Lady Antagonis (TAMAT)

By GaluhCahya8

528K 84.9K 6.4K

Kehidupanku biasa saja. Membosankan dan menyebalkan. Entah mengapa ibu-ibu kaum nyinyir melabeliku sebagai or... More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
Halo, Tolong Baca Ini
Panduan Membaca Lady Antagonis
Paket Lengkap
PROMO FANTASTIC LOVE!

18

11.7K 2.2K 154
By GaluhCahya8

Tulisan ini milik Galuh Cahya, bukan yang lain.

Pertemuan dengan Alan sebenarnya tidak terlalu menyebalkan. Tahu, ‘kan? Dia “nggak aneh”. Saat aku bilang “nggak aneh” itu artinya dia berlaku normal, sopan, dan tidak cari kesempatan sepanjang interaksi. Oke, ada satu yang perlu mendapat perhatian khusus. Ketika dia menawariku mengintip ABS miliknya. Hmmm boleh juga. But eiiiits nanti dulu. Enggak bisa sekarang. Bisa saja dia cuma tipu-tipu saja alias sesumbar. Persis monyet yang hendak berlagak di depan calon pasangan. Meh aku tidak semudah itu, ya.

“Kamu yakin nggak pengin minta sesuatu?” Alan menawarkan.

Sekarang kami berada di mobil. Alan berkeras mengantarku pulang. Tidak peduli tanggapan orang rumah, terutama Adam, terkait kehadirannya di antara Klein. Yeah aku pun tidak bangga menjadi Klein. Harta tak dapat. Sekadar menduduki posisi kambing hitam. Hmmm enggak elok sama sekali.

“Bisa kasih saham Montez?”

Kelakar muncul begitu saja dari bibir. Tidak bisa ditahan. Apalagi diganggu gugat. Barangkali itu termasuk mekanisme pertahanan diri milikku sedari dulu. Bahkan setelah pindah raga pun tetap sama; bandel, bandel, dasar bandel dan sulit mendapat pengarahan.

“Itu bisa terjadi,” Alan menanggapi sembari melempar kedipan penuh makna. “Kalau kamu tergabung sebagai Montez, Laura.”

“Hmmm,” senandungku sembari mengetukkan telunjuk ke dagu. “Laura Montez. Tidak buruk.”

Alan terbahak sampai pipinya memerah. “Kamu memang memiliki optimisme berlebih, ya? Baru pertama ini aku berjumpa cewek yang nggak sungkan berlagak kocak.”

“Sebenarnya aku sama sekali nggak tertarik menjadi bagian Montez maupun Klein,” aku mengaku, jujur, tidak lagi menampilkan kekonyolan ketika berucap. “Kamu pasti lebih mengerti daripada aku beratnya menempa pendidikan demi meneruskan bisnis keluarga. Sebagai salah satu anggota masyarakat kapitalis, aku justru tidak memiliki kemampuan menganalisa data apa pun.” Aku mengetuk pelan pelipis. Tuk, tuk, tuk. “Cuma insting bertahan hidup saja yang berhasil membawaku menyingkir dari arus.”

Itu memang benar. Hei! Benar!

Sekalipun aku lulusan salah satu kampus yang cukup terpandang di kotaku, tetapi kenyataannya pencapaianku biasa saja. Aku tidak bisa menjadi pegawai bank, tidak betah mengajar siapa pun, dan terlalu liar untuk mengemban amanat perusahaan. Istilahnya, aku manusia tidak berguna. Barangkali inilah yang coba Yozo ungkap dalam novel karangan Dazai. Ketidakbergunaan. Kehampaan. Kehilangan fungsi sebagai manusia. Namun, kemungkinan memang banyak manusia yang mengalami fase demikian; terjerat lilitan tuntutan masyarakat, terhimpit desakan keluarga, dan terpaksa memutilasi identitas sejati agar bisa diterima oleh masyarakat.

Berat benar hidup sebagai manusia.

“Kadang aku berpikir tidak layak menjadi manusia,” ujarku sembari menuliskan nama Laura di kaca jendela. Untuk saat ini aku tidak sanggup menatap Alan. Seolah ada panah-panah tak kasatmata siap ditembakkan Alan karena mendengar pengakuanku. “Terlalu kerdil dan lemah.”

