Supranatural High School [ En...

By rainsy

2.6K 91 35

Mereka berpikir, aku gila. Aku selalu diasingkan. Bahkan orangtuaku sendiri pun sampai pernah mengirimku ke R... More

Kertas Selebaran
Teror (1)
TEROR (2)
Malam Satu Suro (1)
Malam Satu Suro (2)
Selamat Berjuang
Ujian Masuk
Pintu Rahasia
Peraturan Sekolah
Dia Telah Kembali
Topeng yang Terlepas
Kisah Lampau
Kutukan Sedarah
Gerhana Bulan
Hari yang Baru
Pelatihan
Museum yang Terabaikan (Noni Belanda)
Museum yang Terabaikan (Penjajah)
Bangkitnya Cay Lan Gong
Kesurupan Massal
Ritual
Rajah
Makanan Sesaji
Segel Pentagram
Gerbang Gaib
Gending Jawa
Dedemit
Arthur Samuel (Khodam)
Baron Bagaskara
Dylan Mahardika
Ziarah
Welthok
Kelas Utara
Timur & Barat
Kelas Selatan
Helga Maheswari
Santet
Timbal Balik
Jenglot
Kuncoro
Umpan
Hira
Kuntilanak Merah
Taktik Licik
Penyelamatan
Jerat
Lolos
Membunuh atau Dibunuh
Tugu
Mata Batin

Ernest Prasetyo

3 0 0
By rainsy

Sebuah delman yang tengah meniti jalanan beraspal di Ibukota, tampak berhenti bergerak di pertigaan jalan menuju pemukiman penduduk. Saat memastikan sang penumpang sudah turun dari kendaraan umum yang kerap dijadikan ciri khas jika ingin berjalan-jalan di kota Gudeg tersebut, barulah Sang Kusir mulai memacu kembali kuda peliharaannya.

Pemuda Tionghoa yang baru saja melepas kepergian tumpangannya itu, tampak enggan mengayunkan kakinya maju memasuki sebuah gang menuju rumahnya. Jika saja ada tempat persinggahan lain untuknya pulang, tentu salah satu Siswa SHS itu tidak akan mau untuk menghabiskan masa liburannya di rumah. Namun apalah daya, ia masih anak sekolah yang hidupnya masih ditanggung oleh kedua orangtuanya. Meski enggan, Ernest harus tetap menunjukan batang hidungnya pada ayah dan Ibunya. Paling tidak, hanya untuk sekadar menunjukan rasa hormatnya.

Ernest mendesah pelan ketika mendapati sang Ibu ; Yeyen tengah bergosip dengan para tetangga tepat di depan sebuah gerobak pedagang sayur yang biasa berjualan di sana. Mendengar topik yang mereka bahas adalah prestasi yang diraih oleh anak-anak mereka, Pemuda sipit itu memilih untuk mencari aman. Dengan berpura-pura tak melihat keberadaan mereka, Ernest berjalan menuju rumahnya yang berjarak dua meter dari tukang sayur yang mangkal tersebut.

Sembari menundukan kepalanya, indera rungu Ernest mendengar bahwa Bu Vani baru saja mendaftarkan anaknya di sebuah perguruan tinggi ternama di Yogyakarta. Tak ingin kalah, Bu Lia juga ikut berseloroh bahwa nanti setelah lulus SMA, Edrick anaknya juga akan dikuliahkan di sana dan akan mengambil jurusan kedokteran.

Merasa impian tetangga samping rumahnya itu terlalu tinggi, Bu Yeyen menegurnya. "Emangnya yakin, Bu? Mau nguliahin Edrick ke fakultas Kedokteran?"

"Lho, emangnya kenapa toh, Bu Yeyen? Suami saya 'kan Direktur di Perusahaan besar, yang gajinya juga besar. Kalo cuma nguliahin anaknya ke fakultas kedokteran, itu mah gampang. Hal yang sepele." celetuk Bu Lia yang disambut anggukan oleh Bu Yeyen, Bu Vani serta Bapak pedagang sayur keliling tersebut.

