TURUN RANJANG 2 "ENDING"

By UlhyUyhiz

277K 13.9K 1.5K

Setelah Alby yang menikahi adik iparnya sendiri kini kejadian itu terulang kembali kepada sang sahabat, Turun... More

Prolog
PART《1
PART《2
PART《3
PART《5
PART《6
PART《7
PART《8
PART《9
PART《10
PART《11
PART《12
PART《13
PART《14
PART《15
PART《16
PART《17
PART《18
PART《19
PART《20
PART《21
PART《22
PART《23
PART《24
PART《25
PART《26
PART《27
PART《28
PART《29
PART《30
PART《31
PART 《32
Maaf
PART《33
PART《34
PART《35
PART《36
PART《37
PART ENDING
PART《38
PART 《39
PART《40
PART《41
PART《42
PART《43
PART《44

PART《4

7.6K 519 34
By UlhyUyhiz

Seminggu sudah usia baby Eza dan masih dalam perawatan di ruang NICU, Rainy bersama paman dan bibinya sudah balik ke Bandung, hari dimana dia memberikan nama baby EZA. Rainy tidak lagi memikirkan permintaan Vano agar melanjutkan kuliah di Jakarta, saat ini Rainy begitu semangatnya belajar menjelang ujian akhir artinya tidak akan lama lagi dia menyelesaikan sekolah menengahnya. Yang membuatnya lebih bersemangat lagi yaitu tetangga seberang rumahnya.

Paman dan Bibinya tinggal disalah satu perumahan di kota Bandung, dimana rumah-rumah berjejeran saling berdempetan.

Entah dimulai sejak kapan Rainy selalu memeperhatikan tetangga di seberang rumah pamanya, diam-diam dia tertarik dan menaruh hati pada pria itu namun naasnya dia menjatuhkan hati pada orang yang salah. Pria itu sudah berkeluarga. Rainy menyadari bahwa itu tidak benar tetapi hatinya selalu menolak pembenaran itu.

Setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah Rainy diam-diam memperhatikan pria itu membawa serta anak batitanya berjalan-jalan mengelilingi kompleks.

Entah apa yang terlihat menarik pada pria itu dimata Rainy, saling mengenalpun tidak, karena pria itu dan keluarganya penghuni baru di kompleks itu. Bahkan sekarang Rainy menghapal rutinitas pria itu kapan Pria itu keluar dan berada di rumahnya.

Setiap sore Rainy sengaja menyambangi rumah tetangganya yang juga memiliki putri seumurannya hanya saja mereka berbeda sekolah tapi mereka cukup akrab.

Dikala sore hari Pria itu keluar di teras rumahnya mengajak batitanya bermain dan Rainy memgambil kesempatan itu untuk mencari perhatian.

Tatkala melihat isteri pria itu keluar, hati Rainy sedikit mencelos dan tersadar, namun hatinya selalu saja mengkhianatinya. Sepertinya Rainy mencintai pria itu dalam diam.

Sesekali juga Pria itu mencuri pandang ke arah Rainy mungkin dirinya menyadari jika Rainy ada hati dengannya, pria itu pun bahkan sesekali menatap ke rumah Pak Ridwan mungkin mencari keberadaan atau penasaran dengan Rainy.

Entah mengapa setiap melihat pria itu perasaanya selalu adem, ada rasa yang tidak bisa Rainy gambarkan, terkadang jika lewat didepan pria itu hatinya berdebar. Sungguh diluar dugaannya dia jatuh hati dengan suami orang.

Setiap malam Rainy terus duduk di teras memperhatikan keluarga kecil yang sedang bersenda gurau, memperhatikan setiap perlakuan pria itu kepada keluarga kecilnya. Sungguh ada rasa cemburu dihatinya menyaksikan semua itu, namun dia bisa apa? sering kali pula Rainy menyalahkan perasaanya sendiri, bahkan setiap akhir sepertiga malamnya dia meminta kepada yang Kuasa untuk menutup perasaannya buat pria itu.

Tidak ada niatnya sedikitpun untuk merusak rumah tangga orang, hanya perasaannya saja yang salah. Hatinya terus berontak seolah mendapat ketenangan setelah melihat pria itu meski dari jauh.