Cahaya senja membasuh dunia dengan nuansa muram. Orang-orang sibuk berjuang demi mempertahankan eksistensi masing-masing. Bergerak melawan badai. Badai yang selalu mengamuk dan menuntut tumbal.

“Laura,” Alan memanggil. “Kamu nggak kerdil.”

“Apa ini sebentuk rayuan?” Kali ini aku berani memalingkan wajah, menatap langsung ke wajah Alan yang tengah fokus ke jalanan.

“Kalau itu maumu,” sambutnya dengan cengiran lebar. “Aku pikir kamu normal bila merasa tidak berdaya. Semua orang pasti pernah berada di titik terbawah dalam hidup mereka. Tidak ada yang bisa menerka masalah seseorang hanya berdasar dari sekilas pandang. Karena itulah, kita diajari oleh orang bijak agar tidak gemar membandingkan masalah pribadi dengan masalah milik orang lain.”

“Apa kamu seorang filsuf?”

“Apa pun yang kamu butuhkan,” celetuknya dengan nada riang. “Anggap saja kita ini termasuk bintang yang ada di angkasa. Nggak semua bintang terhubung dengan yang lain hingga bisa membentuk sebuah rasi. Ada juga bintang penyendiri yang tetap bersinar walau tanpa dukungan. Ibaratnya bintang pengelana. Wah, aku suka namanya. Pengelana. Seolah terus mencari hal baru dan menemukan sesuatu yang baik dalam setiap kemungkinan.”

“Apa itu yang menyebabkanmu ditusuk, Alan?”

Kalau jadi orang bijak menyebabkan seseorang terkena tusukan letal, dih mending aku jadi tokoh sampingan kaya raya.

Alan terkekeh. Dia menggelengkan kepala sembari memuji ucapanku. “Kamu benar akan satu hal,” katanya menyetujui omonganku. “Bahwa memang nggak semua orang baik. Ada saja manusia jahat yang senang melihat kesusahan orang lain. Jenis manusia yang hanya peduli terhadap dirinya sendiri. Masa bodoh dengan norma, hukum, apalagi urusan dosa. Namun, bukan berarti semua manusia sejahat itu, Laura. Contohnya, aku bisa bertemu denganmu. Itu pasti termasuk hal baik.”

‘Iya,’ sindirku dalam hati. ‘Masalahnya aku merasa nggak untung ketemu kamu.’

“Aku bukan pahlawan berkekuatan sakti,” Alan melanjutkan. “Namun, seenggaknya aku bisa menawarkan sesuatu yang barangkali kamu perlukan. Bilang saja semisal kamu butuh pertolongan,” katanya menawarkan. “Aku akan berusaha sebaik mungkin membantumu.”

Tidak terasa Alan telah mengantarku pulang. Aku sengaja memberi arahan kepada Alan agar berhenti di depan pos satpam saja. Amit-amit sampai Marisa tahu mengenai Alan Montez. Bisa-bisa dia kesurupan dan kembali berulah. Terus terang aku tidak keberatan menghajar Marisa dengan satu dua pukulan ilmu dalam dari perguruan kumbang sakti. Namun, kasihan kuku dan buku jariku. Nanti bisa remuk.

Aku berjalan seorang diri, mengamati langit yang mulai gelap, dan mendapati Romeo kembali menungguiku di depan gerbang. Dia terlihat seperti anak itik yang tengah menanti induknya.

Jangan-jangan aku telah menjadi induk itik?

Aduh.... terserahlah.

“Kamu kenapa lama sekali?” Romeo langsung membombardir diriku dengan pertanyaan. “Apa kamu nggak takut kena pukul Tante Marisa? Kenapa sih kamu doyan bikin masalah? Laura, apa kamu nggak bisa berhati-hati?”

Oke. Oke. OKE.

Biarkan Romeo berkicau, tetapi badai pasti berlalu. Seperti kata seorang penyanyi bernama Chrisye.

Life goes on....

“Romeo, diam.” Aku meraih hiasan ponsel berupa anak itik mungil dari saku dan meletakkannya di telapak tangan Romeo. “Nih hadiah.”

Selama beberapa saat tidak ada respons dari Romeo selain keheningan.

Romeo diam, mengamati anak itik mungil di tangannya, kemudian dia berdeham. “Tumben ingat aku?”

“Nggak mau? Ya udah sini.”

