Age of Undead 89 [2015]

By authornote_

107K 10.5K 388

Lex dan para tentara adalah orang-orang realistis. Mereka tidak akan percaya pada makhluk-makhluk fiksi hasil... More

00
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
TERIMA KASIH!
BONUS

22

2K 211 3
By authornote_

22

[LEX]

26 AGUSTUS 2089, Kota Redbrick, siang hari.

"Kita harus berkumpul kembali bersama adikku," Lex mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan siap akan menelepon adiknya dalam gerakan cepat setelah keluar dari bawah tanah di tengah jalan.

"Tak ada menggunakan ponsel," Jean langsung menembak ponsel Lex terang-terangan hingga benda itu  hancur lebur dan suaranya meledak mengejutkan umum. Seketika aktivitas mereka terhenti dan mengamati Jean yang tak sama sekali menggubris. Bahkan sampai-sampai Lex meringis merasakan telinganya berdengung pilu.

"Apa yang kau—?!"

"Pemerintah akan melacakmu ketika menemukan IP asing, Lex. Hati-hati."

"Tapi tidak usah dengan memembak ponselku sampai hancur kan?!" protes Lex dengan jengkel. "Lagi pula apa yang kau lakukan? Menarik perhatian khalayak?"

"Mereka tidak akan sadar aku sedang jadi buronan. Mereka masih menganggapku sebagai anggota pemerintah. Dan soal menghancurkan, karena mereka masih bisa melacak IP-mu, Lex."

"Kalau begini bagaimana caranya kita menghubungi adikku?"

"Jika mereka pintar mereka pasti ke BTWS. Dengan kata lain kita akan bertemu mereka di sana," ujarnya dengan tajam.

Lex berdecak, "kalau begitu biarkan aku menggunakan ponselmu."

"Sayang sekali karena aku pun sedang jadi buronan pemerintah, aku tidak menggunakan ponsel."

"Err  ... Nona Romanov!" seru salah seorang pria tua dari dalam mobil, melongokkan kepalanya dengan bingung, "tapi mau sampai kapan kami harus berhenti untuk mempersilakanmu berdiri di sana?"

"Ups, maaf!" Jean pun langsung menarik Lex dari jalan raya ke jalan pejalan kaki.

Lex benar-benar masih dongkol dengan Jean, sampai-sampai dia berjalan di belakangnya, dan wanita itu tak sama sekali mempertanyakan. Perempuan ini selalu saja bertindak sesukanya seolah dunia ini miliknya. Bukan dalam konteks mentang-mentang dia anak (mantan) pemerintah, tapi ini memang sifat dasarnya. Dan dia tidak pernah merasa bersalah akan hal itu.

Kalau kau mau tahu, ponselku seharga dengan hidup dan matiku  ... dulu, Jean, Lex mengerutkan dahinya. Sekarang aku pengangguran. Harganya bagai akhirat dan bumi, dia terus menggerutu dalam hati.

"Kau mau kita beli makan dulu? Kurasa sup yang tadi kuberikan tidak cukup untuk badan besarmu itu," ujar Jean agak lantang. Ia tidak mensejajarkan dirinya dengan Lex yang masih ada di belakang, sehingga dia butuh membesarkan suaranya di tengah khalayak yang sedang lalu-lalang.

"Kukira kita sedang tergesa-gesa?" ketus Lex, "bilang saja kamu yang lapar, kan?"

"Iya. Memang aku yang lapar. Jadi mau makan atau tidak? Aku tidak berani menjamin setelah dari BTWS kita masih bisa makan atau tidak."

Kini Lex mempercepat langkahnya sampai ia berdiri berjalan beriringan dengan Jean, "kamu kalau lagi lapar menyebalkan, ya," tukas Lex agak gemas, air mukanya terlihat begitu jengkel pada wanita ini.

Jean sekadar membalas dengan senyum miring dan angkuh. "Biaya gratis. Pesan makanan kesukaanmu."

Tiba di sebuah bar yang menyediakan hidangan bistik saus jamur. Lex tidak menyesali pilihan Jean, dia memang kelaparan, bahkan sanggup memakan orang jika dia hilang akal. Mengalahkan spesies zombie, kanibal pun akan menjadi tren hal menyeramkan terbaru. Jean sudah menghabiskan hidangannya dengan cepat, bahkan selesai makan pun sempat-sempatnya ia minum minuman memabukkan sembari menunggu Lex di hadapannya selesai dengan urusan perutnya.

