RECAKA

Per Aniwilla

9.2K 2.1K 2.7K

Tentang kematian beruntun dari jajaran murid berprestasi SMA Swasta Anindita. Pembunuhnya ada di antara merek... Més

Prolog
1 || Pemuda Tanpa Teman
2 || Dia Pintar
3 || Perpustakaan
4 || Hujan dan Kisahnya
5 || Rumah Tanpa Hangat
6 || Kata
7 || Seorang Teman
8 || Nada
9 || Mimpi Dalam Cerita
10 || Kematian
11 || Retak Bersama Waktu
12 || Tersangka dan Hipotesa
13 || Dingin
14 || Hidup
15 || Tenggelam Suram
16 || Letih yang Menyambar
17 || Ruang dan Seni
18 || Frasa Menyakitkan
19 || Sajak Luka
20 || Karsa
21 || Perihal Rasa
22 || Kontradiksi
23 || Lebur Dalam Dingin
24 || Di Antara Sesal
25 || Dia
26 || Alam Bawah Sadar
28 || Sakit Jiwa
29 || Harsa
30 || Cerita yang Patah
31 || Titik Untuk Berhenti
32 || Tentang Maaf
33 || Rela Untuk Menerima
34 || Buku Harian
35 || Selamat Tinggal
Epilog
Hujan Terakhir

27 || Benang Kusut

168 37 35
Per Aniwilla

㋛︎

Setiap manusia memiliki topeng. Setiap dari mereka memiliki bohong yang mereka ciptakan, alasan lain dari bertahan hidup.

-R E C A K A-
.
.
.

㋛︎

Semilir angin menerbangkan setiap helai rambut hitam legam milik pemuda yang baru saja keluar dari bangunan megah itu, seolah memberi sambutan karena telah keluar dari bangunan penuh sesak. Rumah Sakit Jiwa.

Berhenti sebentar untuk menghela napas. Netra Janu menatap hamparan sang langit yang tak berujung dengan beberapa awan cerah menghiasi. Dua sudut bibir itu kembali tertarik ke atas membentuk sebuah lengkungan hangat bernama senyuman, berharap hari cerah seperti ini akan tetap bertahan selamanya di kehidupan Janu. Sejujurnya, segala senyum yang Janu tunjukan pada dunia tidak pernah bohong, meski terlihat sedikit palsu karena ia merasa tidak bahagia saat tersenyum. Namun setiap kali ia melakukan hal itu, itu adalah bentuk tulus yang Janu tunjukkan pada keadaan.

Ia tidak perlu bahagia dulu hanya untuk menarik dua sudut bibirnya.

Netranya kembali bergulir dan menemukan sosok wanita yang ia kenal, membuat tungkainya perlahan mendekat. Wanita berumur awal 40an itu terkejut melihat kedatangan Janu.

Janu sedikit membungkukkan badannya dengan senyuman lebar. "Sore, Tante. Apa kabar?"

Sandra menatap pemuda yang lebih tinggi di hadapannya dari kaki hingga atas, menatap Janu nanar. Membeku beberapa detik sampai akhirnya tersadar dari lamunan. "Kamu temannya Gata?"

Janu mengangguk sekali. "Tante masih ingat saya ternyata."

"Kamu mengingatkan saya dengan anak saya. Kalian mirip, mungkin karena kalian dekat." Sandra tersenyum kecil, meski begitu tatapan yang ia lemparkan pada Janu begitu sulit diartikan. Ada gerimis di sana meski cuaca sebenarnya sedang cerah. "Kamu ngapain di sini?"

Janu menatap gedung rumah sakit yang barusan ia masuki, kilasan percakapannya dengan Dokter Dewi masih terlihat jelas dalam pandangan Janu.

"Saya harus memberitahu orangtua kamu tentang penyakit kamu. Kamu harus rehabilitasi sebelum semakin parah, Janu." Dokter Dewi berbicara dengan sangat tegas meski masih terdengar lembut di indra pendengaran Janu.

