RECAKA

By Aniwilla

9.2K 2.1K 2.7K

Tentang kematian beruntun dari jajaran murid berprestasi SMA Swasta Anindita. Pembunuhnya ada di antara merek... More

Prolog
1 || Pemuda Tanpa Teman
2 || Dia Pintar
3 || Perpustakaan
4 || Hujan dan Kisahnya
5 || Rumah Tanpa Hangat
6 || Kata
7 || Seorang Teman
8 || Nada
9 || Mimpi Dalam Cerita
10 || Kematian
11 || Retak Bersama Waktu
12 || Tersangka dan Hipotesa
13 || Dingin
14 || Hidup
15 || Tenggelam Suram
16 || Letih yang Menyambar
17 || Ruang dan Seni
18 || Frasa Menyakitkan
19 || Sajak Luka
20 || Karsa
21 || Perihal Rasa
22 || Kontradiksi
23 || Lebur Dalam Dingin
24 || Di Antara Sesal
25 || Dia
26 || Alam Bawah Sadar
27 || Benang Kusut
28 || Sakit Jiwa
29 || Harsa
31 || Titik Untuk Berhenti
32 || Tentang Maaf
33 || Rela Untuk Menerima
34 || Buku Harian
35 || Selamat Tinggal
Epilog
Hujan Terakhir

30 || Cerita yang Patah

169 37 50
By Aniwilla

㋛︎

Dunia menuntutmu menjadi baik.
Menjadi sempurna.
Menjadi serba bisa.
Menjadi disukai.
Banyak ekspektasi orang lain yang harus penuh dalam dirimu.

Lantas jika kau jadi baik ...
Itu bentuk tulus,
atau hanya manipulasi karena tekanan dunia?

-R E C A K A-
.
.
.

㋛︎

Benar yang orang-orang selalu tanyakan.

Di antara banyak cara untuk pergi, kenapa harus kematian? Hilang paling menyakitkan.

Pemuda itu--Alfa-- tak menyangka atas kematian beruntun yang terjadi di depan mata seolah hidupnya memang ditakdirkan untuk menyaksikan itu semua. Tapi tak pernah terlintas sedikitpun dalam pikirannya untuk ikut pergi. Alasannya sederhana, ada Bunda yang harus ia jaga. Jika suatu saat nanti keadaan kembali tak memihak, mungkin Bundanya juga akan pergi, karena Alfa sadar siapa pun manusia yang hidup pasti harus pergi. Alfa selalu meyakinkan dirinya sendiri agar tidak tergiur untuk ikut meski ia akan ditinggal sendirian.

Nama Alfa adalah si pertama paling terang. Lantas ada Dama yang berarti penuh kasih sayang, terakhir diikuti Harsa yang artinya bahagia. Bunda memberi nama sebagus itu pada dirinya untuk diterapkan.

Alfadama Harsa.

Meskipun badai dunia terlalu kencang, begitu sakit, mungkin juga buram sampai membutakan. Alfa selalu meyakinkan dirinya untuk tetap menegakkan bahu. Meski selalu ditinggalkan sendiri, seorang pemimpin baginya tak akan pernah jatuh hanya karena kekosongan. Ada ratusan duri, atau bahkan ribuan. Alfa harus tetap hidup meski diiringi banyak rasa sakit. Jika suatu saat nanti tak ada lagi alasannya untuk hidup. Jika suatu saat nanti banyak yang pergi di hidupnya, Alfa akan berusaha tetap sadar. Mungkin orang lain yang akan membutuhkan dirinya, pikirnya.

Apa yang lebih menyakitkan melihat semuanya hancur dan berantakan, tak sempat membenahi, pemuda itu harus tetap kembali memakai topengnya untuk membenahi perasaan Bundanya terlebih dahulu. Tak sempat mengobati lukanya sendiri, Alfa mendekati sang Bunda yang sudah tak karuan di atas kursi rodanya. Pemuda itu mendekat, bersimpuh menyejajarkan dirinya di depan sang Bunda.

Suara tamparan menghiasi pekat sunyi yang ada di rumah itu. Begitu keras sampai membuat leher Alfa hampir patah. Semburat kemerahan cepat-cepat menjalar hingga ke telinga bersamaan air matanya yang tak sengaja jatuh. Aura menampar Alfa begitu kerasnya dengan luapan emosi yang terpancar di kedua manik bening itu.

