What If [Series]

By tx421cph

3.1M 290K 465K

❝Hanya ungkapan tak tersampaikan, melalui satu kata menyakitkan. Seandainya... ❞ PART OF THE J UNIVERSE [read... More

Disclaimer
1. Jeno x Jeha
2. Jeno x Jeha
3. Jeno x Jeha
4. Jeno
5. Jeno
[side story] Jeno x Jeha
1. Jaemin x Jeha
2. Jaemin x Jeha
[side story] Jaemin x Haknyeon
1. Guanlin x Jeha
2. Guanlin x Jeha
3. Guanlin x Jeha
1. Truth - Baek Min Ho & Ye Hwa
2. Truth - Hwang Je No & Baek Je Ha
[side story] Juno & Jeni
[side story] The J's Family
[side story] Na's Siblings
[side story] Na's Siblings (2)
[side story] The Kang's Family
[side story] They're Passed Away
[side story] Little Jeno and Jeha
[side story] Between Us
[side story] Dear Dad
[side story] Hukuman Ayah
[side story] Ayah dan Anak Pertama
[side story] Someday In 2017
Side Ending of J's Universe
[alternate] Reality
[side story] Jung Jaehyun
[side story] Seongwoo x Sejeong
[side story] Daddies
[side story] Him
[side story] Keluarga Na Bangkrut?
[side story] Harta, Tahta, Tuan Muda Kaya Raya
3. Truth - Hwang Je No & Baek Je Ha
[side story] Dear Papa

[side story] sunsetz

12.9K 1.1K 291
By tx421cph

"Mengapa aku harus mengulang kesalahan yang sama?"
—Jung Jaehyun

Happy Reading

Jaehyun pikir... hari itu hanyalah mimpi, sebuah mimpi buruk di sela-sela tidur malamnya. Sebuah mimpi mengerikan yang akan segera ia lupakan setelah ia terbangun nanti, dan tak akan pernah ia ingat sampai kapanpun.

Sayangnya... rasa sakit itu sangat nyata, seolah merobek dadanya menjadi dua bagian. Jika ini hanyalah mimpi, mengapa air matanya tak bisa berhenti? Mengapa teriakannya begitu menggema?

Mengapa... tubuh itu sangat dingin?

"JEHA!!!"

Sepasang tangan Jaehyun saat memeluk tubuh adik perempuannya di atas bangsal sangat gemetar, seolah dia nyaris kehabisan napas, berteriak, meminta adiknya terbangun sekali lagi, untuk melihatnya.

Adiknya... mati?

Mimpi mengerikan macam apa ini?

Bahkan di sisi bangsal yang lain, Jaehyun bisa melihat sosok suami dari adik perempuannya. Jeno. Pria itu nampak menangis tak kalah hebat darinya, mendekap sosok seorang perempuan cantik yang berwajah pucat. Jaehyun ingat sekali, bagaimana Jeno terus memeluk Jeha dengan deraian air matanya, menciumi wajah dingin itu...

"Jeha-ya..."

Kata itulah yang terus dielukan oleh Lee Jeno.

"Kak! Kak Jae kapan pulang sih?! Aku udah ngga bisa kesanaa soalnya lagi hamil tua!"

"Kak, aku kangen deh, pengen jajan bareng kakak lagi."

"Senang mengenal anda— aku juga melahirkan seorang putra ...ku harap anda akan terus bersamanya hingga ia tumbuh—"

"Jaehyun."

"Jae."

"Ayah?"

Pria itu membuka sepasang matanya dengan segera saat merasakan guncangan kecil pada lengannya. Jung Jaehyun menggulir netra obsidiannya, menatap seorang wanita cantik yang menatapnya dengan khawatir.

"Kamu tidur? Kenapa nangis??

Jaehyun menghela pelan, mengangkat kepalanya dari sandaran kursi. Ah, apa benar... dia tertidur sebentar? Mendengar pertanyaan terakhir istrinya pun, Sang Profesor bergegas mengusap jejak air mata di pipinya, kemudian tersenyum lembut.

