Berpisah Itu Mudah (Tamat)

By fairypatetic

1M 100K 26.1K

"𝑩𝒂𝒈𝒂𝒊𝒎𝒂𝒏𝒂 𝒋𝒊𝒌𝒂 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒕𝒂𝒌 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒑𝒊𝒔𝒂𝒉?" Celaka dua belas karena Dikta dan Ir... More

0 | aku mau kita cerai
1 | pernikahan
2 | rasa bersalah
3 | hai luna
4 | bobok bareng
5 | mami
6 | kepo
7 | dua lebih baik dari satu
8 | sepanjang tangisan
9 | bersama una
10 | video masa lalu
11 | ajak mami juga
12 | emosi
13 | ketakutan
14 | alunarx beauty
15 | dikta dengan siapa?
16 | keluarga cemara
17 | bagusnya kapan?
18 | una sakit
19 | kami ingin cerai
20 | rumah batal cerai
22 | malam pertama di rbc
23 | kejujuran
24 | kesempatan
25 | ragu
26 | mari kita coba
(CLOSE ORDER) karyakarsa 26 | mari kita coba
27 | bincang-bincang sore
28 | risau
29 | nikmati saja dulu
karyakarsa | semua tentang una
30 | selamat tinggal rbc
31 | hancur
video iren
32 | akhirnya dikta tahu
33 | ego dua pria
34 | teletubbies kala badai datang
35 | pemeriksaan
36 | pelaku
37 | barisan para mantan
38 | hidup harus tetap berlanjut
39 | tanpa mengekang
40 | hamil (end)
BIM di KaryaKarsa

21 | rbc adalah hukuman

21.8K 2.5K 450
By fairypatetic

Peraturan lapak Fulv:
•Vote sebelum membaca
•Tinggalkan komen yang banyak
•Follow akun author buat yg blm follow

Happy reading! Semoga suka sama part ini💖



***

Iren menatap penjuru ruangan tersebut dengan kerutan yang terlihat jelas di dahi. Ia masih tak percaya harus menghabiskan waktunya di tempat sempit itu selama sebulan.

"Terus kita tidurnya gimana?"

Tidak mungkin kan dia dan Dikta berbagi tempat tidur di ranjang sesempit itu?

"Aku nggak mau ya tidur sama kamu," kata Iren lagi.

Dikta menarik kopernya ke depan lemari. "Aku biar tidur di lantai aja."

Tidur di lantai?

"Pakai alas apa? Di sini nggak ada kasur lantai atau karpet."

"Nanti aku coba tanya ibu-ibu di sebelah, siapa tahu dia punya karpet nggak kepakai."

Bagaimana kalau ibu-ibu itu tidak punya karpet?

Iren menjatuhkan diri ke kasur kapuk beralas seprei putih. Dia sangat ingin melepas penat.

"Dikta."

Orang yang Iren panggil itu cuma menyahut dengan deheman, Dikta tengah menyandarkan punggung di kursi rotan cokelat sambil memejamkan mata. Iren berdecak, ternyata Dikta juga tak kalah frustrasi darinya.

"Toiletnya di sebelah mana, ibu-ibu tadi bilang? Aku mau ganti baju."

"Toiletnya di luar, sebelah kiri."

Iren melotot.

"Serius, di luar?" Wanita itu bangun dengan cepat dan segera menggeser gorden. Iren tercekat. Terlihat toilet berjarak lima meter dari rumah tersebut. Yang membuat Iren kaget adalah toilet tersebut berada di sebelah pepohonan-pepohonan besar, Iren cepat-cepat menutup gorden.

"Kenapa?" tanya Dikta heran.

"Aku nggak mau ganti baju di toilet."

"Terus kenapa?"

Iren menggaruk kepala dengan sebal. "Kamu kok nggak ngerti sih? Ya kamu keluar dulu lah, aku mau ganti baju."

"Kamu nggak mandi dulu?"

Iren mendelik, apa Dikta menyuruhnya mandi di toilet di luar?

"Nggak ah, males. Udah deh, kamu buruan keluar, aku udah mau ganti baju."

Dikta lantas meninggalkan ruangan tersebut dan menunggu di luar.

"Jangan ngintip!" Iren menutup rapat semua gorden.

Melihat hal tersebut, Dikta menghela napas. Cukup lama Dikta duduk di teras kecil rumah tersebut, memperhatikan burung-burung yang hilir-mudik di langit, juga hamparan bermacam-macam sayuran di perkebunan sebelah kirinya.

