What If [Series]

بواسطة tx421cph

3.1M 291K 465K

❝Hanya ungkapan tak tersampaikan, melalui satu kata menyakitkan. Seandainya... ❞ PART OF THE J UNIVERSE [read... المزيد

Disclaimer
1. Jeno x Jeha
2. Jeno x Jeha
3. Jeno x Jeha
4. Jeno
[side story] Jeno x Jeha
1. Jaemin x Jeha
2. Jaemin x Jeha
[side story] Jaemin x Haknyeon
1. Guanlin x Jeha
2. Guanlin x Jeha
3. Guanlin x Jeha
1. Truth - Baek Min Ho & Ye Hwa
2. Truth - Hwang Je No & Baek Je Ha
3. Truth - Hwang Je No & Baek Je Ha
[side story] Juno & Jeni
[side story] The J's Family
[side story] Na's Siblings
[side story] Na's Siblings (2)
[side story] The Kang's Family
[side story] They're Passed Away
[side story] Little Jeno and Jeha
[side story] Between Us
[side story] Dear Dad
[side story] Hukuman Ayah
[side story] Ayah dan Anak Pertama
[side story] Someday In 2017
Side Ending of J's Universe
[alternate] Reality
[side story] Jung Jaehyun
[side story] Seongwoo x Sejeong
[side story] Daddies
[side story] Him
[side story] Keluarga Na Bangkrut?
[side story] Harta, Tahta, Tuan Muda Kaya Raya
[side story] sunsetz
[side story] Dear Papa
[side story] Ayah dan Anak Bungsu

5. Jeno

20.4K 3.2K 3.3K
بواسطة tx421cph



"Aku memberimu seluruh semesta, dan kau memberiku segenggam tanah."


— What If from Jeno side —




Happy Reading~





"Loh ada Jeno ternyata."

Jeha yang sibuk berbicara sebelumnya, tersadar ketika matanya tak sengaja menangkap sosok seorang pria yang berdiri di balik pintu kaca. Dia segera berdiri, dan Jaemin pun menoleh ke belakang.

Pria itu segera tersenyum sumringah begitu melihat saudaranya datang.

Jeno mengerjap, sadar jika pasangan itu mendapati keberadaannya. Dia kemudian menegakkan badan, menoleh ke belakang untuk melihat Kak Jaehyun karena Si sulung Jung baru saja menepuk pundaknya sembari mengatakan sesuatu.

Namun begitu menolehkan kepalanya, Jeno mengernyit.

Sepi di belakangnya, tak ada siapapun. Tak ada tanda-tanda bahwa Kak Jaehyun baru saja di belakangnya barusan.

Bergelut dengan kebingungannya, Jeno baru saja berminat untuk menyusul ke ruang tengah hingga Si bungsu Jung sampai lebih dulu dan membuka pintu kaca tersebut.

"Kapan sampenya Jen?" Tanya Jeha.

"O-oh, baru aja kok."

Jaemin menyusul di belakang gadis itu, kemudian tersenyum manis ke arah Jeno.

"Itu, nganter sample undangan. Bisa kalian liat dulu, ada di ruang tengah."

Mendadak, entah mengapa Jeno nampak begitu canggung. Dia tersenyum ala kadarnya dengan gestur tidak nyaman, tapi syukurlah tidak ada yang menyadari itu.

"Wah iyakah? Cepetnya!" Gadis itu terlihat sangat senang, lalu dia menarik-narik lengan Jaemin. "Ayo Na liat!"

Na Jaemin hanya tersenyum mengangguk, kemudian mengikuti kemana Jung Jeha membawanya pergi. Jeno diam sejenak sesaat setelah kepergian pasangan tersebut, sempat memandang punggung mereka yang mulai menjauh. Hingga dia menyusul tanpa suara.

Di ruang tengah, Kak Jaehyun rupanya masih tidak bergerak dari tempatnya. Si sulung masih asyik rebahan di sofa, sembari mengipasi wajahnya dengan undangan pernikahan di atas meja.

"Ih kak kok dijadiin kipas sih!!!" Jeha langsung mengamuk, dia menyambar undangan di tangan Kak Jaehyun.