Pak Ridwan yang sedari tadi melihat Rainy memperhatikan keluarga itu merasa heran.

"Apa yang kamu perhatikan, Nak?" tegurnya membuat Rainy berjengit kaget.

"Astaghfirullah, Paman ngagetin aja."

"Sedari tadi Paman lihat kamu memperhatikan keluarga itu, kelak kamu akan merasakan kebahagiaan seperti itu bersama keluargamu," ujar Pak Ridwan tanpa merasa curiga mendudukkan dirinya di samping Rainy yang masih memperhatikan tetangganya itu.

"Dia Pak Imam, warga baru di kompleks ini, sekitar delapan bulan yang lalu." Jelas Pak Ridwan.

"Sudah selama itu ternyata, kok aku baru tahu ya Paman," kilah Rainy yang berpura-pura. tapi memang Rainy baru menyadari kehadiran pria itu 3 bulan terakhir ini.

"Kemana saja selama ini tetangga seberang kok gak tau." balas Pak Ridwan.

Karena tidak ingin ketahuan oleh pamannya, Rainy berpamitan masuk ke dalam rumah dengan dalih belajar.

Keesokannya sebelum berangkat ke sekolah Rainy dan Imam saling bertatap mata ketika Imam melewati rumah Pak Ridwan, keduanya saling membuang pandangan entah karena apa, kembali jantung Rainy berdetak tak karuan.

"Ya Allah hamba mohon kendalikan hatiku," gumamnya memegang dadanya.

Tidak lama kemudian Imam berbalik memutar arah dan lagi pandangan mereka bertemu, tapi kali ini Imam tidak membuang pandangannya sedang Rainy sudah menundukkan pandangannya karena gugup.

"Pagi," sapanya.

Sontak Rainy mendongakkan kepalanya memastikan apakah dia tidak salah dengar.

"Pagi Kakak," sapa Imam meniru suara anak kecil sambil memainkan tangan anaknya menyapa Rainy.

"Pppa .. gi .." balas Rainy gugup, dengan tangan yang gemetaran menarik gas motor maticnya menuju ke sekolah.

Sepanjang perjalanan ke sekolah tak hentinya Rainy tersenyum, sebahagia itu dirinya disapa oleh Imam sang pujaan hati.

"Ya Allah salahkah perasaan ini?" batinnya.

Tiba di sekolahnya tak hentinya Rainy mengumbar senyum sehingga banyak siswa-siswi yang heran melihatnya.

"Hei .. Rainy, kesambet apa sih pagi-pagi gini senyum mulu sedari masuk pintu gerbang?" tanya salah seorang temanya, Ayu.

"Ada deh, anggap saja kalau aku lagi menang lotre," balasnya tertawa.

"Jadi curiga deh."

"Eiiitss, curiganya yang positif ya bestie!" balas Rainy lagi tertawa memperlihatkan deretan giginya yang rapi.

"Gak biasanya," timpal salah seorang temannya lagi.

"Bahagia itu dibagi-bagi, jangan cuman susahnya aja," Sindir Ayu, membuat Rainy mengerucutkan bibirnya.

Bolehkah Rainy merayakan kebahagiaannya hari ini? hanya dengan sapaan saja membuat hatinya berbunga-bunga. Tapi sayang hal yang membuatnya bahagia tidak tergapai bagai pungguk merindukan bulan.

Sampai waktu pulang sekolah pun Rainy masih terngiang-ngiang dengan suara Imam yang baru pertama kali didengarnya.

"Mengapa Engkau menumbuhkan rasa yang salah ini Ya Allah, bolehkan aku merasakannya sebentar saja," gumamnya.

Walau hanya melihat pintu rumahnya saja hatinya sudah merasa senang.

Setiap hari seperti itu selama hampir sebulan ini, meski itu yang pertama dan sampai saat ini Rainy tidak mendengar suara Imam lagi, hatinya tetap bahagia meski hanya melihat siluetnya saja.

"Ini sungguh gila," gumamnya disuatu malam disaat dia menatap rumah seberang itu dari jendela kamarnya.

