

"  Mohon perhatikan, Pasien tidak boleh stres dan tertekan.  Itu akan sangat berpengaruh untuk imunitas nya.
penderita kanker lebih sensitif, sedikit saja itu bisa sangat berpengaruh jadi tolong perhatikan kesehatan psikis dan juga mental nya Tuan...
Jauhkan pasien dari hal-hal yang memicu psikis nya terganggu..."

Andhika mengangguk paham menatap anak bungsunya yang tertidur pulas mungkin karena pengaruh obat.

" Terimakasih Dok" Sena mewakili keluarga nya

Dokter Tio mengangguk saja merapikan peralatannya Keluar dari sana.

" Pah? "

" Sekarang bagaimana? Adek sudah terlanjur tahu semuanya... Dia pasti kaget dengar fakta ini."

Sehan memulai, tadi Rayidan sudah menceritakan semua yang terjadi hari ini sambil menangis tentunya.
padahal ini bukan kesalahannya tapi anak itu merasa bersalah apalagi sampai membuat Abigaeil tumbang lagi.

" Jangan tanya apapun saat Adek bangun nanti, Papa yang akan memberikan penjelasan pada Abi...Hhh, ini akan berat untuk dia~ " Andhika berucap tenang berdiri menatap anak bungsunya dengan perasaan bersalah.

" Seno, cari Zaidan. Pastikan dia baik-baik saja, sisanya biar Papa yang urus"

Ucapnya lagi melirik si tengah yang bersandar di dinding dengan wajah datarnya, begitu juga dengan abrian yang menunduk memainkan jemarinya.

Tanpa aba-aba lagi Andhika keluar dari dalam sana, menghirup udara sepuasnya ia merasa sesak.

Tungkainya ia langkahkan menuju lantai tiga, ia perlu mengurus satu anaknya lagi.

Tanpa mengetuk pintu Andhika membuka kamar sang anak, menemukan sosok yang dituju tengah meringkuk di balkon padahal udara malam ini cukup dingin.

" Asam lambung kamu bisa naik bang, minum beginian"

Andhika menyamakan dirinya menyampirkan selimut tipis yang dibawanya pada tubuh Rayidan.

Si anak mendongak melirik tangan Papa-nya yang menggeser kaleng softdrink menjauh dari jangkauannya

" Kenapa diluar? udaranya dingin nanti masuk angin" tanya Andhika lembut

" Didalam panas, sampai Ray ga bisa nafas rasanya"

Ray menjawab dengan pelan meremas selimut yang menutupi tubuhnya.

" Adek? " Ray memberanikan diri bertanya, dia masih dihantui rasa bersalah.

" Ga papa, keadaannya cukup baik." Andhika tersenyum mengangguk menyakinkan Ray

" Syukur deh~ Ray takut, adek pasti benci sama Ray sekarang"

Entah pemikiran darimana, tapi itulah yang ada dipikirannya sekarang ini.

" Yakin banget kamu, Adek ga mungkin berpikiran begitu. Kaya kamu ga ngerti adek kamu aja" Andhika menenangkan

" Tapi, dia keliatan kecewa banget pah. Apalagi setelah ketemu Mama~ Ray bisa liat dia kecewa dan sedih begitu tahu kalo Mama Zane yang udah bikin Mama ria pergi...

Dan sebagai anaknya Mama Zane, Ray takut. Takut kalo Abi akan benci Ray
Karena bagaimanapun Ray adalah anak seorang pembunuh."

Andhika terhenyak, tertegun mendengar perkataan sang anak. Senyumnya masih sama membawa tubuh tegap itu kedalam pelukannya.

" Maafin Papa, karena keegoisan Papa kalian harus merasakan situasi seperti ini, kalian terjebak padahal kalian ga tau apapun. " andhika mengusap punggung bergetar Ray

" Coba aja hari itu Papa lebih berani, mungkin ini semua tidak akan terjadi.
Mama Zane tidak akan nekat dan mama ria akan tetap disini, atau harusnya Papa yang pergi~ "

Ray mengeleng menyembunyikan wajahnya di leher papa-nya, jangan heran keren-keren gitu dia masih anak Papa. Karena dari semua saudaranya Ray masih suka bermanja pada sang Papa tidak berbeda bahkan setelah hadirnya si bungsu.

" Karena Papa biang dari semua masalah ini,."

" Enggak! kalo Papa yang pergi~ siapa yang bakal peluk Ray kaya gini..." Ray mendongak mengeleng pelan dengan hidung yang sudah benar-benar merah.

