RECAKA

By Aniwilla

9.2K 2.1K 2.7K

Tentang kematian beruntun dari jajaran murid berprestasi SMA Swasta Anindita. Pembunuhnya ada di antara merek... More

Prolog
1 || Pemuda Tanpa Teman
2 || Dia Pintar
3 || Perpustakaan
4 || Hujan dan Kisahnya
5 || Rumah Tanpa Hangat
6 || Kata
7 || Seorang Teman
8 || Nada
9 || Mimpi Dalam Cerita
10 || Kematian
11 || Retak Bersama Waktu
12 || Tersangka dan Hipotesa
13 || Dingin
14 || Hidup
15 || Tenggelam Suram
16 || Letih yang Menyambar
17 || Ruang dan Seni
18 || Frasa Menyakitkan
19 || Sajak Luka
20 || Karsa
21 || Perihal Rasa
22 || Kontradiksi
23 || Lebur Dalam Dingin
24 || Di Antara Sesal
25 || Dia
27 || Benang Kusut
28 || Sakit Jiwa
29 || Harsa
30 || Cerita yang Patah
31 || Titik Untuk Berhenti
32 || Tentang Maaf
33 || Rela Untuk Menerima
34 || Buku Harian
35 || Selamat Tinggal
Epilog
Hujan Terakhir

26 || Alam Bawah Sadar

181 38 34
By Aniwilla

㋛︎

Beberapa orang memang memilih untuk tak mau sembuh. Sederhana, karena obat itu pahit.

Mereka tidak mau menelannya.

Seperti, berdamai dengan diri sendiri contohnya.

-R E C A K A-
.
.
.

㋛︎

Bagaimana mengartikan rasa sakit pada mereka yang sudah lelah dengan rasa, sampai tak dapat membedakan mana yang sakit dan mana yang bukan. Terkadang menunggu luka mengering itu lebih menyenangkan daripada harus mengobatinya. Kita hanya perlu menikmati tiap jengkal sakit yang semesta berikan.

Lantas bagaimana dengan sakit yang bersemayam di area batin. Lukanya bahkan tak berbayang tapi terasa perit. Bagaimana mengobati luka semacam itu agar tidak lagi menimbulkan rasa sakit?

Bagaimana cara untuk sembuh jika lukanya saja tak terlihat. Bagaimana cara untuk sembuh jika penawarnya saja tidak nyata.

Sampai luka itu mengering dengan sendirinya seiring berjalannya waktu, meninggalkan bekas memar. Yang jika bersentuhan lagi dengan memori kelam maka akan berdarah. Yang lama-lama akan menjadi mati rasa. Seperti sakit, namun hampa. Seperti ingin disembuhkan, tapi tak tahu mengapa bisa terluka.

Sama halnya dengan yang Yuna tatap kali ini. Seorang January Candramawa, laki-laki bersinar yang terlihat hidup dengan baik. Sosok tampan berwibawa yang memiliki senyuman sehangat mentari pagi. Yang selalu dicap sebagai murid serba bisa karena apa pun yang Janu lakukan, selalu hampir sempurna. Laki-laki dengan senyuman manis bak oasis di tengah gurun itu terlihat tidak baik-baik saja, dan ini kali pertama Yuna melihat Janu yang lain. Binar matanya yang biasa terlihat cerah kini meredup, tergantikan sendu. Lebih pekat dari gelap malam. Getaran takut di tubuhnya membuat Yuna menelan salivanya perlahan. Menatap Janu ragu.

Apakah yang ada di hadapannya benar Janu?

Atau ini memang Janu?

Dan yang selama ini terlihat seperti lampu berjalan karena cahayanya berpendar di mana-mana adalah metafora yang Yuna ciptakan akan sosok Janu yang mungkin menutupi segala lemahnya?

Namun tatap itu tak gentar meski di hadapannya Janu begitu menakutkan dengan wajah pucat pasi dan bulir keringat membasahi wajah. "Lo-lo kenapa? Dia siapa, Nu?"

Napas Janu bergetar, terlihat tak beraturan. Tatapannya begitu menusuk pada netra Yuna. Hanya hening yang mengambil alih sebagai jawaban atas pertanyaan yang Yuna ajukan.

"Janu?" Yuna memegang dua bahu Janu erat dan mengguncangnya pelan. "Lo gak papa?"

Janu tersentak karena sensasi guncangan yang diberi Yuna. Netranya bergulir ke segala arah, terlihat bingung. Dan tungkainya mendadak lemas kemudian terjatuh menyentuh badan bumi.

"Janu?" panggil Yuna sekali lagi. "Lo gak papa?" Mengenyahkan rasa takut, Yuna lebih khawatir melihat Janu yang mendadak linglung.