"Soojung sama Chae khawatir sama kamu, mereka takut soalnya kamu nggak keluar dari kamar sama sekali."

"Maaf."

Roseanne, istri tercintanya, nampak tersenyum menghela. Dia mengulurkan tangan, merapikan surai-surai halus Sang suami yang sedikit kusut. "Kamu mau tidur aja? Kamu kecapekan, Jae."

Diam Jaehyun, tak menanggapi kalimat istrinya. Sebagai gantinya, dia hanya menatap Rose lamat-lamat saat wanita itu terus membelai kepalanya, seolah ingin membuatnya tenang.

Lalu entah mengapa, Jaehyun mengalirkan air mata diam-diam, tanpa suara, tanpa rintihan. Jatuh begitu saja melalui kedua ekor matanya.

Roseanne tertegun, dia segera mendekat untuk memeluk suaminya. "Ayah..."

Dia tahu, kalimat penenang apapun tak akan berguna. Jung Jaehyun sangat kehilangan.

"Kalau aku nggak terlambat... aku pasti bisa nolong adikku, kan?" Tangan Jaehyun bergetar saat Rose memeluknya. "Kalau aku nggak terlambat... aku bisa buat adikku bertahan kan?"

Rose menghela pelan, turut membendung air mata. Memeluk suaminya dengan erat, membelainya dengan lembut.

"Kematian Jeha... sama sekali bukan salah kamu, Jaehyun. Sama sekali bukan. Dia meninggal bukan karena kamu... bukan salah kamu."

"Aku gagal jadi kakaknya..." dia mulai terisak lirih.

"Hei," Rose melepas pelukanya, menangkup wajah menangis Jung Jaehyun dengan sepasang tangannya yang lebih kecil dan lembut. Menatap sepasang mata dan ujung Jaehyun yang memerah karena tangis, bak terbakar. "Kamu tahu, Jeha selalu cerita ke aku kalau kamu kakak terbaik yang pernah ada. Kamu nggak gagal, Jaehyun. Semua orang bahkan tahu, sesayang apa kamu sama Jeha. Kalau kamu bilang begini, kamu bakal bikin Jeha sedih, ya?"

"Aku kangen dia," Jaehyun meratap, menangis tersedu, seperti anak kecil yang rapuh. "Aku mau adikku..."

Rose mencoba tegar di hadapan suaminya, tapi melihat Jaehyun yang sehancur ini, dia sendiri tak bisa menahan kesedihannya. Rose membawa Jaehyun dalam pelukannya sekali lagi, mendekapnya erat, meneteskan air matanya sendiri.

Suasana berkabung di rumah keluarga Jung benar-benar terasa berat dan mencekik. Tak ada satu pun orang di rumah ini yang mampu untuk sekadar tersenyum.

"Ayo kita lihat bayinya Jeha, ya? Tolong jangan nangis di depan dia, ya, Jaehyun?"

Dengan berat hati, Jaehyun mengikuti langkah Rose. Dia ingat jika dia memiliki keponakan, bayi yang dilahirkan oleh adiknya dengan taruhan nyawa.

Jaehyun menarik napas panjang, berjalan sembari memandang punggung istrinya. Di dalam kamar itu, tampak ibunya yang terlihat menggendong bayi kecil dibalut kain merah muda, duduk di sisi ranjang. Bunda Taeyeon.

Bunda terlihat mengangkat kepala saat menyadari ada yang masuk, pandangannya langsung bertemu dengan sepasang obsidian kusam Jaehyun, tersenyum tipis dengan pedih, menimang bayi itu dengan lembut dan hati-hati.

"Bun."

Bunda Taeyeon terdiam sejenak, "...Kak Jae mau gendong?"

Jaehyun sempat ragu, namun dia hanya mengangguk pelan. Kemudian menerima bayi kecil malang itu dari gendongan Sang bunda dengan hati-hati, membawanya dalam sebuah rangkulan hangat.

