RECAKA

By Aniwilla

9.2K 2.1K 2.7K

Tentang kematian beruntun dari jajaran murid berprestasi SMA Swasta Anindita. Pembunuhnya ada di antara merek... More

Prolog
1 || Pemuda Tanpa Teman
2 || Dia Pintar
3 || Perpustakaan
4 || Hujan dan Kisahnya
5 || Rumah Tanpa Hangat
6 || Kata
7 || Seorang Teman
8 || Nada
9 || Mimpi Dalam Cerita
10 || Kematian
11 || Retak Bersama Waktu
12 || Tersangka dan Hipotesa
13 || Dingin
14 || Hidup
15 || Tenggelam Suram
16 || Letih yang Menyambar
17 || Ruang dan Seni
18 || Frasa Menyakitkan
19 || Sajak Luka
20 || Karsa
21 || Perihal Rasa
22 || Kontradiksi
23 || Lebur Dalam Dingin
24 || Di Antara Sesal
25 || Dia
26 || Alam Bawah Sadar
27 || Benang Kusut
28 || Sakit Jiwa
30 || Cerita yang Patah
31 || Titik Untuk Berhenti
32 || Tentang Maaf
33 || Rela Untuk Menerima
34 || Buku Harian
35 || Selamat Tinggal
Epilog
Hujan Terakhir

29 || Harsa

175 43 36
By Aniwilla

㋛︎

Katanya bahagia itu diciptakan, bukan dicari.

Seperti menerima keadaan meski pahit. Karena hidup tak harus selalu berjalan sesuai apa yang kita harapkan.

-R E C A K A-
.
.
.

㋛︎

"Ini pada mau ngapain?" tanya Alfa menatap sekitarnya. Ia mendudukkan dirinya di samping Dafi. "Ceramah atau stand up comedy?"

Dafi mengangkat bahunya sebagai jawaban bahwa ia tidak tahu. Baru pertama kali juga laki-laki itu mendengar ada project seperti itu di daerahnya. Apa yang akan mereka lakukan pun Dafi tidak tahu menahu, ia hanya penasaran. Dan kebetulan Alfa ikut, membuatnya tidak terlihat bodoh sendirian.

DUK!!

"Ekhem! Cek-cek! 1 ... 2 ... 5?" Salah satu laki-laki yang mengenakan almamater ungu fakultas psikologi mengecek beberapa mic yang ada di meja depan. Kemudian duduk di sana, bersama beberapa orang yang mengenakan alamamater berwarna serupa.

"Pertama-tama makasih banget untuk kalian semua yang udah mau hadir di acara kita. Sebelumnya kita ada kampanye besar-besaran juga tahun kemarin bertepatan dengan hari kesehatan mental sedunia. Tapi karena ada beberapa faktor, kita mengadakan acara ini kembali. Untuk mengingatkan kita semua terhadap mental aware  yang terjadi di Indonesia. Mungkin tentang kesehatan mental dan lain-lain akan dibicarakan oleh teman saya selaku aktivis bunuh diri." Laki-laki yang tengah berbicara itu menoleh ke arah perempuan di sebelah kanannya. "Silakan."

Perempuan manis berkacamata itu tersenyum pasif. Ia merapatkan almamater ungunya dan mendekatkan mic pada bibirnya. Menjelaskan beberapa faktor seseorang memiliki pemikiran bunuh diri, sebab, akibat, dan apa-apa saja jenis-jenis dari hal tersebut. Dia berbicara panjang lebar membuat beberapa orang terdiam mendengar penuturan sopan yang telah dirangkai sebegitu rapinya. Beberapa menit berlalu hanya diisi dengan suara lantang perempuan berkacamata itu tanpa hal mengganggu dari para audiens. Kemudian perempuan itu terdiam, sembari menatap satu persatu orang-orang di hadapannya yang kebanyakan para remaja.