Andhika sampai merasa gemas, mengusap air mata sang anak.

" Hhhh... Mama, harusnya kalian bisa hidup tenang mungkin tanpa Papa~"

" Enggak ah, mama Zane galak. akhlaq nya jelek~ " Ray mengeleng tidak setuju.

Andhika terkekeh kecil mendengar Jawa Ray.

" Oya, kalo gitu kenapa kamu lepasin Mama.
tidak membiarkan dia menerima hukuman atas apa yang telah dia perbuat? " tanya Andhika, Ray mengulum bibirnya melepas pelukannya perlahan menunduk tak berani menatap sang Papa.

" M-aaf pah... aku.."

" Papa ngerti, karena papa juga pernah berada di posisi kamu. "

" Rasa sayang kadang bisa membuat kita bertindak bodoh, Papa hanya berharap kesempatan yang kamu berikan pada mama akan membuatnya berubah" lanjut Andhika lagi.

Ray mengamini dalam hati ucapan sang Papa.

.
.
.
.
.
.
.

Abigaeil mendengar dengan seksama semua cerita sang Papa, semua hal tentang masa lalu.
tanpa menyela sama sekali, dia hanya menyimak baik-baik.

Ternyata konflik masa lalu keluarga nya cukup lah, rumit dan menyakitkan. Dia bisa melihat tatapan penuh rasa bersalah sang papa, Abi turut merasa bersalah karena sudah mengulik masa lalu kembali harusnya dia mengerti alasan kenapa tidak ada yang membahas masa lalu lagi.

Itu semua terlalu rumit dan tidak seharusnya masa lalu yang buruk harus dikenang, biarlah itu tertinggal di masa lampau

" M-aaf, ini semua kesalahan Papa. Setelah ini kamu boleh benci Papa karena memang Papa pantas untuk itu"

Andhika menyudahi ceritanya tersenyum pada si bungsu yang menatapnya dengan iris memerah, tatapan yang begitu menyedihkan.

" Mama zane mungkin berdosa, tapi itu semua karena ulah Papa.
jadi Abi mau kan, maafin Mama zane?"

Abigaeil terdiam sebentar masih menatap papa-nya.

" Papa tidak mau kamu menjadi pembenci apalagi sampai dendam...
kamu bisa menyalahkan Papa sepenuhnya "

" P-papa, terlalu pengecut saat itu.
Tidak bertanggung jawab...."

Andhika mengalihkan pandangannya dari si bungsu, mengusap wajah nya pelan.

" Memang na Abi boleh benci Papa? "

Andhika mendongak pertahanannya mulai runtuh mendengar suara serak Abigaeil, dia tidak akan pernah siap jika harus dibenci oleh anak bungsunya sendiri, malaikat kecil yang begitu disayanginya.

" Benci, karena bantu Papa Mama na Abi harus pergi.." Abigaeil menyorot mata sang Papa ucapannya begitu tenang tapi percayalah sejuta sakit anak manis coba sembunyikan kini coba ia keluarkan.

Dan Andhika hanya bisa menunduk dengan bahu kian bergetar

" Benci karena Papa tinggalin Mama,
Abi sering dipanggil anak haram karena ndak punya Papa.
harus selalu liat Mama kerja sampe sakit, kadang harus kerja sampe malam sekali supaya dapat wit banyak, dimarahin karena banyak utang...
Mama yang selalu nangis karena rindu Papa..."

" Harus ya Abi benci sama Papa? terus kalo udah benci Papa, Mama bisa balik lagi ndak Papa? "

Abigael mengusap air matanya sendiri, mencoba mengukir senyumannya diantara bibir pucat nya.

Andhika dia hanya terus terisak, begitu besar dosanya di masa lalu. Ternyata sebegitu berat nya kehidupan yang dijalani istri dan anaknya dahulu.

Kemana dia saat istri dan anak bungsunya sangat membutuhkan kehadirannya.

" Maaf"

Entah berulang kali dia meminta dan memang hanya itu sajalah yang mampu ia ucapkan sekarang ini.

" Maafkan Pa-pa" ulangnya lagi tatapan penuh penyesalan.

Abigaeil kembali meneteskan air matanya, bergerak meraup tubuh besar papa-nya dan memeluknya se erat yang dia bisa.

" Jangan nangis, semua sudah terjadi... Papa menyesal dan mau memperbaiki sudah hal yang baik. Abi sayang Papa"

Andhika meremang mendengar suara lembut si bungsu.