Hari ini adalah hari akhir ujiannya, Rainy hanya tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Sampai saat ini juga Rainy belum menentukan dimana dia harus melanjutkan kuliahnya. Konsentrasinya hilang untuk menetukan universitas yang akan di masukinya hanya karena memikirkan orang yang tidak pernah memikirkannya.

Nada dering ponsel mengejutkan Rainy dari lamunannya, melihat sekilas nama pemanggil dia segera menggeser icon hijau yang tampil di layar ponsel itu.

Entah apa yang harus Rainy lakukan sekarang, orang yang menelponnya adalah Ayahnya yang menyuruhnya untuk melanjutkan kuliahnya di Jakarta dan meminta tolong agar membantu mereka untuk merawat Una dan baby Eza sementara hatinya enggan meninggalkan Bandung.

"Yaa Allah apakah ini petunjukMu agar aku melupakan dia?" gumamnya dengan air mata yang sudah mengembun. Cinta buta yang tidak tau tempat, serasa ingin meremukkan jantungnya.

"Bodoh banget sih Ai, mengapa harus dia?" gumamnya lagi sudah meneteskan air matanya.

Lelah dengan pikiran dan semua khayalan omong kosongnya, akhirnya Rainy beranjak keluar dari kamarnya menemui Sang paman yang sedang duduk bersantai di teras rumahnya.

Namun tanpa Rainy duga, ternyata orang yang selama ini memporak-porandakan perasaanya juga duduk di teras itu mengobrol dengan Sang Paman.

Tentu saja Rainy speechless diam mematung seolah tidak mampu menggerakkan badannya.

"Ada apa, Nak?" tegur Pamannya membuyarkan keterdiamannya.

"Mmm ... anu .. Paman."

"Apa? kenapa jadi gugup begitu, apa ada yang ingin kamu sampaikan?"

Rainy tetap bungkam, terlalu grogi dirinya berbicara di depan Imam.

"Duduk dulu sini, Nak?" ajak Pamanya menarik tangan Rainy agar duduk di dekatnya.

Imam yang merasa tidak enak, berpikir kehadirannya membuat gadis di depannya enggan untuk berbicara.

"Maaf, mungkin yang mau disampaikan oleh adek sesuatu yang tidak boleh diketahui oleh orang lain, kalau begitu saya pamit dulu, pak Ridwan."

"Eh nggak kok ... " sela Rainy cepat, namun setelahnya menjadi salah tingkah sendiri.

"Cuman ... mmm .. maaf paman, tadi Ayah menelpon."

Pak Ridwan seolah paham apa yang dimaksud oleh keponakannya karena sebelumnya dia juga telah dihubungi oleh kakaknya. Sedikit menganggukkan kepala menoleh kearah Rainy, "Bagaimana baiknya kamu saja Nak, kan kamu yang ngejalani tapi menurut paman itu lebih baik."

Rainy kembali mendongakkan kepalanya, tanpa sengaja pandagan mereka kembali bertemu, buru-buru Rainy segera beranjak dari duduknya karena merasa malu dan grogi.

"Dia itu anak Kakak saya, dulunya juga mereka tinggal di Bandung tapi karena Kakak kerepotan jika harus bolak balik Jakarta-Bandung makanya mereka memilih menetap di Jakarta, dan Ai sendiri masih tinggal bersama saya meneruskan sekolahnya disini," jelas Pak Ridwan kepada Imam.

"Oh, aku kira tadi putrinya Pak,"

Pak Ridwan hanya tersenyum menanggapinya, karena sampai saat ini dia dan isterinya belum juga dikaruniai anak.

Ini yang kedua kalinya Rainy mendengar suara Imam, jantungnya kembali berdetak tak menentu, berpikir apakah pindah ke Jakarta adalah keputusan yang benar.

Di Jakarta suasana menjadi sangat sepi kembali, Vano masih tenggelam dengan kedukaannya, Dia hanya mengurung diri di ruangannya jika berada di rumah sakit menyelesaikan pekerjaan sampai waktu pulang tanpa memperlihatkan senyumnya lagi ke orang-orang, Hulwa juga disibukkan oleh tugas-tugasnya di rumah sakit sebagai Koas.