"Ooh ..., ya kalo soal uang sih, saya gak raguin lagi. Bu Lia itu pasti mampu biayain Edrick kuliah di mana pun. Cuma, yang jadi pertanyaan saya, apa otak Edrick bakal kuat, kuliah di tempat yang setiap harinya harus berkutat dengan rumus juga darah dan hal menjijikan lainnya? Karena setahu saya ..., kata Ernest dulu, waktu SMP, Edrick sering ngeluh sakit kepala saat guru ngasih ujian dadakan. Terus Edrick juga pernah sampe muntah-muntah, mendadak panas dingin badannya saat disuruh ngebedah seekor katak." seloroh Bu Yeyen yang disambut tawa renyah oleh orang-orang yang berkerumun di sana.

Melihat tawa lebar satu persatu lawan bicaranya, mimik wajah Bu Lia mendadak muram, ada rona kesal di parasnya. Namun kala ekor matanya memergoki Ernest yang hendak membuka pintu gerbang rumah dengan mengendap-endap, Bu Lia tersenyum culas. "Eh, Ernest! Baru kelihatan lagi kamu, Nest. Emang sesibuk apa sih sekolah baru kamu itu? Kamu 'kan bukan lagi sekolah Tentara, tapi kok bisa ya hampir satu tahun gak pulang ke rumah?" selorohnya membuat Pemuda berwajah kecil itu mau tak mau memamerkan senyumannya, lantas balik menyapa semua orang dengan membungkukan tubuh kurusnya.

"Iya, Bu. Maklumin aja. Namanya juga Sekolah Asrama. Jadi selain nuntut ilmu buat kepintaran otak, di sana juga saya disibukan menimba ilmu untuk menambah kepintaran hati." sahut Ernest tanpa mengurangi garis lengkung di bibirnya.

"Kalo boleh tau, SHS itu sekolah opo toh? Kok aku baru denger ya? Sayang banget loh. Padahal 'kan waktu SMP, kamu selalu jadi juara. Punya nilai-nilai yang bagus. Tapi kok lanjutin sekolahnya malah di tempat yang gak terkenal. Sekolah kamu bisa ngejamin bikin kamu jadi Dokter atau Pengusaha, ndak?" tanya Bu Lia memancing emosi Bu Yeyen yang lekas menghampiri anaknya, untuk kemudian memintanya segera memasuki pekarangan rumah.

"Sekolah apapun itu, mau terkenal atau tidak, gak akan bisa ngejamin anak didiknya akan selalu menjadi orang sukses, kalo muridnya itu punya sifat pemalas. Tapi Bu Lia gak perlu khawatir, karena dengan melanjutkan pendidikan di tempat saya sekolah saat ini, ke depannya saya pasti akan menjadi orang yang berguna bagi sesama atau bahkan mungkin saya akan bisa menyelamatkan dunia."

"Oalaah ..., masa iyo? Emangnya setelah lulus dari SHS kamu bisa jadi opo toh?" tanya Bu Lia lagi dengan nada bicaranya yang menantang.

"Ultraman." timpal Ernest sedetik sebelum bergegas memasuki huniannya.

Mendengar jawaban asal dari anak Miss Perfect seperti Bu Yeyen, membuat wajah Bu Lia seakan mengalami kram, rahangnya tiba-tiba saja mengeras, bibirnya yang ingin mengucapkan kata-kata kasarpun seolah tertahan oleh sesuatu. Sementara ibu-ibu lain yang tengah berbelanja di sana justru kompak tertawa cekikikan.

©Rainsy™


Bukan tanpa alasan wanita yang telah melahirkan Ernest itu dijuluki Miss Perfect oleh para tetangganya. Pasalnya, sejak muda dulu, hidup Bu Yeyen terlihat sangat sempurna. Sejak kecil dulu, Bu Yeyen memanglah perempuan yang memiliki otak cermelang dalam dunia pendidikan. Banyak sekali prestasi-prestasi yang telah dicapainya semasa muda dulu. Bahkan berkat kecerdasannya, Bu Yeyen sampai pernah mewakili Indonesia dalam perlombaan Sains Internasional semasa SMA dulu, dari tempat ituah ia bertemu dengan tambatan hatinya yang kini telah menjadi suaminya bernama Dokter Prasetyo. Namun sayangnya, setelah melangsungkan pernikahan, keluarga Bu Yeyen yang tampak sempurna itu seolah mendapat musibah beruntun.

