The Villainess Wants To Meet...

By keishamiracle

44.9K 5.3K 96

Anne, seorang bintang yang bersinar di Kota Meddleston ditemukan meninggal dunia di tempat syuting drama terb... More

The Beginning
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19

Part 14

1.6K 207 12
By keishamiracle

Raven telah membenamkan dirinya selama kurang lebih 20 menit hingga ketukan pintu terdengar dari luar sana. Raven mengusap matanya dan segera merapikan penampilannya.

"Masuk"

Daun pintu yang terbuka menampakkan David, seorang kepala pelayan yang telah lama melayaninya. "Saya memberi salam kepada Tuan Raven", Ujar David. Raven mengangguk dan menanyakan arti dari kedatangannya. David segera mendekat dan mengucapkan beberapa patah kata yang membuat Raven beranjak untuk berdiri, meninggalkan tumpukan kertas di dalam ruangannya.

David berjalan di belakang Grand Duke Vensancte dengan hati yang tak tenang. Bagaimana tidak, air wajah Raven saat ini terlihat serius dan gelisah. Tidak seperti biasanya, langkah kaki Raven terdengar sangat keras, menggema di seluruh ruangan.

"Sudah berapa lama ia menunggu?", Tanya Raven ketika hendak sampai di sebuah ruangan.

"Ia baru saja datang beberapa saat yang lalu, Tuan", Sahut David. Raven membuka pintu di hadapannya dan memaksa sebuah senyuman terbit di wajahnya. Ia memandang gadis yang mengenakan gaun berwarna abu tua dengan sedikit renda. Ia juga memasang sebuah aksesori berbentuk bulan pada rambut cokelatnya.

Gadis itu berdiri dan segera memberi salam pada Raven Vensancte.

"Saya memberi salam kepada Grand Duke Vensancte, Sang Perisai Kekaisaran"

Raven mengangguk dan mempersilahkan gadis itu untuk kembali duduk. Seorang pelayan perempuan memasuki ruangan tersebut dan menyeduh teh untuk mereka berdua. Gadis itu tersenyum sambil mengucap terimakasih pada pelayan yang telah menyajikan teh. Kemudian ia menghirup aroma dari uap yang timbul dan meneguk teh tersebut.

"Teh Rosella, Pilihanmu tidak pernah salah, Tuan"

Gadis itu menambahkan sekeping gula berbentuk kubus kecil dan mengaduknya dengan sendok. Perlahan ia meletakkan sendok, kemudian kembali meneguk tehnya. Raut wajahnya terlihat lebih cerah sembari menatap mata pria itu dengan sebuah arti.

"Saya lebih suka menambahkan sedikit pemanis ketimbang membiarkan rasa asam itu muncul"

Gadis tersebut menaruh cangkirnya ke tempat asal dan memulai sebuah percakapan. Namun sebelum ia sempat berbicara, Raven telah membuka mulutnya terlebih dahulu.

"Mengapa kau datang kemari, Beatrice?"

"Mengapa? Sebagai seorang kekasih bukankah saya berhak untuk datang kapanpun bahkan-"

Beatrice menutup mulutnya dan mulai meneteskan air mata. Raven yang melihat hal tersebut, mengangkat alisnya kebingungan.

"Apakah anda berselingkuh, Tuan? Apa karena itu anda tak ingin menemui saya?"

Beatrice mengambil sapu tangannya dan terdiam sambil terisak pelan setelah bertubi-tubi melemparkan pertanyaan pada Raven. Raven yang melihat hal tersebut hanya bingung dan segera memposisikan tubuhnya agar terlihat lebih baik. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali hanya untuk memastikan bahwa seorang Beatrice lah yang tengah terisak.

"Aku tak berselingkuh, Beatrice"

Beatrice yang mendengar hal itu, sontak tersenyum dan menggenggam tangan Raven.

"Saya sangat percaya pada anda, Tuan"

"Tujuan saya datang kemari hanya untuk memberi kabar bahwa saya akan pergi dan menemui ayah saya, Viscount Frans selama beberapa hari"

Raven hanya memberikan sebuah jawaban singkat padanya dan memilih untuk mengakhiri percakapan itu dengan cepat.

"Tentu, bahkan kau tak perlu meminta ijinku untuk menemuinya". Pria itu meneguk tehnya dengan cepat, sembari memanggil David untuk mengantarkan Beatrice ke wilayah bagian barat. Sementara Raven langsung pergi keluar tanpa berpamitan dengan Beatrice.

David pun masuk ke dalam ruangan tersebut dan segera mempersilahkan Beatrice karena kereta kuda milik Kediaman Vensancte telah tiba dengan sangat cepat. Beatrice masih terduduk dan memandangi cangkir teh kosong yang telah diminum oleh Raven.

"Bukankah anda terlalu terburu-buru, Tuan?"

Gadis itu berdiri dan merapikan lengan bajunya, kemudian ia melangkah keluar dari ruangan tersebut. Mereka berjalan dalam waktu yang cukup singkat karena ruangan tersebut terletak tidak jauh dari pintu utama Kediaman Vensancte. David membuka pintu utama kediaman itu dan mempersilahkan Beatrice untuk berjalan terlebih dahulu. Beatrice pun mengangguk sambil melemparkan senyum hangat pada David. Kedua bola matanya tertuju pada sebuah kereta kuda dengan lambang keluarga Vensancte. Seorang kusir membukakan pintu kereta untuk gadis tersebut, dan membungkuk hormat pada David.