"Tapi saya gak bisa ninggalin sekolah, Dokter. Kasih saya satu musim lagi, sampai saat itu jangan bilang apa-apa dulu ke mereka."

"Kamu yakin?" tanya Dokter Dewi.

Janu mengangguk. "Jangan sampai orangtua saya tau."

Dokter Dewi tersenyum simpul meski jauh di dalam lubuk hati wanita itu, ia menatap kasihan Janu yang berusaha mengemban semua luka dan resahnya sendiri. "Kamu tahu kenapa saya tersenyum?"

Janu hanya menggeleng.

"Karena kamu mau bertahan satu musim lagi, hanya demi orangtua kamu tidak boleh tahu soal penyakit kamu. Padahal beberapa menit lalu kamu bilang mau mati. Itu bagus."

Sebenarnya Janu hanya asal bicara, ia tidak yakin bisa bertahan sendirian di tengah sakitnya musim dingin yang perlahan membekukan tiap-tiap Indra perasanya. Sulit untuk mengalahkan pikirannya sendiri. Janu tidak tahu terapi macam apa yang akan ia hadapi di masa depan jika ia benar-benar masuk ke instalasi rehabilitas, hanya saja itu terlihat menyakitkan-- bahwa mungkin orang-orang di sekitarnya harus tahu jika ia tidak sesempurna kelihatannya. Ia kembali menatap Sandra yang tengah menunggu jawaban.

"Saya. Menemui seseorang," jawab Janu.

"Saya boleh meluk kamu?" tanya Sandra dengan binar menahan tangis. Di matanya, Janu benar-benar mengingatkannya pada Gata.

Janu yang mengerti maksud Sandra lantas mengangguk cepat. Membiarkan Sandra mendekapnya menyalurkan hangat seperti yang sering Andin lakukan untuknya. Dapat ia rasa usapan lembut Sandra di belakang punggung Janu, juga getaran tubuh Sandra yang agak lebih kurus, sepertinya Sandra tengah menangis.

"Saya tidak pernah lagi memeluk Gata seperti ini," lirih Sandra, bergetar. Rasa sakit itu kembali menjalar menyusuri tiap jengkal dadanya. Sandra menyesal dulu saat Gata masih di sisinya ia lebih mementingkan meluapkan emosinya sendiri dibanding menjaga perasaan sang anak. Ia menyesal, bahkan mungkin sampai seumur hidupnya karena kata maaf pun jelas tak dapat Sandra sampaikan, karena putranya sudah tidak ada. "Apa Gata bahagia?"

Janu mengangguk kecil. "Tante gak usah khawatir. Gata bahagia, dia gak pernah marah sama Tante. Dia pernah bilang ke saya, bahkan jika Gata sedih. Itu bukan salah Tante. Semua yang udah terjadi menimpa Gata, itu bukan salah Tante atau siapa pun."

Isakan tangis dari Sandra semakin terdengar. Wanita itu semakin memeluk Janu erat. "Saya semakin merasa jahat. Apa saya sudah menghancurkan bahagianya?"

"Percaya sama saya, Tante. Gata anak yang baik, Tante. Dia anak yang ceria. Dia gak pernah membenci Tante." Meski Janu tidak membalas pelukan Sandra, pemuda itu dapat merasakan penyeselan Sandra teramat besar. Wanita itu benar-benar terlihat hancur setelah kehilangan Gata.

"Teman-teman Gata pasti orang baik juga," kata Sandra sembari melepas pelukannya. Ia mengusap pipinya yang basah. Dan meraih dua tangan Janu yang terkepal. "Apa teman-teman anak saya bahagia juga?"

Janu terdiam. Menatap netra Sandra yang merah dan basah akibat menangis. Pikirannya mulai berkelana mencari jawaban atas pertanyaan yang Sandra ajukan. Janu bahkan tak tahu apa devinisi bahagia menurut hidupnya sendiri.

Sandra mengusap bahu Janu beberapa kali. "Teman-teman anak saya, harus bahagia seperti Gata juga. Kamu tahu, dulu saya pernah bilang pada Gata, bahwa, ketenangan dan kebahagian sejati itu berasal dari sini." Kemudian bergeser, jemari Sandra mengusap pelan dada kiri Janu. "Dari hati."