Mendiang orangtua Bu Yeyen yang merupakan pengusaha, mengalami kebangkrutan dan meninggalkan banyak utang. Selang beberapa waktu kemudian Dokter Prasetyo pun mengalami kecelakaan lalu terluka parah. Karena satu kakinya telah divonis lumpuh, mau tak mau Dokter Prasetyo juga akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari Rumah Sakit yang telah mempekerjakannya. Anak pertama Bu Yeyen dan Dokter Prasetyo ; Meimei yang tersohor kegeniusannya pun nahasnya bernasib buruk. Karena ia ditemukan tewas gantung diri setelah semua orang tahu bahwa ia telah hamil di luar nikah.

BUGH!

Dengan sekuat tenaga, Bu Yeyen memukul punggung anaknya yang dirasa kelewatan. Meski hanya dengan tangan kosong, namun rasa panas yang menjalar  di bagian belakang tubuhnya tersebut cukup membuat Ernest melenguh.

"Aawww ..., sakit, Ma!" protesnya meringis menahan sakit.

"Kamu ini, bisa-bisanya nyahutin Bu Lia kayak gitu! Ultaman-ultraman. Apa hebatnya jadi Ultraman? Dengan jadi Ultraman, apa bisa kamu nanggung biaya hidup kita sekeluarga? Apa bisa beliin Mama rumah yang besar dan mewah?!"

"Mulai deh. Kenapa sih yang ada dipikiran  Mama itu selalu materi-materi dan materi?" Ernest yang kesal dengan penyambutan tak semestinya tersebut, membantingkan tas jinjing yang dibawanya di teras rumah; ngambek. "Lagian, Ultraman itu bukan cuma tokoh pahlawan anak-anak doang ya. Ultraman juga punya definisi lain. Ultra artinya kekuatan atau kelebihan. Dan Man itu manusia. Aku ingin menjadi Manusia yang memiliki kelebihan ataupun kekuatan yang dapat melindungi keluarga kita juga makhluk hidup lainnya."

"Itu definisi yang keren, Nest." timpal seorang pria yang sebagian rambut di kepalanya berwarna putih itu, muncul dari dalam rumah dengan menggunakan sebuah kruk untuk berjalan.

Melihat Sang Ayah tampak kesusahan hendak duduk di serambi rumah, dengan gerakan cepat Ernest segera membantunya. Setelah memastikan Dokter Prasetyo telah nyaman duduk di balai-balai yang terbuat dari kayu papan tersebut, Ernest mencium punggung tangan ayahnya lembut.

"Gimana kabar kamu, Nak?" tukas Dokter Prasetyo bertanya saat menyadari muka masam di wajah putranya tak kunjung pudar.

"Cukup baik. Oh, iya. Ini, Ernest punya sesuatu buat Baba. Tolong diterima. Ini gak seberapa sih, tapi cukuplah untuk nambahin modal Baba buat bikin Apotik herbal kayak apa yang udah lama Baba impikan." sahut Ernest seraya menyerahkan setumpuk uang bernilai ratusan ribu pada ayahnya. "Ernest masuk dulu, ya?" imbuhnya berpamitan.

Sepasang netra sipit milik Bu Yeyen mendelik lebar melihat begitu banyak uang yang kini dalam genggaman tangan suaminya. Seakan tersulut sesuatu, Bu Yeyen bergegas mengejar Ernest.

"Dari mana kamu dapat uang sebanyak itu, Nest?! Mama nyuruh kamu buat sekolah yang bener ya. Bukannya nyari uang. Kalo mau bantu perekonomian orangtua itu ada waktunya. Tapi bukan sekarang. Kok pulang dari sekolah kamu malah dapat uang sebanyak itu? Apa jangan-jangan sebenernya kamu ini gak sekolah ya? SHS itu cuma nama sekolah karanganmu saja?!"

Ernest memutar bola matanya jengah. Menghela napas panjang kemudian menjawab, "Aku beneran sekolah, Ma. Cuma aku juga kerja sampingan. Dan itu gaji dari hasil kerja aku. Tenang aja. Uangnya halal kok. Mama juga bisa minta sebagian buat bayar utangnya Omah."

