Love Me Not.

By wldstrs

7.6K 532 32

Sebagai pengacara profesional, mengerjakan satu kasus seharusnya menjadi hal yang singkat. Yang harus dilakuk... More

Prolog
1
2
3
4
5
6
Break! Opinion?
7
8
9
10
11
Break! :(
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
Break! Thoughts!
40
41
42
43
44
45
Epilog
Break! Meh \Ω/
Break! Almost :(

29

53 6 0
By wldstrs

Aku tidak tahu yang mana yang harus lebih ku khawatirkan. Fakta kalau aku akan menghabiskan 3 minggu bersama Kei di Italy, atau fakta kalau aku akan segera bertemu dengan nenek Kei. Aku tidak tahu mana yang lebih buruk.

Selama penerbangan, Kei tidak terlalu banyak bicara, ia memilih untuk tidur, terutama saat penerbangan dari Chicago menuju London. Kurasa menemui neneknya bukan sesuatu yang ia nanti-nantikan dengan sangat.

Saat kita mendarat, semua yang ku saksikan sebelumnya di wajah Kei yang ku katakan sebagai ekspresi aku-tidak-sepenuhnya-disini berubah menjadi ekspresi tidak sabar untuk bertemu dengan seseorang tercintanya. Mungkin tatapan sebelum ditunjukannya pada ku, mungkin sebenarnya ia juga tidak ingin aku bertemu dengan neneknya, mungkin sebenarnya ia tidak ingin aku ikut dengannya. Dan kalau ternyata semua itu benar, lalu kenapa ia repot-repot mengajak?

"Kau tak apa?" tanya Kei saat menunggu bagasi

"Kenapa kau mengajak ku ke sini?" ucap ku menatapnya

"Untuk bertemu nenek ku," balasnya bingung, "aku cukup yakin aku sudah memberitahu mu itu sebelumnya."

"Kau terlihat tidak begitu suka dengan hal itu," ucapku sambil maju setelah melihat koper ku

"Itu bukan karena aku tidak ingin kau bertemu nenek ku, tapi sebaliknya," ucapnya sedikit membingungkan

"Bukan kah itu sama saja?" Tanya ku

"Biar aku saja," ucapnya mengambil alih koper ku, "dengar, itu mungkin memang terdengar sama, tapi asal kau tahu, nenek ku bukan jenis orang yang menahan apa yang ia pikirkan, ia mengeluarkan semuanya, dan kadang itu hal baik atau malah sangat buruk," ucap Kei mendorong troli menuju pintu keluar

"Jadi kenapa? Aku juga tidak akan mengerti kata-katanya, kau bilang ia tidak berbicara bahasa inggris," ucapku polos

"Tapi aku mengerti kalimatnya," ucapnya datar

"Kenapa itu penting?" tanya ku tak mengerti

"Sejak saat ini kau masih menjadi istri ku, kau menjadi bagian dari ku, dan aku akan jelas tersinggung saat ada yang mengatakan sesuatu yang buruk tentang apa yang menjadi bagian ku," jelasnya yakin, "bahkan jika nenek ku sendiri yang melakukannya. Kau mengerti itu, Ali?"

"Yeah. Terima kasih sudah tersinggung atas nama ku," ucapku menggumam

Taksi membawa kita menuju daerah yang tidak terlalu jauh dari bandara, tapi dari yang aku lihat di perjalanan menuju kemari, daerah ini masih banyak kehijauannya. Saat kita akhirnya berhenti di depan rumah yang tidak begitu mewah dari luarnya, entah bagaimana aku merasa terkejut. Kenapa tidak ada kemewahan di sini? Tapi bukankah itu hal bagus? Karena akhirnya aku menemukan seseorang dalam hidup Kei yang tidak dibungkus dengan kemewahan, dan kalau ternyata memang neneknya ini kaya raya, setidaknya ia punya kesopanan untuk tidak menunjukannya.

Setelah taksi menurunkan koper kita, Kei menarik keduanya menuju pintu dan menekan bel begitu lama sampai seorang wanita menunjukan diri sambil tersenyum, bukan kesal. Kei memanggilnya, 'nana', jadi ini neneknya, ku akui, walaupun wanita ini sudah terlihat tua, tapi dia masih terlihat begitu cantik dan gagah. Mereka berdua berbicara sesuatu sebelum akhirnya Kei mengenalkan ku dengan kata-kata yang aku tak mengerti kecuali namaku. Lalu senyum manisnya itu pun menghilang saat itu juga. Aku belum bicara sepatah katapun dan ia sudah tidak menyukai ku. Luar biasa.