"!@#$%^&*)"

Kak Jaehyun dengan kelatahan dan kagetannya nyaris saja mengumpat, entah mungkin saja dia memang mengumpat tapi tidak jelas untuk didengar.

"Kaget!" Serunya, memukul lengan Sang adik. "Biasa aja dong! Untung kakak gapunya riwayat jantung!"

"Bodo amat."

Jaemin hanya tertawa kecil.

Lee Jeno berdiri, daripada merasa terhibur dengan tingkah Jung bersaudara, dia masih memfokuskan pandangannya pada Kak Jaehyun yang masih dongkol karena dikejutkan. Jeno ingin menanyakan sesuatu, namun sepertinya itu tidak terlalu penting untuk ditanyakan dan masih ada hal lain yang perlu mereka obrolkan sekarang.

Mengalihkan atensi dari Kak Jaehyun ke saudara tirinya, Jeno bertanya. "Gimana? Udah pas belom? Atau dirasa ada yang kurang?"

Jeha yang langsung menyambar, "ini bagus banget Jen!!"

"Ini bagus! Persis seperti yang kamu tunjukkan di laptop, sangat sesuai ekpektasi!" Kira-kira begitulah jawaban Na Jaemin.

Jeno langsung tersenyum lega. "Bagus deh kalo pada suka, besok gue ambilin sisanya ya."

Jung Jeha langsung mengangguk senang, sembari membolak-balik undangan pernikahannya. Membaca tulisan-tulisan yang tertera, tersenyum-senyum melihat namanya dan Jaemin tertulis dengan sangat cantik di sana.

NA JAEMIN & JUNG JEHA

Siapa sangka rupanya Jeno pintar mendesain?

"Gue udah konfirmasiin ke kenalan gue ya, nanti sekitar H-5 atau 4 bakal langsung dikerjain," lanjut Jeno. "Oh iya food and beverage gimana? Udah oke?"

"Udah kok beres, bunda yang bantuin aku." Jeha yang menjawab lagi.

"Ini biar kakak aja yang bantuin nge-list tamunya, udah ada belom dek?" Seolah tahu jalan pikiran Jeno, Jaehyun langsung menyerobot.

Jeha, "ada kak, nanti aku bantu kakak juga."

Jeno baru saja ingin membuka mulutnya, namun karena mendengar jawaban Jeha yang seperti itu, akhirnya dia menelan kalimatnya kembali. Dia sadar jika Kak Jaehyun sempat menatapnya barusan.

Dia tidak tahu orang-orang ini kenapa, padahal Jeno bersungguh-sungguh dan senang hati saat bisa membantu persiapan pernikahan ini.

Jaehyun, "oke gud."

Selang beberapa detik, Jaemin nampak teringat sesuatu, dia menggerakkan tangannya. "Aku harus segera kembali ke rumah sakit sekarang," katanya.

"Bukannya masih setengah jam lagi ya?" Jeha menatap jam dinding.

"Aku tidak boleh terlambat."

Jeno yang tidak mengerti percakapan mereka, hanya bisa menangkap sedikit. Apakah Jaemin baru saja mengatakan jika dia harus segera pergi?

"Ohh yaudah deh kalo gitu, besok ke sini lagi ya!" Perempuan itu segera tersenyum sumringah.

Jaemin tersenyum mengangguk, lalu berkata lagi. "Lalu bagaimana? Untuk beberapa hari ke depan sepertinya aku tidak punya waktu libur, kamu bilang ingin segera mencari cincin pernikahan."

Mengulum bibir sembari mencoba berpikir, Jung Jeha terlihat sedikit sedih. "Aku bisa sih pergi sendiri, tapi emang kamu maunya yang gimana?"

Jaemin langsung tersenyum. "Apapun itu pasti akan cantik jika kamu yang memilihnya, jadi pilihkan saja untukku."

Jeha langsung tersipu, tersenyum tipis dengan pipi memerah mirip apel dan mengangguk kecil.

"Bagaimana jika kamu pergi dengan Jeno?" Saran Jaemin tiba-tiba.

"Jeno?"