Alih-alih dibuat terenyuh hatinya oleh kebaikan sang putra, Bu Yeyen justru tampak meradang. "Kerja sampingan kamu bilang?" Bu Yeyen membuang napasnya kasar. "Pendidikan itu nomor satu ya, Nest. Kalo fokus kamu aja kebagi sama kerja sampingan kamu itu, terus gimana kamu bisa dapet nilai yang bagus di sekolah?"

"Mama gak perlu cemas. Nilai akademik aku masih aman kok. Aku masih jadi rangking satu di kelas." aku Ernest setelah meneguk segelas air putih dingin dari dalam kulkas yang berada di ruang tengah. Melihat tak ada sedikitpun rona kepercayaan di wajah sang Ibu, Ernest pun mendesah pelan kemudian segera berjalan kembali menuju teras.

Ernest mengobrak-abrik isi tas jinjing yang tadi ditinggalkannya untuk mencari sebuah benda. Ketika ia berhasil menemukan sebuah buku tebal bersampul hitam dengan logo sekolah SHS yang dilapisi tinta emas di sana, Ernest segera memberikannya pada sang  Ibu.

"Nih, kalo gak percaya periksa aja sendiri nilainya." ujarnya sebelum memilih untuk menenteng tasnya masuk ke dalam kamar.

Masih dengan mimik muka yang kurang menyenangkan untuk dilihat, Bu Yeyen mulai berkonsentrasi membaca kalimat demi kalimat paragraf yang terdapat dalam buku rapot tersebut.

"Harusnya kamu jangan terlalu keras seperti itu pada Ernest. Cuma dia loh satu-satunya harapan yang kita miliki. Gak baik memperlakukan anak yang baru pulang ke rumah seperti tadi. Bukannya langsung disediakan makanan enak, kamu malah mengomelinya." nasihat Dokter Prasetyo dengan nada bicaranya yang lembut.

Entah didengar atau tidak, Bu Yeyen yang terlalu khusyuk memeriksa tiap nilai yang Ernest peroleh dalam banyaknya pelajaran di SHS, tak sedikitpun merespon omongan sang suami. Ketika Bu Yeyen mendapati ada dua nilai B tercetak jelas dalam lembaran nilai dari puluhan pelajaran sekolah, wanita itu segera masuk ke dalam kamar Ernest.

"Kenapa pelajaran olahraga dan agama kamu nilainya B?"

Melihat sang Ibu dengan begitu sarkasnya menanyakan hal itu, Ernest yang rupanya hendak beristirahat pun berdecak kesal. Dengan berat hati, Ernest mengubah posisinya yang semula tengah rebahan untuk bangkit dari ranjang. "Emang apa yang salah dengan nilai B? Toh, nilai pelajaran lainnya aku masih dapet nilai A, kok." sahut Ernest datar.

"Ini pasti gara-gara kamu sekolah sambil kerja. Makanya nilai kamu gak memuaskan kayak gini. Harusnya semua pelajaran kamu bisa dapet nilai A."

"Kalo semua pelajaran aku dapet nilainya A, aku gak bakal jadi seorang murid sekolah lagi, Ma. Tapi aku pasti udah jadi seorang guru atau Dosen!" timpal Ernest dengan nada bicaranya yang meninggi.

"Ernest! Kamu udah berani ya, ngomong tinggi sama Mama?!"

"Orang Mama duluan yang mancing-mancing aku. Mama gak bisa nuntut aku buat jadi perfect, Ma. Aku ini manusia. Aku juga punya kebutuhan lain selain pendidikan. Aku punya keinginan berbeda dengan apa yang Mama impikan."

"Tapi pendidikan itu tetap hal paling utama, Nest. Mama tegas begini ke kamu juga semata-mata buat kebaikan kamu. Demi masa depan kamu! Mama nuntut kamu harus ini, harus itu. Itu semua adalah pilihan terbaik Mama buat kamu!"

"Yang terbaik buat Mama belum tentu juga itu yang terbaik buat aku. Udahlah, Ma. Stop maksain kehendak Mama ke aku. Ernest udah gede loh. Ernest bukan anak kecil lagi yang harus selalu disuapin sama Mama. Biarin Ernest nentuin masa depan Ernest sendiri." pinta Ernest dengan nada naik-turun, berusaha untuk meredam emosinya agar tidak meletup-letup lagi.

