TURUN RANJANG 2 "ENDING"

By UlhyUyhiz

275K 13.9K 1.5K

Setelah Alby yang menikahi adik iparnya sendiri kini kejadian itu terulang kembali kepada sang sahabat, Turun... More

Prolog
PART《1
PART《2
PART《4
PART《5
PART《6
PART《7
PART《8
PART《9
PART《10
PART《11
PART《12
PART《13
PART《14
PART《15
PART《16
PART《17
PART《18
PART《19
PART《20
PART《21
PART《22
PART《23
PART《24
PART《25
PART《26
PART《27
PART《28
PART《29
PART《30
PART《31
PART 《32
Maaf
PART《33
PART《34
PART《35
PART《36
PART《37
PART ENDING
PART《38
PART 《39
PART《40
PART《41
PART《42
PART《43
PART《44

PART《3

7.7K 440 9
By UlhyUyhiz

Dipagi hari yang cerah tak secerah hati Vano. Kembali dia mengurung dirinya di kamar, waktu sarapan juga terlewatkan.

Sedangkan Pak Ridwan, istrinya Bu Hamidah dan juga Rainy sudah bersiap untuk kembali ke Bandung karena pekerjaan menunggunya di kota kembang itu. Rainy sendiri harus kembali menjalankan rutinitasnya sebagai murid sekolah menengah. Melihat Rainy yang bersiap-siap, Hulwa menghampiri adiknya dengan putri Vano digendogannya.

"Ai, apa gak besok aja pulangnya, kasian loh Una kesepian lagi," bujuknya.

"Kan ada Teteh, lagian besok aku ada ujian di sekolah Teh."

Hulwa menghembuskan nafasnya, ingin rasanya berkata jujur tapi dia menahannya demi kebaikan adiknya sendiri.

"Kan Teteh juga sibuk di rumah sakit, Ai."

"Ayahnya kan banyak duit, Teh. Pake jasa babysitter kan bisa."

"Tau sendiri kan Kak Vano overprotektif sama anaknya, sudah beberapa kali dia mengganti babysitter anaknya, Kak Vano sudah sulit mempercayai seseorang apalagi urusan anak." jelas Hulwa.

"Kalau gitu suruh dia aja yang jaga anaknya," balas Rainy gamblang.

"Una, liat tuh Mama kamu, masa tega ninggalin kamu sih," ucap Hulwa merajuk ke Una, mendengar itu Rainy mengerutkan Alisnya heran.

"Mama?" gumamnya.

"Iya, boleh kan? mulai hari ini Una manggil kamu Mamanya."

"Kenapa bisa? Teteh sendiri kan Bundanya sekarang," balasnya yang merasa risih.

"Hmmm, kan anu .. itu, ok Una manggil aku Bunda dan dia manggil kamu Mama," putus Hulwa agar adiknya mau.

"Tty ... Unda? No, Unda bobo," timpal Una yang seolah mengerti perkataan orang dewasa itu.

"Itu, kamu liatkan Una nolak manggil aku Bunda," kilah Hulwa.

"Diajari loh Teh biar terbiasa, namanya juga anak kecil masih butuh penyesuaian, butuh proses." bantah Rainy. Hulwa tidak menggubris omongan Rainy yang menggelitik pendengarannya.

"Ya, nggak masalah juga kan kalau Una manggil kamu Mamanya, biar dia tidak merasa kehilangan sosok Ibu." dalih Hulwa.

"Iya kan, Una? kamu mau kan manggil Mama sama aunty Ai?" bujuk Hulwa ke Una.

"Mama?" ulang Una.

"Iya Mama Ai," jelas Hulwa lagi.

"Mama Ai?" ulang Una lagi.

Lama-lama Rainy kesal juga dengan kelakuan kakaknya. "Ya masalah lah Teh, masalah banget malah, masa aku yang masih sekolah dipanggil Mama, nanti orang-orang ngiranya aku tekdung duluan. Lagian Teteh kan yang sekarang Ibu sambungnya," ujar Rainy tidak mau mengalah, tidak masuk akal pikirnya.

Namanya juga Hulwa dia tidak peduli dengan kekesalan adiknya dia tetap saja merayu Una agar memanggil Mama kepada adiknya.