"Apa?" Oknum yang dibicarakan segera menyahut penuh tanda tanya ketika Jeha menyebut namanya.

Jaemin menoleh ke arahnya. Kemudian segera mengeluarkan ponsel dan menulis sesuatu di note, menunjukkannya pada Jeno.

"Bisakah kamu mengantar Jeha pergi untuk membeli cincin? Jika kamu tidak sibuk."

"Gue?" Jeno menaikkan sepasang alisnya, masih kebingungan.

Jaemin mengangguk sebagai jawaban.

"Na, nanti ngerepotin Jeno, gapapa aku pergi sendiri aja atau sama Kak Jaehyun," ujar Jeha sungkan.

Jeno langsung menyambar, "enggak aku nggak keberatan kok, sama sekali nggak ngerepotin, aku juga nggak lagi sibuk."

Senyum Jaemin langsung mengembang. "Terima kasih Jeno! Tolong ya, aku harus segera pergi sekarang."

Jeno tidak terlalu paham apa yang dikatakan Jaemin, yang jelas saudaranya itu baru saja berterimakasih.

"Jen, beneran?" Tanya Jeha.

"He'em, aku free kok." Jeno mengangguk kukuh.

"Ya sudah kalau begitu aku akan pergi sekarang, beritahu aku jika kamu sudah menemukan yang bagus," Jaemin tersenyum, sampai akhirnya dia mengusak pelan pucuk kepala Jung Jeha dengan lembut.

Jeha mengangguk sembari tersenyum dengan hangat.

Sementara Kak Jaehyun sejak tadi memerhatikan percakapan ketiga orang itu dalam diam.


***


"Ohh toko perhiasan ini ya."

Jeno yang baru saja melepas helm-nya, mendongakkan kepala sedikit, melihat bangunan yang cukup besar dan mewah di area Gangnam tersebut. Dia ingat pernah ke sini sebelumnya, entah berapa tahun lalu tepatnya Jeno lupa.

"Iya, kamu masih inget?" Jeha membenarkan tasnya di bahu.

Jeno langsung tersenyum, "he'em, aku kan pernah nganterin kamu ke sini dua kali, jadi ini ketiga kalinya."

Toko perhiasan ini sudah menjadi toko langganan keluarga Jung. Jeha pernah bilang dulu, Ayah Yunho dan Bunda Taeyeon juga membeli cincin pernikahan mereka di sini. Itu berarti toko ini sudah berdiri sejak lama sekali.

Sekarang mereka datang lagi, Jeno dan Jeha. Hanya saja dalam keadaan yang sudah berbeda.

Tak begitu banyak orang di toko itu, hanya dua pasang— entah sepasang kekasih atau suami istri, dan seorang pria paruh baya, sekarang ditambah dirinya dan Jung Jeha.

Keduanya disambut oleh salah satu pegawai wanita yang berpakaian sangat rapi dan juga formal, memberi salam dengan sopan dan juga sedikit berbasa-basi. Jeno hanya mengekor di belakang Jeha sembari mendengarkan, kemudian pegawai itu membawa mereka menuju etalase kaca yang berada di paling ujung.

"Ini adalah koleksi terbaru kami, edisi musim semi, cocok sekali untuk pasangan yang akan menikah bulan-bulan ini. Silahkan tuan dan nyonya sekalian melihat-lihat lebih dulu."

"Terima kasih," Jeha tersenyum, kemudian dia mengulurkan tangannya ke belakang dan menarik-narik ujung jaket Jeno, "Jen menurut kamu bagus yang mana?"

Jeno tidak yakin apakah dia memiliki selera yang baik, jadi dia terlihat agak kikuk ketika Jeha memintanya untuk mendekat dan memilih satu di antara sekian banyaknya model cincin pasangan di dalam etalase.

Pria itu mengulum bibir, menelusuri puluhan cincin pasangan itu dengan netranya. Mereka semua cantik terlihat begitu glamour, namun hanya ada beberapa yang menarik minat Jeno.

"Bisa tolong ambilkan yang ini, ini, dan sebelah kanan atas itu?" Katanya pada Si pegawai.