Sementara itu di dalam rumah, Iren telah membongkar koper besar miliknya. Setelah berganti pakaian, Iren juga menggeleda tumpukan paling bawa kopernya, cukup lama ia meraba-raba sebelum menemukan benda yang dicarinya. Iren tersenyum puas. Segera ia membuka pintu.

"Udah selesai. Lihat deh, aku bawa apa." Iren memerkan ponselnya yang berhasil ia selundupkan.

"Oh, ya?"

Iren mengangguk.

Dikta berjalan melewati Iren, lalu mengambil sesuatu dari tasnya.

"Aku juga bawa." Dikta juga memperlihatkan ponselnya kepada Iren.

Iren menaikkan bahu. Dinyalakannya ponsel tersebut, tetapi benar kata ayah mertuanya, tak ada sinyal di tempat itu. Iren menghela napas dan melempar ponselnya ke tempat tidur.

"Malesin banget deh! Terus di sini mau ngapain? Mau jadi batu sebulan?" Iren mengerang frustrasi sambil mengacak rambut.

"Udah telanjur di sini, jalanin aja," komentar Dikta.

Tatapan tajam Iren langsung menusuk Dikta. "Ini semua gara-gara kamu! Harusnya kita nggak perlu ke sini! Buat apa coba? Kita ninggalin Una sebulan, Dikta!"

"Bukannya kamu udah pernah ninggalin Una sebulan?"

Seketika raut wajah Iren memias. Ucapan Dikta barusan benar-benar membuatnya dibungkam masa lalu.

"Aku nggak ninggalin Una," gumam Iren. "Kamu nggak akan pernah ngerti."

"Gimana aku bisa ngerti kalau kamu nggak pernah cerita? Kamu menghilang gitu aja. Andai waktu itu nggak ada Una, ya silakan kalau kamu mau pergi ke mana aja. Aku nggak akan cari. Tapi kan udah ada Una, dia baru beberapa bulan waktu kamu pergi dari rumah, Una masih butuh kamu banget."

Iren tertawa lirih.

"Kamu juga nggak ada waktu aku hamil Una, padahal aku juga butuh kamu."

Dikta telah membuatnya mengingat masa-masa itu, masa ketika ia memilih meninggalkan rumah dan kembali ke apartemennya dua bulan setelah melahirkan Una.

"Jadi ini semacam balas dendam?"

"Kamu pikir aku sejahat itu buat jadiin Una objek balas dendam?" Iren membuang muka, tiba-tiba kedua matanya memanas. "Kamu selalu aja gitu, apa-apa aku yang disalahin. Padahal, semua nggak bakal serumit ini andai kamu nggak bikin aku hamil."

Disekanya air mata yang perlahan jatuh di pipi. Iren menelan ludah pahit. Ia kecewa, entah pada siapa.

"Aku nyesel pernah kenal kamu."

Andai bisa, Iren ingin kembali ke masa lalu dan menghapus kehadiran Dikta di sana. Kalau bisa, Iren tak ingin orang tuanya sedekat itu dengan orang tua Dikta agar mereka tak dijodohkan.

"Aku nyesel pernah setuju dijodohkan sama kamu," gumam Iren yang kemudian terisak pedih, tubuhnya meluruh dan terduduk di lantai papan tersebut. Wajahnya yang penuh air mata kini tertelungkup di atas lutut.

Dikta mengacak rambutnya kasar melihat Iren menangis.

Sekitar setengah jam Iren berada dalam posisi menyedihkan yang hanya terus terisak dan meratapi nasibnya yang entah akan seperti apa nanti.

Lagi-lagi Iren tertawa getir, apa tangisnya kurang menyedihkan untuk bisa membuat Dikta tahu bahwa dia terluka? Haruskah Iren menceritakannya lebih dulu agar pria itu mengerti, seperti yang Dikta katakan tadi?

Tak ada kata maaf atau keluar kalimat yang mungkin bisa membuat Iren tenang. Pria itu hanya berlalu membawa handuk dan pakaian bersih menuju toilet di luar. Iren semakin tergugu kala menyadari bahwa Dikta benar-benar tak peduli padanya.

Lantai beralas papan itu berbunyi kala Dikta selesai mandi. Pakaiannya sudah berganti naru

"Masih nangis?" Dikta bertanya santai sambil terus menggosok rambutnya.

Perlahan, Iren mengangkat kepala.