"Liat tuh, Una. Mama kamu ngambek," ujarnya.

"Teteeehh .. ih nyebelin."

Hulwa merasa puas membuat Rainy kesal wajahnya terlihat menggemaskan disaat Rainy marah.

"Cieee, Mamanya Una marah," ledeknya.

"Situ yang nikah sama Bapaknya kenapa aku yang jadi Mamanya?" geram Rainy.

Hulwa tiba-tiba terbatuk tersedak air liurnya sendiri, ingin ngakak tapi dia tahan selain masih dalam keadaan berkabung dia juga takut kalau Rainy ngamuk gak jelas.

"Kan cuma simbol doang dipanggil Mama, nanti juga akan terbiasa, biar Una merasa jika banyak yang menyayangi dia," balas Hulwa akhirnya.

Rainy cuman terdiam tidak mau menanggapi lagi, pagi ini dia benar-benar dibuat kesal oleh kakaknya sendiri.

Kini Rainy sudah selesai mengepak barangnya yang cuman beberapa lembar pakaian, menghiraukan Hulwa yang masih duduk di kasur, Rainy melangkah keluar.

"Mama ..." panggil Una tiba-tiba menghentikan langkahnya, bahkan Hulwa tidak menduga jika Una benar-benar memanggil Rainy dengan sebutan Mama, dan entah mengapa ada rasa yang berdesir dihati Rainy.

Kembali Rainy melanjutkan langkahnya tanpa menoleh lagi ke ruang keluarga dimana semuanya berkumpul.

"Kamu sudah siap?" tanya Pak Ridwan.

"Iya Paman."

"Hmmm, Ai. Sebaiknya kamu pamit dulu sama Nak Vano," ujar Ibunya.

Kembali Rainy terlihat bingung mengerutkan dahinya tanda tak mengerti, "Kan sudah ada kalian, ngapain harus pamit lagi. Lagian Kak Vano masih bersemedi di kamarnya."

"Hujaaaan!! " tegur Pak Munif, Ayahnya sangat suka memanggilnya dengan hujan itulah mengapa dia memberi nama Rain karena lahir saat hujan turun dikala senja. jadilah sang Ayah memberinya nama Rainy senja.

"Tapi kan yang tuan rumah disini Nak Vano, Nak." lanjut Ibunya lagi.

"Aku takut, Bu. Takut ganggu Kak Vano bersemedi."

"Astaghfirullah Hujaan! Kalau uang jajan aja secepat kilat. bukannya menghibur tapi meledek terus, dendam apa sih kamu sama Nak Vano?" geram Pak Munif. Dia sungguh heran melihat kelakuan anak bungsunya jika bersama Vano, jarang bertemu tapi sekali bertemu saling meledek.

Kedua mertuanya hanya bisa tersenyum menggelengkan kepala, begitulah Rainy jika bertemu Vano, dia hanya mendekat jika meminta sesuatu, jajan misalnya. Jarang sekali bertemu tapi sekalinya mereka bertemu Vano sering kali menjahilinya dan terjadilah saling meledek bahkan Rainy sering ngambek dan nangis dibuatnya, mereka gak dekat tapi jika berpapasan pasti akan terjadi perang.

"Dicoba saja Nak," sela Ibu Kemala, mertuanya.

Dengan langkah malas Rainy berjalan kearah kamar Vano dan Tika, sebelum mengetuk pintu, Rainy menoleh ke ruang keluarga.

"Diketuk aja, Ai."

Dengan Ragu Rainy mengetuk pintu kamar sang tuan rumah namun ketukan pertama tidak ada respon, ketukan kedua tetap tidak ada respon, Rainy kembali menoleh kearah keluarganya, "Tuh kan? gak direspon, lagi serius bersemedi," ucapnya mengerucutkan bibirnya, tapi yang didapat malah kekehan keluarganya.

"Malah ngetawain," gumamnya.

"Memang siapa yang bersemedi?" tegur suara maskulin dari arah belakangnya, sontak Rainy memejamkan matanya karena kedapatan meledek sang tuan rumah. perlahan Rainy kembali memutar badannya menghadap Vano yang hanya memakai handuk melingkari setengah badannya membuat Rainy terkejut refleks menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. tapi hanya sebentar.