Sementara di rumah, kedua orang tuanyalah yang menjaga Una karena beberapa minggu yang lalu Vano memberhentikan babysitter anaknya karena kelalaian. Sudah ketiga kalinya Vano memecat babysitter Una, semua karena kelalaian dalam menjaga Una makanya Pak Munif dan Bu Zanita melarang Tika memakai jasa babbysitter lagi. Meski tidak semuanya seperti itu banyak diantara mereka yang jauh lebih baik merawat anak tapi ini sudah yang ketiga kalinya membuat mereka kapok.

Untungnya Una anak yang pintar dan tidak rewel, sangat mudah untuk dijaga.

Hari ini Baby Eza sudah boleh dibawa pulang ke rumah setelah tiga minggu perawatan, Hulwa dan Vano yang membawanya pulang dari rumah sakit. Ketiganya disambut ceria oleh si kecil Una.

"Yah, tty." girangnya menyambut.

"Assalamu'alaikum sayang," sapa Vano mengangkat Una kedalam gendongannya.

"Cayam Yah," balasnya yang belum lancar berbicara.

"Cayam Tty," balasnya juga ke Hulwa.

"Uluh ... uluh ... pinternya ponakan aunty, anaknya siapa sih ini," balas Hulwa mencubit pipi Una.

"Nakna Unda, Nakna Yah,"

"Ini dede Una?" tunjuknya ke bayi yang berada digendongan Hulwa.

"Iya sayang, ini bayi Eza dedenya Una," balas Hulwa membawa sang bayi ke kamar Ibunya untuk sementara.

Vano sendiri membawa Una masuk ke dalam kamarnya, lalu meletakkan diatas tempat tidur.

"Kamu disini dulu ya, Ayah mau mandi dulu,"

"Ote Yah,"

Tidak butuh waktu lama Vano menyelesaikan acara mandinya dan menghampiri putrinya yang masih anteng di tempat tidur memainkan ponsel Ayahnya.

"Sayang, gak boleh loh mainin ponsel, kamu masih kecil bahaya, Nak." tegur Vano.

"No Yah," pekiknya marah sewaktu Vano memgambil ponselnya.

"Nanti ya sayang kalau sudah besar baru boleh mainin ponsel, oke!" bujuknya ke anaknya.

"Ote Yah," tapi tetap saja Una menangis ingin merebut ponsel Ayahnya.

Inilah salah satu alasan Vano memecat babysitter anaknya, mereka membiasakan Una memegang ponsel meskipun hanya melihat tontonan anak-anak agar dirinya bersantai tanpa direcoki oleh anak kecil.

"Ya udah kalau Ok,"

"Au nton oko eyong, Yah." isaknya merengek.

"Nonton di TV aja ya sayang," bujuk Vano beranjak menyalakan televisi di dalam kamarnya.

"No Yah, au citu," tunjuknya merengek kearah ponsel Ayahnya.

"No, tidak boleh sayang belum waktunya kamu memegang ponsel."

Si kecil Una mengamuk digendongan Ayahnya, Vano pun kekeh tidak mau memberikan ponselnya kepada anaknya, tidak mau membiasakan anaknya dibujuk dengan menggunakan ponsel yang akhirnya menjadi kebiasaan.

Lelah membujuk anaknya, Vano membawanya keluar dari kamar, bersamaan dengan Hulwa yang juga baru keluar dari kamar Ibunya.

"Loh babynya aunty kenapa nangis sayang,"

"Oko eyon tty,"

Hulwa mengerutkan alisnya tanda tak mengerti maksud keponakannya.

"Ngamuk dia mau nonton coco melon di ponselku," jelas Vano.

"Loh kenapa gak dikasi, pelit amat jadi orang."

"Ini lagi, jangan pernah membiasakan anakku memegang ponsel tidak baik untuknya," kesal Vano yang diangguki oleh Hulwa.

"Sini sama Aunty."

"Oko eyon uyu,"

"Waduuh," gumam Hulwa.