" Tapi Papa memang bersalah, Papa tidak pantas mendapatkan kasih sayang kamu, adek. Papa membuat kesalahan dengan meninggalkan Mama dan kamu sayang"

" Tapi kan, itu dulu.
sekarang papa sayang kan? sama Abi?" tanya Abi

Andhika mengangguk kuat, mencoba menatap Abigaeil yang tengah tersenyum padanya.

" Sayang sekali" jawabnya

" Kalo gitu udah cukup, kita lupain aja masa lalu.. Abi akan coba mengikhlaskan Mama, dan memaafkan Mama zanetta. Dia juga mama na Abi, iya kan papa? "

Andhika tidak menjawab, lebih tepatnya tidak mau jika bungsunya malah mengakui wanita ular seperti zannneta sebagai ibunya meskipun ibu tiri tapi tetap saja.

" Terimakasih sudah mau berbesar hati menerima semua ini Sayang.
Papa benar-benar meminta maaf untuk apa yang sudah pernah kamu lalui dalam hidup... untuk setiap kehidupan sulit yang kamu hadapi.
Maafkan Pa-pa, telah menyakiti Mama.
andai waktu itu Papa tau keberadaaan kamu lebih cepat, mungkin ini semua tidak akan pernah terjadi. Abi bisa tumbuh dengan baik mungkin juga tidak akan pernah sakit"

Andhika berucap membenarkan pelukannya hingga si bungsu berada di pangkuannya melilit tubuh mungil itu dengan selimut hangat mengingat kedua anak itu yang berada di balkon kamar.
Si kecil tiba-tiba ingin melihat bintang katanya.
Memang ada saja tingkahnya si bungsu ini, padahal badannya masih meriang malah ingin main diluar tidak ingin membuat sang anak bersedih Andhika lantas menuruti keinginan si bungsu dengan tubuh di balut selimut tebal yang melilit seluruh tubuh kecilnya menyisakan kepala yang juga tertutup beanie rajut tebal, sehingga yang terlihat hanya pipi tembem nya saja, dia mirip bayi yang sedang dibedong omong-omong.

Udara malam ini cukup bagus tidak terlalu dingin Begitu juga dengan langit malam ini cukup indah meskipun tidak banyak ditaburi bintang tapi ada saja yang terlihat.

Suasana yang cocok untuk cuddling bersama anak imutnya, menurut Andhika tidak menyangka akan deep talk yang sangat berarti untuk dirinya juga si bungsu sepertinya.

Balkon kamar Abigaeil memang luas dilengkapi dengan beberapa fasilitas mencegah agar anak itu tidak kebosanan meskipun tetap berada di rumah.


Diatas sofa lipat yang bisa dijadikan kasur dikelilingi banyak bantal-bantal empuk dan selimut yang hangat.

Kedua pasangan ayah dan anak itu menghabiskan waktu, ah. Abi akan selamanya menyimpan kenangan indah ini diotak kecilnya jarang-jarang dia bisa berbagi cerita tentang masa lalu bersama papa-nya
meskipun hatinya sedemikian sakit mendengar faktanya.

Tapi itu lebih baik untuk dirinya, daripada diam tanpa tahu apapun dan fakta ini cukuplah sudah baginya dia tidak mau lagi mendengar apapun yang buruk dimasa lalu dia hanya ingin fokus pada apa yang di hadapannya saja.

Bolehkan? dia hanya ingin bahagia seperti sekarang ini. Tanpa harus memikirkan apapun, menurut semua orang dia sudah cukup menghadapi banyak kesulitan di masa lalu jadi bolehkan dimasa sekarang dia berbahagia? atau mungkin tidak.

Kembali lagi pada percakapan dua orang berbeda usia itu.

Abigaeil menatap tidak setuju pada ucapan sang Papa.

" No, kata Nenek coklat susu dulu waktu kita masih sama Tuhan belum lahir ke dunia...
Tuhan kasih kita pertanyaan tentang sanggup atau ndak kita menghadapi apa yang kita dapat di dunia, dan kata Tuhan Abi harus sakit dan Abi menerima dan bilang sanggup jadi Tuhan kasih Abi sakit karena Tuhan tahu Abi pasti bisa"

" Tuhan tahu, bahwa kita mampu menerima semua takdir. Jadi manusia kuat dan ndak mengeluh"

Abigaeil kembali berceloteh dengan wajah ceria khas anak-anak itu, Andhika hatinya sudah berantakan mendengar betapa polosnya dan tegar nya anak manis itu. Sebagai manusia dewasa yang jauh dari kata bersyukur bahkan dia sering sekali mengeluh tidak menerima segala takdir Tuhan, dia masih sering marah mempertanyakan kenapa ini semua terjadi pada hidupnya.