Namun hal yang berbeda justru ditunjukan oleh Bu Yeyen yang malah salah tangkap dengan apa yang Ernest katakan. "Dasar anak tidak tahu diri! Disekolahin bener-bener, malah jadi gini. Hebat kamu ya, udah bisa ngelawan Mamamu sendiri. Ini juga pasti imbas dari kamu yang masih temenan sama Baron. Atitude anak itu 'kan emang kurang baik sama yang lebih tua. Harusnya kamu itu ...."

"Stop, Ma! Stop!! Kenapa Mama malah bawa-bawa temen aku segala sih? Baron gak salah ya. Dia punya alasan tersendiri kenapa dia bersikap kaya gitu ke Bibinya.  Mama gak boleh nge-judge orang sembarangan. Karena penilaian Mama itu gak selalu benar."

"Oh, jadi sekarang kamu ngeremehin Mama? Kamu itu anak kemarin sore. Mama jauh lebih berpengalaman menilai sesuatu. Mama bisa dengan mudah melihat mana yang baik dan yang buruk dalam menentukan pilihan. Kamunya saja yang tidak peka. Kamu tidak bisa memilah dengan baik mana saja teman yang bisa menguntungkan buat kamu."

"Kalo penilaian Mama selalu benar. Dan kalo Mama selalu bisa ngambil keputusan yang terbaik, Cece gak akan mungkin mati bunuh diri, Ma!"

Bak tersengat ratusan volt aliran listrik, Bu Yeyen dibuat kelabakan kala Ernest tiba-tiba saja mengungkit perihal kematian kakak perempuannya, Meimei.

"Cece meninggal itu gara-gara Mama! Andai Mama gak maksa Cece buat gugurin kandungannya, Cece gak mungkin ngambil jalan pintas buat mengakhiri hidupnya! Mama terlalu Bossy! Seakan-akan hidup aku dan Cece itu cuma milik Mama dan hanya Mama yang bisa ngatur pilihan hidup kita."

PLAKKK!!

Sebuah tamparan mendarat keras di pipi kiri Ernest. Bahkan saking kerasnya tamparan itu sampai membekas merah pada kulit Ernest yang putih. Dokter Prasetyo  yang semula hanya diam melihat pertengkaran Ibu dan anak itu dari teras rumah, bergegas mendatangi mereka.

"Jaga mulut kamu, Nest. Jaga bicara kamu sama Mama!" Sentak Bu Yeyen dengan menunjuk-nunjuk putra sematawayangnya tersebut.

"Ma! Udah, Ma. Jangan begini. Kamu udah berlebihan." tegur Dokter Prasetyo dengan menarik-narik lengan istrinya, bermaksud hendak membawanya keluar. Namun dengan kasarnya, Bu Yeyen melepaskan rangkulan Sang suami.

"Kamu pikir, cuma kamu yang terpukul karena kematian Meimei sepuluh tahun lalu? Mama juga sama terlukanya, Nest! Tapi jika saja saat itu Meimei mau menuruti saran Mama, mungkin saat ini dia masih bisa bersama-sama dengan kita. Dan dia bisa mendapatkan pekerjaan bagus karena prestasinya yang mumpuni."

Mendengar tak ada sedikitpun rasa bersalah yang terlihat dari retina mata lawan bicaranya, Ernest menggeleng lemah. "Mama memang berpendidikan. Tapi sepertinya cuma otak Mama yang pandai. Sedangkan hati nurani Mama, minus." ungkap Ernest sesaat sebelum dirinya melengos pergi memasuki kamar lain yang berada di samping kamar miliknya.

Untuk yang kesekian kalinya, Bu Yeyen dibuat tercengang oleh ucapan kasar putranya sendiri. Ernest benar-benar sudah berubah. Semakin ke sini Ernest semakin  susah diatur. "Ernest! Mau ke mana kamu?! Mama belum selesai bicara! Apa maksud kamu mengatai Mama seperti itu?! Ernest?!!" Dengan membabi buta, Bu Yeyen terus menggedor-gedor pintu kamar yang tadi Ernest kunci dari dalam. Memintanya untuk membukakan pintu dan menjelaskan maksud dari perkataanya tadi.

