Tema: https://www.proprofs.com/quiz-school/personality/playquiz/?title=mtq1mzuznq7dq4 dan cari tau apa love language kalian. Buat cerita tentang seseorang yang mengungkapkan perasaannya menggunakan hasil tes bahasa cinta yang sudah didapat ]
Judul: I wanna be with you forever
Genre: not a really romance. Drama, maybe
Qur'an Time! /Bukan
****
****
"Runtuh ...."
"Apa memang malam-malam begini?" tanyaku.
Ven mengangguk pelan. "Sebenarnya, malam itu saat semua orang 'aman' dan berkumpul di rumah masing-masing, tapi kalau rumahnya udah enggak ada ...."
"Apa kalian menggelandang di dalam sana?" sahut Ivy prihatin.
"Bukan menggelandang," gumam Alba. "Lebih seperti ... apa, ya? Enggak bebas."
"Kalau benar, berarti sebentar lagi kota akan berubah mencekam, dan enggak ada tempat berlindung buat semua orang."
"Kenapa mencekam?"
"Sumber energi hilang, tepat saat pesawat raksasa lepas landas."
Tepat setelah itu, suara menderu tak kalah kencangnya terdengar. Empat pesawat berukuran besar meluncur di angkasa, meninggalkan jejak debu.
".... Ah." Ven tampak baru sadar keberadaan medali di tangan Alba. "Sejak kapan kamu punya itu?"
"Sejak dulu, atau saat ini." Alba tampak linglung. "Sebelum kubahnya runtuh. Aku mengambilnya."
"Mengambil–apa?!"
Kami hanya diam mematung.
"Jadi kamu!" Ven menyentak Alba. "Kamu memang pendiam, sakit-sakitan, tapi nekat juga ya? Medali kehormatan itu buat para pemenang, itupun mereka enggak boleh menyentuhnya langsung!"
"Jadi aku ... apa?"
"Kamu buron, Al! Tapi kenapa kamu enggak pernah ditemukan? Padahal kamu enggak pergi ke mana-mana, sampai kubahnya waktu itu runtuh, 'kan?!"
"Aku ... buron?"
Aku menelan ludah. "Maaf menyela, apa sebaiknya kami menjauh?"
Ven menatapku. Pandangannya berapi-api. Dia memang bukan anak perempuan biasa. "Terserah."
Ralat, ternyata dia perempuan biasa.
Kami memilih menjauh, tetapi BZ tinggal di sana, duduk diam dan menyimak. Ia hanya mengacungkan jempol ketika kuajak pergi. Aku akan sampaikan padamu, itu maknanya.
"Aku enggak tahu kamu telmi apa gimana, tapi pengumumannya selalu disiarkan, beritanya ke mana-mana, dan anehnya ... enggak ada yang tahu siapa yang mengambil benda itu!"
"Kok bisa?" Alba bertanya pelan.
"Enggak tahu. Yang mau kutanyakan, kok kamu bisa mengambilnya? Ini, medali yang disimpan di pusat, 'kan? Yang diletakkan dalam tabung energi? Di ruangan dengan pengamanan ketat?"
Alba menunduk. "Aku pun enggak tahu ... aku cuma ingin. Tiba-tiba saja, tabung itu pecah, aku sudah memegang benda ini."
"Ah." Ven tampak frustrasi. "Lalu, kamu udah paham sekarang?"
Alba hanya menjawab pelan, "Emas ajaib ini memintaku untuk mengambil dan menyembunyikannya. Itu yang kurasakan sejak pertama kali melihatnya."
"Gila ...." Ven akhirnya merebahkan diri. "Jadi, kamu penyebabnya, Al. Runtuhnya kubah itu adalah bencana, karena di luar enggak ada apa-apa, dan keadaan atmosfer membuat enggak ada tanaman yang bisa tumbuh di luar, alias manusia enggak akan bertahan lama. Makanya satu per satu kawan kita menghilang, entah mati atau mencari dunia lain. Aku mengandalkan orang-orang yang masih memikirkan nasib tempat ini, mereka kembali untuk membawakan perbekalan."
