“Ah, sudahlah, yang penting aku sudah membungkus jasad Asih.” Aku buru-buru meninggalkan tempat ini dan langsung menelepon Bu Puji.
“Halo, Bu?”
“Halo! Bagaimana? Saya ke sana sekarang, ya,” jawabnya tanpa basa-basi.
“Baik, Bu, saya tunggu di depan.”
Jam sudah menunjukan angka 11 malam, semoga saja tetanggaku sudah tidur, jadi aku lebih leluasa dalam bertindak.
Mobil berwarna hitam dengan sorot lampu yang menyala berjalan menuju gang rumahku. Aku yakin itu mobil milik Bu Puji.
“Mbak, ayo cepat masuk.”
Buru-buru aku masuk dengan membawa jasad Asih yang masih utuh, sangat berat.
Ternyata Bu Puji tidak sendirian, ia ditemani seorang sopir. Namun, aku tak pernah melihat ia sebelumnya.
“Anak-anak bagaimana?”
“Sudah aman, Bu, mereka sudah saya kunci di dalam satu kamar,” ucapku.
“Ini jasad Asih?” tanyanya dengan menunjuk karung yang aku bawa.
Lalu aku mengangguk.
“Pak, tolong, pindahkan ke bagasi, jangan taruh di bagian tengah.”
Pak sopir tak menjawab apa pun, ia tampak lesu dan sedikit pucat menurutku. Sopir ini mengambil karung yang berisi jasad Asih dan segera memindahkannya ke bagian bagasi mobil.
Pak sopir ini menyetir dengan melaju sangat cepat sampai-sampai aku pusing.
“Bu, kenapa jalanan ini gelap?” tanyaku padanya, yang tetap diam menatap ke arah depan.
“Sstt.”
Aku takut, jangan-jangan dia akan menjadikan diriku tumbal.
“Saya takut, Bu,” bisikku lagi.
Ia menoleh. “Jangan takut, sebentar lagi kita sampai.”
Namun, tampaknya kami masih di jalan itu-itu saja, ataukah karena gelap aku tak mengenal jalanan ini?
Sopir yang mengendarainya pun tampak dingin sekali dengan tatapan kosong. Aku menoleh ke arah bagasi, masih terlihat karung yang berisi jasad Asih.
Kami terus berjalan menyusuri jalanan ini, sesekali aku menengok ke kanan-kiri. Namun, tak ada rumah atau pemukiman di sana.
Sampai akhirnya kami berada di jalanan yang cukup susah untuk dilalui, aku merasakan sedang berada di tengah hutan.
Tiba-tiba sopir berhenti memberi aba-aba bahwa kami telah sampai.
“Mbak, mau ikut? Atau tetap di mobil saja?” tanya Bu Puji padaku.
Aku bimbang dengan kondisi di luar sana.
“Kalau takut, ya sudah, Mbak di sini saja. Saya juga hanya sebentar. Ada Pak sopir juga yang tetap di sini,” imbuhnya lagi.
“Tapi, Ibu tidak apa-apa, kan?”
“Tidak apa-apa.” Akhirnya aku memilih untuk tetap di dalam mobil.
Bu Puji kemudian turun dan Pak sopir membantunya untuk menurunkan jasad Asih yang masih berada di bagasi mobil.
Sadis sekali diriku, membuangnya dan menghanyutkan jasad Asih ke sebuah sungai yang konon kata Bu Puji akan sampai pada kerajaan iblis atau jin.
Namun, tak apalah, aku memang benar-benar butuh uang sekarang!
Suasana semakin mencekam setelah Bu Puji pergi. Hanya ada diriku dan Pak sopirlah di mobil ini. Aku akan mencoba bertanya sesuatu kepada Pak sopir ini agar suasana menjadi hangat.
“Pak.”
Diam, ia masih diam mematung dengan bibir pucatnya dan sorot matanya yang terus menatap ke arah depan.
“Bapak sedang sakit?”
Aku terus mencoba mengajaknya mengobrol. Namun, tetap saja dia diam mengacuhkan diriku. Aku berniat untuk menepuk pundaknya, siapa tahu dia memang tuli.
Namun, aku berpikir lagi, kalau tuli bagaimana bisa dia mendengarkan perintah dari Bu Puji?
Angin berembus kencang dan dingin di malam ini. Aku tak tahu sekarang jam berapa, aku pikir sudah lewat jam 12 malam.