“Siapa yang bilang nggak mau?” Romeo langsung sewot dan menyembunyikan hiasan ponsel ke dalam saku celana. “Udah ngasih nggak boleh diminta. Dasar keji!”

“Makanya jangan sok. Dasar tsundere.”

“Tsun-apa?”

Aku melambaikan tangan, tanda ingin menyudahi perdebatan. “Lapar,” ujarku sembari mencolek lengan Romeo. “Ada makanan? Omong-omong, aku nggak nolak ngintip jawaban PR.”

“Nggak boleh,” Romeo menolak. “Kamu harus berusaha menyelesaikan persoalan PR dengan usaha sendiri. Nggak masalah salah, yang penting kamu berusaha.”

Kami berjalan melewati gerbang. Untung Marisa sedang sibuk dengan telepon dari seseorang, sama sekali tidak peduli dengan kehadiranku yang langsung mengajak Romeo ke dapur.

Dengan cekatan aku membuat roti isi dengan bahan seadanya. Maksudku seadanya itu ya yang ada di dapur! Telur, tomat, ayam, HAHAHAHA akan aku buat roti isi bergizi dan nikmat.

Romeo duduk dan memperhatikanku.

“Laura, aneh enggak kalau aku merasa kamu akan pergi meninggalkanku?”

“Entah,” jawabku sembari meletakkan piring dan roti isi di depan Romeo.

Memang aku berencana pergi. Begitu semester ini berakhir, aku akan terbebas dari jerat Klein. Adam sudah berjanji dan dia tidak akan ingkar. Kesepakatan telah dibuat di depan makam orangtua Laura.

“Laura, tolong jangan tinggalkan aku,” Romeo memohon. “Aku takut bakalan kembali ke diriku yang dulu.”

“Kamu nggak bakal menjadi Romeo yang menyedihkan,” aku memberi semangat kepada Romeo. Sekarang aku memilih duduk di sampingnya. “Kamu harus mengejar impianmu. Buktikan kepada orangtuamu bahwa kamu bukan anak manja yang butuh pengakuan dari mereka.”

Seulas senyum tersungging di bibir Romeo. “Pasti,” jawabnya sembari menggigit roti.

Romeo tidak tahu saja bahwa aku sudah merencanakan hidup enak sejak dini. Dengan bantuan Adam semua itu, hidup enak, bisa terjadi.

HAHAHAHA tidak ada tokoh penting dalam novel Tiara yang bisa menggangguku.

Hidup nyaman dan mandiri, aku datang!

Tulisan milik Galuh hanya terbit di dunia jeruk dan manggis. Bila Anda membaca tulisan ini di tempat tertentu, sudah pasti itu bukan atas kerelaan dan kesediaan saya.

***
Selesai ditulis pada 30 Juni 2022.

***
Halo, teman-teman.

Mohon maaf atas ketidaknyaman ketika membaca karena ada kalimat jebakan yang sengaja saya sisipkan secara acak dalam cerita. Tindakan ini perlu saya ambil sebagai langkah pencegahan andai kata copy paste terjadi kembali. Mengapa saya tidak menggunakan rumus (kalimat jebakan) atau “kalimat jebakan” atau dibuat huruf miring? Ini karena itu terlalu memudahkan pelaku copy paste. Mesin bisa ditipu, tapi manusia beda cerita. Hehe, sekali lagi saya mohon pengertian dan terima kasih.

Ide ini juga atas saran teman-teman kok, makanya saya berani membuat formula jebakan semacam itu. Hehehe.

Semoga hari kalian selalu menyenangkan, teman-teman. Love you, teman-teman.

Salam hangat,

G.C

Continue Reading

You'll Also Like

48K 5.2K 15
Cover by @DedyMR [WattpadRomanceID Reading List 👉 Februari 2023] Tiga tahun bersama, Bastian membuat Denali merasa menjadi orang ketiga dalam hubung...
137K 14.3K 25
Apa bedanya mengikhlaskan dan pasrah? Ketika kita mengikhlaskan suatu hal, sebenarnya itu adalah kemenangan yang paling memuaskan hati. Jika pasrah...
62.9K 1.5K 4
Langsung baca aja prolognya! Kalau suka lanjut~~~
71.2K 6.9K 69
Aku telah hidup lebih dari satu kali. Selalu mati dan mati. Jadi apa yang kuharapkan lagi selain sebuah kematian yang tidak memiliki ujung? 🗡️🗡️🗡️...