Ia menyapa ku, dan aku menyapa balik, ia berbicara sedikit inggris dengan terpatah-patah, mengenalkan dirinya sebagai Delena. Lalu tanpa alasan, ia tersenyum pahit ke arah Kei lalu berkata sesuatu yang Kei balas dengan sesuatu yang ada kata 'Indonesia'nya, mungkin ia sedang bertanya dari mana asalku? Hmm, ini sungguh disayangkan aku tidak bisa mengerti apa yang mereka bicarakan.

Setelah nenek Kei mengijinkan kita masuk, ternyata rumah yang terlihat begitu polos di l
uarnya, di dalamnya tidak begitu polos sama sekali, memang tidak mewah, tapi ia membuat rumah ini terlihat begitu indah, terutama setelah aku melihat halaman belakangnya yang sebagiannya diisikan dengan kebun sayuran dalam greenhouse, tidak lupa juga suhu udara yang cukup dikatakan sejuk. Ini keren, senang aku memutuskan untuk datang.

Delena mempersilahkan ku untuk melihat-lihat rumahnya, jadi itulah yang ku lakukan sekarang, melihat-lihat. Sebelum aku keluar, aku menyelesaikan semua ruangan yang bukan kamar seseorang. Omong-omong, apa Delena hanya tinggal sendiri? Karena aku tidak menemukan orang lain di rumah ini. Anyway, setelah bagian dalam selesai ku lihat, aku bergerak menuju greenhouse, seperti yang sudah katakan, isinya sayuran, setidaknya hampir seluruhnya. Tapi, aku menemukan sesuatu yang janggal. Aku menemukan cannabis, atau lebih familiarnya, ganja. Ini sangat absurd! Aku tidak percaya Delena menanam ganja di kebunnya! Semua ini semakin aneh saja.

"Kenapa kau mematung di sana?" panggil Kei dari ujung pintu greenhouse

"Kemarilah dan beritahu pada ku apa aku salah," panggil ku menoleh padanya, "apa ini terlihat seperti ganja di mata mu?" tanya ku menunjuk tanaman di hadapan ku setelah ia tiba di sisi ku

"Oh, nana..." gumam Kei menggeleng, "kau tak salah, itu memang ganja, kecil, tapi tetap ganja."

"Menurut mu apa yang nenek mu lakukan dengan ini?" Tanyaku jahil

"Entahlah, untuk pereda sakit mungkin?" balasnya tak yakin

"Tanyakan padanya kenapa ia memiliki tanaman ini di dalam greenhouse-nya," ujar ku dan Kei hanya diam, "oh! Apa dia bandar?" lanjutku mendapat ide

"Shh, nenek ku bukan bandar!" elaknya "Tidak mungkin tanaman kecil ini bisa digunakan untuk produksi!" lanjutnya menarik ku keluar dari tempat itu, "tapi kau benar, aku harus menanyakan padanya," ucapnya seperti mencurigai sesuatu

Sejak rumah ini hanya memiliki 3 kamar, 1 milik Delena, 1 disewa orang, jadi Kei dan aku harus berbagi kamar, dan juga karena setahu wanita itu, aku dan Kei adalah suami-istri. Sejak pertama kita tahu tentang peraturan ini, Kei langsung beride kalau ia akan memberikan kasurnya untuk ku sementara ia akan tidur di lantai. Bayangan Kei tidur di lantai sama sekali tidak bisa dimasuk akalkan, tapi kenapa harus dibayangkan saat nantinya aku bisa lihat sendiri?

Malamnya, setelah menyelesaikan makan malam tercanggung yang pernah aku hadiri, aku dan Kei bergerak menuju kamar untuk istirahat. Tapi aku tidak bisa tidur, pikiran ku berpikir tentang Delena, tentang fakta kalau ia tidak menyukai ku. Entah kenapa itu sangat mengganggu ku dengan sangat, aku tidak biasanya seperti itu, aku bukan narsistik, aku tahu tidak semua orang menyukai ku, tapi apa yang ku lakukan sehingga Delena tidak menyukai ku? Kita benar-benar baru saja bertemu!

"Apa kau masih terbangun?" ucap ku di tengah kegelapan. Kei tidur tanpa suara, tidak ada nafas menderu ataupun mendengkur. Aku menemukan fakta itu saat ia tertidur di kursi sebelah ku di pesawat tadi, jadi aku tidak tahu apa ia sudah tertidur atau belum

"Belum," balasnya pelan

"Nenek mu tidak begitu menyukai ku ya?" tebak ku

"Mengapa kau berpikir begitu?" ucap Kei terdengar bingung

"Tidak yakin, tapi itu tersirat di tatapannya," balasku dan suasana kembali diam

"Apa kau membawa sepatu nyaman?" tanya Kei setelah lama diam dan secara harfiah suara jangkrik mengisi

"Kenapa?" Tanyaku penasaran

"Karena kita akan berjalan panjang besok," jawabnya membuat kalimat tersebut terasa menyenangkan, "sekarang, kau istirahatlah."