Perempuan itu tersenyum ramah, "tentu tuan."

Tiga pasang cincin yang dipilih Jeno memiliki model yang hampir serupa, full diamond di sekelilingnya, dan ada satu berlian yang lebih besar di tengah untuk cincin mempelai wanita.

"Ini bagus, kamu suka yang kayak gini kan?" Kata Jeno pada gadis di sampingnya.



"Iya iya! Cantik banget!!"

Jeno tersenyum tipis dan memandang Jung Jeha dari samping, melihat gadis itu tampak berbinar dan sibuk melihat-lihat tiga pasang cincin itu.

Cantik.

"Pilih aja," kata Jeno. Tanpa melepaskan pandangannya, tanpa memudarkan senyumannya.

"Eum, kayaknya antara ini sama yang ini deh, bingung," Jeha memilih cincin yang tepinya sedikit lebih tipis, dan satu lagi yang paling glamour.

Pegawai yang memerhatikan keduanya dari tadi tiba-tiba menyeletuk, "rupanya tuan memiliki selera yang sangat bagus, kelihatannya sangat cocok di jari anda berdua, mau mencobanya dulu?"

Jeno langsung mengerjap beberapa kali, dia tersenyum dengan canggung, "k-kami bukan..."

"Bisa anda coba saja dulu tuan, saya yakin cincinnya akan sangat cocok." Pegawai itu masih tersnyum.

Ah, rupanya pegawai wanita ini salah paham. Padahal kan bukan dia mempelai prianya, bagaimana bisa dia mencoba cincin ini—

Tapi memangnya siapa yang tidak akan salah paham sih?

Lee Jeno, kau datang ke toko perhiasan hanya berdua dengan Jung Jeha untuk membeli cincin pernikahan. Tentu saja itu akan membuat siapapun salah paham karena nampak ambigu.

Tapi sepertinya Jeha tidak menyadari apa yang dikatakan Si pegawai sebelumnya.

Merasa canggung dan ragu, Jeno pun mencoba cincin untuk mempelai pria tersebut, memakainya di jari manis tangan kiri, dengan gerakan yang agak sedikit gemetar.

Bagus.

Cincin yang sangat pas dengan jarinya.

"Wah Jen, emang bagus ya ternyata!" Jeha menyeruak, membuat Jeno tersentak kecil, apalagi saat perempuan itu mengulurkan tangan kirinya pula, memperlihatkan jari manis tangan kirinya di samping tangan Jeno. "Liat deh ini pasangannya!"

Tangan kiri mereka bersebelahan, kilauan berlian yang dipantulkan dari jari manis itu terlihat sempurna. Tangan Jeno yang besar, dan tangan Jeha yang mungil. Meski perbedaan besar tangan keduanya lumayan jauh, itu... nampak sangat serasi.

Lee Jeno berdebar.

Sementara Jung Jeha menggerak-gerakkan tangannya, menikmati keindahan cincin itu. "Bagus banget deh."

Jeno, "m-mau yang ini aja?"

"Aku suka yang ini, tapi..."

"Kenapa?"

"Jaemin kayaknya kurang suka modelan gini deh, bukannya dia suka yang lebih minimalis?" Gadis itu memerosotkan bahunya, sembari mendengus pelan.

Jeno mengangkat sepasang alis, "oh ya? Tapi bukannya dia bilang terserah kamu aja?"

"Iya sih, tapi gimana kalo dia ntar terpaksa sukanya?"

"Kalo gitu kamu tanya aja dulu sama dia," saran Jeno.

"Hmm iya deh, sini tangan kamu, foto dulu."

Jeha sebenarnya benar-benar suka dengan cincin pilihan Jeno karena itu benar-benar sesuai dengan seleranya, namun seingatnya lagi, Jaemin tidak terlalu menyukai hal-hal yang mencolok, dan cincin ini sebenarnya cukup mencolok meski desainnya sederhana.

Mengambil ponsel, Jeha mensejajarkan tangannya di samping tangan besar Jeno yang masih memakai cincin, kemudian mengirimkan gambar itu kepada Jaemin tanpa menunggu lama, bertanya apakah pria itu setuju jika mereka menggunakan cincin yang ini atau haruskah dia mencari model lain yang lebih simpel.