"Yuna mana?" tanya Aura dingin. Muka pucatnya semakin mendominasi. Membuat wanita tua di belakang kursi roda yang selalu menjaga Aura ketika di rumah tidak ada orang juga ikut menundukkan kepala, takut.

Alfa menundukkan kepalanya semakin dalam. Ia meremas seragamnya sendiri bingung menjawab pertanyaan sederhana itu. "Maaf." Akhirnya hanya itu, sebatas frasa yang mungkin Alfa sudah bosan untuk ucapkan.

PLAK!!

Satu tamparan lagi, mungkin lebih keras karena sudut bibir pemuda itu sampai robek.

"BUNDA UDAH TANYA SAMA KAMU KAN?" teriakan Bundanya terlalu keras hingga membuat kedua orang yang ada di sana berjengit. "INI SEMUA GARA-GARA KAMU GAK MAU PINDAH SEKOLAH! SEKARANG ANAK BUNDA UDAH GAK ADA, SIAPA YANG MAU NGEMBALIIN ANAK PEREMPUAN BUNDA? AJAK PULANG ALFA AJAK PULANG!" Aura mengamuk tak karuan, menjadi bukan Aura seperti biasanya yang terlihat tenang dan lembut. Ketika Alfa mencoba mendekat untuk menenangkannya, Aura malah menghadiahi anak laki-lakinya sebuah pukulan, dorongan, dan cakaran pada dada bidang Alfa.

Alfa hanya diam saat Bundanya kembali kumat. Sudah biasa seperti ini, mungkin akhir-akhir ini sedikit membaik. Wajar kambuh separah ini, ia habis kehilangan anaknya. Sakit atas kepergian Ayahnya 4 tahun lalu pun belum sembuh, sekarang kembali digores kepergian anak perempuannya, Yuna. Pemuda itu menatap wanita tua yang diam memandang sendu ke arahnya.

"Maaf, Mas Alfa. Tadi Bunda kamu ambil pisau di dapur dan ngelukain dirinya sendiri," ucap wanita tua itu pelan.

Alfa sampai tak menyadari, tangan sang Bunda sudah dipenuhi darah di mana-mana. Dan Aura selalu menolak jika ingin diobati.

"Bu, minta tolong ambil obat Bunda sama jarum suntiknya!" perintah Alfa, yang membuat wanita tua itu tergopoh-gopoh berbalik mencari obat yang dimaksud.

Sedang Aura masih menangis tanpa henti, kadang sembari menjambak rambutnya sendiri, memukul kakinya, mencakar tangannya, sampai tampilannya menjadi seberantakan itu. Alfa kembali mendekat, berusaha memeluk Bundanya seperti sebelum-sebelumnya saat Bundanya tantrum. Tapi Aura dengan keras mendorong bahu Alfa, ia berteriak, masih memanggil nama Yuna. Tidak rela anak perempuan satu-satunya pergi, dan tidak ada yang bisa ia lakukan karena kakinya yang lumpuh.

Aura marah pada dunia. Pada dirinya sendiri. Tapi rasanya amarahnya seolah tak pernah usai dan tak pernah membuatnya menjadi tenang. Ini membuatnya semakin gila. Meski ia selalu berusaha meyakinkan dirinya sendiri untuk tetap kuat sebagai contoh yang baik untuk anak-anaknya, nyatanya dunia ini terlalu tajam untuk mental Aura yang tipis.

Wanita tua tadi yang sering dipanggil Bu Atma datang membawa botol obat dan jarum suntik baru lantas cepat-cepat diambil oleh Alfa. Pemuda itu menarik cairan yang ada di dalam botol dan menyuntikkanya pada lengan sang Bunda.

Tak ada amukan lain dari sang Bunda. Hanya tangis samar yang masih terdengar dari bibir tipisnya. Beberapa menit berlalu hanya diisi dengan rintihan sang Bunda sampai akhirnya Bundanya benar-benar terlelap.

"Mas yang sabar, ya," ucap lembut Bu Atma yang sudah 15 tahun lebih bekerja sebagai pengasuh si kembar dulu dan malah menjadi penjaga Bundanya sekarang. Meski pun Bu Atma hanya bekerja di pagi sampai sore hari, beliau sudah dianggap seperti keluarga sendiri. Bu Atma menghela napas kecil dan mengusap bahu Alfa, menatap pemuda itu prihatin. Mati-matian menahan tangis saat Alfa ditimpa takdir yang begitu rumit. Pemuda itu baru saja kehilangan kembarannya, dan harus kembali tegar menghadapi Bundanya yang kambuh. Tak terbayangkan betapa hancurnya perasaan anak berumur 16 tahun itu. "Mas Alfa kuat, ya! Tenangin diri kamu dulu, ya, biar Ibu yang ngurus dan ngobatin luka Bunda kamu."

