Masih Ada Edelweis yang Lain

Af nonimukti

210K 31.2K 4.9K

Cover by @DedyMR Ketika Dirga menikahi Lucia, kebahagiaan Sahara sirna. Namun, kenyataan bahwa Lucia tak bisa... Mere

🍁 Halo, Temans 🍁
🍁 1. Salah Lamar 🍁
🍁 2. Menggarami Luka 🍁
🍁 3. Hari Terburuk 🍁
🍁 4. Tidak Peka 🍁
🍁 5. Perhatian Palsu 🍁
🍁 6. Hampa 🍁
🍁 7. Memulai 🍁
🍁 8. Kesadaran 🍁
🍁 9. Angin Segar 🍁
🍁 10. Tekad 🍁
🍁 11. Awal Baru 🍁
🍁 12. Nggak banget 🍁
🍁 13. Dobel Gurun 🍁
🍁 14. Garang 🍁
🍁 15. Sisi Lain 🍁
🍁 16. Merasa Bersalah 🍁
🍁 17. Gengsi 🍁
🍁 18. Hari Kacau 🍁
🍁 19. Tidak Terima 🍁
🍁 20. Banyak Gaya 🍁
🍁 21. Tamu Tak Diundang 🍁
🍁 22. Sedikit Pengakuan 🍁
🍁 23. Berbeda 🍁
🍁 24. Serba Salah 🍁
🍁 25. Kabar dari Rumah 🍁
🍁 27. Rindukah? 🍁
🍁 28. Mencarimu 🍁
🍁 29. Asyik dari Mana 🍁
🍁 Bijim 🍁
🍁 Tentang Naskah 🍁
🍁 44. Diselamatkan 🍁
🍁 Hot News 🍁

🍁 26. Sedikit Hiburan 🍁

4.3K 973 89
Af nonimukti

Malam, temans. Seharian hujan, jaga sehat yaa. Cuaca sedang nggak bersahabat banget.

Beberapa hari belakangan, Sahara merasa jenuh. Sejak menolak hadir ke acara Lucia, ratusan pesan masuk ke ponselnya dan menuntut jawaban mengapa tidak pulang untuk atau sekadar memberi ucapan selamat. Seolah itu adalah hal penting, teror pesan sepupunya mengungkapkan segala macam rasa kecewa.

Sahara tersenyum miris. Baru tidak datang saja Lucia sudah seperti kebakaran jenggot, bagaimana kalau sampai diabaikan seperti dirinya. Meskipun hanya seandainya, dia sudah tahu kalau si anak manja tidak akan tahan menghadapi hal berat yang sudah menjadi kesehariannya.

Selama dua hari sudah pergi dengan Yunita. Tak mungkin merepotkan gadis itu lagi meski mereka adalah sahabat. Bingung, dia memilih duduk di ruang istirahat meski jam pulang berlalu sejak setengah jam.

"Belum pulang, Ra?" Desta muncul, langsung membuka loker dan mengambil tas serta mengenakan jaket.

"Iya, Dok. Sebentar lagi."

"Menunggu anak bangunan itu?" Nada meremehkan dalam suara Desta tertangkap telinga Sahara.

"Anak bangunan itu punya nama, Dok." Heran, tidak ada angin tidak ada hujan si dokter residen seolah menabuh genderang perang.

"Kamu masih tidak mau pulang?" Suaranya mengisyaratkan desakan, jelas menegaskan Sahara menerima pesan tersirat untuk pulang bersama.

"Sebentar lagi. Dokter duluan saja." Biarkan saja terkesan sombong atau jual mahal, tetapi Sahara tidak mau memberi peluang sekecil apa pun untuk sesuatu yang dia tidak siap.

Desta berlalu setelah beberapa kalimat basa-basi penuh gula. Meski rasanya lega, Sahara merasa sedikit kejam karena menganggap rekan kerjanya seperti angin lalu. Namun, dia bisa apa? Masalah hati tidak bisa dibuat main-main . Belajar dari pengalamannya, lebih baik memberikan keputusan di awal daripada kebaikan yang disalah artikan.