"Kukira kau mendengar perkataanku saat aku menyuntikmu," gumam Jean dengan wajah memerah, mata berair, serta senyum janggal.

Lex melirik ke atas, tanpa disadari berhenti mengunyah. "Kau bicara di saat aku kira aku akan mati," lalu ia melanjutkan makannya lagi seakan menganggap perkataan Jean sebagai angin lalu.

"Uh-huh. Ketahuilah aku terlalu malu untuk mengucapkannya. Makanya aku setengah berharap kamu tidak dengar, setengah berharap iya, dan saat itu adalah waktu yang tepat, bukan? Wanita ... ya, wanita," Jean terkekeh, mengguncang-guncangkan botol alkoholnya dengan main-main. "Wanita memang banyak mau dan gengsinya."

"Sudah tahu seperti itu bukannya diperbaiki," sungut Lex, "kenapa kau tidak beritahukanku saja sekarang?"

"Nah, nah," jari telunjuk Jean bergerak ke kanan dan ke kiri, "tidak ada siaran ulang."

"Yang salah, kan kamu, kenapa aku yang jadi repot?"

"Lex, kamu kalau setelah kenyang jadi menyebalkan."

"Aku sedang serius."

"Kamu bicara serius dengan orang mabuk."

"Setidaknya kamu masih bisa mendengar perkataanku dengan jelas. Jangan berpura-pura bodoh."

Pintu men-jeblak diikuti dentingan bel yang bergoyang berkali-kali. Cara kekerasan membuka pintu itu membuat perhatian Lex dan Jean terpancing. Namun untungnya mereka masih terdiam sebelum melongokkan kepala di balik pembatas meja lain terhadap pintu.

Salah seorang pria dengan suara parau namun tegas bertanya, "kudengar Jean Romanov kembali berkeliaran di jalan dan masuk ke tempat ini."

"Brengsek  ...," gumam Jean menundukkan kepalanya, "itu kapten polisi distrik ini."

"Sungguh?" Lex ikut menundukkan kepalanya.

"Siapa yang berani-beraninya memberitahukan keberadaanku? Apa mereka hanya terlalu polos? Apa mereka diancam kapten itu?"

"Berat sekali hidupmu sampai dikejar kapten yang langsung terjun ke lapang," komentar Lex.

"Kau sama sekali tak membantu  ...," Jean melirik pada meja yang berada di seberang kanan, "kau ambil buku menu milik mereka. Cepat!"

Lex berdecak. Ia beringsut di atas sofa berusaha tidak terlihat mencurigakan. Ia mencondongkan tubuhnya ke samping, lalu berbisik pada sepasang kekasih yang sedang asyik membicarakan menu yang sebaiknya dipesan. "Permisi  ... permisi  ...."

Sepasang kekasih itu langsung memandang Lex dengan aneh.

"Boleh pinjam satu buku menunya? Aku ingin memesan lagi."

Si pacar laki-laki melirik pada pacar perempuannya. Pacar perempuannya itu mengangkat sebelah bahu dengan heran, pertanda lebih baik serahkan saja buku menunya pada orang aneh seperti Lex. Akhirnya si laki-laki menyerahkan buku pada Lex dengan pelan, dan tak sengaja Lex merenggutnya dengan agak kasar. Sebuah senyum kecil ia berikan sebelum berterima kasih dan kembali ke mejanya.

Jean mengambil buku menu tersebut, membuka menunya dan menundukkan kepalanya. Tak lupa ia memasang tudung jaketnya karena warna rambutnya terlihat terlalu mencolok di antara yang lain. Kebanyakan penduduk Redbrick mempunyai rambut berwarna cokelat, sebagian pirang, dan merah sangatlah jarang. Bahkan di bar ini, Jean adalah satu-satunya manusia berambut merah.

"Jawab pertanyaanku, bartender!" gertak si polisi bertubuh besar itu sembari menggebrak meja, Lex saat ini sedang mengintipnya dari ujung ekor mata. Bahkan si bartender yang malang sampai menjatuhkan gelas minum yang sedang ia gosok dan pecah.