"Kenapa mereka bisa kembali?" tanya Alba pelan.
"Enggak tahu, mungkin mereka sudah ahli menjelajah waktu."
Hening beberapa saat.
"Al."
"Hm?"
"Kukira, aku enggak bisa menghabiskan waktu berdua denganmu lagi."
"Hm ... berdua?" Alba terdengar melantur.
"Karena kamu dikabarkan sudah mati ... aku cari cara biar bisa menyusulmu, entah ke dunia mana. Aku salah. Maafkan aku, Al."
Alba melirik Ven. "Dimaafkan."
"Harusnya, aku enggak memaksamu masuk ke alat itu." Suara Ven bergetar. "Aku malah mengacaukan semua."
"Enggak, kok." Alba kembali merogoh sakunya, lantas mengeluarkan medali itu. "Aku malah jadi sehat berkat kamu. Makasih, Ven."
Lagi-lagi hening.
"Aku paham. Benda ini adalah sumber energi kubah. Aku mencurinya, sama dengan aku yang menghancurkan satu-satunya benda harapan manusia itu, 'kan."
"Pintar," ucap Ven.
"Tapi enggak bisa. Benda ini seperti minta tolong padaku. Dia merasa jatuh ke tangan yang salah. Ia mau membuat peradaban yang sebenarnya, tanpa peperangan yang membuat dunia jadi seperti ini."
"Peperangan ...?"
"Ah. Abaikan." Alba mengusap wajahnya. "Kepalang tanggung, Ven. Linimasa kita udah kacau. Kenapa enggak sekalian aja kita pindah?"
"Pindah apa maksudmu?"
Alba menunjuk ke kejauhan. Menunjuk kami.
"Kita pindah ke dunia mereka, dan hidup tenang di sana, melupakan dunia asli kita."
"Al ...?"
"Aku mau memperlihatkanmu ini." Alba merogoh sakunya lagi, kali ini mengeluarkan kuntum sakura yang mengering. "Pohon sakura raksasa. Indah sekali. Warnanya cocok buat warna matamu."
Ven tertegun.
"Kita ... akan bersama, selamanya, sampai tua." Alba mengulurkan jari kelingking tangan kanannya. "Janji."
Ven tanpa sadar menyambutnya. "Janji ...."
"Karena dari dulu, Ven, kamu satu-satunya yang berarti buatku. Aku enggak peduli yang lainnya."
****
Itu kata mereka.
Aku menangkap sinyal dari BZ dengan sangat baik. Ah, baiklah, kalau mereka berdua mau kembali ke Hayalan (di linimasa sekarang), tidak akan ada yang keberatan.
Mereka bertiga kembali. Entah apa yang akan terjadi malam ini pada orang-orang di dalam kubah, yang jelas, kami akan beristirahat di tenda, lalu besok kembali.
"Urusan kalian udah selesai, anak-anak?" sapa Deha, seolah ia orang tua.
"Ya ... ngantuk." Ven menguap.
Ah, ia masih anak-anak juga.
"Kalian abis diskusi apa?" tanyaku pura-pura tak tahu.
"Oh." Alba menggaruk kepalanya. "Kami mau ikut kembali ke sana. Aku akan mengajak Ven melihat sakura langsung, daripada hanya yang dikeringkan." Alba menatap kuntum sakura kering dengan sendu.
"Ven? Kamu juga mau pergi?"
Ven mengangguk pelan.
"Baiklah, anak-anak!" Deha merangkul dua anak itu dengan akrab. "Sekarang, tidurlah yang nyenyak. Besok pagi kita akan kembali. Semoga enggak ada masalah dan Terra sudah kuat!"
Aku menghela napas.
Alba, dua belas tahun, dan Ven pasti sebayanya. Dua belas tahun, mereka sama-sama sudah bisa memantapkan hati.
Memang, hidup orang itu beda-beda.
****
Day 21 - done
Tralala, apa itu bahasa kasih untuk kekasih? /apase
Jkt, 21/2/22
zzztare