Alfa mengangguk dalam diam. Ketika ruangan itu kembali kosong atas perginya Bu Atma yang mendorong kursi roda Bundanya ke kamar, bahu Alfa kembali bergetar hebat. Pemuda itu kembali terisak dan menepuk-nepuk dadanya seolah saat ia melakukan itu rasa sakitnya akan hilang. Tapi nyatanya tidak, dunianya sudah seperti ini. Meski ia menjerit keras bahkan sampai suaranya hilang pun, yang pergi tak akan pernah kembali.

"Lo jahat banget ninggalin gue di situasi kayak gini!" racaunya bergetar.

-𖧷-

Janu menatap datar pria tua berseragam polisi yang asik dengan komputer di depannya. Laki-laki itu menghela napas jengah. Membasahi bibirnya sendiri lantas mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan.

"Saya pembunuhnya, Pak. Cepet penjarain saya, sebelum saya berubah pikiran," kata Janu tak sabaran. Laki-laki itu kembali menyenderkan punggungnya pada bangku yang ia duduki.

"Tunggu orangtua kamu dateng dulu,"  kata Pria berseragam polisi itu heran. Ia menggeleng pelan sembari menatap Janu tak habis pikir. "Kamu masih di bawah umur."

Janu berdecak. "Ngeyel banget dibilangin. Saya udah kasih buktinya ke bapak, saya pikir itu kuat. Yang barusan meninggal di sekolah saya, itu saya yang bunuh. Yang sebelum-sebelumnya juga saya. Saya udah baik banget ini mau nyerahin diri."

"Tunggu orangtua kamu dulu, ya."

"Orangtua saya udah meninggal dua-duanya. Bapak mau ketemu di akhirat?" tanya Janu sarkas, kemudian terkekeh kecil. Laki-laki itu menatap ponsel Yuna yang berada di atas meja, kemudian menghela napas. Rasa bersalah itu ada, tapi semuanya sudah terjadi. Meski terbiasa hidup dengan bayang-bayang rasa bersalah, semuanya masih sama. Sama-sama masih sakit bagi Janu.

Polisi itu mengerutkan dahi tidak suka. Anak jaman sekarang cara bicaranya tidak bisa terkontrol. "Yaudah kalo gitu coba ceritain semuanya sembari nunggu orangtua kamu."

Janu tersenyum manis. Sama seperti sebelum-sebelumnya, senyuman yang menipu banyak orang. Matanya masih berbinar meski benak laki-laki itu menimbun banyak luka. Ia kemudian menatap mata Polisi itu intens. "Kematian Maureen dua bulan lalu, Bapak masih inget?"

Polisi itu mulai memasang wajah serius. Ia sudah menyalakan perekam suara untuk dijadikan prosedur penyelidikan. Lantas menatap Janu meminta kembali melanjutkan kata-katanya. "Kamu yang dorong dari atap?"

Janu menggeleng. Senyumannya masih lebar bertengger di sana membuat Polisi di depannya semakin mengernyit heran, wajah Janu bak malaikat turun dari langit dan tak akan ada yang menyangka bahwa anak itu bisa melakukan hal keji seperti membunuh. "Sebenernya itu gak sengaja. Maureen selalu manggil saya ke atap sekolah, dia sering cerita banyak hal ke saya tentang dirinya yang capek dijadiin alat penghasil piala oleh para guru. Tentang keluarganya yang selalu menginginkan Maureen untuk jadi sempurna, meskipun gak diungkap secara gamblang, tapi Maureen ngerasain. Atau tentang teman-teman di sekolahnya yang berteman sama dia, cuma karena Maureen anak pintar dan kaya raya. Berteman sama Maureen otomatis bisa dapet contekan gratis dan uang jajan gratis. Apalagi Maureen polos anaknya. Maureen cantik, banyak anak cowok di sekolah yang confess ke dia. Maureen populer. Dan teman-temannya berteman sama Maureen cuma untuk itu.

Cuma untuk senangnya aja.