Tapi lihatlah anak itu, Andhika iri kenapa ia tidak di karuniai hati yang besar seperti anak itu.

" Hm, Nenek itu benar!
anak papa memang hebat, dan kuat sekali"

Abigaeil tersenyum pandangan lurus ke langit malam yang indah sekali menurut nya dalam posisi bersandar di dada Papa-nya.

Andhika pun begitu dagunya bersandar di kepala si anak sesekali mengecup sayang pipi tumpah yang tampak memerah tangannya masih melingkar di perut bayi imutnya itu.

" Eh_ Papa liat deh..uhm"

Abigaeil berusaha menarik tangannya dari dalam selimut dan menunjuk ke langit lepas tampak benda berkilauan itu terlihat bertaburan di atas sana.


" Papa liat bintang na? terang kan? " tanya Abi

Andhika mendongak mengikuti arah telunjuk kecil itu, lalu mengangguk cukup terpana dia lupa kapan dia pernah meluangkan waktu untuk sekedar menatap langit malam yang indah itu.

" Iya, cantik ya" komentar nya

" Cantik sekali! itu mungkin M-mama~ "

Andhika melunturkan senyumnya mendengar lirihan sang anak, yang menatap berkaca bintang diatas sana.

" Kata kakak jelek, orang yang udah pergi dari dunia ini akan tinggal di bintang!
mungkin itu Mama, mama liat-liat kita dari atas sana~ "

Abigael segera menarik senyum diwajahnya yang sempat hilang melambai pada langit yang katanya kini menjadi rumah Mama nya.
gummy smile-nya terlengkung sempurna menatap dengan iris berbinar memancarkan kerinduan yang tak Terperi.

" Oh ya, pantasan bintang nya cantik paling bersinar seperti Mama" respon Andhika yang diangguki oleh Abigaeil

" Tapi sayang, jauh. Gak bisa digenggam diraih untuk dibawa kembali~ " gumam Andhika lagi

" Umm- um~ terlalu tinggi" sahut Abigaeil

" Nanti kalo Abi pergi juga_ "

Andhika mendelik meremang seluruh tubuhnya mendengar celetukan tiba-tiba sang anak.

" Abi ndak mau jadi bintang~
terlalu jauh iya kan pa? " Andhika diam

" Abi mau jadi angin aja, supaya bisa selalu dekat dan Papa bisa selalu rasakan hadir na didekat Papa, di semua orang yang Abi sayanggg~ gimana bagus kan pa?  "

Anak itu berucap begitu lepas riang tanpa beban, melepas selimutnya lantas merentangkan kedua tangannya.

" Enggak! Papa mau nya Adek selama nya didekat Papa, ga boleh jadi bintang, angin atau apapun itu! harus selalu didekat Papa " ucap andhika serius

Abigaeil malah tergelak padahal tidak ada yang lucu sama sekali, tidak!
ucapannya tadi justru sangat menyakitkan didenger oleh sang Papa.

" Hehehe, Papa lucu mata na melotot begitu"

" Semua orang pasti akan pergi Papa, bukan sekarang tapi pasti.
Abi hanya pingin bilang begitu supaya Papa ndak  khawatir terus sama Abi, kalo suatu hari Abi harus pergi duluan... Papa harus tau Abi akan selalu sayang dan ada sama Papa"

Cukup, Andhika sudah kembali akan meluruhkan air matanya.
kenapa malam ini ia cengeng sekali dia tidak akan pernah bisa melepas sang anak kapanpun itu.

" Jangan nangis terus, jelek tau Papa jadi kaya anak bayi... huuu~ "

Air mata yang sempat hampir tumpah membeku lagi, sebab Andhika mengurungkan niatnya untuk menangis sudah denger kan. Si bungsu ketularan julid nya Sena.

" Dihh gak malu, bayi kok teriak bayi"

Abigael mendengus ringan kala papa-nya mengatainya bayi, tapi senyumannya merekah begitu saja.

" Bayinya Papa benar, semua orang akan pergi iya kan dek? "

" Anaknya Papa boleh pergi, tapi Papa duluan oke?!"

Abigael terbungkam mendengar ucapan sang Papa.