Aku sudah menebak berjalan akan ada dalam resume perjalanan ini, karena itu aku membawa sneakers dalam koper ku.

**

Sekitar jam 4 pagi, aku mendengar sesuatu dari luar kamarku, yang menciptakan jelas bukan Kei, ia masih tertidur entah bagaimana dengan nyenyaknya, jadi tersisa Delena atau si penyewa yang belum sempat aku temui. Lebih baik aku selidiki saja, siapa tahu bukan mereka.

Aku berjalan langsung menuju sumber suara, dapur yang tak begitu jauh dari pintu kamar yang ku tempati. Di sana berdiri seorang wanita yang belum begitu masuk usia sepenuhnya dewasa. Aku menyapanya dengan kata universal 'halo' kali saja ia tidak mengerti bahasa inggris seperti Delena. Si wanita berbalik dengan terkejut, hampir menumpahkan gelas berisi susu yang dipegangnya, saat ia melihat wajah ku, ia tersenyum lega dan menyapa balik.

Wanita ini memiliki kulit gelap yang hanya dimiliki orang afrika, jadi aku menyimpulkan ia penduduk disana sebelum disini—karena aku tidak ingin dianggap rasis, aku tidak bertanya—oh dia juga berbicara bahasa inggris dan bernama Ewa, saat ini ia sedang mencari uang dan belajar, dia kehilangan beasiswanya saat tuduhan tak benar menimpanya dan sekarang sampailah ia disini. Tak lama setelah kita mulai berbicara, Kei memasuki ruangan dan menangkap perhatian Ewa seluruhnya.

"Oh, apa aku mengganggu?" ucap Kei menyadari tatapan yang diterimanya

"Tidak," balas ku santai

"Kau pasti penyewa yang nenek ku ceritakan," Ucap Kei tersenyum, "aku Kei," lanjutnya mengenalkan diri

"Delena tidak pernah menceritakan mempunyai cucu laki-laki semanis dan setampan mu," balas Ewa menggoda, "aku Ewa."

"Senang bertemu dengan mu, Ewa," balas Kei mengangguk dan pergi kembali ke kamar setelah mengambil segelas air

"Uhh, he's hot!" bisik Ewa semangat ke arah ku, "andai aku tahu Delena memiliki cucu seperti Kei!"

"Apa yang akan kau lakukan?" Tanya ku penasaran

"Entahlah, mungkin berhubungan dengannya, melakukan sedikit banyak kegiatan nakal dengannya, padanya," aku Ewa yang sepertinya sambil membayangkan di kepalanya, "mungkin menyimpannya."

"Ya, pasti kau ingin itu," gumamku pelan sambil mengangguk

"Itu akan luar biasa!" lanjutnya kembali menatap ku

"Yep, luar biasa!" ucap ku

Aku tidak tahu apa Ewa ini hanya lamban atau bodoh

"Kau kenal Kei?" tanyanya tersenyum tertarik dan aku mengangguk, lalu senyumnya hilang, "oh, aku sangat bodoh! 3 kamar, tentu saja! Kau pacarnya!" ku putuskan, ia hanya lamban

"Uh, istrinya sebetulnya," ralat ku santai

"Oh, aku sangat malu saat ini!" ucapnya menutup wajahnya dengan kedua tangannya, "maafkan aku!"

"Tidak apa, kau bukan yang pertama mengatakan hal itu di hadapan ku," balas ku mengangkat bahu, "banyak yang tidak bisa menolak pikiran tersebut saat membicarakan pria sepertinya," ucapku menepuk bahunya, "bukan salah mu kau masih normal," tambah ku tertawa pelan

"Kau seperti istri terbaik yang pernah ada!" Ucapnya tak percaya, "tidakkah kau merasa cemburu atau sesuatu?"

"Tentu saja, tapi apa yang bisa ku lakukan? Menghancurkan wajahnya jadi tidak ada lagi yang tertarik padanya?" jawab ku, membuat Ewa tertawa pelan

Aku hendak melanjutkan percakapan kami, tapi aku melihat Delena berjalan menghampiri kami dan aku tidak ingin membuat hari ku menjadi memikirkan hal yang seharusnya tak ku pikirkan, jadi aku pergi kembali ke kamar.