Janu semakin mematung. Bahkan matanya tak sadar sudah mengalirkan sebuah tirta bening.

"Saya berusaha sembuh demi Gata. Saya harap dia lebih bahagia di sana saat melihat saya berjuang sembuh untuknya," ucap Sandra sembari tersenyum sendu. Kemudian wanita itu berjalan cepat meninggalkan Janu yang masih berdiri mematung di tempatnya. Mungkin tidak mau berlama-lama menangis di hadapan orang asing.

Janu, apa harapan sembuh itu masih ada?

-𖧷-


DANG!!

Dafi menghela napas berat dan memutar bola matanya kesal. Ia berkacak pinggang sembari menatap piano usang di ruang musik lantai satu, tepatnya gudang untuk alat-alat musik tak terpakai. Kemarin suaranya baik-baik saja, tapi mendadak kembali sember-- mungkin alasan piano itu dipindahkan di sini.

Pemuda itu kemudian meraih ranselnya yang berada di meja tak jauh dari tempatnya berdiri. Mengeluarkan beberapa barang tak penting yang mungkin akan disita OSIS jika ada razia. Seperti gunting, cutter, setraline, oxycan, beberapa buku kosong dan pulpen yang sudah kehilangan tutupnya. Jangan tanya kenapa bocah itu membawa benda tajam.

Dafi menatap gunting dan cutter di tangannya, lantas menatap piano usang itu. Apa dua benda ini cukup?

BRAK!!

Suara hantaman pintu cukup keras berhasil membuat pemuda itu menoleh terkejut. tak cukup di situ, keterkejutan Dafi menjadi dua kali lipat. Alfa di sana, mendekat dengan sorot mata marah. Ia merampas gunting dan cutter yang berada dalam genggaman Dafi kemudian melemparnya asal.

Wajah Dafi masih terlihat tenang meski sorot mata tak suka ia lemparkan pada sosok pemuda berwajah kelas barat itu. Ia menatap Alfa heran. "Kenapa, sih?"

"Lo mau mati? Gak gini caranya, bangsat! Pikir lagi! Kalo bisa lo pikir terus sampai lo mati sendiri!" Alfa berteriak kesal dengan napas terengah-engah. Sementara yang diteriaki berjalan santai mengambil benda-benda tajam itu lagi.

"Siapa yang mau mati? Gue mau benerin piano," jawab Dafi datar. Pemuda itu kembali mendekat pada piano usang itu dan membuka engsel pada badan piano menggunakan gunting.

Tungkai Alfa mendadak lemas membuat badannya seketika jatuh bersentuhan dengan lantai. Jantungnya berdegup tak karuan, matanya tak berkedip menatap Dafi yang tengah memperbaiki piano. Ia menyisir beberapa rambutnya yang menutupi mata dengan jari tangan, terlihat frustrasi.

"Gue tau lo masih kaget sama kejadian Gata kemarin--

"Gak usah bahas Gata," saut Alfa cepat memotong perkataan Dafi.

"Kenapa?" Dafi menoleh, menatap Alfa yang masih mengatur napasnya. "Lo udah bisa lupain dia?"

"Luka," ujar Alfa dengan tatapan yang terpaku pada lantai. "Kalau disentuh terus gak bakal bisa sembuh."

Dafi tersenyum miring mendengar kalimat yang terlontar dari bibir Alfa. Pemuda itu sesekali berdiri dan menekan tuts pada piano memastikan suaranya kembali jernih. "Pasti berat banget jadi lo. Ngeliat temen lo sendiri kehilangan nyawanya tepat di depan mata lo."

"Hal yang paling berat bagi gue adalah, gue ada di sana. Gue ada di depan Gata. Tapi gue gak bisa nolong dia. Gue telat narik tangannya." Tercekat, kalimat itu terputus karena sesak yang tiba-tiba menghantam dada Alfa begitu keras hingga membuat kewarasannya linglung. "Kenapa gue bisa cegah lo malam itu? Kenapa gue bisa nyadarin Janu waktu itu? Tapi kenapa gue gak bisa nyelamatin Gata? Kenapa, Daf?"