Sementara itu, Lee Jeno juga ikut memotret tangan mereka. Sepasang tangan serasi dengan cincin berlian yang memukau, membuat mereka tampak seperti model majalah perhiasan.

Jeno terus tersenyum tipis, tak berhenti memandangi tangan mereka. Seolah-olah dia enggan untuk melepaskan cincin itu, seperti dia ingin terus mengenakan cincin itu selamanya.

Dia berharap, dialah yang akan terus memakainya. Sampai nanti.


———oOo———


Hari itu, Jeno tidak memiliki kelas. Tahu tidak apa yang sedang pria itu lakukan?

Tentu saja dia sedang sibuk dengan persiapan pernikahan Jeha dan Jaemin. Berurusan dengan wedding organizer, mendesain undangan pernikahan— bahkan dia masih riwa-riwi ke lokasi untuk memantau tim wedding organizer tersebut.

Beberapa tugas kuliahnya menjadi sedikit terbengkalai, dia juga hanya tidur 1-3 jam saja dalam sehari. Sebenarnya lingkaran hitam di bawah mata pria itu cukup kentara, namun karena Jeno selalu sumringah, dia tampak tidak kelelahan dan baik-baik saja.

Duduk di meja belajarnya sambil menghadap laptop, Jeno rupanya sedang mendesain - lagi - entah untuk apa. Matanya terlihat memerah sedikit, menandakan bahwa dia sudah berada di depan laptopnya sejak lama.

Nanti sore, dia harus pergi ke lokasi pernikahan lagi, jadi—

Ponselnya tanpa diduga berdering, seseorang menelepon dan getaran dari ponsel itu terdengar sangat keras karena ia letakkan di atas meja kayu. Jika Jeno emosian, pasti dia sudah mengumpat dan menyumpahserapahi seseorang yang meneleponnya.

"Ssup! What you do? Why nggak bales chat gue?"

Tanpa Jeno perlu melihat nama si penelepon, dia tahu itu adalah sohibnya. Mark Lee.

"Chat?"

Di seberang, Mark langsung mengeluh. "Gosh, gua spam lo and u even didn't hear it? Lo silent apa gimana?"

"Emm..."

"You busy?"

"Lumayan, kenapa?" Jeno mengapit ponsel itu diantara telinga dan bahunya, lalu tangannya sibuk bergerak lagi.

"Their wedding again?"

"Of course."

"I don't even know what's wrong with you."

Mendengarnya, Jeno hanya sempat terdiam sembari tersenyum tipis. "There's nothing wrong with me tho."

Terdiamlah selama beberapa saat Mark Lee di seberang sana, seperti laki-laki blasteran itu tidak memiliki kata-kata lagi untuk ia ungkapkan kepada temannya— ada, sebenarnya ada, hanya saja Mark yakin Jeno hanya akan tersenyum mendengar seluruh keluh kesahnya, lalu berakhir mengatakan bahwa pria itu baik-baik saja.

"Dude— hhh..."

Lee Jeno hanya mengulum bibir sejenak.

"Can't you just stop? Udah, cukup." Mark melanjutkan.

"Iya, nanti."

Hanya itu jawabannya, sampai akhirnya Jeno mematikan telepon temannya secara sepihak tanpa mengatakan apapun lagi. Dia sebenarnya merasa tidak enak, hanya saja dia pikir Mark terlalu peduli dengannya. Cukup nasihati sekali saja, jangan lebih.

Lalu beberapa saat kemudian, seseorang masuk ke dalam kamarnya. Jeno terlalu fokus hingga ia tak sadar seorang lelaki bertubuh setinggi dirinya melangkah masuk, masih dengan kemeja yang tampak sedikit kusut, menandakan bahwa dia baru saja pulang bekerja.

Itu Na Jaemin.

Pria itu memasuki kamar Jeno sembari tersenyum, bermaksud untuk menyapa saudaranya.