Bayi itu bergerak pelan, membuat Jaehyun sempat takjub. Sepasang matanya yang mirip bulan sabit, hidung kecil seperti buah anggur mentah, bibir... yang sangat mirip dengan adiknya. Jaehyun... rasanya seperti deja vu.

"Ayah! Ayah! Mana adek aku! Manaa! Mau lihat!"

"Sstt Kak Jae jangan berisik, nanti adeknya bangun."

"Sini sayang, adeknya lagi bobo, jangan dibangunin ya."

"Lucu bangettt!! Kecil! Hidungnya kayak buah anggur!!"

"Cantik ya, adeknya Kak Jae?"

"Lucu! Cantik banget kayak boneka, bun! Jae boleh cium adek nggaaaa?"

"Boleh, hati-hati ya tapi, jangan sampe adek kebangun, dia baru tidur."

"Iya yah!"

"Kak Jae, katanya udah siapin nama buat adek?"

"Jae udah mikirin nama yang bagus buat adek dari berbulan-bulan lalu lho bun, yah!"

"Oh ya? Siapa tuh namanya, kak?"

"Jeha. Jung Jeha."

Tanpa sadar, air mata Jaehyun yang sejak tadi ia bendung mengalir melewati lereng pipinya. Sepasang lengan kekarnya yang membawa bayi mungil itu bergetar, lalu saat bayi itu membuka sepasang matanya, mengerjap pelan dan menguap kecil, Jaehyun mulai limbung.

"...aku juga telah melahirkan seorang putra... ku harap anda akan terus bersamanya—"

"Kak Jae," Bunda Taeyeon segera menahannya saat dia sedikit terhuyung, Rose dengan cekatan mengambil bayi perempuan itu saat melihat lengan suaminya gemetar. "Kakak kecapean ya? Belum tidur sama sekali?"

"Maaf bun," lirihnya pelan. "Jae nggak bisa."

Bunda Taeyeon menghela napas pelan saat Si sulung Jung duduk di sisi ranjang, di sampingnya, menutupi wajahnya dengan kedua tangan, bertumpu di atas paha. Pria itu terisak sejadi-jadinya tanpa suara, membuat hatinya terasa semakin tersayat, dirobek oleh belati tak kasat mata.

"Kak..."

Sang bunda mengusap punggung lebar Jaehyun dengan gerakan pelan, terus seperti itu berulang-ulang, mencoba untuk menenangkannya.

"Kalau Jae nggak telat... apa Jeha bakal selamat? Apa dia masih hidup? Jae pasti bisa... nyelamatin Jeha, kan?" Suaranya itu terdengar parau, nyaris seperti bisikan.

Ibunya yang sudah berusia lebih dari setengah abad itu mencoba menahan air matanya sendiri mati-matian, memeluk putra sulungnya dengan erat. Dia seharusnya bisa bersikap tegar agar suasana di rumah Keluarga Jung tidak terlalu suram, tapi melihat betapa hancurnya Jaehyun, membuatnya tidak bisa menahan diri. Anak perempuan kesayangannya yang baru saja pergi, anak sulung lelakinya yang kini menangis dan meraung dengan seluruh penyesalan.

"Bukan salah kakak, bukan..."

Di tengah kesedihan mencekam itu, bayi perempuan yang digendong Rose mulai menangis. Suara tangisannya memenuhi ruangan kamar, seolah menambah kepedihan yang mengental di udara. Jaehyun semakin tertohok hatinya, bahkan suara tangis ini... sangat mirip dengan tangisan pertama Jung Jeha yang ia dengar puluhan tahun lalu.

———oOo———

Banyak sekali orang yang merasa kehilangan dan hancur dengan kematian Jung Jeha. Bahkan yang memimpin upacara di rumah duka adalah Jung Yunho, karena Lee Jeno tidak sanggup untuk sekadar berdiri, sama seperti Jung Jaehyun yang mengurung dirinya di kamar, enggan bertemu orang-orang yang datang untuk melayat beberapa hari lalu.

Jaehyun menginjakkan kaki di atas tanah pemakaman, pandangannya kosong sejak ia turun dari mobil, melewati gundukan demi gundukan tanah dengan nisan marmer yang berjajar teratur.