"Tangan lo!" Yuna berjongkok, meraih tangan Janu yang terluka parah, terlihat memar bahkan sedikit menghitam karena api barusan. Untuk kesekian kalinya Janu terkejut, hendak menarik tangannya kembali namun ia urungkan. "Ini harus diobatin."

Janu meringis pelan. Dan menatap lukanya sendiri. Apa yang sudah ia lakukan? Netranya melirik ke segala arah, menemukan tembok dengan bercak darah. Juga tong panas dengan api yang masih menyala di dalamnya. Keningnya berkerut samar. Apa ia berusaha mengakhiri hidupnya lagi?

Laki-laki itu mendengkus geli, tak mengindahkan pertanyaan Yuna. Jika tak ada yang membuatnya sadar, apakah ia akan mati?

Lantas jika mati. Apa termasuk bunuh diri atau hanya kecelakaan?

Karena Janu benar-benar tak mengingat apa yang barusan ia lakukan.

"Lo gak papa?" Setelah hanya diam kebingungan membiarkan Yuna khawatir setengah mati, kini Janu bersuara. Ia menatap Yuna dari atas sampai bawah memastikan gadis di depannya dalam keadaan baik-baik saja.

"Janu, lo kenapa?" tanya Yuna untuk entah yang ke berapa kali karena laki-laki itu tak kunjung menjawab.

Sementara Janu bangkit berdiri. Menggeleng pelan dengan senyuman terpatri manis seperti biasa. "Gue gak papa."

"Gak papa gimana? Gue nanya serius. Itu tangan lo." Yuna ikut berdiri dan mendongak menatap Janu, lalu kembali memerhatikan tangan Janu, kemudian meringis sendiri. "Apa gak sakit?"

Deg.

Pertanyaan yang paling Janu hindari. Tentang lukanya. Tentang rasa sakitnya. Bahkan orangtuanya sendiri tak pernah menanyakan hal seperti itu karena topeng Janu terlalu kuat. Apakah sakit? Entahlah, Janu juga tidak terlalu memusingkannya, karena pada akhirnya rasa sakit itu Janu sendiri yang menanggung. Bukan orang lain.

Sakit. Semuanya sakit. Sampai rasanya mau mati. Apa Gata di sana baik-baik aja? Monolog Janu dalam hati. Dan nyatanya memang hanya Janu sendiri yang tahu karena kemudian laki-laki itu menjawab, "enggak."

-𖧷-

Akhir Desember selalu identik dengan dingin. Janu kecil sangat bahagia kala orangtuanya mengajak liburan ke luar negri tepatnya di Eguishem, Prancis. Salah satu desa terindah dan memiliki arsitektur bangunan yang menarik bagi Janu saat itu. Ayahnya adalah salah satu arsitek terbaik yang sering pergi bolak-balik ke negara orang. Sedang Bundanya menyukai hal-hal romantis, maka saat itu tepat 9 tahun yang lalu Ayah Janu memutuskan membawa keluarga kecilnya ke salah satu desa di negara Eropa, Prancis.

Janu masih mengingat secara jelas memori yang hampir hilang itu karena bayang-bayangnya saja selalu hadir di tiap malam mimpinya. Malam itu turun salju. Tak jauh dari tempat inapnya ada sebuah lapangan yang cukup luas. Janu kecil yang senang karena untuk pertama kalinya melihat salju tetap menghabiskan waktu di sana meski langit sudah gelap, hanya ada beberapa lampu kelap-kelip yang di hasilkan dari lampu jalan dan beberapa rumah penduduk.

"Ari, sayang! Jangan main salju terus dong. Emangnya kamu gak kedinginan apa?" tanya sosok anggun yang mengawasi Janu kecil di tepi lapangan.

Janu tertawa senang. Terlihat sangat ceria dengan binar mata yang cerah ditambah senyumnya yang manis. Giginya yang kecil-kecil berderet tak rapi membuat anak kecil itu terlihat imut. Saat senyum dua pipi chubbynya mengembang hingga matanya terlihat segaris. Dua lesung berbentuk garis di atas pipi, tepatnya di bagian bawah mata anak itu membuat Janu terlihat benar-benar menggemaskan. Apalagi saat itu ia tengah berjongkok, dengan jaket dan baju tebal berlapis-lapis kebesaran dan tangan-tangan kecilnya tak henti-hentinya menyentuh es berwarna putih yang sudah berpadu dengan tanah.

Bundanya hanya menggeleng pelan, dan tersenyum melihat anaknya.

Janu masih ingat rasanya. Tangan kecilnya bahkan hampir beku, tapi ia tetap berlari-lari di area lapangan tersebut. Membuat boneka salju, menggambar di atas salju, bahkan berguling-guling di atasnya.