Hanya saja, saat dia berada tepat di belakang Lee Jeno, Jaemin langsung berhenti, senyumannya perlahan memudar ketika dia melihat apa yang dilakukan saudaranya kala itu. Tidak, bukan karena apa yang dilakukan oleh Jeno, tapi pada sesuatu yang baru saja dikerjakan pria itu.

10 detik berlalu, Jaemin masih berdiri sembari terdiam di belakang Lee Jeno, memerhatikan dengan raut wajahnya yang seolah terpaku. Hingga saudaranya yang duduk di kursi itu tersadar dengan sendirinya.

"?!"

Jeno terperanjat kecil, dia nyaris saja terjatuh dari kursinya. Dia sangat terkejut, apalagi Jaemin tiba-tiba berdiri di belakangnya begitu saja entah sejak kapan.

Masih dengan jantung bertalu-talu, Jeno menghembuskan napas panjang, tersenyum dengan kaku ke arah Na Jaemin.

"Kaget..." ujarnya, "sejak kapan kamu masuk?"

Jaemin kemudian menarik bibirnya tipis, menulis dengan cepat di ponselnya. "Beberapa saat lalu, maaf ya, kamu terlihat sangat fokus."

Jeno tertawa kecil dengan canggung, dia hendak berbicara lagi namun Jaemin sudah menyodorkan tulisan baru di ponselnya yang membuat Jeno langsung terdiam kaku.

"Apakah itu typo?"

Pria yang sedang duduk itu mengedit sesuatu di laptopnya, yang malah membuat fokus Jaemin teralihkan sejak dia masuk. Jeno sedang mendesain dan sepertinya itu digunakan untuk pajangan di depan area pernikahan.

Hanya saja, tulisannya adalah Jeno & Jeha.

Karena itu Jaemin bertanya apakah Jeno typo karena seharusnya itu adalah Jaemin & Jeha.

Lee Jeno langsung panik.

Dia malah ikut terkejut, Jeno benar-benar melakukannya dengan tidak sengaja, dan seingatnya dia menulis nama Jaemin di sana.

Pria itu berdeham, kemudian segera mengambil kursornya. "O-ohh maaf! Itu... itu tadi kayaknya auto-correct! Sorry gue bener-bener ga ngeh!"

Auto-correct???

Jaemin tak menanggapi apapun, hanya mengangkat alisnya bersamaan dengan gestur canggung, kemudian tersenyum dengan sangat tipis. Ia perhatikan saudaranya yang terlihat mengganti nama 'Jeno' menjadi namanya dengan cepat.

Tatapan Jaemin terlihat penuh arti.

Namun sejurus kemudian pria bermarga Na itu kembali tersenyum, memandang saudaranya dengan ramah seperti biasanya. Hingga tatapan Lee Jeno turun ke arah tangannya, pada sebuket bunga mawar yang sejak tadi dibawa oleh Sang dokter.

Jaemin tersadar, dia berkata, "ini bunga untuk Jeha, bagaimana menurutmu? Bukankah ini cantik?"

"He'em," Jeno tersenyum mengangguk, "tapi Jeha kurang suka mawar merah, dia lebih suka pink."

Kata-kata itu segera membuat Jaemin mengubah ekspresinya tanpa sadar. Senyumannya tadi mereda, terlihat sedikit lebih datar. Memandangi seikat mawar merah yang dirangkai dengan cantik.

Bibir Jaemin segera membulat kecil, seperti dia sedang mengatakan "oh". Terulas lagi sebuah senyum ramah di wajahnya yang tampan dan manis, lantas mengangguk.

"Kalau begitu aku akan membeli yang baru besok."

Jeno menegakkan punggung, "mau sekalian bareng? Gue mau ke lokasi, tadi tim wedding organizer-nya nelpon gue lagi, mau ikut liat lokasinya juga?"

Terdiam sejenak Na Jaemin di tempatnya, masih dengan senyuman teduhnya yang selalu sesejuk embun beku. Hingga lantas pria bersurai hitam itu menggeleng pelan.

"Aku lelah, operasiku baru saja selesai setelah 9 jam."

"Mmm, oke."