Langkah Si sulung langsung terhenti saat dirinya berjarak 10 meter dari makam adiknya, karena seseorang menarik perhatian di tengah hamparan hijau yang hening tersebut. Jaehyun membuka mulut, namun kemudian urung berbicara melihat orang yang duduk di hadapan makam adiknya menangis tanpa suara tersedu-sedu, hingga bahunya naik turun.

Jaehyun memutuskan untuk mendekat dengan pandangan kosong. Orang itu sepertinya juga menyadari kedatangan Jaehyun, namun ia tidak menoleh sedikit pun, malah semakin menunduk sembari meremat sebuket krisan kesukaan Jung Jeha yang ia bawa untuk mendiang.

Jaehyun sama saja, dia juga enggan untuk memulai pembicaraan. Si sulung Jung berlutut di samping makam, mengusap nisan marmer yang berukirkan nama adik tercintanya, kemudian mencium nisan itu, dan duduk di samping pria tersebut.

Untuk beberapa saat, suasana sangat hening, hanya ada sedikit isakan pelan dari pria di samping Jaehyun, seperti dia mencoba untuk menahan isakannya mati-matian karena tak mau Jaehyun mendengarnya.

"Maaf." Suara Jaehyun sangat serak dan hampir menghilang.

Tak lama, pria itu mengepalkan tangan mendengar kalimat Jaehyun. "Ga ada gunanya Jae," ujarnya parau, "lo minta maaf ke siapa? Buat apa?" Guanlin menghembuskan napas berat, seolah kekurangan udara dan lehernya seperti dicekik.

Jaehyun tak menanggapi pertanyaan itu, hanya... "maaf..." ujarnya lagi, kemudian menangis.

Guanlin terlihat seperti orang tidak bernyawa. Sepasang mata dan ujung hidungnya memerah, membengkak, seolah menunjukkan bahwa dia terus menangis selama berhari-hari.

Bugh!

Guanlin menepuk punggungnya lumayan keras.

"Gue yakin lo punya lebih dari sekadar kata maaf buat lo sampein ke dia," datar Guanlin. "Hapus air mata lo, Jeha ga butuh air mata penyesalan lo, Jae."

Jaehyun menarik napas panjang, menggigit bibir sejenak untuk menahan air matanya mati-matian, kemudian mengangguk.

"Jeno... lu liat dia kesini?" Tanya Jaehyun pelan.

Guanlin menghela, lalu menggeleng. "Gue baru keluar rumah pagi ini, lo orang pertama yang gue liat setelah berhari-hari."

"Gue bakal ke rumahnya setelah ini," pelan Jaehyun, "lo mau ikut gue?"

"Ga dulu," sahut Guanlin cepat dengan suara beratnya. "Lo mau gue ngapain? Hibur dia? Sori, gabisa, gue juga butuh hiburan."

Jaehyun paham. Meski semua orang memikirkan kondisi Lee Jeno pasca kematian Jung Jeha, hanya Jaehyun yang sadar bahwa Guanlin juga tak kalah hancur. Sangat sangat hancur.

"Lo mau... liat anaknya dia, ga?" Saran Jaehyun.

Guanlin diam sejenak. "Gue bilang ga dulu, Jae. Ketemu orang aja... gue ga sanggup, apalagi liat anaknya dia." Kemudian, matanya mulai berair lagi.

"Cantik, mirip adek gue, mirip banget." Jaehyun tersenyum tipis. "Gue harap... jiwa Jung Jeha hidup di dalam diri bayinya, walaupun sedikit aja."

Guanlin diam, Jaehyun terdiam.

Kemudian, suasana menghening selama beberapa saat. Hanya ada suara angin yang membuat dedaunan di pemakaman melambai syahdu. Seolah deru angin sepoi itu menjadi bisikan-bisikan penenang di telinga keduanya.

Lalu tak lama, Guanlin bersuara. "Sakit banget ya ternyata... Jae."

Jaehyun bungkam, tak berniat untuk menanggapi, menunggu kalimat selanjutnya yang akan meluncur dari bibir pria itu.