Hampir saja aku lupa kalau aku berbagi kamar dengan Kei dan langsung masuk. Jadi aku mengetuk dulu dan bertanya apa ia 'decent' yang ternyata iya, jadi masuk lah diriku. Aku memberitahunya kalau aku akan membuka koper ku dan berharap ia akan keluar kamar, aku sangat tidak nyaman mengetahui ia bisa saja menatapi apa saja isi koper ku ini, untung saja ia menurut tanpa pertanyaan.

Setelah ia keluar kamar, aku menyiapkan baju yang rencananya akan ku pakai untuk hari ini lalu membawanya ke kamar mandi. Di rumah ini, hanya ada 2 kamar mandi, 1 di dalam kamar Delena dan 1 lagi di luar kamar, jadi itulah alasannya mengapa aku harus membawa baju ke dalam kamar mandi.

Selesai mandi, ternyata di depan pintu Ewa sudah menanti giliran mandinya. Melihat ternyata aku yang keluar dari dalam kamar mandi, ia menghembuskan nafas lega entah untuk apa. Memangnya ia tidak melihat Kei sudah berjalan-jalan di luar? Meh, bukan hal penting.

Saat berbagi kamar seperti ini, penting untuk dilakukan membereskan baju bekas pakai secara langsung, lagipula, kalau rapih juga lebih enak dilihat. Setelah selesai urusan di kamar, aku kembali keluar dan memulai hari ku. Sesaat aku memasuki ruangan, Delena langsung berdiri dari kursinya dan mengambilkan aku piring. Dia mengambilkan aku piring! Bahkan Kei pun terlihat bingung dengan kelakuan neneknya itu. Delena mempersilahkan ku duduk dan ikut makan pagi. Ia mengatakan sesuatu pada Kei yang membuatnya tertawa, namun Delena tidak, jadi Kei berhenti tertawa dan berbicara sesuatu lalu mereka berdebat ringan di akhirnya, Kei menyerah

"Ali, nenek ku bertanya mengapa kau tidak memakai celana yang berbahan lebih tipis," oh, sekarang aku mengerti kenapa Kei tertawa, itu pertanyaan konyol

"Aku tidak memiliki celana berbahan tipis," balasku menahan tawa. Kei mengartikan jawaban ku ke neneknya dan mengartikan jawaban neneknya padaku

"Kaki mu akan terlihat lebih panjang jika kau memakai celana yang lebih lebar," ucap Kei malas, "ah, ini sangat konyol!" guamamnya lalu berkata sesuatu pada neneknya yang dibalas dengan mengangkat bahu

**

Apa yang Kei katakan tentang berjalan panjang hari ini ternyata tidak hanya omong kosong, kita memang menjalani jalanan yang sangat panjang, aku menghitung waktu yang telah terlewati dari saat kita keluar rumah sampai sekarang adalah 1 jam 15 menit. Saat ini kita berdiri di depan sebuah gedung yang terlihat seperti asrama kampus, entah untuk istirahat atau memang ini adalah tujuan kita.

Kei bersandar santai di dinding gedung seolah ia tidak menyadari kalau dinding yang disandarinya itu berdebu dan kotor. Setelah berjalan sejauh itu aku tidak mengerti kenapa ia bisa tidak merasa lelah, keringatan ya, tapi tidak terlihat lelah, atau ia jago menyembunyikan rasa lelah juga?

"Apa ini istirahat atau tujuan awal?" tanya ku sambil membenarkan kunciran rambut ku

"Tidakkah kau lelah?" tanyanya balik

"Ya, karena itu aku bertanya, Kei," balasku membuang nafas. Gah, aku tarik kembali ucapan ku tentang suhu udara yang sejuk.

"Oh, ini tujuan kita," ucapnya menjawab pertanyaan awal ku, "kita akan mengunjungi alasan kenapa ada ganja di greenhouse nenek ku," jelasnya menyisir rambutnya dengan jari

"Siapa?" tanya ku tertarik

"Dia," ucap Kei menunjuk seseorang di belakang ku dan mulai berjalan ke arahnya. Siapa lagi dia?

Dari jauh aku bisa mendengar Kei menyapanya, dan sesaat setelah itu, ekspresi wanita itu langsung berubah dan selanjutnya ia berkata 'aku dalam masalah ya?' dan Kei menjawab ya dengan anggukan pasti. Siapa wanita itu? Saudara perempuan lainnya?