"Mata kamu tambah bengkak tuh," ucap Dikta yang kemudian mengulurkan tangan kepada istrinya. "Ayo bangun."

Uluran tangannya tak kunjung disambut oleh Iren, malah menggantung begitu saja di udara. Baik, Dikta tahu Iren marah.

"Ya udah." Dikta memilih menyelipkan tangannya ke saku celana. Namun, Dikta masih berdiri di depan Iren.

"Bangun atau orang suruhan ayah bakal lihat kamu kayak gini."

Dikta menunjuk keluar pada suara-suara ribut yang semakin dekat.

Iren melirik Dikta tajam, lalu berusaha bangun sendiri.

"Ayah ngirimin kita makanan sama banyak barang."

Iren membuka gorden, terlihat dua orang pria yang mengangkat dus mi dan lima rak telur. Dua orang itu mendekat ke rumah yang Iren dan Dikta tempati.

"Permisi, kami bawa kiriman dari Pak Bambang nih," kata salah seorang pria yang baru tiba tersebut.

Dikta menerima dus mi itu dan membawanya masuk, pria berkaus merah yang membawa lima rak telur juga ikut masuk ke rumah.

"Masih ada yang lain?" tanya Iren yang sesekali menutupi muka sembabnya dengan telapak tangan.

"Masih banyak barang, Bu, di mobil."

Dikta pun ikut membantu dua orang tersebut. Iren yang takut sendirian di rumah langsung lari terbirit-birit di belakang Dikta.

"Dikta, tunggu!"

Rambut Iren tersapu angin kala berlari, napasnya cukup ngos-ngosan karena jarak rumah yang mereka tinggali ke pinggir jalan berkisar dua puluh meter.

Dikta menghentikan langkah menunggu Iren.

Iren berjongkok di tanah dengan napas tersengal-sengal. Di pinggir jalan sana terparkir mobil pickup, satu per satu barang di atas mobil tersebut diturunkan dan dibawa ke rumah. Ada dua karung beras, rice cooker, kulkas, hingga benda-benda lain yang menyatu dalam plastik hitam besar.

"Lebih mirip orang pindahan dibanding pengasingan suami istri yang mau cerai. Aneh," decak Iren.

"Masa gue nunggu di sini?"

Sementara Dikta juga ikut membawa barang ke rumah.

"Hari ini bener-bener nyebelin!"

Dengan malas Iren kembali masuk ke rumah. Ia menendang batu kecil akibat terlalu kesal.

"Aduh!"

Sendalnya melayang duluan sehingga batu itu tertendang langsung oleh kaki telanjang Iren yang sudah bebas dari pengalas.

"Sakit banget, haduh!"

Iren berjalan pincang menuju rumah, ia harus menaiki dua anak tangga sebelum terduduk di teras kayu tersebut. Di dalam sana, bermacam-macam barang langsung memenuhi ruangan. Iren mengernyit ngeri.

"Dua minggu ke depan kami akan datang lagi bawa keperluan Pak Dikta sama Bu Iren."

"Aku boleh ikut pulang nggak, Pak? Kaki aku sakit nih." Iren mengangkat kakinya yang terluka.

"Kok bisa?" tanya Dikta yang langsung mendekati Iren.

"Kena batu sialan."

Bahu Iren spontan ditepuk oleh Dikta.

"Jangan ngomong sembarangan."

Iren yang keras kepala cuma berdecak. "Pak, beneran deh, aku nggak bakal sanggup di sini sama Dikta. Dia yang setuju dikirim ke RBC, jadi biarin aja dia sendiri di sini. Aku sih ogah."

"RBC? RBC itu apa?" Salah seorang pengantar barang tadi bertanya heran.

"Loh, Bapak nggak tahu? Ini tuh rumah penampungan orang-orang yang mau cerai. Rumah Batal Cerai. Aneh, kan? Aku aja nggak nyangka ada tempat kayak gini."

"Oh, jadi rumah ini punya nama, ya?" Orang itu tertawa terbahak-bahak. "Ada-ada aja. Pak Bambang bilangnya kalian mau bulan madu di pedesaan."

Dikta dan Iren jelas melotot kaget.

Dua pria itu kini pergi meninggalkan tempat tersebut. Mobilnya sudah tidak terlihat di kejauhan.

"Bulan madu apaan?! Jangan-jangan ini malah ide kamu?"

Dikta menggaruk tengkuk dan menggeleng. "Kayaknya RBC ini cuma akal-akalan Ayah aja," kata Dikta tidak yakin.