"Gue pikir... awalnya ga akan sesakit ini, tapi... sakit banget... bangsat," Guanlin mengubur wajahnya di kedua telapak tangannya, bahunya gemetar, dan dia menangis lagi, kali ini jauh lebih deras.

Jung Jaehyun masih terdiam, mulai memahami apa yang Guanlin coba sampaikan padanya.

"Kalau aja... kalau aja gue bisa ngulang masa lalu... gue ga akan ngelakuin hal sebodoh itu, Jae..." isak Guanlin. "Jaehyun... gue ga sanggup... gue tau gue harus bertahan, tapi... gue ga yakin apa gue bisa bertahan sampai akhir, Jae..."

Jaehyun mengatupkan sepasang matanya, menarik napas dalam-dalam.

"Maaf Guan, tapi... lo harus bertahan sampai akhir, lo ga bisa milih."

"Gue tau... gue tau..." tangan Guanlin semakin gemetar, suaranya bahkan nyaris menghilang seolah dia kehabisan pasokan udara.

"Gue juga punya penyesalan Guan, ga cuma lo... bahkan sekarang, penyesalan gue makin bertambah."

"Sori Jae... gue..." Guanlin terisak hingga dahinya menyentuh rerumputan pemakaman. "Demi Tuhan gue benci banget sama diri gue sendiri Jae... gue jahat... sori, Jaehyun..."

Jaehyun terdiam, matanya kembali berair, hingga tetes demi tetesnya terjatuh dengan bebas. Kematian adiknya, penyesalan Jaehyun, penyesalan Guanlin... ketiga hal menyakitkan itu beradu menjadi satu, menggumpal dan menorehkan luka paling dalam di hati keduanya. Luka yang tidak akan pernah hilang selamanya.

"Mau lo nyesel atau ngga... lo nggak akan pernah bisa mencegah, Guan. Lo nggak akan bisa mencegah takdir ksatria awan hitam yang mencoba melawan matahari.''

...

"...ayah?"

"...ayah..."

"Ayah bangun..."

"Ayah... jangan tinggalin Yunoh..."

Ah, suara anak bungsunya ya? Jaehyun mencoba untuk membuka matanya, namun rasanya begitu berat, napasnya pun mulai memendek. Dia mencoba untuk membuka mata, tapi bahkan dia seperti dipaksa untuk terpejam. Jaehyun tak bisa melihat apapun, namun dia masih bisa mendengarkan tangisan anak bungsunya.

"Kak Jae!"

Sebuah suara familiar terdengar dari belakang, Jaehyun kebingungan karena kini dia bisa membuka matanya kembali, namun bukan sosok anak bungsunya yang menangis yang dia lihat.

"Jeha?" Mata Jaehyun melebar, "Jeha!!" Dengan cepat, dia berlari menghampiri sosok itu. Sosok perempuan cantik dengan gaun musim semi favoritnya, berlari dengan senyum bahagia ke arahnya, menubruk tubuhnya, memeluknya dengan erat.

"Kak Jaee!! Aku kangennnn!"

"Jeha... Jeha..." Jaehyun menangis dalam pelukan itu, merengkuh tubuh adiknya yang jauh lebih kecil, menghirup aroma harum dari rambutnya yang sangat dia rindukan selama puluhan tahun. "Kakak kangen kamu dek... kangen banget..."

"Akhirnya Kak Jae dateng juga!" Jeha terdengar sangat senang, melepaskan pelukannya, tersenyum lebar khas dirinya.

Jaehyun membendung air mata, menangkup wajah adiknya dan mencium kening itu beberapa kali. Adiknya yang terlihat seperti masih remaja, cantik, sangat cantik. Selalu cantik.

"Maaf... maaf Kak Jae baru dateng sekarang, kamu nunggu lama?"

"Iya! Aku nunggu lama!" Jeha mendengus, "tapi nggak apa-apa, karena Kak Jae sekarang udah di sini!"