Rainy yang salah tingkah hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Anu .. itu .. eee .. "

"Eeee ... eee.. apa?" sentak Vano melipat tanganya didepan dadanya.

"Pake baju dulu kek," gumam Rainy.

"Gimana mau pake baju kalau sementara mandi kamu sibuk gedor-gedor," kilah Vano.

Semua yang berada di ruang keluarga hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan pasutri baru itu.

Vano kembali melangkah masuk ke dalam kamarnya meninggalkan Rainy yang terbengong, pasalnya dia baru mau ngomong kalau mau pamit malah ditinggal.

Tidak berselang lama Vano kembali keluar sudah mengenakan pakaian santai dan ditangannya terlihat beberapa lembar uang kertas berwarna merah lalu menyodorkannya kearah Rainy, seperti sebelum-sebelumnya, membuat senyum Rainy merekah.

"Nih uang jajan kamu," ucap Vano.

Dengan senang hati Rainy menerimanya, "Makasih Kakak yang nyebelin, sebenarnya aku ngetuk itu cuman mau pamit sekarang juga balik ke Bandung, ga ada niat loh minta jajan."

Vano seketika terdiam melupakan satu hal, dia lupa jika kemarin telah menikah dengan Rainy.

"Haluuuu, kok bengong?" tegur Rainy.

Refleks Vano menarik tangan Rainy masuk ke dalam kamarnya, tentu saja Rainy sangat terkejut. ini yang pertama kalinya dia masuk ke dalam kamar Kakaknya.

"Apaan sih tarik-tarik," pekik Rainy yang masih dalam mode terkejutnya.

Tanpa bicara Vano kembali menarik uang yang diberikan tadi kepada Rainy.

"Kok?" membuat Rainy semakin bingung.

Vano membuka laci nakas yang berada di samping tempat tidurnya dan mengambil salah satu kartu saktinya.

"Pakai ini saja," ucapnya menyerahkan kartu ATMnya ke Rainy sebagai pertanggung jawabannya menafkahi adik gadisnya yang baru 24jam dinikahinya.

"Nanti aku WA no PINnya." lanjutnya lagi.

Semakin bingunglah Rainy dengan segala pikirannya.

"Apa ini?" gumamnya menujukkannya ke Vano.

"Kamu bisa liat sendiri, kamu tidak butakan?" ledek Vano.

"Ya Allah, bisanya bikin kesal aja udah tuwir juga kelakuan kek ABG, maksud aku tuh kenapa pakai kartu bukan yang tunai, balikin aja yang tadi," kesalnya namun tidak digubris oleh Vano.

"Pakai untuk hal-hal yang berguna, untuk kebutuhan kamu juga, jangan jajan sembarangan," Ucap Vano membalikkan badan Rainy memegang pundaknya dari belakang dan mendorongnya keluar dari kamarnya.

"Ih, jangan dorong dong," pekik Rainy.

"Hati-hati dijalan," ucap Vano melepaskan tangannya setelah Rainy keluar dan kembali mengunci diri di dalam kamar.

"Ipar ga ada akhlak emang," teriak Rainy di depan pintu kamar Vano.

"Hujaan!!" tegur ayahnya.

Rainy kembali ketempat duduknya semula dengan menghentak-hentakkan kakinya di lantai karena kesal.

"Emang Vano ngapain kamu sampai kesal begitu, Nak?" tanya Pak Birendra, Bapak mertuanya.

"Kak Vano aneh deh Om, masa uang yang dikasih ke aku diambal lagi terus di kasi ini," jelasnya memperlihatkan kartu ATM milik Vano.

"Harusnya senang loh dikasi ATM, isinya pasti banyak itu dibanding uang jajan yang biasanya," timpal Hulwa yang baru saja bergabung bersama mereka.

Tidak tau saja si Rainy jika isi dari ATM itu tempat masuknya semua gaji Vano tiap bulannya sebagai dokter merangkap direktur Rumah sakit. Dan sekarang isi ATM itu nominalnya tidak tanggung-tanggung.