"S-s-saya kurang tahu. Saya kurang memerhatikan dari tadi," akunya dengan yakin walau gagap. Memang benar, pelayan bar itu tidak disibukkan oleh Jean maupun Lex tadi. Sehingga kemungkinan dia tidak tahu keberadaan mereka.

Si polisi mengumpat dan menggebrak meja lagi seolah bar ini adalah miliknya sehingga dia bisa bertindak sesuka hati. Ia mengeluarkan rokok dari jasnya, memantiknya dan mengepulkan asap berbentuk cincin berjumlah tiga dari mulutnya. "Beri aku segelas vodka. Keparat  ...."

"B-b-baik!"

Lex berhenti mengintip untuk bicara dengan Jean, "kita harus segera pergi dari sini. Dia masih akan berlama-lama di sini."

"Aku tahu itu, bodoh. Yang jadi masalah adalah bagaimana cara kita keluar dari sini?"

Lex melirik ke sana-ke mari. Tak ada kemungkinan jalan keluar selain pura-pura tidak terjadi apa-apa melewati pintu depan, atau keluar lewat pintu dapur. Dua-duanya sama-sama mencolok. Kecuali jika dia bisa mengulur sedikit waktu agar Jean bisa pergi lewat dapur sementara dia akan berbincang-bincang dengan si polisi.

Dan itu pun jika mereka tidak mengenali wajah Lex.

"Dengar. Aku akan mengulur waktu dengan memancing perhatiannya. Sementara itu cobalah kau persuasi pelayan bar memperbolehkanmu pergi lewat dapur. Biar aku yang memanggil pelayannya. Sekarang, beri tahu aku lebih baik kita bertemu di mana nanti."

"Oke. Kita akan kembali berkumpul di perpustakaan dekat sini. Perpustakaan itu sangat mencolok, kamu pasti akan langsung tahu dalam sekali lihat."

"Oke. Doakan aku berhasil."

"Jangan sampai gagal," Jean memperingati.

Lex berjalan mendekat pada seorang pelayan wanita. Ia memberitahukan meja tempat Jean berada sedang butuh bantuan. Setelah selesai dengan urusan tersebut, dia langsung melangkah santai menuju bar, kemudian sengaja duduk di sebelah si polisi yang masih berdiri, menumpu tubuhnya dengan sikut, menyandarkan punggungnya pada sanding bar.

"Satu gelas jus jeruk," pinta Lex tanpa ada ekspresi sungkan. Padahal sejujurnya dia merasa malu dalam hati karena malah memesan jus jeruk di tempat yang tidak sesuai.

Tetapi sesuai dugaannya, si kapten polisi langsung terpancing perhatiannya. Ia menoleh pada Lex, menghisap rokoknya, kemudian berbicara di depan wajah Lex sementara asap rokok menerpa wajahnya. "Bung, sebaiknya kau beli jus jeruk di kantin sekolah."

Lex tak menanggapinya dengan emosi, justru ia mengangkat sebelah alis dan mengusap hidungnya dengan punggung telapak tangan. "Aku sudah tidak boleh masuk sekolah lagi."

"Aha. Kau harusnya belajar beranjak dewasa," ujarnya.

"Maaf, tapi alkohol akan merusak organ tubuh," Lex menanggapi dengan sopan.

"Mm-hmm. Aku tahu. Aku tahu. Lalu apa benar kau ke sini hanya sekadar memesan jus jeruk?" lalu pria itu pun tertawa miris, asap rokok keluar dari mulut maupun hidungnya.

"Aku baru selesai makan bistik. Bistik di sini sangat enak," Lex terkekeh kecil, "tak ada salahnya, kan, ke sini hanya untuk beli makanan itu?" Tak lama, jus jeruk pun datang. Di saat itu juga Lex menangkap Jean berhasil melancarkan rencana simpelnya. Ia diantar oleh seorang pelayan dengan was-was menuju dapur.

"Hmm  ... boleh juga. Jika aku tidak dalam misi pengejaran bocah keparat itu, aku mungkin akan memesan bistik, bahkan mabuk sampai larut malam."

"Anda terlihat seperti polisi  ...?" Lex membersihkan tenggorokannya, "maksud saya, seragam Anda."