Dokter itu berbalik kemudian setelah memberikan isyarat untuk pergi dari sana, masih dengan menggenggam sebuket mawar merah segar di tangannya. Punggungnya nampak begitu tegap, namun Jaemin merasa begitu lelah hari ini.

Dia merasa sedikit bad mood, karena itu Jaemin ingin pergi tidur sekarang.

***

Mengapa kisah percintaan orang lain selalu berjalan seperti sebuah film romansa yang berakhir bahagia? Mengapa mereka bisa saling berbagi ketulusan dengan mudah bagai air bertemu tanah bumi?

Apakah dia hanya akan terus menjadi penonton film itu, atau selamanya menjadi tokoh sampingan yang keberadaannya bahkan tak berperangaruh?

Lee Jeno berdiri di ambang pintu masuk venue pernikahan yang dibuat dari ranting pohon pinus, memandangi orang-orang yang bekerja, bangku panjang dari kayu untuk tamu, altar pernikahan tak terlalu tinggi, dengan karpet merah yang dihiasi mawar merah muda di latar belakangnya.

Venue itu sangat sempurna. Dekorasi pernikahan yang sangat cantik dan dreamy, sepoi angin lembut dan menyejukkan dari pepohonan hutan, langit yang cerah.

Tuhan sungguh merestui pernikahan kedua orang ini.

Jeno tersenyum tanpa sadar.

"Ini hutan kalo lu lupa, bisa-bisanya lu ngelamun di sini."

Sepasang mata sipit Lee Jeno mengerjap dua kali, dia menarik napas panjang ketika suara berat terdengar cukup dekat di sampingnya.

Ah, orang-orang mengapa suka sekali muncul tiba-tiba?

Menolehkan kepala, sosok pria yang lebih jangkung darinya berdiri sembari menyulut sebatang rokok yang terapit di bibir. Jeno tidak terkejut dengan kedatangan pria ini karena dialah yang mengundangnya untuk datang, namun Jeno pikir Guanlin tidak akan datang karena pria itu tidak mengatakan 'ya' atau apapun saat dia meneleponnya tadi.

"Lo nggak sibuk?" Tanya Jeno.

"Kaga," enteng Guanlin.

"Mm,"

"Lo mau nyuruh gua nguli kah?" Guanlin melirik Jeno.

"Ng-nggak kok! Bukan nguli!" Jeno langsung panik, "udah cukup orang di sini, udah kelar kok sebagian besar."

"Lo ikut nguli daritadi?"

"He'em."

Guanlin mengangguk kecil beberapa kali, mengisap rokoknya, menghembuskan asapnya ke udara. Jeno hanya terus melirik pria itu dengan tatapan aneh, menjaga jarak sedikit karena asap itu membuatnya terbatuk kecil.

Lee Jeno sangat menghindari rokok, karena dulu Jung Jeha membenci prokok, jadi sampai sekarang dia sudah terbiasa dengan itu. Toh, merokok bisa membunuhmu kan.

"Ada ye orang kek elu," celetuk Guanlin tiba-tiba, sembari berjalan pria itu memasuki venue pernikahan.

"Hah?"

"Yang nikah siapa, yang ribet siapa," sambung Guanlin, duduk di bangku kayu. "Lu liat dah sodara lu, ada dia gopoh? Kaga ada wkwk."

Jeno menghela, "dia kan kerja, dia dokter, sibuk bangetlah."

"Sedokter-dokternya, tetep ajalah. Yakali kaga bisa ngeluangin waktu buat urus acara pernikahannya sendiri, acaranya dia, bukan elu."

Lee Jeno belum sempat menjawab, namun Guanlin menyerobot lagi.

"Dia udah ke sini belom? Belom kan?"

Jeno diam lagi, ekspresi wajahnya nampak bingung, seperti kesulitan untuk menjawab karena apa yang dikatakan Guanlin barusan benar adanya.

"Dia sibuk Guan, tadi aja habis ada operasi."

Guanlin mendengus, "susah ngomong sama bucin tolol."

Jeno hanya menahan napas sejenak mendengar Guanlin memaki dirinya. "Emang situ nggak?"

Pria perokok itu langsung melirik Jeno, kemudian mendecih. Julid.