“Pak, Pak, sekarang jam berapa, ya?”
Namun, kali ini dia sedikit menoleh serta menunjukan wajah datarnya padaku. Aku bergidik ngeri, mengapa dia seperti orang yang sudah mati?
Dia menunjukan jari telunjuknya padaku, seperti pertanda bahwa sekarang menunjukan pukul satu dini hari.
Aku mengangguk dengan menelan ludah secara perlahan. Dan dia masih menatapku dengan tatapan datarnya.
“Bapak kenapa menatap saya seperti itu?”
Namun, dia tetap diam, bibirnya pucat pasi dengan bola matanya yang hampir menjadi putih semua. Aku pikir dia punya penyakit aneh. Namun, mengapa Bu Puji memperkerjakan orang sakit seperti dia?
Tak ada obrolan di tengah dinginnya malam ini. Sial! Seharusnya aku ikut dengan Bu Puji. Mengapa aku tetap di sini?
Bau-bau aneh sekarang bermunculan. Bau amis, bau wangi, atau bau-bau aneh yang belum aku cium sebelumnya.
“Bapak mencium bau sesuatu tidak? Bapak kentut?” Aku selalu mencoba bertanya dan selalu mengawali pembicaraan agar dia mencoba juga untuk berbicara denganku.
Namun nihil, dia hanya menggeleng tanpa menjawab sepatah kata pun dariku.
Tak kuat rasanya mencium bau-bau seperti ini. Segera aku menutup kaca jendela mobil yang memang terbuka lebar sebelumnya.
Lega!
Bau-bau itu, sudah sedikit hilang.
Mungkin sudah hampir satu jam lebih aku menunggu Bu Puji kembali. Rasa kantuk serta lelah aku rasakan saat ini.
“Lama sekali,” gumamku.
Bunyi tapak kaki terdengar mendekat.
Seseorang berlari tunggang langgang seperti sedang dikejar sesuatu, itu tak lain Bu Puji.
Aku mengembuskan napas lega, akhirnya Bu Puji segera datang.
Ia segera masuk, dengan wajah yang penuh dengan keringat.
“Ibu tidak apa-apa?” tanyaku.
Ia hanya menggeleng, dengan sedikit tersenyum.
“Pak, ayo jalan cepat!”
Tanpa menunggu waktu lama, Pak sopir ini langsung menancap gas dan pergi meninggalkan tempat ini.
“Kamu tidak kenapa-napa, kan, di sini dengan Pak sopir?” tanyanya padaku.
“Tidak, Bu, tenang saja!”
“Syukurlah, aku sudah menghanyutkan jasad Asih dan aku pastikan dia sudah berada di tangan kerajaan iblis itu.”
“Hartamu akan berlipat ganda lagi dan tentu kamu akan menjadi orang yang sangat makmur.”
“Tapi, Bu, apakah Bapak ini tahu semuanya tentang apa yang kita perbuat?” bisikku padanya. Aku takut sekali Bapak ini mata-mata.
“Dia tahu, tapi jangan khawatir. Dia pandai menjaga rahasia,” timpalnya.
Aku mengangguk tanpa mengerti.
Singkat cerita, akhirnya aku sampai juga di rumahku.
Aku mencoba membuka pintu secara perlahan.
Segera menuju ruang dalam untuk melihat situasi bahwa anak-anakku memang tidur dalam satu ruangan yang sama.
“Beruntung mereka masih tidur. Ah, lelah sekali malam ini,” gumamku sembari menuju kamarku.
Aku mulai merebahkan diri tanpa membersihkan diriku sebelum tidur karena memang sudah sangat lelah sekali.
Aku mulai memejamkan mata dan mencoba untuk tidur. Tiba-tiba embusan napas seseorang aku rasakan di sebelah pipi kiriku.
“Ada apa, Zaki? Mau susu?” tanyaku dengan mata yang masih tertutup.
Ah, aku baru ingat, Zaki tidur dengan Adrian serta Raya. Jadi, napas siapa yang berada di sampingku? Jantungku berdegup lebih kencang, keringat dingin mulai bercucuran aku takut ada jin yang memang mengikutiku sedari pulang dari tempat itu bersama Bu Puji.
Aku belum bisa membuka mataku, karena memang masih takut. Namun, embusan napas itu masih sangat terasa, malah lebih dekat diwajahku.
“Arrgh!”