"Mereka mungkin berpikir, atau kalian yang mengalami hal serupa, pernah terlintas bahwa meninggalkan dunia ini adalah jalan terbaik. Berharap beberapa orang akan kehilangan kalian dan membuat mereka tersiksa dan menyesal. Mungkin kalian akan berpikir, masalah kalian akan selesai." Perempuan itu menghela napasnya sejenak. Lantas menggeleng. "Jika kalian mati. Masalah tidak akan pernah selesai. Hidup kalian memang telah usai, tapi dunia masih berjalan."

Bahkan ketika perempuan itu berhenti bicara beberapa sekon, tak ada satu pun audiens yang bersuara. Seolah menanti kata selanjutnya yang akan diberikan perempuan itu lagi.

"Saya pernah dengar kata-kata ini, meski ada banyak alasan untuk mati, temukan satu saja alasan untuk hidup. Jika tidak punya, maka tetap hidup untuk mencari alasan itu. Saya yakin beberapa orang yang rela hadir di kesempatan kali ini begitu hebat bertahan hingga sudah berada di titik ini, dan saya harap. Kita, kalian semua, bisa bertahan sedikit lagi." Perempuan itu menjauhkan micnya yang menandakan ia sudah selesai berbicara panjang lebar.

Laki-laki yang berbicara di awal kembali mengambil micnya. "Kalian yang memiliki atau tidak memiliki pemikiran seperti itu bisa kok tanya-tanya atau konsultasi langsung ke organisasi kita. Ada Psikolog dan Psikiater juga kalau kalian penasaran, jadi jangan pernah merasa sendiri, ya! Di sini kita berjuang sama-sama."

Laki-laki dengan rambut sedikit berantakan di sebelah kiri yang sedari tadi hanya terdiam ikut mendekatkan bibirnya pada mic saat temannya selesai berbicara. "Ada pertanyaan?" Lantas kembali menyenderkan punggungnya pada kursi.

Beberapa orang mulai bertanya dan dijawab dengan baik oleh mereka. Kebanyakan mengaku memiliki pemikiran tersebut karena faktor lingkungan. Dan ada pun yang ingin mati hanya karena ingin mendapat perhatian.

Alfa tiba-tiba mengangkat tangannya ketika ia rasa sudah tak lagi ada yang bertanya, membuat atensi tiga orang di meja depan tertuju ke arahnya.

"Silakan?"

"Kenapa mereka bisa punya pemikiran sedangkal itu? Mm- maksud saya, tadi udah dijelasin karena faktor kejiwaan, trauma, pola asuh, lingkungan. Tapi ... kenapa fikiran itu bisa ada? Bukannya mati adalah salah satu hal yang paling banyak ditakuti manusia?"

Kali ini perempuan berkacamata itu mengangguk dan tersenyum simpul. "Begini, menurut beberapa pakar psikologi. Bunuh diri itu banyak penyebabnya, seperti yang udah saya jelasin, mungkin karena depresi, penyakit mental, skizofrenia, bipolar, dan lain-lain. Tapi bukan cuma itu, orang-orang yang sakit secara mental dia juga sakit secara fisik. Begitu pun sebaliknya. Orang yang memiliki kanker kronis pun bisa memiliki pemikiran bunuh diri. Dan kenapa?" Perempuan itu menoleh pada temannya. "Ardi? Lo bisa jelasin."

Laki-laki yang berada di tengah itu mengangguk. Berdekhem sebentar. "Manusia itu, kan, punya insting bertahan hidup. Tapi insting itu bisa hilang atau hancur jika hidup yang dia jalanin terlalu sulit dan sakit. Jadi secara gak sadar, otaknya mulai berpikir jika dia mati, maka dia tidak akan merasakan sakit."

Kini gantian otak Alfa yang dituntut berpikir menyerap segala kata yang orang-orang di depan sana lontarkan. Bersamaan dengan ketergamamannya ponsel di saku tiba-tiba berdering.

Gurunya menelpon. Mungkin ingin bertanya tentang alasan mengapa ia tidak ikut kelas. Tapi dugaan Alfa salah saat yang ia dapati adalah kabar buruk mengenai sekolahnya hari ini. Laki-laki itu berdiri dan berlari secara cepat tanpa memedulikan banyak orang yang ada di aula. Pikirannya sekarang mendadak bercabang dan di antaranya adalah negatif.