Segala aktifitasnya mendadak terhenti kala mendengar Bundanya tengah berdebat dengan pria asing. Janu kecil berjalan pelan mendekati sang Bunda, tidak mengerti bahasa mana yang Bundanya dan pria asing itu pakai, tapi yang Janu tangkap, mereka tengah berdebat. Pria itu tampak marah dan membanting botol minumannya saat sang Bunda berbicara dengan nada yang cukup tinggi.

Janu hanya diam mengamati. Karena anak itu pikir, ia tidak boleh mengganggu urusan orang dewasa. Sampai akhirnya sang Ayah datang dengan setengah berlari, membuat senyuman Janu kecil kembali mengembang. Sayang, kembali luntur saat pria asing itu malah menusuk perut sang Ayah berkali-kali dengan beling bekas pecahan botolnya, lantas melarikan diri.

Citra--Bunda kandung Janu-- histeris melihat suaminya terkapar di jalanan bersalju, ceceran darahnya melebar ke mana-mana menodai es putih itu hingga berwarna kemerahan. Janu sudah menangis, berjalan terseok-seok memastikan bahwa Ayahnya yang masih hidup beberapa detik lalu tetap hidup.

"Ayah," lirih Janu kecil pelan. Otaknya bahkan tak dapat menerima memori yang sempat terekam di beberapa sekon lalu. Beberapa jam yang lalu Janu bahagia, dan memang selalu terlihat seperti itu. Lantas apa yang terjadi selanjutnya? Janu benar-benar berharap itu hanya mimpi. Keping kejadian beberapa saat lalu hanya halusinasi. Namun nyatanya tidak. Karena mimpi buruk itu terus berlanjut sampai Janu kembali ke Indonesia. Bahkan, sampai saat ini.

Satu tahun berlalu. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang diselimuti hangat, tahun ini terlihat dingin dan kosong semenjak kepergian sang Ayah. Bundanya terlihat lebih murung dan jarang keluar kamar. Segalanya Janu lakukan sendirian. Anak kecil berusia genap 8 tahun itu bangun pagi sendiri dengan alarm kecil pemberian sang Bunda yang setia membangunkannya tiap pagi. Lalu bersiap berangkat sekolah tanpa sarapan karena Bundanya tak lagi menjamah dapur. Anak itu benar-benar melakukan semuanya seorang diri. Pulang sekolah Janu habiskan dengan mengerjakan pekerjaan rumah dan tentu pekerjaan sekolahnya. Bundanya? Entahlah, Janu kadang merindukannya.

Rumahnya memang tak selalu sepi. Karena beberapa saudara dari Ayah dan Bundanya datang menjenguk sesekali. Dan ada beberapa dari teman kerja Ayahnya yang datang.

Tapi suatu hari di musim hujan. Janu kecil baru pulang sekolah dengan jas hujan menutupi tubuhnya rapat. Anak kecil itu mengganti bajunya sendiri dan berlari kecil ke arah jendela rumahnya. Menghela napas. Masih hujan, pikirnya.

"Bunda, Ari laper. Mau makan tumis cumi, kalau Bunda gak mau masakin gak papa, Ari mau beli sendiri. Tapi hujan," keluhnya terdengar sedih. Ia kemudian kembali berlari kecil sembari meneriakkan nama Bundanya.

Lalu Janu kecil membuka perlahan kamar sang Bunda yang hanya dihiasi gelap tanpa penerang.

"Bunda," panggilnya lagi. Hanya hening yang menjawab. Netra bulatnya berpendar ke segala sudut. Lalu menemukan siluet wanita tergantung di tengah-tengah kamar yang gelap membuat jantung anak itu seperti berhenti dalam beberapa sekon. Anak itu mematung, tak berani menyalakan lampu karena jika ia melihatnya dengan jelas, itu akan membuat Janu semakin ketakutan dan semakin merasa sedih. Jadi ia anggap semua hanya mimpi, seperti kepergian Ayahnya tahun lalu. Tungkai anak itu berjalan mundur perlahan dan menutup pintu kamar Bundanya pelan. Tangan kecil itu menutup mulutnya sendiri yang hampir berteriak. Janu sudah menangis, air matanya mengalir banyak berusaha tak ada satu suara yang terdengar darinya. Ia bahkan hampir kehabisan napas karena sesak yang mendominasi dadanya kala itu.

Tapi Janu memilih menangis sendirian di dalam gelapnya kamar tanpa ada seseorang yang tahu. Dan menunjukkan wajah datar pada dunia seolah ia belum mengerti apa-apa, seolah anak kecil itu tidak merasakan sedih.

"Apa kabar, Januari?" tanya wanita yang mengenakan setelan kemeja biru dibalut jas putih. Menatap remaja di hadapannya yang hanya diam beberapa menit yang lalu. Kemudian tersenyum. "Lama tidak bertemu. Bagaimana musim dingin tahun ini?"