Maureen tetep kesepian, meski dia punya banyak temen. Maureen selalu nangis, meski dia sering ketawa di depan banyak orang. Maureen bodoh dalam hidup, meski dia yang paling jenius di sekolah."

Dua bulan yang lalu di atap SMA Anindita. Maureen santai duduk sembari mengayunkan dua kakinya, sesekali melirik ke bawah atap. Masih dengan senyuman kecil ia menatap Janu yang terpaku di ujung sana, enggan mendekat.

"Lo takut ketinggian?" tanya Maureen lembut. Bahkan suara semerdu itu, bisa membuat siapa pun jatuh cinta.

Janu menggeleng pelan. "Gue takut jatuh."

"Ya makanya jangan jatuhin diri ke bawah," saut gadis itu enteng. "Tapi kalo jatuh ke bawah kira-kira mati gak, ya?"

"Kalo lo hebat gak bakal mati, cuma patah tulang aja," jawab Janu tak kalah enteng. "Mau coba? Katanya capek?"

Kepala Maureen yang sedari tadi menatap bawah mendadak beralih pada Janu yang memasang wajah serius. Awan di atas semakin menggelap dengan rintik hujan yang tiba-tiba turun.

"Ayok, turun! Hujan nih, nanti kesamber petir," ujar Janu lagi. Ia sudah membuka pintu rooftop bersiap-siap untuk turun.

"Janu! Kalo gue jatuhin diri lo bakal nolongin gue gak?" tanya Maureen yang membuat laki-laki itu melempar pandangan aneh pada Maureen.

"Kalo gue bisa kenapa enggak? Manusia kan, harus saling tolong menolong," jawab Janu.

"Lo tau gak? Nyawa gue ada sembilan. Gue kayaknya gak bakal mati kalo terjun ke bawah. Lagian gue punya BPJS."

Janu mendengkus geli, senyumannya semakin melebar mendengar ocehan Maureen yang melantur. "Ngaco! Cepet balik ke kelas, bentar lagi bel, nih!" Janu sudah tidak sabar.

"Lo tau gak? Gue suka sama lo. Soalnya cuma lo yang mau denger keluh kesah gue. Dan cuma lo yang punya jawaban terbaik atas semua masalah gue. Kira-kira lo bakal suka balik sama gue gak?"

Janu terdiam menatap Maureen, terlihat berpikir. Ia tidak terkejut sama sekali atas pernyataan Maureen barusan. "Turun dulu. Nanti gue jawab kalo lo udah turun."

Maureen tertawa kecil. Ia malah bangkit dan berdiri di pembatas gedung. "Jawab sekarang, atau gue terjun, nih!"

Pupil mata Janu seketika mengecil, ia sedikit panik dengan apa yang Maureen lakukan. "Maureen! Licin lo bisa jatoh beneran!"

"Oh ya?" Maureen tersenyum meledek. Gadis itu menghentak-hentakan kakinya dengan senyuman lebar berharap Janu mendekat dan menariknya. Namun kenyataanya laki-laki itu tak berderap mendekati barang sejengkal. Petir berbunyi begitu keras membuat Maureen sontak membungkuk hingga hilang keseimbangan.

Jatuh.

Bunyinya masih segar diingatan laki-laki itu yang disusul suara teriakan anak-anak dari bawah.

Janu masih diam tak berani mendekat. Ia juga terkejut saat gadis yang barusan masih menatapnya dan beradu argumen dengannya mendadak hilang. Pikirannya malah melayang mempertanyakan bagaimana rasanya jadi Maureen yang jatuh dari atap ke bawah.

Apa sakit?

Apa Maureen mati?

Lalu sekarang apa?

Apa beban yang Maureen tanggung sudah lenyap bersamaan dengan nyawanya?

Janu tersenyum semakin lebar sembari menggeleng pelan mengingat kejadian itu. "Ada rasa lega yang gak pernah saya rasain sebelumnya. Maureen sering cerita banyak lukanya ke saya sampai-sampai jadi terasa di saya. Dan saat dia jatuh dari atap, saya malah lega. Karena Maureen gak akan kecapean lagi. Dia gak akan merasa dituntut lagi.

Hal yang paling saya inginkan adalah ketenangan. Dan untuk pertama kalinya saya merasa tenang saat Maureen mati."

Merinding. Polisi di hadapan Janu yang mendengar itu semua hanya menatap Janu kaku, netranya bahkan melebar, tanpa respon sama sekali.