"Ali! Apa yang kau lakukan jauh disana? Kemarilah," panggil Kei menatapku seolah aku ini bodoh. Si wanita menonjok bahu Kei dan berkata 'kau membawa istri mu juga untuk ini?!'

"Aku tidak mau mengganggu," balas ku polos dan tersenyum ke arah si wanita

"Ini adik ku—"

"Step-sister," potongnya, "jangan lupa."

"—adik angkat ku," ralat Kei, "Stefana."

"Kenapa kau memiliki saudara angkat saat kau punya 4 saudara?" ceplos ku bingung menatap Kei

"3, aku yang ke-4," ralat stefana "dan yang terbuang."

"Kau mulai menggunakan lagi," ucap Kei serius

"Kellen, aku mungkin memang adik mu, tapi aku juga orang dewasa, kau tidak harus mengurusi ku lagi!" ucapnya ketus "lagipula kau juga sudah tidak melakukan itu sejak kau kabur dari rumah," sindirnya.

Oh, aku terjebak diantara pertengkaran saudara...

"Hey, aku tidak kabur dari rumah, papà mengusir ku karena menghancurkan McLarennya!" ucap Kei membela diri

"Hmm, aku penasaran kenapa..." ucap Stefana terlihat jelas berpura-pura tak tahu. Lalu muncul lah punch line-nya, "oh ya, karena kau mabuk!"

Aku tidak tahu bagaimana mereka bisa bertengkar dan menahan volume mereka di saat yang sama. Mungkin mereka sering bertengkar di rumah dan tidak ingin orang tuanya tahu, jadi ini sudah seperti sebuah kebiasaan.

"Aku tidak mabuk, aku kehilangan kendali, asal kau tahu!" ucap Kei memberi tahu, "shh, sudah, aku di sini bukan untuk bertengkar dengan mu!" lanjut Kei cepat sebelum Stefana merespon

"Aku tidak menggunakannya setiap hari, aku hanya menggunakannya saat aku mau tes," akunya lalu melirik ku tak yakin, lalu melanjutkan sangat pelan, "Kellen, aku bukan lagi pecandu, percayalah."

"Sepertinya aku akan memberi kalian ruang privasi," ucapku merasakan Stefana yang merasa tak nyaman membicarakan hal tersebut di hadapan ku

Entah kenapa, aku merasa sepertinya keluarga Kei sangat berantakan. Yang tertua entah untuk alasan apa memilih untuk membicarakan kehidupan sex orang lain sebagai pekerjaannya, lalu Visha seorang model yang memiliki ADHD, dan sekarang Stefana seorang yang di luar sempurna tapi sebeneranya seorang mantan pecandu. Kalau aku punya keluarga seperti itu apa yang terjadi apa ku sekarang? Juga, apa tepatnya McLaren itu? Kenapa konsekuensi yang diberikan pada Kei sebegitu beratnya? Aku menduga itu semacam sesuatu yang langka dan tak ternilai, seperti bola baseball yang ditandatangani oleh pemainnya.

Aku menggunakan waktu yang ada untuk mencari tahu, dan menemukan kalau ternyata McLaren itu sebuah merk mobil seperti BMW dan teman-temannya, dan tidak cuma itu, saat aku bertanya pada Kei, ia mengatakan kalau mobil keluaran McLaren hanya keluar beberapa, karena itu ayahnya langsung mengusirnya dengan amarah saat tahu kalau dirinya telah menghancurkan mobil tersebut. Biarpun hanya keluar beberapa, Kei dan ayahnya sama-sama tahu kalau mobil tersebut bisa di bangun ulang dari 0 untuk mengganti yang rusak, dan aku cukup yakin mereka mampu. Karena kalau mereka mampu membeli, mereka dapat membangun ulang, apalagi saat mobil mahal seperti itu pasti memiliki asuransi total loss.

Selesai urusan di asrama kampus, kita melanjutkan jalan kaki ke tempat lain. Kei mengajak ku berjalan di pasar abad pertengahan yang menjual berbagai macam makanan khas Italia, semua macamnya ada disana. Kei mengetahui seluk-beluk kota ini seperti belakang telapak tangannya sendiri, jadi ku tebak ia pasti pernah tinggal disini setidaknya 3 bulan.

Kau tahu, ternyata kota ini indah, walaupun tidak seterkenal Roma, Bologna bisa dibilang cukup menarik. Semua orang ramah dengan semua orang, terutama turis seperti ku, tapi saat merambat ke transaksi jual-beli, mereka kejam pada turis. Jadi sama seperti yang ku lakukan untuk Kei saat di Indonesia, Kei akan melakukan bagian tawar-menawarnya di pasar ini.