"Oh, ya. Aku memang polisi. Kuakui aku ini adalah kapten polisi paling tak becus di antara kantor distrik lainnya. Tapi setidaknya aku tetap jaya di pangkatku. Dan aku akan membuktikan bahwa aku tetap produktif dengan menangkap si Romanov brengsek itu."

"Romanov?"

"Keponakan kebanggaan dulu sekali. Sekarang dia sudah jadi seperti ayah brengseknya. Terlalu angkuh, terlalu percaya diri, terlalu menyebalkan untuk diakui sebagai keponakan lagi."

Lex ingin berteriak setuju padanya. Jean adalah wanita paling menyebalkan sepanjang masa. Kendati Lex juga sering berseteru dengan adiknya, tak ada lagi yang bisa menandingi keburukan Jean. Tapi  ... mau bagaimanapun wanita itu tetap yang ia cintai.

Lex menyeruput jus jeruknya sampai setengah gelas. Dia pun bangkit dari kursinya, meletakkan berlembar uang di atas bar sebelum beranjak pergi. "Kalau kau mau habiskan jus jeruknya, habiskan saja," kata Lex sambil melenggang, "senang berkenalan denganmu, Pak Polisi."

"Ya  ... senang berkenalan dengan  ...."

Dor! Suara pelatuk pistol baru saja tertembak di luar sana. Di saat yang bersamaan Jean baru saja melintas di balik kaca bar ke arah kiri mengejutkan Lex yang baru saja hendak membuka pintu. Kontan ia menoleh ke belakang, mendapati si polisi sudah siap mengeluarkan senjatanya dan mengokang. Tentunya Lex merasa tak perlu menyamarkan diri lagi. Dia langsung menerjang pada si polisi sampai mereka berdua tersungkur dengan kursi-kursi bar berjatuhan bertabrakan dengan badan besar si kapten polisi.

"Apa yang kau—?!"

"Maaf karena aku membodoh-bodohi," ujar Lex merebut pistol yang digenggam si polisi. Ia lalu menembakkan pelatuk pada paha si polisi hingga polisi itu mengerang kesakitan.

Lex segera bangkit, sekaligus mencuri pistolnya dan menatap padanya sebelum menyusul Jean. "Dan ketahuilah, keponakanmu itu tidak seburuk yang kau kira."

"Sialaaaan!" geram si kapten tanpa bisa membangkitkan tubuhnya.

Lex keluar dari bar, menyusuri jalan yang Jean lintasi barusan. Ia melihat sebuah motor polisi baru saja melintas di sisi jalan dan hendak berbelok tajam ke pertigaan jalan. Lex memanfaatkan akurasi tembakannya, dan telak mengenai bahu si polisi hingga polisi itu lepas kendali dan tersungkur di balik gedung.

Berlari ke arah sana, Lex menyelipkan pistolnya pada sela-sela pinggang celana dan pinggangnya. Kemudian ia mengangkat motor polisi yang masih menyala itu, dan segera menggas sebelum si polisi mengambil tindak lanjut.

Ia berkonsentrasi mendengarkan sirene nyaring polisi menuju ke arah mana. Untungnya Lex mencuri motor yang tepat. Ia membunyikan sirene polisi, mengejutkan kendaraan dan memberinya jalan. Tetapi kerugiannya, seharusnya dia merebut mobil ketimbang motor. Ia mendapati letupan pistol mengincarnya di belakang, dan dia mengikuti nalurinya untuk melenggok ke kanan dan ke kiri supaya tidak terkena tembakan.

Menikung tajam ke arah kiri sampai hampir menyentuhkan lututnya pada jalan, ia mendapati sebuah mobil SUV bergerak mencolok paling depan. Ia menduga mobil itu pasti dikendarai Jean sementara dua mobil polisi di belakang berusaha mengejarnya secepat mungkin. Akhirnya Lex mengambil jalan lain melawan arus searah jalan, berencana untuk mengalihkan polisi yang mengejarnya di belakang dan menyusul Jean nanti.

Ia hampir saja menabrak orang yang hendak menyeberang jalan saat lampu hijau pejalan kaki menyala. Lex sekali lagi berbelok ke arah kanan, dan akan terus berbelok ke arah kanan sambil mengalihkan perhatian polisi.