"Saya banyak ngoleksi topeng. Biasanya topeng itu untuk menutupi wajah asli kita, kan? Saya suka make topeng untuk menyembunyikan wajah saya kalau lagi gak senyum. Kadang saya capek untuk senyum, tapi orang-orang bilang senyum saya bagus, jadi saya gak tega ngebiarin mereka liat wajah saya yang tanpa senyum. Menarik lagi kalau saya pakai topeng beneran, hoodie hitam, sarung tangan, sepatu, helium." Janu tertawa kecil. Laki-laki itu seperti anak kecil yang tengah menceritakan momen lucu saat ia bermain. "Itu bukan penyamaran, saya ngerasa paling aman aja kalau make itu semua. Seolah itu bukan saya. Terus dia yang ngendaliin saya, dia berisik banget! Dia jadi sering nyuruh saya ini nyuruh saya itu. Sebenernya saya gak begitu inget kematian anak-anak setelah Maureen."

"Dia?" Polisi di depannya kembali bertanya bingung.

Janu tak menjawab pertanyaan yang Polisi itu ajukan. Pikirannya masih asik menerawang. "Kematian Rizky ada yang mengganjal. Tim forensik bilang, matinya karena ada campuran lem Korea di minuman Rizky? Padahal saya gak punya lem Korea waktu itu. Lagian minum minuman yang mengandung lem Korea gak buat manusia langsung mati, mungkin cuma keracunan dikit, sakit perut, tenggorokan panas. Oh, mungkin udah disogok sama pihak sekolah untuk cepet nuntasin kasusnya?"

"Kasusnya ditetapkan bunuh diri karena memang ada lem Korea di sekitar situ," ujar Polisi.

"Coklat panas yang diminum Rizky ada kandungan lem Korea? Atau ditemukan di hasil otopsi tubuh Rizky?" Janu bertanya, kemudian menggeleng setelah mendengkus.

Polisi itu terdiam. "Kamu yang ngasih minuman itu ke Rizky?"

Janu mengangguk. "Waktu itu saya bawa tanaman Cicuta. Bapak tau tanaman itu mengandung cicutoxin yang membuat kelumpuhan pada organ pernapasan?"

Polisi itu menarik napasnya dalam saat ia kembali melihat Janu tersenyum, terlihat lembut.

"Tadinya saya simpan tanaman itu untuk diri saya sendiri. Tapi ternyata Rizky lebih butuh." Janu kembali terdiam, tidak begitu lama karena bibirnya kembali menyahut. "Gak ada yang curiga kenapa Rizky matinya senyum? Tadinya saya mau mati dengan cara itu, karna banyak yang suka sama senyuman saya, kan."

Kembali tersenyum, lantas kembali datar. Tersenyum lagi, mengembang hanya sesaat, semakin lebar mungkin. Lantas terlihat bingung, lalu dihapus lagi dengan wajahnya yang datar. Seperti itu siklusnya saat laki-laki itu menceritakan seluruh kejadian gelap yang pernah menimpa sekolahnya. "Terus Kara ... ah! Sebenernya saya gak tega. Dia anak baik. Sayangnya saya gak suka cara dia nyemangatin saya, dia terlalu baik. Sampai-sampai dia bisa lebih berisik dari pikiran saya. Dia natap saya seolah saya adalah makhluk sempurna padahal enggak."

"Jadi kamu membunuh mereka semua karena apa? Kenapa kamu tega ngelakuin itu semua?"

"Gak tau. Suka aja ngeliat mereka mati. Saya gak suka Maureen, dia terlalu sakit dan sempurna untuk hidup di dunia. Saya juga gak suka Rizky, dia terlalu penuh ambisi untuk ngambil posisi saya di urutan nomor satu paralel. Saya gak suka Kara, karena dia terlalu memotivasi saya untuk hidup dan jaga kesehatan, padahal saya ingin sekali mati. Saya gak suka Cio juga, karena dia terlalu keras kepala untuk nyari tahu banyak hal tentang saya."

Polisi itu tampak semakin terkejut hingga tak sadar telah memajukan tubuhnya dengan pandangan tajam ke arah Janu. "Kamu juga yang membunuh Rachio?"