Seharusnya ia tetap di sekolah. Seharusnya ia tidak mengikuti projek sialan yang tak berguna, pikirnya. Seharusnya Alfa mengikuti pelajaran seperti biasanya. Dan apakah keadaan bisa berubah jika Alfa tetap ada di sana?

-𖧷-

Tak ada yang bisa menyangkal fakta bahwa setiap manusia akan merasakan mati. Setiap manusia akan bertemu dan kehilangan orang-orang di sekitarnya. Siklus hidup selalu berubah, begitu pun nasib seseorang. Tak ada yang benar-benar selamanya di semesta.

"Ibu belum menghubungi orangtua kamu," ucap Bu Wiji sesaat Alfa sampai di depan ruang ICU.

Laki-laki itu masih mengatur napasnya karena berlari. Kemudian menggeleng, matanya menelisik ke dalam ruang ICU lewat celah pintu yang terbuka. "Gimana, Bu? Yuna kenapa?"

Bu Wiji menghampiri Alfa dan mengusap bahu laki-laki yang lebih tinggi darinya. "Tenang dulu! Lebih baik kamu kasih tau orangtua kamu."

Lagi, Alfa menggeleng. "Bunda pasti syok."

Guru itu mengangguk paham. "Kamu tahu mana yang lebih baik. Kamu bisa masuk."

Alfa mengangguk. Tungkainya pelan membawa laki-laki itu memasuki ruang ICU gemetar. Matanya diliputi rasa takut, tangannya sudah mengepal erat hingga kuku-kukunya berhasil melukai kulit berharap cara itu dapat membangunkannya dari mimpi. Kepalanya sudah pening, Alfa hanya ingin istirahat dari semua ini.

Apa Tuhan begitu membenci Alfa karena sudah menghilangkan nyawa Ayahnya hingga ia harus mendapatkan semua ini? Apa Alfa pantas?

Netranya terpaku pada tubuh Yuna yang terbaring lemas dengan beberapa alat bantu napas terpasang di tubuhnya. Wajah gadis itu pucat pasi, membuat Alfa sempat menghentikan kakinya sebentar. Matanya terpejam. Ia benar-benar takut sekarang.

Alfa kembali melangkah pelan. Menggenggam tangan kembarannya lembut. Dan saat itu bibirnya menyunggingkan senyuman kecut saat ia dapati tangan Yuna begitu dingin. Tak hanya matanya yang mulai panas, dadanya pun sudah bergemuruh di dalam sana. Ia menaikan selimutnya hingga dada. Pikirnya, Yuna pasti kedinginan. Lalu kembali menggenggam tangan kembarannya erat.

Salah satu Dokter dan dua perawat meninggalkan Alfa yang masih terdiam dengan satu Dokter lainnya di satu sisi ranjang sebelah.

Alfa mendudukkan dirinya di samping brankar. Laki-laki itu masih diam menatap kembarannya dengan monitor detak jantung yang menunjukkan denyut nadi Yuna yang begitu lemah. Alfa kembali mengeratkan genggamannya, ia benar-benar takut Yuna hilang, sama seperti Gata saat itu.

"Apa kabar, Alfa?" Dokter berjas putih dengan nametag Ariansyah Hagi itu memandang Alfa prihatin. Kemudian ia tersenyum hangat. "Sudah lama saya tidak bertemu kamu. Bagaimana keadaan Bunda kamu? Oh iya, kenapa saya jarang sekali bertemu Yuna untuk check up, ya? Kalian, pindah rumah sakit?"

Mendengar penuturan Dokter Rian, mendadak Alfa kembali memejamkan matanya. Ia bahkan tak bisa bernapas secara normal. Degup jantungnya kembali berdetak tak beraturan, perasaannya tidak enak. Ia memiliki firasat bahwa Dokter Rian akan memberikan pernyataan pahit, lagi.

"Apa Yuna masih minum obat?" tanya Dokter Rian yang masih setia menunggu jawaban remaja itu meski tak digubris sama sekali.