Sahara berjalan menuju pintu samping rumah sakit. Tidak enak berlama-lama di ruang istirahat setelah jam pulang. Sambil berjalan, kepalanya memikirkan apa yang bisa dilakukannya sore ini. Dia masih belum mau pulang. Entah mengapa, perasaannya tidak enak. Seperti akan terjadi sesuatu jika dia pulang lebih awal.

Menuruti naluri, Sahara duduk di bawah pohon mangga dekat paviliun. Mengulur waktu sejenak mungkin tidak masalah. Setengah atau satu jam cukup, asal tidak pulang.

"Wih, Suster baik hati. Kenapa masih duduk di sini?" Kalahari tiba-tiba muncul, duduk di samping Sahara. "Jam pulang berlalu hampir satu jam."

"Sedang suntuk. Lagi nggak pengin pulang."

"Suntuk?" Kalahari menggaruk tengkuknya yang bisa jadi tidak gatal. "Ikut, yuk!"

Sahara mengikuti Kalahari ke halaman parkir samping. Dia heran saat pria itu berhenti di sebuah mobil. Sama dengan yang dilihatnya beberapa hari lalu di Zangrandi.

"Naik, Sa!" kata Kalahari setelah membuka pintu depan sebelah kiri.

"Mobil siapa?" Meski bertanya, Sahara tetap naik dan duduk serta menutup pintunya.

"Mobil kantor," jawab Kalahari enteng setelah duduk di sisi pengemudi. "Kamu ini kepo juga ternyata, ya, Sa?"

Sahara tak menanggapi kelakar Kalahari. Mengamati jalanan yang mereka lalui jelas lebih menarik. Ini adalah jalan berbeda yang biasa dia lalui dengan Yunita saat ada waktu jalan-jalan bersama.

"Pengin ke suatu tempat tertentu?" tanya Kalahari yang membuat alis Sahara berkerut.

Bagaimana pria itu menanyakan tujuan, sedangkan dirinya ada dalam mobil ini karena ajakannya. "Nggak."

"Konyol."

Sahara hanya melirik Kalahari sekilas. Begitu pun, dia sudah berhasil memindai penampilan lelaki di sebelahnya. Masih dengan kaus putih yang kali ini tak ada noda sama sekali, topi terbalik, dan jeans sobek seperti biasa.

Setelah mobil berhenti sempurna, Kalahari mengajak Sahara menyeberang. Ternyata ke taman Bungkul. Sahara hanya tahu tempat itu sambil lalu, tidak pernah mampir dan melihat-lihat ada apa di dalamnya. Sebuah taman yang asri dan bersih, tak terlalu ramai kecuali area bermain anak-anak.

"Kenapa ngajak ke sini, Mas?"

"Kenapa? Menikmati udara sore bagus untukmu, 'kan?"

Bagus dari mananya? Sahara mengomel dalam hati. Dia masih tidak bisa menemukan alasan kenapa harus datang ke sini. Kalahari hanya mengajaknya berjalan memutari taman itu. Pukul lima lebih sedikit, lampu-lampu sudah menyala.

Mereka sampai di amfiteater. Kalahari duduk begitu saja tanpa memedulikan apa-apa. Pria itu berceloteh tentang cuaca yang sedang bagus. Angin sore berembus tenang, meniup daun-daun pepohonan yang rimbun.

"Kanapa, sih, berdiri di situ terus? Duduk sini, Sa!" Akhirnya Kalahari sadar kalau Sahara hanya mendengar kalimatnya tanpa respons.

"Nggak mau. Kotor."

"Tunggu di sini!"

Sahara membiarkan Kalahari berlalu. Dia hanya diam menunggu. Matanya mengamati sekeliling hingga menemukan dua anak yang baru belajar berjalan. Sepertinya kembar, melihat dari ukuran tubuh yang hampir sama serta baju berwarna senada yang mereka kenakan.

"Sini duduk, Sa!"

Sahara menoleh, menemukan Kalahari sudah menggelar koran di sampingnya. Pria itu? Jangan bertanya tentang itu karena jawabannya sudah pasti duduk kembali dengan begitu nyaman meski tanpa alas.