Saat kita berkeliling, aku melihat salah satu boothnya menjual souvenir antik yang manis, benda itu membuatku berpikir akan Shania dan betapa ia akan menyukai barang ini, harganya pun ku pikir masuk akal, jadi sepertinya aku tidak membutuhkan Kei untuk kali ini.

Setelah pasar abad pertengahan, kita kembali lagi ke bagian depan untuk mencoba bolognese yang terkenal dan ternyata memang patut untuk dibanggakan, tidak hanya beberapa, tapi semua memang patut dibanggakan. Untuk membakar semua kalori yang baru saja ku masukan dalam perut ku, kita kembali lagi melanjutkan jalan kaki kita, dan kali ini kita menanjak. Hah, ini sungguh menyenangkan!

Aku tidak memperhatikan sudah berapa lama kita menanjak, tapi aku tahu kita sudah hampir sampai di puncaknya. Dari posisi kita saat ini, aku bisa melihat matahari sudah hampir terbenam, sangat indah. Walaupun memang pemandangan ini sepadan, kalau boleh mengaku, aku sesungguhnya merasa sangat lelah, tapi kapan lagi aku bisa datang kemari dan mejelajahi kota tanpa tersesat? Jadi manfaatkan saja waktu yang ku miliki ini.

"Bagaimana kaki mu?" tanya Kei tiba-tiba dan aku hanya menatapnya tidak mengerti, "apa kau sudah lelah?" ulangnya

"Apa masih ada lagi yang bisa dikunjungi?" tanya ku

"Ada, tapi kita sudah terlambat untuk itu," balasnya, "mungkin besok."

"Jadi sekarang kita pulang?" tanya ku sedikit kecewa

"Apa aku mengatakan jalan kaki panjang kita sudah selesai?" ucap Kei dan senyum terkembang di wajahku dengan sendirinya. Ternyata masih ada lagi.

"Apa kita akan tepat waktu untuk yang itu?" Tanyaku tidak tahu harus berharap apa

"Ya, tapi kita harus terus menanjak lagi," balasnya, "karena itu, aku bertanya, apa kau masih kuat?" dan aku tidak bisa berbohong, tanpa aku berkata apapun, Kei sudah bisa melihat lelah terlukiskan jelas di wajah ku, "sudah ku tebak," ucapnya tertawa pelan

"Memang kau tidak?" ucapku tak percaya ia tidak lelah

"Belum," balasnya

"Bagaimana bisa setelah sepanjang ini kau belum lelah?" cibirku semakin tak bercaya

"Karena aku adalah atlet profesional," ucapnya tersenyum "aku sudah terbiasa latihan berat."

"Dasar sok!" sindir ku pelan

"Aku mendengar itu," bisik Kei santai, "mari menanjak lagi!" ucapnya memberi sedikit dorongan dari belakang ku

"Urgh, aku lelah, Kei..." keluh ku malas, "kaki ku terasa sudah akan lepas!"

"Jadi kau mau pulang?" simpul Kei

"Tidak, aku mau istirahat," ucapku

Kei memutarkan kepala melihat sekitar sebelum kembali lagi menghadap ku, "baiklah, naik ke punggung ku!"

"Apa?"

"Kau mendengar ku," oh, ya, aku mendengarnya, hanya tidak mengerti saja

"Kenapa?" Tanya ku tidak tahu harus berkata apa

"Fine, tidak perlu naik, kau tinggal saja di sini, karena aku akan terus menanjak," ucapnya bersedekap, "pilih yang mana?"

"Kau harus berhenti mengancam ku, Kei!" ucap ku ikut bersedekap, "kau benar-benar harus berhenti melakukan banyak hal."

"Ya sudah, keputusan mu, tidak rugi juga aku," ucap Kei memberiku senyum dan berjalan pergi.

Tidak, aku tidak akan terpancing dengan ancamnya, aku akan tinggal di sini sampai aku tidak lagi lelah baru aku akan melanjutkan menanjak. Terserah apa yang Kei akan lakukan tanpa ku, aku tidak peduli.

**

Aku menatapi matahari yang sekarang sudah sepenuhnya tenggelam, terakhir kalinya aku menatap matahari seperti itu adalah saat aku berdiri di jendela hotel ku menghadap arah laut saat di Gibraltar. Betapa damainya terasa sangat menggoda...