Alfa mengangguk. Ia membuka kelopak matanya dan memilih kembali menatap Yuna, berharap gadis pucat itu membuka mata. "Dia selalu minum obat."

Dokter Rian terlihat berpikir. Ada raut ragu saat akan mengatakan frasa lain dari bibirnya. "Sepertinya kembaran kamu sudah berhenti minum obat selama lima bulan terakhir. Dia juga tidak pernah menemui saya lagi. Kondisinya makin parah. Yuna sudah berada di stadium akhir, Alfa."

Deg. Jantung Alfa mendadak berhenti sesaat. Laki-laki itu kemudian mengulum bibirnya menahan agar air matanya tak jatuh, tapi sia-sia. Lelehan hangat dari kelopak matanya begitu deras berlomba-lomba turun membasahi pipi dingin laki-laki itu. 5 bulan adalah waktu yang cukup lama, bagaimana seorang Alfa yang katanya ingin menjadi pemimpin rumahnya sendiri bisa tidak tahu bahwa Yuna tidak meminum obatnya selama itu.

Bahkan Alfa tak becus menjaga dua wanita saja!

"Apa dia sering mimisan? Atau mudah kecapean sampai pingsan?" tanya Dokter Rian lagi.

Dan lagi-lagi. Alfa hanya bisa diam tak menjawab. Ia bingung sekaligus malu, bahwa hal-hal kecil di sekitarnya saja ia tidak tahu. Isakan mulai lolos dari bibir Alfa, terdengar perit. Begitu sedu sedan karena kali ini rasanya sungguh menyakitkan. Bahkan bahunya sudah bergetar menahan tangis yang mungkin akan menganggu pasien lain di sekitarnya. Ia meremas rambutnya frustrasi dengan tangan sebelahnya. Dalam hati sudah menyumpah serapahi kebodohannya sendiri.

"Sekarang Yuna kehilangan banyak darah." Dokter Rian menghentikan perkataannya sejenak untuk sekedar menghela napas berat. "Kemungkinan untuk sadar itu tipis, Alfa."

Alfa mendelik. Menatap Dokter Rian sinis, tak peduli jika itu adalah Dokter keluarganya sendiri. "Jadi Dokter mau bilang kalo Yuna gak bakal bangun?"

Beberapa orang yang ada di ruangan sedikit terganggu akibat bentakan Alfa. Dokter Rian menginterupsi laki-laki itu agar sedikit tenang dengan bahasa tangannya. "Tenang! Ini Rumah Sakit."

"Waktu itu Dokter sendiri yang bilang," lirih Alfa dengan bibirnya yang gemetar, sudah merah karena beberapa kali ia gigit keras-keras. Matanya pun berwarna senada, basah tak karuan. "Kalau Yuna bisa sembuh."

"Saya tidak perlu menjelaskan kenapa ke kamu. Karena saya yakin kamu adalah murid yang pintar. Leukimia tidak bisa sembuh total. Apalagi Yuna memperburuk kondisinya sendiri dengan tidak pernah kontrol ke Rumah Sakit. Dengan kondisinya yang sekarang, saya cuma bisa bilang--

"Egois!" sambung Alfa memutus perkataan Dokter Rian. "Semenjak Ayah gak ada, anda gak peduli sama keluarga saya. Kalau anda memang peduli dari awal. Kenapa gak hubungin saya? Kenapa gak bujuk Yuna untuk check up ke Rumah Sakit?"

Dokter Rian terdiam. Baginya tak membalas perkataan remaja yang tengah kalut dengan emosinya sendiri adalah jalan terbaik. Pria itu berusaha mengerti perasaan Alfa saat ini.

"Pergi! Saya bisa jaga Yuna sendiri. Dia kuat, dia bisa bertahan. Dia pasti bangun!" kata Alfa dengan penuh penekanan. Laki-laki itu lebih memilih meletakkan dahinya di atas tangan dingin Yuna yang tengah ia genggam. Samar-samar bunyi sepatu pantofel sang Dokter melewati indra pendengarannya, pertanda pria berjas putih itu sudah pergi.