Pada belokan tajam kanan lainnya, Lex dikejutkan dengan mobil yang melintas berlawanan arah dengannya. Beruntungnya refleksnya cepat, ia segera mengangkat motornya dan melompat di atas kap serta atapnya. Kerusakan besar cukup ia buat di badan mobil itu, dan lebih menyakitkannya lagi ketika dia mendengar suara tabrakan hebat di belakang, mendapati salah satu mobil polisi baru saja bertabrakan dengan mobil kuning yang Lex lompati tadi.

Konsentrasi lihat ke depan, pikir Lex. Dia tidak mau merisikokan nyawa warga, tapi mau bagaimanapun, demi menolong Jean dengan nasib tak beruntung seperti ini, dia tidak akan bisa melakukannya tanpa mengorbankan nyawa. Walau ia tetap bisa meminimalisir.

Pada belokan berikutnya ia bertemu dengan mobil Jean yang baru saja membelok, rupanya Lex dapat mendahului dua mobil polisi yang mengejar Jean. Lex kembali mengeluarkan senjatanya dan berusaha menembaki kaca mobil polisi, menimbulkan kerusakan yang cukup menghalangi mata. Mobil pun mulai bergerak oleng ke kanan dan ke kiri, sampai berujung bertabrakan dengan sanding sebuah gedung, menyebarkan warga yang tadinya sedang berjalan di sana diikuti jeritan.

Di sisi lain, Lex pun ikut terkejut ketika sebuah peluru melesat nyaris mengenai kakinya jika dia tidak segera bergeser, bahkan hampir hilang keseimbangan. Dan beruntungnya Jean telah memimpin ke jalan yang tepat—lagi-lagi pada jalan satu arah yang berlawanan.

Jean di depan sana dengan lihai menyupir mobilnya tanpa melukai warga. Sedang bagi Lex, ia hanya menggunakan motor sehingga mudah untuk menghindar. Dua polisi yang tersisa di belakang mulai kewalahan. Lex tak begitu memerhatikan spionnya lagi karena ia terlalu fokus melihat ke depan. Yang jelas, dia mendengar berbagai suara kerusakan mobil dan sepertinya mobil polisi berkurang satu.

Sampai ia sadari, rupanya laut lepas berada di depan mereka. Lex masih punya kesempatan luang untuk berbelok, tapi dia sangat khawatir ketika Jean terus meluncurkan mobilnya sampai menerobos pembatas jalan dan terjun ke air laut sepuluh meter di bawah jalan. Di saat itu juga Lex langsung menikung tajam sekaligus berhenti, menyeret motornya sampai terparkir di pinggir jalan, sekaligus menghentikan si mobil polisi, nyaris ikut terjun jika mereka tidak tepat waktu.

Dua polisi keluar dari mobil tersebut. Keduanya sempat tercenung melihat mobil Jean di bawah sana mungkin sudah tenggelam. Namun salah satunya kembali teringat pada Lex, menembak ke arahnya bertubi-tubi menyebabkan Lex sendiri tidak sempat menghindar. Di bahu kiri dan kanan ia tertembak. Namun ia sempat naik ke pagar pembatas jalan, dengan gontai sengaja menjatuhkan diri menuju air laut.

Ia memasrahkan keselamatannya. Mumpung hanya berbeda beberapa meter, ada kemungkinan dia masih bisa selamat. Dia memejamkan matanya, merasakan gravitasi menarik tubuhnya sampai melilitkan perutnya, dan terakhir, suara debur air timbul sesaat kemudian teredam karena tubuh Lex sudah masuk ke dalam air yang sangat sunyi.[]

Continue Reading

You'll Also Like

98.5K 6K 31
Leoni Cahaya, gadis yang masuk kedalam sebuah novel. apakah gadis itu menjadi antagonis? tidak. figuran? tidak. atau prantagonis? tidak sama sekali. ...
710K 100K 29
(Completed) Dunia kini berbeda. Badai datang dan tak kunjung berhenti. Salju pun mengubur seluruh kota serta seluruh kehidupan di bumi termasuk di I...
2.7K 207 26
Mereka adalah pencinta cerita detektif terbesar di Indonesia. Dan inilah kisah pertama mereka. *** Net Detective Indonesia (NDI),sebuah organisasi de...
134K 15.3K 39
Pernah dengar tentang puteri duyung, pegasus, centaur, harpies, sphinx dan deretan makhluk mitologi lainnya? Makhluk yang tentu saja tidak asing la...