"Masih ngelihatin. Duduk sini! Nunggu apa, sih?"

Ragu-ragu Sahara mendekati Kalahari. Diraihnya koran yang sudah terbentang dan dikibaskannya beberapa kali. Lembut, cukup untuk menyingkirkan debu seandainya memang ada. Setelahnya, dia duduk dan memastikan dirinya tidak menyentuh area lain yang tanpa alas.

Setelah duduk di samping Kalahari, Sahara masih melihat sekeliling. Mengamati beberapa orang jualan yang ramai pembeli.

"Kenapa, sih, takut banget kotor?"

Sahara tahu, cepat atau lambat pertanyaan itu pasti akan ditanyakan. Meski santai dan berkompromi dengan banyak hal, Kalahari adalah tipe pria cerdas yang tahu bagaimana caranya menuntut jawaban. Tidak secara frontal, tetapi halus dan terkesan biasa saja.

"Nggak higienis, kotor. Lagian masa iya aku harus megang-megang sesuatu yang nggak steril."

Kalahari tergelak keras. Sahara tidak tahu apa yang ada dalam pikiran pria itu. Ada yang lucu? Jelas tidak, dia 'kan tidak melontarkan kalimat yang mengundang tawa. Bagaimana mungkin tawa itu hadir seolah ada sesuatu yang memang patut ditertawakan?

"Manusia itu terbuat dari tanah, Sa. Mati juga bakal dikubur dalam tanah. Pikiranmu itu berlebihan."

"Beda, dong, Mas," sanggah Sahara. "Secara teori mungkin ucapan Mas Kalahari benar, tapi secara harfiah ... kita itu nggak kotor. Bakal kotor kalau kita sengaja pegang tanah, misalnya."

"Masa?"

Sahara mengabaikan sorot geli di mata Kalahari. Biar saja si tuan sembarangan itu mengatakan apa saja yang dia mau. Dia tak ambil pusing. Sejauh ini, Sahara tidak masalah dengan semua tingkah ajaib pria tegap setinggi kurang lebih 180 senti itu.

Sahara juga mengabaikan Kalahari yang bangkit dan melangkah pergi. Kembali beberapa saat kemudian dengan sekantong makanan yang segera dibuka setelah duduk di tempatnya semula. Menatap bagaimana lelaki itu memegang tahu goreng dan menggigit cabe, ia merasa ngeri. Selesai sepotong tahu, ganti dengan lumpia. Caranya menikmati kedua makanan itu terlihat sangat menyenangkan.

"Makan, Sa! Enak banget ini."

"Mas Kalahari jorok. Belum cuci tangan. Lagian apa itu higienis?"

"Kamu akan kelaparan kalau memikirkan higienis setiap waktu, Sa."

Kalahari kembali mengunyah tahu gorengnya. Ada petis yang dia tuang ke dalam tahu yang sudah digigit lalu memasukkan semua ke mulut beserta satu cabe hijau yang terlihat segar.

"Biarin."

"Ini coba!" Kalahari mengulurkan satu tahu di depan bibir Sahara. Ketika Sahara menggeleng, ganti lumpia diulurkan. "Atau ini?"

"Tidak!" Sahara bergidik ngeri sambil menutup mulutnya. "Bikin sakit perut. Belum cuci tangan."

"Kamu nggak akan sakit perut hanya karena sepotong tahu dan lumpia. Kalaupun itu terjadi dan kamu diopname, aku yang akan menungguimu tanpa pulang walau hanya sedetik." Senyum Kalahari melebar, lebih dari biasa seolah meyakinkan Sahara bahwa setiap ucapannya adalah benar.

Sahara tetap menggeleng, tidak menurunkan tangan dari mulut. Setelah Kalahari memakan sendiri lumpia itu, napas leganya terembus perlahan. Dia heran, bagaimana lelaki ini bisa makan dengan begitu bebas tanpa peduli harus membersihkan tangan yang entah sudah memegang apa saja. Memang tidak terlihat kotor, tetapi tetap saja tidak bisa makan sembarangan begitu.