Dunia laki-laki itu mendadak berputar hebat hingga memporak-porandakan seluruh isinya. Ia sudah merasakan banyak kehilangan, apa tidak cukup memberi bekas luka di masa lalu yang bahkan sampai sekarang bingung bagaimana cara untuk sembuh. Sepertinya dunia memang jahat, bahkan saat dunia laki-laki itu terasa runtuh, semesta masih mau mengujinya.

Pikirnya, seharusnya Alfa saja yang mati saat itu. Jangan Ayahnya. Mungkin keadaan tidak akan serumit ini. Mungkin keadaan tidak akan sesakit ini.

"Dari sekian banyaknya yang pergi ninggalin gue. Tolong, jangan lo," lirih Alfa. Kepala laki-laki itu terangkat cepat saat samar-samar ia mendengar suara lemah memanggilnya pelan. Pupil matanya mendadak lebar, begitu pun senyumnya. Ia bangkit berdiri saat melihat dua kelopak saudaranya terbuka. "Gue panggil Dokter."

Tangan Yuna menarik Alfa yang hendak pergi, membuat laki-laki itu berhenti dan menoleh bertanya. "Kenapa? Sebentar kok."

Yuna menggeleng lemah. Tangan satunya ia gunakan untuk membuka alat bantu napas yang terpasang di tubuhnya. "Duduk," katanya pelan. Membuat laki-laki itu menurut dan duduk dengan tenang di sampingnya.

Alfa diam. Netranya fokus menatap Yuna dengan tangan yang terus menggenggam jari-jemari lemah adik kembarnya. Ia benar-benar takut semua yang ia lihat hanya mimpi. Nyatanya tidak. Yuna, benar-benar membuka mata.

"Maaf." Genggaman tangan Alfa semakin mengerat saat Yuna mengucapkan frasa itu dengan lemah. Namun laki-laki itu masih diam, menunggu kata selanjutnya yang Yuna ingin sampaikan.

Yuna menutup matanya. Pening menjerat sebagian kesadarannya membuat tidur adalah jalan terbaik. Ia menghela napas pelan. "Maaf, gak bisa bahagia sama-sama."

"Lo ngomong apa, sih?" Alfa mengusap rambut Yuna pelan. Mungkin ia sering adu argumen dengan kembarannya membuat orang lain berpikir jika hubungan keduanya tidak begitu dekat karena hal tersebut. Namun di balik itu semua, justru hal itu yang membuat mereka dekat. Mereka kembar. Apa pun yang salah satunya rasakan, akan dirasakan oleh satunya lagi. 

"Makasih, Al. Udah jadi Abang terbaik buat gue." Meski dengan mata terpejam, Yuna masih mau melanjutkan frasanya. "Kalau masa lalu terlalu sakit buat lo. Lupain aja."

Alfa tersenyum kecut. "Gimana gue bisa lupa? Masa lalu adalah bagian dari diri gue juga."

"Kalau gitu jangan. Tapi lo harus inget masa lalu lo dengan persepsi yang gak ngebuat lo sakit. Gue gak pernah kecewa sama lo tentang Ayah, Al. Setelah ini gue harap lo gak nyalahin diri lo lagi," kata Yuna begitu pelan, namun masih bisa didengar Alfa begitu jelas.

Alfa terdiam. Masih terpaku dengan wajah pucat Yuna yang menutup matanya. Ada bagian dari dirinya yang hilang karena kejadian itu. Meski ia pikir Ayahnya pantas mati, tapi menjadi pengganti Ayahnya pun Alfa belum tentu bisa.

"Kalau kehidupan selanjutnya beneran ada. Gue bakal tetep ingin lahir sebagai adik kembar lo. Gue bakal tetep milih kehilangan Ayah daripada lo, karena gue gak bisa tanpa lo, Bang."

Alfa menggigit bibirnya lagi. Yuna selalu menganggap Alfa adalah Abang meski mereka kembar, meski umur mereka sama. Ia tidak mau kembali pecah tangisnya. Gemetar, netranya sudah basah karena air mata.

"Gak ada manusia yang mau jadi pembunuh, kan?"