Tak ingin istrinya melakukan kesalahan yang sama, Dokter Prasetyo  kembali membujuk Bu Yeyen agar mau ikut bersamanya untuk menenangkan diri lebih dulu.

"Kamu tahu? Alasan kenapa Ernest seperti itu sama kamu? Itu semua karena kamu sama sekali belum memberikan anak kita waktu untuk beristirahat. Ernest itu capek, Ma. Biarin dia istirahat dulu. Setelah dia istirahat, maka kita bisa bicarakan lagi semua ini dengan kepala dingin. Ayo, kemari. Ikut aku."

Dengan langkah terseok karena harus merangkul istrinya sembari berjalan terpincang-pincang, Dokter Prasetyo menguatkan diri agar bisa memapah istrinya menuju meja makan.

Meski kakak beradik, namun perbedaan usia antara Meimei dan Ernest yang cukup jauh, membuat hubungan mereka tak sedekat kakak beradik lainnya. Terlebih lagi, Kakak Perempuan Ernest tersebut cenderung orang yang  introvert. Hal itu seolah menjadi dinding transparan bagi Ernest untuk bisa lebih dekat dengan kakaknya. Dan saat kejadian nahas itu dialami oleh Meimei, umur Ernest barulah tujuh tahun. Ia yang masih anak-anak dan belum paham tentang problema yang dialami Meimei, menjadi orang pertama yang menemukan sang Kakak tewas gantung diri di kamarnya. Ernest dibuat terguncang menyadari bahwa sang kakak nekad mengakhiri hidupnya setelah sebelumnya bertengkar hebat dengan sang Ibu.

Setelah tragedi itu terjadi, Ernest kecil bahkan sampai dirawat beberapa hari di Rumah Sakit karena syok berkepanjangan. Dan sampai saat ini, setiap kali beradu argumen dengan Sang Ibu, Ernest selalu saja melarikan diri dan memilih untuk mencari ketenangan di dalam kamar mendiang kakaknya. Berharap, sang Kakak yang telah tiada akan hadir memeluknya. Namun hal itu tak pernah terjadi. Ernest tak pernah melihat sang Kakak hadir di dalam kamar tempatnya mengembuskan napas terakhir. Bahkan, dalam mimpi sekali pun Meimei tak pernah datang menyapa Sang Adik. Padahal, Ernest sudah cukup lama merindukan sosoknya.

Dengan mata yang terbalut likuid bening, Ernest menatap nanar pada sebuah foto seorang gadis yang berada di atas meja belajar. Jemari tangan kanannya yang membelai pigura tersebut, bergerak lembut mengusap tiap mili gambar kakaknya yang cantik itu. Ketika hatinya sedang berkabung duka, sesuatu yang dingin mendadak menyentuh bahu kirinya. "Sepertinya, sekarang aku tahu seberapa tertekannya menjadi kamu, Ce." lirih Ernest yang dengan perlahan memutar tubuhnya menghadap ke belakang.

Setelah sekian lama. Setelah 10 tahun berlalu, sosok yang sangat ingin ditemuinya akhirnya muncul juga. Sosok lelembut yang wujudnya sama persis dengan apa yang ada dalam gambar, kini telah berdiri berhadapan dengan Ernest.

Tak ada yang berubah pada diri Meimei yang kini tengah ditatapnya. Wajahnya yang rupawan, postur tubuh remajanya yang bak seorang model, dipadupadankan dengan pakaian cheongsam khas cina warna merah yang dikenakannya, membuat kerinduan Ernest semakin membuncah. "Cece, kamu cantik sekali. Dan awet muda." puji Ernest disela airmatanya yang mulai berjatuhan membasahi kedua pipi.

Sosok astral yang sebaya dengan pemuda Tionghoa tersebut mengulas senyumnya manis. Lalu mengusap kepala Ernest penuh dengan rasa sayang. "Kamu sudah tumbuh dengan baik, Nest. Dan mulai dari sekarang, berhentilah menyalahkan siapa pun untuk kematian Cece. Ambilah buku diary milikku di dalam laci kecil di bawah ranjang itu. Dan serahkan pada Mama. Semoga saja, setelah membacanya, kamu tidak lagi dituntut untuk selalu menjadi apa yang Mama inginkan. Hanya itu bantuan yang dapat Cece berikan, semoga kamu selalu berbahagia."