Dalam tengah-tengah nostalgia, tiba-tiba suara seseorang yang tak ku kenal terdengar di telinga ku. Secara spontan, aku membeku, aku tidak tahu harus melakukan apa dan berapa orang tepatnya yang bersama pria ini. Aku hanya diam, lebih baik diam daripada melawan dan berakhir kalah. Suara itu kembali menyapa ku, kali ini diikuti dengan tangan seseorang meraba pinggang ku, aku menghindarinya tapi terangkap dengan tangan lain. Di belakang ku ada yang menahan ku. Huh, ini gila, kenapa ini terjadi?

"Baby, kau wanita yang manis," bisik pria di kanan ku, tapi aksennya begitu kental, aku hampir tidak mengerti kalimatnya

"Bergabunglah dengan kami," bisik pria di belakang ku

"Kau suka bermain?" dan itulah saat aku tidak bisa bernafas, karena aku mendengarnya lantang dan jelas.

Kalimat itu, kalimat yang sama dengan yang dikatakan oleh Riki, mimpi buruk ku yang saat ini terjebak dalam penjara, 16 tahun lalu, hanya kali ini dalam bahasa inggris, bukan indonesia, tapi nada dan maksud kalimatnya sama

"Pergilah!" desis ku dengan nafas memburu, aku sesak nafas, tapi aku harus terus bernafas untuk menenangkan diri

Salah satu mereka berkata sesuatu dalam bahasa mereka dan mereka tertawa

"Tak ada yang akan terluka jika kau mau bermain dengan kita," ucapnya begitu dekat di telinga ku dan seseorang menjambak rambut ku begitu kencang, membuatku memekik lantang

"Kau suka pria kasar?" ucap yang lain dan aku melihat ia memegang pisau lipat

"Waktunya kita bermain, sweetheart!"

Siapa pria ini? Mengapa ia menggunakan kata yang sama persis seperti yang setan bajingan itu gunakan? Apa mereka dikirim olehnya? Apa semua ini bukan hanya sebuah kebetulan? Kenapa hal tidak mengenakan selalu menimpa ku?!

Seperti selalu, saat aku tahu aku akan akan kalah dan tidak ada lagi yang bisa membantu ku, aku menutup mata ku dan berdoa. Tuhan, tolong berikan pada ku kekuatan dan keberanian untuk melawan ini. Aku menaruh keyakinan ku pada-Mu. Setelah itu, aku memutuskan untuk melawan mereka. Karena logika saja, bagaimana menurut mu aku akan selamat dari ini, kalau aku sama sekali tidak ada usaha apapun? Menunggu bantuan yang belum tentu datang sama saja seperti kau tahu ada kereta datang, ada dua rel di hadapan mu dan kau melompat ke salah satu relnya berharap kereta melaju ke rel yang lain. Apa yang akan terjadi biarlah terjadi, setidaknya aku tidak menyerah begitu saja, aku ada usaha.

Baiklah, 3 pria melawan 1 wanita yang cukup dikuasai oleh kekuatan trauma masa lampau, yang mana yang kau pikir akan menang? Kurasa kita lihat saja hasilnya nanti.

Tidak menghitung waktu tepatnya, ada 3 hal yang ku rasakan saat ini. Trauma, waktu yang terasa begitu lama dan begitu cepat di saat yang sama, dan rasa sakit yang menggigit di pergelangan tangan ku. Aku baru saja menusuk seseorang di perut, dan sekarang ia terkapar berdarah di dekat ku, aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan sekarang, aku terlalu shock dengan apa yang baru saja terjadi. 2 pria yang lain langsung pergi sesaat temannya tertusuk, tapi tidak sebelum aku menandai mereka dengan luka sayat dari pisau yang sama dengan yang menancap di perut pria di dekat ku ini

Aku terduduk gemetar di sisi pria berdarah ini, berusaha mencari hp ku dalam tas kecil yang seharusnya tak begitu susah untuk ditemukan untuk menelpon pertolongan, tapi tangan ku tidak bisa berhenti bergetar hebat, aku bahkan tidak bisa membuka password HP ku karena ini.

"Jangan menutup matamu," bisik ku kepada pria berdarah sisiku, air mata mengalir lambat di pipiku, "aku tidak akan membiarkan mu mati, malam ini aku tidak akan membunuh seseorang," lanjutku dan berhasil menghubungi emergency yang langsung dijawab dengan bahasa Italia, "aku tidak bisa bahasa Italia, apa kau berbicara bahasa inggis?" ucapku terbata-bata pada wanita di seberang sambungan

"Ya. Apa emergency anda?" ucap si wanita dengan aksen namun jelas

"Ada pria terluka parah, aku tidak tahu tepatnya di mana lokasi ku sekarang, tapi pria itu ada di sisi ku. Tolong segera kirimkan ambulance atau apapun untuk pria ini secepatnya!"