" Jangan coba-coba duluin Papa, karena bayi pingin jadi angin. Papa akan jadi bintang~ biar bisa temanin Mama diatas sana" 

" Papa~ "

Andhika menjawab dengan pelukan hangat nya, lirihan si bungsu memeluknya begitu erat

" Ma?! " Andhika sedikit menaikkan suaranya

" Mama dengar kan? adek katanya mau jadi angin aja!.
jadi tempat yang disamping Mama sisain buat Papa ya...!
nanti Papa temenin Mama diatas sana sambil liat anak-anak kita tumbuh semakin dewasa, liat mas Sehan, kak Sena, kak Seno, Abang Ian, Abang Ray, Abang idan dan... ADEKK !
iya kan ma?? "

Abigaeil mengigit bibirnya menahan tangisnya mendengar seruan sang Papa pada langit lepas.

" Jadi tungguin Papa ya ma..."

Andhika menyudahi kalimat nya mengintip pada si bungsu yang menatap kebintang yang sama dengan air mata menggenang.

" Adek denger, tempat disamping Mama udah Papa booking.
jadi kamu tidak akan tinggal disana, soalnya adek tau. Enggak ada orang yang akan pergi jadi angin "

Andhika tersenyum penuh kemenangan padahal dada nya berdetak kencang menahan segala sesaknya tapi anehnya usai berteriak tadi ia jadi lebih baik seolah itu benar-benar Riani, cintanya.

" Ndak lucu~ " decak Abi menenggelamkan wajahnya di dada sang papa, mengusap air matanya

Hingga hening tersisa keduanya hanya terus terdiam.
memeluk satu sama lain tersenyum m menatap langit malam ini.

" Maafin Papa ya sayang, untuk semua yang sudah terjadi...
Papa akan berusaha melakukan semua yang terbaik, supaya adek bisa sembuh "

" Papa menyesal, menyesal sekali... pernah menyakiti anak manis seperti anak bungsunya Papa"

Ucap andhika mengelus rambut bayi besarnya itu, mengecupi nya aroma harum khas bayi tercium semerbak

Abigael tersenyum penuh arti, melepas pelukannya dan berbalik menatap sang Papa.

" Papa minta maaf kan? benar-benar nyesal kan? " tanya Abi

Andhika mengangguk tentu saja ia merasa begitu.

" Kalo gitu, izinin Abi sekolah besok ya pa"

Abigael tentu tahu mencari kesempatan dalam kesempitan, dengan wajah super memelas nya Abigaeil meminta.

Andhika tentunya berdecak setengah hatinya masih tidak terima melepas anak manis nya keluar dari rumah.

" Harus banget sekolah ya dek? "

Abigael mengangguk

" Oke, tapi hari Senin aja ya. nanggung kan"

Abigael diam dulu, tapi tidak lama ia mengeleng ini baru hari Selasa. menunggu Senin lagi bisa-bisa dia benar-benar dikeluarkan dari sekolah karena kebanyakan absen.

" No kelamaan Papa" melas Abi

" Ck...  Ya udah lusa deh"

" Okew! lusaaaa!!!! "

Girang Abi mengepalkan tangannya ke udara akhirnya dia bisa kembali, hikmah bertemu Mama zannneta dihari ini.





" Yuuuhu! sayang Papa banyak-banyak pokok na !!! "

Abigaeil berseru menghadiahi kecupan manis di pipi tegas sang Papa lanjut mendusel lagi.

Malam ini akan menjadi satu malam lagi, yang akan dikenangnya sebagai malam indah merekam nya dan menyimpannya di sudut laci memori otaknya.

.
.
.



















..






































.
.
.
.
.
.
.








....




🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀





voment juyeso ☺️✋

Continue Reading

You'll Also Like

262K 21.3K 22
Piyo, kisah si bocah polos yang disayang oleh abangnya. "Abang jelek! " "Kamu mirip monyet! " "Abang induknya! " "Dasar gendut! " "HUWEEEE, IBU, ABA...
CHANGE By Leo

Fanfiction

13K 1.2K 8
Aku tidak menyangka perubahan dalam hidupku akan datang secepat ini. Kehadirannya yang tidak terduga dalam sekejap berhasil mengubah seluruh kehidupa...
434K 26.6K 31
[ALANGKAH BAIKNYA SEBELUM BACA FOLLOW TERLEBIH DAHULU (⁠✿⁠ ⁠♡⁠‿⁠♡⁠)] Ini kisah Aru, Aru adalah harapan yang tidak sesuai dengan ekspektasi keluarga n...
124K 7.2K 22
menceritakan seorang remaja bernama armada Bramasta,berusia 19 tahun yang bertransmigrasi ketubuh seorang anak berusia 12 tahun. DESKRIPSI NOT BXB BR...