©Rainsy™

Dokter Prasetyo mengusap lembut punggung istrinya yang baru diberinya segelas air. Ketika air minum itu telah separuh diteguk oleh Bu Yeyen, terdengar suara kunci terbuka. Sadar bahwa suara itu berasal dari kamar yang  tadi dimasuki oleh Ernest, sepasang netra Pasutri itu kompak mengarah pada  satu objek.

Dengan wajah sembab, Ernest berjalan terhuyung-huyung menghampiri kedua orangtuanya untuk kemudian meletakan buku diary milik Meimei di atas meja makan dalam keadaan terbuka.

Dari buku harian Meimei, mereka baru mengetahui, ternyata bukan hanya pada Ernest dan kedua orangtuanya saja Meimei menutup diri. Dengan teman-temannya di sekolah pun Meimei seperti itu. Bahkan saking seringnya menyendiri, jarang bersosialisasi dan hanya asyik membaca buku-buku yang ada di Perpustakaan, Meimei sampai mendapat julukan 'Nerd Girl'. Diejek dan dicemooh oleh seisi sekolah sudah menjadi makanan sehari-hari Meimei kala itu. Semua ia lakukan hanya demi membuat sang Ibu bangga padanya. Karena Meimei selalu disiplin untuk belajar.

Suatu hari, Meimei yang keletihan karena belajar, menjadi demam dan bahkan sampai tidak masuk sekolah untuk beberapa hari. Hal itu membuat nilai rapot Meimei tidak sesempurna apa yang Bu Yeyen inginkan. Di waktu pernaikan kelas yang seharusnya menjadi momen di mana orangtua memuji kegigihan sang anak yang telah berjuang semampunya, justru menjadi pemantik pertikaian antara Ibu dan Anak. Meimei yang merasa usahanya selama ini untuk terus membuat Sang Ibu bangga seakan tak terlihat sama sekali, memilih untuk membuang penatnya dengan menekuni hobinya sebagai seorang Fotografer pemula. Dari celah yang Meimei beri itulah Riu hadir. Riu adalah Ketua Murid di Kelas Meimei. Riu yang ternyata selama ini menyukai Meimei secara diam-diam memilih untuk memberanikan diri, menunjukan perasaannya dengan cara mendukung semua kegiatan yang begitu sangat Meimei cintai.

Singkat cerita, Meimei dan Riu akhirnya menjalin kasih. Namun rupanya hubungan mereka ditentang keras oleh keluarga mereka masing-masing. Dengan alasan bahwa pacaran hanya akan membuang-buang waktu mereka saja. Karena perasaannya yang begitu besar terhadap Riu, meski telah dilarang untuk bersua sampai dimarahi habis-habisan oleh Bu Yeyen, Meimei tetap nekad untuk bertemu dengan Riu sembunyi-sembunyi di luar rumah.

Malam itu, adalah malam yang begitu panjang nan mengerikan bagi Meimei jika mengingatnya. Karena di tempat mereka menentukan janji bertemu, Riu tak kunjung datang. Detik demi detik Meimei habiskan untuk menatap layar ponselnya, berharap Riu dapat memberikannya kabar akankah ia datang menemuinya ataukah tidak. Menit pun berlalu. Jam demi jam telah berputar tanpa bisa dikendalikan. Saat malam semakin gelap, Meimei yang dikuasai rasa kecewa memutuskan untuk pulang ke rumah dengan berjalan kaki.

Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Gang sempit nan gelap yang Meimei telusuri, rupanya menjadi denah para pemuda begajulan yang sedang berpesta minuman keras. Sadar dirinya akan dalam bahaya jika meneruskan langkahnya, Meimei berinisiatif untuk mundur secara perlahan. Mencari jalan lain untuk kembali pulang ke rumahnya sesegera mungkin. Namun sayangnya, kaki Meimei yang tak sengaja menginjak ranting pohon, justru mengundang semua mata pemuda berandal itu untuk menoleh ke arahnya. Melihat betapa kotor dan mesumnya mata mereka, Meimei sekuat tenaga berusaha untuk melarikan diri, nahasnya kegigihannya itu terkalahkan oleh keberingasan nafsu bejad mereka yang  tengah dilanda kegersangan.