Dafi sempat berhenti dengan pianonya. Ia kembali menghela napas. "Mungkin Tuhan maunya Gata sampai sini. Lo jangan nyalahin diri lo terus!"

"Maunya Tuhan?" Suara Alfa naik satu oktav, menatap Dafi kesal. "Lo lupa Gata ninggalin kita dengan cara apa? Dengan cara yang Tuhan gak suka. Dan lo masih mikir Tuhan maunya gitu? Tuhan masih ngasih waktu buat Gata, Tuhan gak pernah nyerah sama Gata, tapi Gata mutusin semua waktunya tanpa persetujuan Tuhan. Dia nyerah sama dirinya sendiri di saat Tuhan gak pernah nyerah sama dia!"

"Terus?" Dafi ikut kesal. Pemuda itu ikut meninggikan suaranya, hal jarang yang Dafi lakukan. "Dengan lo nyalahin Gata kayak gini, apa bisa bikin dia balik? Kalau Tuhan masih mau Gata hidup, harusnya Gata masih di sini! Harusnya dia masih tertolong!"

Alfa menundukkan kepalanya dengan mata terpejam erat. Ia meremas rambutnya sendiri berharap kepalanya yang mendidih bisa jauh lebih tenang. Netranya memanas, dan pemuda itu enggan membuka kelopaknya sendiri karena sadar bulir hangat itu akan kembali turun.

"Gata berarti banget buat lo?" Lewat ekor matanya Dafi melirik, meski tangannya kembali sibuk membetulkan piano. "Lo jarang nangis, tapi kenapa lo jadi cengeng semenjak dia pergi?"

Alfa tidak tahu. Jawabannya terlalu samar. Ia tidak tahu mengapa ia menangis, atau mengapa rasanya sangat melankolis ketika Gata, yang mungkin bisa dibilang sebatas teman sebangkunya tiba-tiba hilang di depan matanya sendiri. Alfa tidak bisa menjelaskan bagaimana rasanya, mungkin karena banyak kejadian yang telah Alfa lalui bersama Gata. Sehingga membuat nama Gata menjadi salah satu nama yang terdaftar dalam catatan kisah hidupnya.

"Lo," lirih Alfa, sangat pelan. Ia masih tertunduk dengan mata terpejam. "Jangan pernah punya pikiran untuk bunuh diri!"

"Kenapa?" tanya Dafi. "Kalau lo bilang itu ke Gata atau Janu gue gak kaget. Tapi gue? Lo gak akan nangis kalo gue mati."

"Bisa nurut aja gak sih?" Alfa mendongak, membuka kelopaknya yang membuat pipinya basah seketika. Menatap Dafi tajam. "Please!'

Dafi menatap Alfa yang terlihat menyedihkan di bawahnya dengan tatapan aneh. Pemuda itu tidak tampak seperti Alfadama Harsa beberapa bulan lalu, yang terlihat dingin dan tidak peduli sekitar. Lagi pula untuk apa pemuda itu harus mengkhawatirkan hidup Dafi? Memang Dafi siapa?

"Lo percaya gak kata-kata sederhana seseorang bisa ngebuat orang lain bertahan?" tanya Dafi tiba-tiba. Laki-laki itu bisa melihat Alfa tersenyum kecut di bawah, tak menjawab. "Janu ... gue gak tau dia punya sihir apa. Gue ngerasa dia selalu letakin harapan di setiap kata-katanya. Gue inget banget kata-kata dia perihal, gue harus sembuh, karena gue punya masa depan. Abis itu gue mikir, dia ada benernya juga. Hidup gak perlu ijin kita untuk terus berjalan. Dan hidup gak harus sesuai dengan apa yang kita mau. Jadi karena kata-kata temen lo itu gue mau perbaiki sedikit hidup gue."