Alfa mengangguk pelan.

"Maafin semua yang ngebuat lo sakit."

Tangisnya pecah. Alfa menunduk tak sanggup menatap wajah Yuna lebih lama. Isakannya bahkan tak dapat ia tahan. "Lo pasti bisa sembuh," kata Alfa gemetar.

"Gue tetep akan mati kok. Gue cuma gak mau duit peninggalan Ayah diabisin cuma untuk pengobatan gue yang gak menjamin." Yuna tersenyum kecil. "Lebih baik lo gunain untuk pendidikan lo. Buat Bunda bahagia."

Alfa semakin berusaha menahan isakannya agar tidak terdengar. Bahunya sudah bergetar hebat. Matanya sudah merah membengkak akibat terlalu banyak mengeluarkan air mata. Tangan satunya mengepal kuat. Tak menyangka takdir benar-benar mempermainkannya.

"Alfadama Harsa," lirih Yuna. Kemudian lama terdiam. "Gak sia-sia Bunda ngasih nama itu. Lo berhasil jadi pemimpin yang kuat dan penuh kasih sayang. Tapi sayang, belum bahagia."

Yuna menarik napasnya lagi. Ia masih berusaha melanjutkan perkataannya meski terasa berat. "Lo harus bahagia. Ciptain bahagia lo dengan menerima hidup lo."

"Yuna," kata Alfa pelan.

"Jaga Bunda, ya."

Alfa menggeleng. Hidungnya sudah memerah, bahkan semburat itu sudah menyebar ke seluruh wajahnya membuat laki-laki itu semakin menunduk.

"Tenang," lirih Yuna lagi. "Gue gak ke mana-mana."

Tapi kata itu hanya sekedar frasa. Tidak lebih. Tidak untuk menjadikannya nyata. Karena terkadang janji pun masih bisa ingkar. Nyatanya monitor pendeteksi jantung berbunyi nyaring bersamaan garis lurus yang tertera pertanda jantung pasien tak lagi berdetak.

Laki-laki itu hanya diam. Bahkan untuk berdiri sekedar memanggil bantuan pun ia tak sanggup. Karena Alfa sadar, tak ada Dokter yang bisa membantunya. Grasak-grusuk di sekitarnya mulai terjadi saat mereka sadar akan monitor yang berbunyi nyaring, salah satu suster berlari memanggil Dokter. Sementara laki-laki itu tersenyum, sembari mengangkat kepalanya menatap Yuna sendu.

"Lo suruh gue bahagia dengan cara kayak gini?" Diikuti tawa miris yang malah terdengar pilu. Menggeleng pelan. "Lo bercanda!"

-𖧷-

㋛︎

-R E C A K A-
.
.
.










Apa kabar? Udah makan?

Jaga kesehatan. Jangan sakit! Kalian hebat, udah bertahan sampai part ini.

Maaf, karena gak sesuai ekspektasi.
Makasih, karena udah luangin baca sampai sini.

Salam cinta dari saya yang gak mengerti cinta😗

-Aniya.  Taman Cibodas, 09 Maret 2022.

Continue Reading

You'll Also Like

49K 4.2K 56
"Cita-cita gue pengen jadi atlet voli nasional, kalau perlu sampai ke tahap internasional juga. Tapi yang utama sih, tetep pengen jadi orang kaya ray...
1.8K 368 7
Follow dulu, yuk! Kilas balik kehidupan Maleo sebelum bertemu dengan ibu dan adiknya. ───────────── Cerita ini adalah KILAS BALIK sebelum cerita ALEA...
KANAGARA [END] By isma_rh

Mystery / Thriller

7.5M 545K 93
[Telah Terbit di Penerbit Galaxy Media] "Dia berdarah, lo mati." Cerita tawuran antar geng murid SMA satu tahun lalu sempat beredar hingga gempar, me...
28.7K 2.5K 44
{END} [TYPO MASIH BERTEBARAN!! AWAS SAKIT MATA!] Ini kisah tentang gadis yang diberi sebuah misi oleh orang tuanya. Misi yang telah hadir ketika Di...