Janu menatap Polisi kesal. "Saya udah bilang. Rentetan pembunuhan itu saya yang buat. Ruang seni, harus punya kesan seni? Jadi menurut Bapak kematian Cio udah jadi yang tersadis belum di tahun ini? Legend sih, itu."

"Kamu gak waras, ya?"

"Iya. Saya ngelakuin itu semua setiap hujan dateng. Bapak tau gak rasanya setiap hujan dateng dan Bapak gak bisa ngendaliin diri bapak sendiri? Saya ngerasain itu semua. Dan setiap hujan, kewarasan saya hilang. Tapi saya tau itu salah, karna itu keinginan untuk mati dalam diri saya semakin besar. Dan Yuna ...." Janu menghentikan kalimatnya. Ia menggigit bibirnya tiba-tiba. Ia lelah merasakan perasaan bersalah yang terus menghantuinya, tapi nyatanya saat jiwa membunuh itu hadir raganya tak bisa menghentikan. Laki-laki itu malah tersenyum hangat. "Kata maaf gak akan cukup kayaknya."

"Kamu menyesal?" tanya Polisi itu.

Janu menggeleng pelan. "Saya lebih menyesal karena saya ada."

Polisi itu menghela napas untuk yang entah ke berapa kali sembari menatap Janu iba. "Kamu masih kecil. Masa depan kamu masih jauh, perjalanan hidup kamu masih panjang. Harusnya kamu belajar aja yang bener. Kenapa malah ngerusak hidup kamu dengan bunuh-bunuh kayak gini? Banyak orang yang kehilangan dan kecewa sama kamu. Kamu pikir semua yang kamu lakuin keren?"

"Saya gak pernah menginginkan hidup saya lebih panjang."

"Terus kamu seneng sekarang?"

Janu tertawa, terdengar begitu renyah. Lesung pipinya terlihat begitu indah. Benar-benar tidak kontras dengan perilaku Janu yang sesungguhnya. Sekilas, orang berpikir mungkin Janu hanya bercanda. "Lo gak akan paham arti kesenangan bagi orang seperti gue," desis Janu pelan sembari menatap mata Polisi di hadapannya.

Setiap manusia memiliki iblis di dalam dirinya masing-masing. Keputusan mereka untuk membangkitkan iblis tersebut atau membiarkannya tertidur. Mungkin Janu adalah salah satunya. Iblis itu adalah pikirannya yang tak dapat Janu kendalikan, meskipun sebagai pemilik raga Janu bisa menang, nyatanya permainan iblis itu lebih menyenangkan. Hingga akhirnya Janu menjadikan iblis itu sebagai alter egonya sendiri.

Janu yang baik hati itu tetap dirinya. Dan Janu yang gila juga sebagian dari dirinya. Janu tetap orang baik, laki-laki itu tetap pemilik senyum sehangat mentari pagi dan setenang muara sungai. Laki-laki itu tetap si pemilik binar paling bersinar dan hati yang selembut sutra. Tapi Janu juga orang jahat. Pemilik pikiran sadis yang tega membunuh temannya hanya karena kalah dengan traumanya sendiri.

Nyatanya Janu tetap Janu.

Januari Candramawa.

Si hitam yang terlihat terang.

-𖧷-

㋛︎

-R E C A K A-
.
.
.

GILA SATU BULAN GUE KE MANA🤣

KEMBALIKAN JANU GUE ANJIM INI JANU KENAPA OUT OF CHARACTER BANGET, INI BUKAN JANU, MANA JANU GUE😭

Maaf ya kalau gak jelas, maklum buat ceritanya juga ngasal.

-24/03/22

Continue Reading

You'll Also Like

848 121 11
Bagaimana jika mereka tau siapa diriku sebenarnya? Apa aku akan di buang atau pun di bunuh? -Eunsi
10K 1.2K 42
[PART LENGKAP] "Di antara beberapa planet. Aku diibaratkan sebuah planet Pluto yang keberadaannya sudah tidak di anggap, hanya perkara kedudukannya l...
KANAGARA [END] By isma_rh

Mystery / Thriller

7.4M 540K 93
[Telah Terbit di Penerbit Galaxy Media] "Dia berdarah, lo mati." Cerita tawuran antar geng murid SMA satu tahun lalu sempat beredar hingga gempar, me...
5.9K 962 44
Follow sebelum baca! Seperti yang kita tahu, seni abstrak adalah seni tanpa wujud yang tidak menggambarkan objek dalam dunia nyata. Tetapi, menggunak...