"Tapi aneh aja Teh, memangnya Teteh gak marah kak Vano ngasih aku kartu ATM secara kan Teteh udah jadi isterinya Kak Vano." ujar Rainy merasa tidak enak.

Semua yang berada disana hanya menunduk menahan tawa sedang Hulwa ingin rasanya menjerit mengatakan, "bukan aku Neng tapi kamu."

Kini semua terdiam melihat tingkah Rainy yang menggemaskan dimata mereka. Vano yang baru keluar dari kamarnya membuat semuanya menolehkan pandangan kearahnya dengan bertanya-tanya dalam hati karena melihat penampilam Vano yang sudah rapi melangkah ke ruang keluarga.

"Kok masih disini, kirain udah nyampe di Bandung," kelakar Vano kearah Rainy.

Lagi-lagi semua yang melihat mereka hanya bisa menggeleng kepala.

"Maksud lo?" balas Rainy menggertakkan giginya kesal.

Lagi Vano menghiraukannya dan beralih kearah keluarganya. Rasanya menjahili Rainy bisa menghilangkan rasa sesaknya, merasa lucu saja melihat wajahnya yang menggemaskan disaat kesal. Apalagi disaat Rainy merajuk kepadanya jika Tika tidak memberikan uang jajan padanya.

"Sebelum ke Bandung, bagaimana kalau kita membesuk bayiku dulu Paman, kebetulan aku mau ke rumah sakit sebentar, nanti paman dijemput disana saja sama mobil jemputan," Ajak Vano.

Sejenak Pak Ridwan melirik jam tangannya dan memandang Rainy, "boleh."

"Bapak dan Ibu gak bisa ikut ya, masih ada yang mau dikerjakan," timpal Pak Birendra.

"Ayah dan Ibu juga, Nak. Mau bantu-bantu disini, kalian saja duluan, nanti kami menyusul jika masih sempat," Pak Munif ikut menimpali.

Akhirnya Pak Ridwan beserta isteri Bu Hamida dan juga Rainy ikut ke rumah sakit menjenguk bayi yang masih dalam perawatan si ruang NICU rumah sakit.

Tidak butuh waktu lama akhirnya mereka tiba di rumah sakit, Vano menuntun mereka ke ruang NICU dimana bayinya dirawat.

Dari luar kaca mereka bisa melihat bayi yang sangat kecil di dalam Inkubator.

Terbersit rasa iba dihati Rainy melihat bayi mungil itu, air matanya kini mengembun mengingat cerita Hulwa bagaimana perjuangan tetehnya menyelamatkan bayinya.

Sementara Vano masuk ke ruangan itu dengan memakai pakaian khusus, entah membicarakan apa dengan dokter anak yang berjaga di ruangan itu. Setelahnya Vano kembali keluar dan menarik tangan Rainy untuk memakai pakaian khusus dan masker. Ingin Rainy bertanya mengapa dirinya diajak masuk, tapi entah mengapa mulutnya enggan mengatakannya.

Mendekat kearah Inkubator air mata Rainy sudah tidak terbendung lagi, begitu juga dengan Vano menahan segala sesak di dadanya.

Seorang perawat menghampiri mereka dan membuka inkubator itu lalu mengeluarkan si bayi dan menyerahkannya kepada Vano.

Luruh sudah air matanya mendekap bayinya yang berjenis kelamin laki-laki itu.

"Kamu ingin menggendongnya?" tawar Vano.

Sejenak Rainy tertegun, "Ak .. aku takut Kak, nanti jatuh."

"Kamu harus belajar menggendongnya, kelak kamulah nanti yang merawatnya," gumam Vano yang lagi membuat Rainy kebingungan dengan ucapannya.

"Siniin tangan kamu."

Raini begitu saja menerima bayi mungil itu kedalam gendongannya dibantu oleh perawat tadi, melihat dari dekat rasanya membuat dada Rainy bergemuruh.

"Nama kamu siapa sayang?" gumamnya.

"Apa kamu ingin memberi dia nama?" tanya Vano.

Entah sudah keberapa kalinya Rainy dibuat bingung oleh semua keluarganya terutama Hulwa dan Vano.