"Gua sih udah berdamai sama keadaan," sambungnya, mengangkat bahu.

"Yaudah sama."

Guanlin tertawa meledek, "ga percaya sih."

"Yaaa, perasaan masih ada lah dikit-dikit," Jeno berdeham.

"Yakin dikit? Bikin undangan, ngatur venue, anter beli cincin, sampe kaga tidur. Beneran cuma dikit?" Guanlin tersenyum miring.

Iya sih. Jika Lee Jeno disuruh jujur, tentu saja perasaannya tidak sedikit.

Faktanya, mana mungkin perasaannya kepada Jung Jeha bisa berubah? Tidak akan pernah.

"Aku mengambilmu, Jung Jeha, putri dari Jung Yunho, menjadi istriku. Untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya, pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untung saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita. Dan inilah, janji setiaku yang tulus...

...dari aku, Lee Jeno."

Pria bermarga Lee itu mengenakan setelan putih-putih yang terlihat sangat serasi dengan mempelai wanitanya. Rambut pirangnya dia tata dengan rapi ke atas, membuat wajahnya terlihat lebih segar dan juga gagah.

Ia tatap sepasang mata ayu di depannya, sarat akan cinta, haus akan kasih sayang.

Lee Jeno mengucap sumpah pernikahan di depan pendeta, disaksikan oleh keluarga dan juga orang-orang terdekatnya. Dia baru saja berkata dengan lantang, sama sekali tak terbata meski gugup dengan jantung yang berdebar seperti derap langkah kuda.

Cincin itu, cincin yang mereka pilih bersama beberapa hari lalu, hari ini akhirnya Jeno akan memasangkan cincin indah itu di tangan istrinya.

Ia ambil tangan putih yang lebih kecil darinya, jari yang lentik dengan kuku yang mengkilap.

"Aku mau Jaemin, bukan kamu, Jeno."

Jung Jeha menarik tangan itu, tepat saat Jeno nyaris saja memasangkan cincin tersebut di jari manis Sang Hawa. Dengan raut wajah gelisah, menatap Jeno dengan penuh rasa kecewa. Seperti mengatakan bahwa yang perempuan itu inginkan benar-benar bukanlah dirinya.

"Jeha-ya..."

"Pergi dari sini, Jen."

"Jeha, aku—"

"Kita nggak akan pernah bisa bersama, jangan pernah memaksakan itu."

"Kita nggak akan pernah bisa..."

"Nggak akan pernah..."

"WAAAHHHH!!!"

Tepuk tangan dan juga sorakan semua orang terdengar memenuhi langit-langit hutan yang dinaungi dedaunan. Semua orang berdiri sembari berteriak dengan penuh suka cita, menyoraki sepasang kekasih yang telah menjadi suami istri.

Pasangan itu terlihat bahagia.

Na Jaemin dan Jung Jeha.

Jeno menghela napas panjang, mengerjapkan mata beberapa kali dan ikut berdiri dari duduknya, bertepuk tangan seperti yang lain dengan seulas senyum yang tulus. Jadi sejak tadi dia melamun ya?

Senyuman seorang Lee Jeno yang selalu tulus dan teguh, namun lelah.

Ah, ini adalah hari pernikahan paling membahagiakan yang paling ditunggu semua orang ya. Na Jaemin yang tampan dan gagah, mencium kening seorang wanita cantik dengan perangai lembut bagai air. Mereka baru saja mengucap janji suci, disaksikan olehnya.

Ya, air. Jung Jeha seperti air baginya. Lembut, menyejukkan, menyembuhkan.

Kamu adalah air dan aku adalah anginmu, Jeha-ya. Kamu tahu apa yang akan terjadi jika air dan angin bertemu?

Ya, badai.



FIN



🥺

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

AMETHYST BOY بواسطة AANS

قصص الهواة

292K 32.1K 34
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ° hanya karangan semata, jangan melibatkan...
53.4K 4.9K 30
° WELLCOME TO OUR NEW STORYBOOK! ° • Brothership • Friendship • Family Life • Warning! Sorry for typo & H...
640K 30.8K 38
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
158K 7.8K 28
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...