"Apa sih yang membuatmu terlihat resah?" Di sela kunyahannya, Kalahari bertanya pada Sahara yang memilih diam, alih-alih tertarik pada makanan yang dibawanya.

"Sebenarnya, Lucia mengirim pesan dan mengatakan kalau mau main ke Surabaya."

"Lucia siapa?"

"Sepupuku. Istri dari ...."

"Aku paham," sahut Kalahari. "Menurutku, ya biarkan saja, Sa. Salahnya di mana?"

"Dia bilang mau jemput di rumah. Aku sedang tidak mau bertemu siapa pun dari anggota keluarga." Mengatakan kalimat itu saja emosi Sahara bisa muncul ke permukaan. "Menjengkelkan!"

"Bernapas, Sa!" Seolah tahu apa yang sedang terjadi, Kalahari memilih untuk memperingatkan Sahara supaya menarik napas. Lebih banyak udara yang masuk ke dalam tubuh bisa membantu menenangkan sistem saraf.

"Sudah." Diakui atau tidak, nyatanya emosi Sahara memang mereda. "Setiap membicarakan itu, aku selalu marah."

"Kelihatan. Hidungmu mengeluarkan asap."

"Mas Kala!" jerit Sahara. Bisa-bisanya pria berumur tiga puluh tahun mengucapkan kalimat kocak seperti efek kebanyakan nonton film animasi. "Aku suntik kamu nanti."

"Amit-amit, Sa. Mainanmu itu nggak ada bagus-bagusnya. Nyeremin iya. Bukannya bikin orang bahagia, malah sedih semuanya."

"Persepsimu itu, Mas. Kadang-kadang, jarum dan teman-temannya itu diperlukan supaya orang bisa tersenyum."

Dengan gurauan sekecil itu, Sahara merasa terhibur. Setidaknya dia sudah berbagi dan tidak menanggung sengsara sendirian. Tidak juga mengorek luka hati hanya karena menceritakan segala sesuatunya secara detail kepada Kalahari. Pria itu tampak mengerti dengan apa yang sudah disampaikannya.

"Besok masuk sore, 'kan?" Kalahari memasukkan potongan tahu terakhir ke mulut dan meremas kantong plastiknya. "Sudah, nggak perlu khawatir apa-apa."

"Memang." Sahara membenarkan. "Mereka hanya akan datang ke rumah pada sore hari, mungkin ... karena nggak mungkin menemui aku di rumah sakit."

"Yo wes. Ayo pulang! Keburu digerebek satpol pp ini gara-gara kamu dudukin koran!"

Sahara bengong menatap Kalahari yang sudah melenggang ke arah mobilnya. Dasar pria sialan, suka asal kalau bicara. Mau tak mau, dia membereskan koran alasnya duduk dan membuangnya ke tempat sampah. Awas saja, akan dia omeli kalau masih bisa membicarakan hal tidak penting. Namun, diam-diam senyumnya mengembang. Meski hanya diberi koran sebagai alas duduk, itu adalah sesuatu yang manis.

Sempat² nya suster kita mikirin kebersihan ya🤣🤣

Btw, temans. Mampir ke cerpen aku, yaa. Satu bab doang. Ini dia 👇

Muakasih banyak sebelumnya. Pokok e aku padamu.

Love, Rain❤

Fortsæt med at læse

You'll Also Like

2.4M 113K 54
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _π‡πžπ₯𝐞𝐧𝐚 π€ππžπ₯𝐚𝐒𝐝𝐞
2.7K 278 6
Deanno Antaraksa yang selalu salah di kehidupan pertamanya, dan memilih untuk bunuh diri. Laki-laki pengecut yang lari dari masalah hidupnya dengan b...
Sabda Af de.

Generel Fiktion

116K 8.6K 27
Saka Maheskara mencoba kembali berjalan, meninggalkan masa lalu dan mulai mengenal cinta lagi. Bahagia, Tentu hanya itu yang menjadi tujuannya. Namun...
196K 12.8K 49
Satu sekolah tahu kalau Retta suka Melvin. Satu sekolah juga tahu kalau Melvin tidak suka Retta. Tapi, karena suatu hal, Melvin mulai mencemaskan Ret...