"Oke, sini yuk."

Vano melototkan matanya kearah Hulwa semakin kesal. "dibilangin juga." gumamnya.

"Yaelah, Kak. Bentar doang, lagian aku gak kasih dia pegang ponsel. Dari pada nangis terus entar sakit loh," gerutu Hulwa meraih keponakannya digendongan Vano.

Akhirnya Una berhenti menangis dan tersenyum setelah Hulwa mengeluarkan poselnya dari saku celananya.

"Tapi Una gak boleh megang ponsel, biar aunty yang pegangin."

Hulwa tidak membuka aplikasi YT di ponselnya melainkan membuka galeri yang berisi foto-foto membuat Una kembali merengek.

"Liat dulu nih, Una kenal gak ini siapa?" tunjuknya pada gambar yang ditampilkan oleh ponselnya.

"Tty Ai..."

"Bukan, tapi Mama Ai, kan udah aunty kasi tau kemarin."

"Mama?"

"Iya, sekali lagi ya!" Hulwa kembali menampilkan gambar Rainy yang berbeda.

"Ini siapa sayang?" tanyanya lagi.

"Mama,"

"Pintarrr."

Kembali Hulwa memperlihatkan gambar yang lain tapi dia sengaja tidak memperlihatkan foto Tika takutnya Una mencari bundanya.

"Yang ini siapa?" tunjuknya lagi ke gambar Rainy.

Lagi Una menjawabnya untuk yang kesekian kalinya.

"Mama,"

"Mamanya siapa coba?"

"Mamana Ai."

Hulwa tak dapat menahan tawanya melihat kelucuan keponakannya.

"Ini mama Ai, mamanya Una." jelasnya pelan.

"Mama Una?"

"Iya Mamanya Una."

Dan lagi Hulwa memperlihatkan gambar lainnya.

"Ayyaaah," jawabnya tanpa ditanya.

"Bukan Ayah, tapi Papa."

Vano yang masih duduk anteng di dekat mereka mengerutkan alisnya, bertanya siapa lelaki yang disebut Hulwa sebagai Papa anaknya. Vano melirik melihat ke ponsel itu memperlihatkan gambar dirinya berdua dengan puterinya.

"Kok Papa?" tanyanya bingung.

"Iya dong Kak, masa dia manggilnya ke Ai Mama terus kamu Ayah?"

"Emang kenapa, salahnya dimana? awalnya memang manggilnya Ayah kan?" protes Vano tidak terima.

"Ya, gak enak aja dengarnya. Kek gimana gitu, kalau manggil Ai Bunda kan nantinya Una keinget terus sama Teh tika." lirih Hulwa.

"Unda?"

"Bukan sayang Mama Ai."

"Tapi kan aku sudah nyaman dan terbiasa dipanggil Ayah." tegas Vano.

"Mumpung Una masih terlalu kecil Kak mengubah panggilannya, gak matching aja gitu Mama dan Ayah."

Perdebatan pun terjadi antara Hulwa dan Vano hingga tidak menyadari jika sudah memasuki waktu maghrib, Vano yang tidak ingin mengubah panggilan anakanya sedang Hulwa bersikeras mengubah panggilan Una dari Ayah ke Papa. Gak jelas bangetkan mereka.

Ternyata TURUN RANJANG 2 INI peminatnya kurang ya, mungkin ceritanya hampir sama dengan yang TR pertama. gak seramai novel-novel sebelumnya.

Continue Reading

You'll Also Like

5.3K 458 26
Forgiveness is the final form of love Bukan pilihannya menjadi janda di usia muda. Tapi Yuri hanya bisa bertahan menerima takdir-- biarlah dia yang m...
556K 38.7K 55
✓ update every week 😘 Di tengah ngambangnya nasib kuliah magisternya yang tiap hari sukses membuat otaknya kembang kempis, Avel memutuskan untuk cut...
1M 46.3K 66
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
294K 13.6K 41
Aku tak pernah menyangka dalam hidupku bisa menikah dengan dia, orang yang ku suka sejak lama, meskipun aku hanya sebagai pengganti pacarnya yang per...