Tubuh remaja Meimei yang suci, dinodai secara bergilir oleh mereka-mereka yang tak bertanggung jawab. Setelah puas merenggut paksa kegadisan Meimei, mereka pergi begitu saja meninggalkan gadis berparas elok itu bersama tangis pilunya tanpa sehelai benang pun yang menyelimuti tubuhnya. Dengan tangan yang gemetar, Meimei memungut pakaiannya satu persatu. Saat gadis itu telah mengenakan pakaian lengkap, barulah Riu datang mencarinya.

Tangis Meimei kian pecah ketika pupil matanya bertemu pandang dengan netra Riu yang menatapnya penuh dengan rasa penyesalan. Melihat tatanan rambut Meimei yang berantakan, pakaian lusuh nan robek di beberapa tempat, juga darah segar yang masih mengucur di paha kekasihnya, hati Riu bak terhunus sebuah tombak runcing. Dengan kakinya yang masih gemetaran, Meimei berusaha  menggapai tangan Riu yang berdiri mematung di hadapannya. Dengan gerakan cepat, Riu meraih uluran tangan  Meimei untuk kemudian menutupi robekan kaus yang dikenakan Meimei menggunakan jaket yang semula dikenakannya.

Sepanjang perjalanan Riu mengantarkan Meimei pulang ke rumah, Riu berulangkali meyakinkan pada tambatan hatinya itu agar tidak memikirkan hal yang tidak-tidak. Karena kejadian yang telah sepenuhnya Meimei alami, adalah salahnya. Jika Riu tidak cekcok lebih dulu dengan orangtuanya. Jika Riu datang tepat waktu, dan andai motor yang Riu kemudikan tidak mendadak mogok di pertengahan jalan, mungkin kesialan itu tidak akan menimpa Meimei.

Namun apalah daya. Nasi sudah menjadi bubur. Dua bulan setelah kejadian itu, Meimei yang didiagnosa tengah mengandung tersebut harus menelan pil pahit. Karena secara tiba-tiba, Riu ikut pindah bersama Orangtuanya ke Luar Negri. Sedangkan para pemuda penghuni gang yang tak bermoral itu, tak  ada satupun yang Meimei tahu tempat tinggalnya. Alih-alih mencari ayah dari jabang bayi yang ada dalam rahim putrinya, Bu Yeyen justru terus menerus meminta Meimei untuk menggugurkan kandungannya. Sebelum kehamilannya membesar dan para tetangga menjadi tahu tentang kondisinya.

Tanpa mau mendengar penjelasan juga kronologi kenapa putrinya bisa seperti itu, Bu Yeyen terus-menerus menyalahkan Meimei karena sudah menjadi anak yang pembangkang. Stres karena setiap harinya terus dicecar kemurkaan yang sama, Meimei pun akhirnya mengambil jalan pintas.

"Jika memang harus tiada, daripada menjadi pembunuh bayi yang tak berdosa, lebih baik aku pun ikut pergi bersamanya."

Kata-kata yang menjadi tulisan penutup dalam buku harian Meimei tersebut sukses membuat Bu Yeyen berteriak histeris. Ia meraung-raung memanggil nama putrinya. Seraya menyesali setiap kalimat kasar yang dulu sering ia lontarkan pada Meimei sebelum meninggal dunia.

Bersambung

Continue Reading

You'll Also Like

30.6K 1.8K 20
Setelah kepergian orang tuanya (Amelia) memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya setelah kurang lebih 6 tahun berada di luar kota. Amel bernia...
222K 27.5K 48
Kumpulan cerpen dan mini cerbung, bedasarkan kisah nyata yang dimodifikasi ulang. Dikemas menggunakan bahasa yang ringan dan mudah dipahami. Dengan s...
42.7K 2.7K 20
Ini merupakan kisah baru ku. Tempat tinggal baru, kota baru, lingkungan baru, teman baru, dan petualangan mistis baru. Ini merupakan lanjutan dari ce...
63.2K 9.6K 41
SIHIR 2 - Genre: Horor, romance. Alur sulit di tebak, banyak teka-teki, percintaan rumit. [Deskripsi] Nyi Sihir kembali menjadi iblis jahat yang ingi...