Mereka kembali berpelukan, Jeha dan Jaehyun. Seperti ada banyak sekali ungkapan yang ingin mereka sampaikan satu sama lain. Kakak beradik itu tak ingin melepaskan pelukan mereka. Jeha yang begitu gembira, Jaehyun yang merasa sangat sedih.

"Kak Jae jangan nangis terus, aku kangen Kak Jae yang tengil."

Jeha melepaskan pelukan kakaknya, memegang lengan kedua kakaknya erat-erat, menatap tepat ke raut wajahnya yang penuh kesedihan.

"Kakak minta maaf, dari dulu... sampai sekarang, kakak nggak bisa jagain kamu. Kakak nggak bisa nepatin janji yang dulu."

Melihat kakaknya yang begitu menyesal, Jung Jeha tersenyum menghela, mengusap pipi kakaknya dengan lembut.

"Siapa sih yang bilang begitu? Kak Jaehyun itu kakak terbaik yang pernah ada, kalau dikasih kesempatan... di kehidupan yang lain aku mau jadi adeknya Kak Jae lagi."

"Tapi—"

"Dan janji yang dulu... Kak Jaehyun udah nepatin. Bahkan dulu... Kak Jae selalu ngelindungi aku walaupun kakak nggak punya kuasa, aku tahu Kak Jae bahkan mau menukar nyawa cuma buat aku, aku tahu... dan bisa-bisanya kakak bilang, kakak masih ngga bisa jagain aku?"

Jaehyun terdiam, air matanya jatuh berderai seperti hujan.

"Yang dulu udah berlalu kak, emang... menyakitkan banget ya, kehidupan yang dulu. Tapi... bukannya begitu cara dunia berjalan? Kita nggak bisa apa-apa kak, tapi... Kak Jaehyun berani, lebih dari seorang pemberani cuma buat melindungi orang ngga berharga seperti aku."

"Jeha..."

"Semenyedihkan itu, ya? Bahkan buat bertahan di dunia sama orang yang aku cintai pun... aku nggak bisa."

"Sekarang udah nggak ada lagi yang bisa nyakitin kamu, nggak ada," Jaehyun menangkup wajah adiknya, masih berderai air mata. "Nggak ada yang bisa nyakitin kamu."

Jeha tersenyum, senyuman tercantik yang pernah Jaehyun lihat. Perempuan itu mengangguk yakin.

"Aku punya Jeno, aku selalu punya Jeno di sisi aku, aku nggak pernah takut apapun."

Lalu, Jaehyun bisa melihat sebuah benang tipis terlilit di jari kelingking adik perempuannya. Benang merah yang terikat... dengan seseorang. Jaehyun mengikuti kemana benang itu mengarah, lalu sosok lelaki muncul dari belakang adiknya. Seorang laki-laki berkulit cerah dengan sepasang mata membentuk bulan sabit ketika ia tersenyum.

Lee Jeno. Dia Lee Jeno, namun Jaehyun melihat sosok lain dalam diri itu.

Jeno menggenggam erat tangan Jeha, dimana benang merah itu bertemu.

"Lama tidak berjumpa, Tuan Seon."

"Hwang Yong-Geum..."

Jeno tersenyum, mengangguk kecil sembari menepuk lengan Jaehyun.

"Ayah!! Ayah bangun!!"

"Ambilkan defribillator! Segera stimulasi jantungnya!! Cepat!!"

"D-dokter!!"

"Dokter... pasien telah meregang nyawa..."




-fin-




Emang boleh semenyakitkan ini?!! 😩😭💔

Continue Reading

You'll Also Like

55.3K 5.1K 14
[FOLLOW SEBELUM BACA] Brothership, Harsh words, Skinship‼️ ❥Sequel Dream House ❥NOT BXB ⚠️ ❥Baca Dream House terlebih dahulu🐾 Satu atap yang mempe...
69.3K 6.4K 74
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
190K 18.9K 40
Seorang ibu yang kehilangan anak semata wayang nya dan sangat rindu dengan panggilan "bunda" untuk dirinya Selengkapnya bisa kalian baca aja ya luuvv...