"Apa anda terluka?" ucap si wanita dengan nada menenangkan

"Tidak," balas ku, "ku rasa."

Aku melirik pergelangan tangan ku yang berdarah, tidak yakin apakah itu darah ku atau darah pria itu, aku tidak ingin menyentuhnya karena rasa menggigit yang ada disana. Tapi saat ini aku tidak penting, aku hanya butuh pertolongan untuk pria itu secepatnya, karena aku tidak akan membunuh siapapun di Bologna, Italia!

"Tetap disana, kami sudah mengirimkan bantuan ke lokasi anda," ucap si wanita

"Terima kasih!" ucap ku menutup telepon. Aku tidak bisa pergi, aku bahkan tidak bisa berdiri, "jangan kau mati, kau pria tak bernama!" ucapku menyikutnya yang dibalas dengan erangan sumpah-serapahan dalam bahasanya

Yang bisa ku dengar hanya nafas pria di sisi ku yang begitu keras dan nafas ku yang hampir menyamai volumenya. Tidak ada yang melewati jalan ini, sama sekali, tidak seorang pun. Bagaimana hal ini bisa mungkin?

"Ali?!" Kei, dari mana pria sialan ini sebelumnya? "Oh God!" ucapnya melihat pria di sisi ku dan darah yang mengelilingi di dekatnya

"Kau sialan, Kei! Kau meninggalkan ku sendirian untuk diserang dengan pria lapar seperti dia, kau bajingan! Bajingan sialan yang tolol!" jerit ku kesal, sangat kesal

"Apa kau terluka?" tanya Kei terdengar khawatir

"Di mana kau sebelumnya?!" jerit ku lantang, "kau bahkan tidak bisa meminta maaf telah meninggalkan ku?" dan lagi-lagi air mata mengalir, "kau bahkan tidak meminta maaf!" ulang ku berbisik sambil mengetatkan pelukan ku di lutut

"Ali, aku minta maaf telah meninggalkan mu di sini sendirian," ia berlutut di hadapan ku, "aku minta maaf karena telah membiarkan mu diserang pria lapar sepertinya, aku minta maaf tidak kembali lebih cepat, dan aku minta maaf karena telah menjadi bajingan sialan yang tolol," ucapnya berturut-turut.

Nada suaranya memang menyatakan kalau ia bersungguh-sungguh meminta maaf, tapi raut wajahnya menunjukan hal lain, dia marah, dan dia berusaha melawannya sekuat mungkin, aku pernah melihat wajah ini.

Si pria berdarah mengucapkan sesuatu, tepatnya mendesiskan sesuatu dalam bahasanya, sepertinya sebuah cibirkan yang menyinggung, karena Kei langsung membalasnya dengan kesal tapi tetap tidak melakukan apapun.

Saat akhirnya ambulance datang, pria ini hampir tidak bernafas, ia sudah kehilangan banyak darah, karena luka tusuk di perutnya bukanlah satu-satunya luka yang diterimanya, jadi aku anggap saja dia sudah dalam kondisi kritis dan itulah mengapa ia segera dilarikan ke rumah sakit. Paramedic memeriksa pergelangan tangan ku yang entah bagaimana bisa dislokasi dan mengharuskan ku di x-ray. Aku bahkan tidak menggunakan tangan ku untuk meninju siapapun, yang ku pakai hanya kaki ku untuk menendang selangkangan pria dengan pisau untuk menjatuhkan pisaunya, bagaimana bisa aku mendapat dislokasi pergelangan tangan? Sungguh tidak masuk akal

Well, walaupun malam ini berakhir dengan kekacauan, setidaknya aku menikmati hari ini dengan baik.

Continue Reading

You'll Also Like

190K 10.9K 30
"Daripada sama dia, aku lebih baik jadi janda seumur hidup!" Sepenggal kalimat penolakan mutlak yang Rena katakan. Tapi, bagaimana bisa satu bulan ke...
1M 61.6K 55
Story Kedua Neo Ka🐰 Duda Series Pertama By: Neo Ka Gayatri Mandanu itu ingin hidup simpel, tidak ingin terlalu dikekang oleh siapapun bahkan kadang...
341K 20.8K 35
Renata bingung menghadapi desakan keluarga besarnya untuk segera menikah. Secara finansial dan kemapanan hidup, dia merasa sudah siap. Tetapi pengal...
705K 24.2K 23
[READY EBOOK😍] Ini tentang masa lalu, yang sempat kau tolak takdirnya bersamamu. Ini tentang kesalahanmu, memilih yang tidak pasti padahal itu bukan...