"Lah, emang! Kamu tuh yang ngebet ke sini."

Lalu Iren tersadar bahwa tadi ia menangis gara-gara Dikta. Iren berdecih.

"Ayo masuk, kita susun barang-barang di dalam."

"Males, susun aja sendiri."

Iren termenung lama di teras rumah sebelum tercium aroma makanan. Apakah Dikta sedang memasak? Iren masuk ke dalam, tetapi ia berhenti di tempat tidur dan duduk di sana. Iren memegang perutnya. Ia sudah lapar. Terakhir kali Iren makan adalah empat jam yang lalu, kala mereka singgah di sebuah warung makan di Pandeglang.

Iren menengok sekitarnya, dus-dus tadi sudah tersusun rapi di sudut rumah.

"Ren, yuk makan." Dikta keluar membawa semangkuk mi instan yang dicampur dengan potongan sawi hijau. "Karena nggak ada nasi, makan mi aja dulu."

Iren tak bergerak dari tempatnya, masih ribut dengan batinnya, apakah Dikta benar-benar mengajaknya makan? Bukan prank?

Sementara itu, Dikta kembali masuk ke dapur dan kembali membawa satu mangkuk lagi.

"Mau yang ini atau itu?"

Iren melirik dua mangkuk yang Dikta taruh di lantai dengan tatapan setengah aneh, sebagian lagi menatap ngiler.

"Kita makan di situ?" Iren meringis tak enak.

Dikta mengangguk. "Kenapa? Nggak suka, ya?"

Dengan cepat Iren menggeleng sebelum ikut duduk di sebelah Dikta.

"Kita dikirimin sayur juga?"

"Iya, mudah-mudahan tahan lama tuh di kulkas. Kalau nggak ya kita minta beli sayur di kebun sebelah."

"Yang punya siapa?"

"Ibu-ibu di rumah depan mungkin?"

Iren memakan mi tersebut dengan lahap. Satu pertanyaan mendadak muncul di pikiran Iren.

"Kamu bisa masak?" Wanita itu bertanya pelan.

"Masak mi instan bisa." Dikta meletakkan sendoknya, menatap Iren ragu. "Kamu bisa masak nasi?"

Kedua alis Iren saling tertaut. "Kamu pernah lihat aku masak nasi? Kan Bu Inem terus yang masak."

Perasaan Dikta semakin tidak enak.

"Makanan yang ada di sini cuma mi instan, telur, sama sayur. Nah, nasi ada kalau kita bisa masak. Tapi di antara kita nggak ada yang bisa masak nasi."

"Googling aja."

"Nggak ada sinyal, Ren."

Iren yang baru teringat hal itu langsung meringis kesal.

"Kita tuh kayak lagi dihukum tahu nggak? Bisa-bisanya ayah bilang kita mau bulan madu. Bulan madu apanya? Ini lebih mirip penyiksaan daripada bulan madu. Udah kamar mandinya di luar, tempat tidur, bantal, sama selimutnya juga cuma satu."

Iren menghela napas, tidak tahu lagi apakah ia bisa bertahan hidup di tempat seperti itu selama sebulan lamanya.

***

Sebenarnya part ini masih ada lanjutannya, tapi aku potong biar nggak kepanjangan.

Target vote part kemarin belum terpenuhi tapi gpp, pengen cepet-cepet up aja😂

Yg follow Instagram aku pasti udah lihat dua potongan spoiler di part ini. Jangan berharap yg gimana-gimana dulu ya di hari-hari awal mereka di RBC, karena bakal aneh bgt kalau langsung gas tanpa pemanasan🤭

Nah kan spoiler lagi.

Makasih yg udah baca cerita ini, udah vote, dan bersedia nyempetin untuk komen. Sayang kaliaannn💖

Komen yang banyak yuk biar cepet up!

Continue Reading

You'll Also Like

1.6M 77.5K 21
Saat raga sudah melemah, namun hati masih menginginkan untuk bertahan. Jalan mana yang akan ia pilih? Menyerah? Atau tetap berjuang?
3.2M 176K 38
Siapa yang tak mengenal Gideon Leviero. Pengusaha sukses dengan beribu pencapaiannya. Jangan ditanyakan berapa jumlah kekayaannya. Nyatanya banyak pe...
2.5M 269K 47
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
1.2M 54.5K 43
follow dulu apabila ingin membaca! Happy Reading! "Aku membencinya, dimulai dari perkenalan yang luar biasa tidak terduga. Aku benci sifatnya yang e...