Entah sudah di bait ke berapa Alfa menatap Dafi seintens itu. Pikirannya tiba-tiba melayang ke masa lalu. Janu dengan segala pemikiran dewasa dan kata-kata pelipurnya. Ia pernah bertanya karena penasaran, lantas mendapat jawaban abu-abu karena sebenarnya Janu hanyalah topeng. Sama seperti Gata. Malam itu, malam di mana Alfa melihat Dafi hampir mengakhiri hidupnya, adalah malam yang sama saat Janu bilang ia pernah berharap dirinya pun mati.

Alfa tak habis pikir untuk dua orang itu, Dafi dan Janu. Dafi yang jarang berbaur dengan lingkungan sekolah. Janu yang ramah dengan lingkungan sekolah. Mereka berdua adalah dua orang berbeda karakter namun memiliki pemikiran konyol seperti itu.

Yang tak habis pikir adalah Gata. Laki-laki itu sama sekali tak ada niatan seperti Dafi dan Janu. Tapi mengapa kisah hidupnya diakhiri sebegitu tidak masuk akalnya?

"Dan karena Gata juga." Dafi menghela napasnya yang berat. Ia menutup piano saat mendengar suara jernih saat tutsnya ia tekan. "Tadinya sebelum mati, gue mau hidup gue berharga dulu. Seenggaknya bisa nyembuhin Gata, tapi ternyata tuh anak malah ngeduluin gue."

Suara bel pergantian pelajaran berbunyi nyaring. Dafi mengambil tasnya dan bergegas pergi meninggalkan ruangan.

Alfa ikut bangkit dan mengekor Dafi dari belakang. Laki-laki itu sedikit mengerutkan kening saat Dafi mengambil arah berlawanan dengan kelas. "Lo mau ke mana?"

"Bolos," jawab Dafi enteng tanpa menoleh.

"Oh, jadi gini cara lo mau healing?" tanya Alfa sinis.

Dafi menghentikan langkahnya, kemudian menatap Alfa. "Ada kampanye semicolon dan prevent suicide di kampus sebelah, mau ikut gak?"

"Apaan tuh? Sesat, ya?"

"Dikit. Mau ikut gak?" tanya Dafi lagi.

Alfa tak menjawab. Laki-laki itu malah semakin mengerutkan kening bingung.

"Biar lo tau, bunuh diri itu apa."

Glek. Alfa menegak salivanya susah. Ia menatap ekspresi Dafi yang terlihat mencurigakan. Pikirannya mengatakan tidak, ia harus kembali ke kelas dan mengikuti pelajaran seperti biasa. Tapi saat Dafi berbalik dan berjalan pelan meninggalkannya di koridor sepi, secara tidak sadar tungkai Alfa mengikuti Dafi.

Apa ada, orang bodoh lain yang ingin mengakhiri dirinya sendiri? Apa mereka tidak takut mati? Atau kehidupan setelah mati?

-𖧷-

㋛︎

-R E C A K A-
.
.
.






Gue jadi kangen Gata sama Alfa berantem. Gadak Gata cerita gue flat aja ini anjir.

Jaga kesehatan, guys! Gue usahain update cepet.


-Jikjin, 20 Feb 22.

Continua llegint

You'll Also Like

15.3K 6.6K 47
{Untuk info pemesanan bisa cek ig mayrapustaka atau DM ke ig _khfh_ dan wattpad ini ya} Tidak semua orang yang lahir dari keluarga berada memiliki k...
22.2K 1.6K 24
Mereka bilang aku menguasai telekinesis dan juga seorang prime clairvoyant. Hahh apa itu!? Seketika hidupku berubah sesaat setelah bertemu mereka. Ya...
8.2K 1K 42
Jangan takut untuk merelakan, itu memang sudah di gariskan. Yang datang akan pergi, yang pergi akan kembali. Entah karena sibuk mencari rezeki atau s...
27.2K 2.7K 7
{OCEAN SERIES 4} Stefano de Luciano Oćean, pria berkuasa yang memiliki segalanya. Darah seorang Oćean yang mengalir dalam tubuhnya, membuatnya tumbuh...