"Kok aku? bukannya yang berhak memberi nama itu Kakak sendiri dan juga Teh Hulwa, kalian kan sudah menikah."

Vano hampir saja tersedak oleh air liurnya sendiri "Ternyata kemarin dia mengira aku menikahi tetehnya," batin Vano menahan senyumnya.

"Aku berikan kamu kesempatan memberikan dia nama."

"Enggak ah, nanti Teh Hulwa kecewa karena dialah yang berhak." tolak Rainy.

"Pikirkan nama yang baik untuknya," putus Vano.

Selalu begitu, Vano selalu memberikan keputusan yang tidak bisa ditolak oleh Rainy tanpa memikirkan kebingungan Rainy.

"Kak ..!"

"Apa kamu sudah mendapatkan nama yang baik?"

"Mengapa harus aku?"

"Waktu kita hanya sedikit, sebentar lagi mobil jemputanmu datang, pikirkanlah nama yang baik untuknya," tegas Vano.

Rainy tidak tau lagi harus berkata apa, seandainya tidak ada bayi dalam gendongannya mungkin dia sudah menedang tulang kering Vano yang sungguh menyebalkan menurutnya, untung saja mereka bertiga Tika dan Hulwa sempat memperbincangkan nama bayi yang akan di berikan ke anaknya kelak.

"Bundanya pernah bilang ke Kakak kalau kamu ada saran nama, Hulwa juga, tapi aku memintanya ke kamu," lanjut Vano lagi.

Rainy terdiam sejenak memikirkan nama yang pernah dia persiapkan itu.

"Kalau kakak tidak suka bagaimana?" tanya Rainy ragu.

"Kalau jelek nanti aku ganti," balas Vano yang menahan senyumnya melihat wajah Rainy yang kesal.

"ESHAN EVANO FAEYZA."

"Evano?" gumam Vano karena ada kemiripan dengan namanya.

"Kalau gak suka di ganti aja Kak," ujar Rainy merasa tidak enak.

"Aku suka, nama yang bagus artinya apa?"

"Anak laki-laki kesayangan Tuhan yang menjadi anugerah terindah dan penuh kesuksesan.

"Wow, nama yang bagus, makasih," ucap Vano mengusap kepala Rainy.

"Manggilnya EZA aja ya Kak biar tidak ribet belibet."

"Oke."

Perawat kembali mengambil baby EZA dari gendongan Rainy dan meletakkannya ke dalam inkubator.

Mereka pun keluar dari Ruang NICU, ada rasa yang membuncah dihati Rainy karena dipercayakan oleh Vano memberi nama untuk anaknya.

"Kamu kapan ujian akhir?" tanya Vano setelah mereka keluar dari ruang NICU.

"Insyaa Allah bulan depan, Kak."

"Kamu lanjut aja di Jakarta ya?" pinta Vano.

Rainy seketika menghentikan langkahnya berbalik melihat Vano yang hampir menabrak dirinya.

Sungguh Rainy tidak bisa menerima permintaan Vano dia tidak ingin meninggalkan Bandung karena ada sesuatu yang akhir-akhir ini membuat jantungnya berdebar hebat.

"Maaf aku tidak bisa."





Next.....

Continue Reading

You'll Also Like

50.9K 5.9K 27
End Part Lengkap Cerita ini hanya fiktif belaka mohon maaf apabila terdapat persamaan nama tokoh tempat dan lainnya. #1 Algis (Juni _juli 2021) #2 Al...
931K 86.1K 67
(18+) Marriage Life. Nggak ada adegan berbahaya, tapi banyak jokes dewasa. ------- Spin-off dari "Mendadak Mama". Tapi kalian nggak harus baca MM dul...
292K 13.6K 41
Aku tak pernah menyangka dalam hidupku bisa menikah dengan dia, orang yang ku suka sejak lama, meskipun aku hanya sebagai pengganti pacarnya yang per...
892K 54.3K 43
Kalluna Ciara Hermawan memutuskan untuk pulang ke kampung Ibu nya dan meninggalkan hiruk pikuk gemerlap kota metropolitan yang sudah berteman dengan...