Kereta kuda itu akhirnya pergi menjauh perlahan hingga tak terlihat dari Kediaman Vensancte.

******

"Selamat pagi, Tuan Grand Duke Vensancte"

Raven yang baru saja membuka ruangan kerjanya kembali disibukkan dengan urusan-urusan kerajaan. Roy, seorang ajudan yang baru saja menyapanya memberikan sebuah kertas berwarna cokelat. Pria itu menerimanya dan membaca kalimat yang tertera di kertas tersebut.

"Saya tak melihat orang yang bersangkutan dalam keputusan itu hadir dalam pertemuan yang diadakan oleh Yang Mulia Baginda Kaisar, Tuan"

Ia menyeringai dan melipat kembali kertas itu.

"Apakah beliau bercanda? Beliau ingin menggantikan posisi Lord Felix sebagai komandan Pasukan Roummernt dengan putranya yang tak bisa apa-apa itu?"

Roy hanya dapat menunduk dan ragu-ragu untuk mengatakan kalimat selanjutnya,

"Tuan....Yang Mulia Baginda Kaisar memberikan pesan yang meminta anda untuk menemuinya..."

Raven berhenti dan berjalan menuju mejanya. Ia mengambil selembar kertas kemudian menggoreskan kuas dengan tinta hitam yang pekat. Beberapa menit berlalu, ia segera menempelkan stempel dan memberikan surat itu pada Roy.

"Berikan ini pada Lord Felix secara langsung. Kau mengerti maksudku kan?"

Roy membungkuk hormat dan menimpali,

"Saya mengerti, Tuan"

Roy berjalan dan menutup pintu ruang kerja milik Raven.

****

Desa sekitar perbatasan Northeim, Wilayah Kekaisaran Bagian Utara
(Hasil Rampasan perang dari Kerajaan Elludia)

Memasuki pertengahan hari, hujan salju pada musim dingin di bagian utara tampak lebih lebat dibandingkan hujan salju di pusat kerajaan. Namun hal tersebut tak mengganggu kinerja Pasukan Roummernt yang ditugaskan selama 3 hari untuk mengawasi dan membantu kesejahteraan rakyat perbatasan Northeim.

Felix, Selaku komandan Pasukan Roummernt saat ini tengah sibuk membawa beberapa kayu kering yang terbilang cukup besar dengan diameter 9-15 cm untuk membuat perapian pada sebuah rumah penduduk yang akan ia tinggali selama beberapa hari di desa tersebut. Dengan sigap ia segera memindahkannya dengan mudah tanpa mengeluarkan energi yang berlebihan.

Ketika ingin berjalan menemui anak buahnya, langkah Felix terhenti karena ia merasa ada sesuatu yang menahannya. Ternyata terdapat seorang anak kecil berusia 7 tahun menarik baju Felix.

"Tuan, siapa namamu?"

Satu pertanyaan berhasil diluncurkan oleh anak tersebut tanpa rasa takut. Felix merendahkan posisinya dan segera berkata,

"Felix"

Anak kecil itu membuat raut wajah kebingungan. Sekali lagi, ia meluncurkan sebuah pertanyaan pada pria tersebut.

"Apa? Pe-Peliks?"

Felix hanya terdiam sejenak, kemudian mengangguk satu kali.

Anak kecil tersebut ikut memantukkan kepalanya tanda bahwa ia paham dengan perkataannya. Kemudian dari balik jubah bertudung lusuh yang ia kenakan, anak kecil itu mengambil sesuatu dan menggenggamnya. Ia menatap Felix dengan tatapan penuh arti dan pada akhirnya ia membuka genggaman tersebut. Tampak sepasang cincin batu giok berwarna biru yang indah dan sangat terawat. Anak kecil itu menarik tangan Felix dan menaruh kedua cincin tersebut pada telapak tangannya.

Felix menatap cincin itu lekat-lekat, melihat ada sesuatu yang berbeda pada cincin tersebut.

"Ini adalah sepasang cincin yang selalu kubersihkan setiap hari. Konon kata nenekku, bila seseorang memberikan cincin ini pada kekasihnya maka mereka akan selalu bersama dan berbahagia selamanya!"

Begitulah penjelasan yang begitu antusias dari anak kecil tersebut. Felix mengangguk paham dan memasukkan cincin itu ke dalam kantong berwarna hitam. Ia beranjak berdiri dan mengulurkan tangannya untuk berjalan bersama anak kecil itu.

Sepanjang perjalanan menuju rumah anak kecil tersebut, mereka hanya terdiam dan tersisa suara hujan salju yang cukup lebat. Setiap langkah yang menyisakan jejak membawa mereka menuju rumah kecil dengan pencahayaan berupa sebuah lentera. Sesampainya disana, anak kecil itu segera memegang gagang pintu rumah tersebut. Namun kegiatannya terhenti dan ia menoleh ke arah Felix.

"Jangan lupa, kau harus memberikannya pada kekasihmu"

Felix mengangguk dan menimpali,

"Terimakasih"

Anak kecil itu tersenyum dan masuk ke dalam rumahnya.

Bersambung~

Terimakasih telah membaca, bila kalian suka Silahkan pencet tombol vote dan kasih opini kalian di kolom komentar

Continue Reading

You'll Also Like

313K 23.3K 35
Namanya Camelia Anjani. Seorang mahasiswi fakultas psikologi yang sedang giat-giatnya menyelesaikan tugas akhir dalam masa perkuliahan. Siapa sangka...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.4M 77.3K 53
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
6.6M 278K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
393K 30.3K 26
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...