"Buruk," jawab Janu pelan. Sampai akhirnya tatapannya yang kosong ia beranikan menatap netra sang Dokter. "Tahun ini hujan agak lama."

Dokter dengan nama Dewi Gayatri itu tertawa kecil. "Jadi kamu datang ke sini menyuruh saya untuk menghentikan musim hujan?"

Samar, Janu mengangguk. Kemudian menghela napas lelah. "Dia dateng lagi, Dokter."

Dokter Dewi mengerutkan kening, namun tetap tersenyum hangat. "Saya kasih obat, ya? Biar dia bisa hilang, gak ganggu kamu lagi. Nanti kalau dia datang, jangan kamu ladenin."

"Dia jahat, Dok. Apa bisa hilang dengan obat?" tanya Janu.

Dokter Dewi mengangguk pasif. "Bisa. Asal kamu hiraukan dia." Dokter Dewi memberikan beberapa bungkus obat dan juga resepnya lantas menyodorkannya di hadapan Janu. "Apa kamu masih tidur dalam keadaan gelap dan AC yang menyala?"

Janu mengangguk.

Dibalas helaan dari sang Dokter. "Januari. Kamu tau, kan, apa yang sedang kamu hadapi?"

Janu mengalihkan atensinya dari netra Dokter Dewi, menggigit bibir cemas. Ia lebih takut berbohong dengan Dokter di hadapannya daripada berbohong pada dunia.

"Apa semakin parah?" tanya Dokter Dewi lagi.

Janu menggeleng pelan, sedikit ragu. Karena baginya tiap tahun yang ia lalui sama saja.

"Seasonal affective disorder yang kamu derita efeknya ada di musim hujan dan dingin. Kamu tidak boleh berada di dalam ruangan dingin atau gelap. Jika kamu seperti ini terus tentu saja kamu tidak bisa sembuh," tutur Bu Dewi, meski ia ingin marah, Dokter berusia 45 tahun itu tetap menjaga tutur ramahnya agar tidak menyinggung Janu. Ia tahu, serapuh apa anak itu.

"Apa penting untuk sembuh bagi saya?" tanya Janu.

Untuk kesekian kalinya Dokter Dewi menghela napas. "Apa kamu tidak ingin sembuh?"

Janu tertunduk. Ia menggigit bibirnya kencang-kencang hingga noda merah menghiasi. Menatap kukunya yang terus melukai jari jemarinya yang lain. "Dokter, saya capek. Kali ini biarin saya nyerah aja, ya. Saya cuma mau mati, boleh?"

"Januari." Dokter Dewi menatap Janu speechless. Wanita itu pikir Janu baik-baik saja di luar sana, mengingat anak itu sudah jarang menemuinya. Dan melihatnya sekarang, memang seperti tidak terjadi apa-apa, Janu tumbuh menjadi sosok tampan seperti remaja seusianya. Tapi siapa sangka ternyata penyakitnya justru memburuk. "Meski ada banyak alasan untuk mati. Kamu harus tetap hidup, ya? Jangan pulang duluan sebelum dijemput, Januari!"

"Saya capek berdebat dengan pikiran saya sendiri, Dokter. Meski saya tidak ingin mati, penyakit ini membunuh saya, bahkan tanpa bisa saya lawan."

Karena hasrat yang mati-matian Janu hilangkan, justru semakin membumbung tanpa bisa Janu cegah. Ditambah musim hujan yang sepertinya tak mau berhenti, seperti tengah meledek Janu untuk cepat pergi dari dunia.

-𖧷-




Sebenernya mau apdet kemaren, cuma gue sakit gaes. Kayak korona, tapi gak mungkin soalnya gue kan udah vaksin dua kali😎

-Sabtu, 05 Feb 22

Continue Reading

You'll Also Like

1.8K 368 7
Follow dulu, yuk! Kilas balik kehidupan Maleo sebelum bertemu dengan ibu dan adiknya. ───────────── Cerita ini adalah KILAS BALIK sebelum cerita ALEA...
S E L E C T E D By mongmong09

Mystery / Thriller

311K 16.4K 30
Tentang obsesi seorang pria misterius terhadap seorang gadis yang menolongnya. ---------------------------------------------------- Raina Karlova, se...
15.3K 6.6K 47
{Untuk info pemesanan bisa cek ig mayrapustaka atau DM ke ig _khfh_ dan wattpad ini ya} Tidak semua orang yang lahir dari keluarga berada memiliki k...
7.2K 1.4K 43
Laki-laki yang berdiri sendirian dengan bingung di bawah teras depan toko kue kala itu menarik atensi ku. Dia yang tersesat, menatapku dengan raut po...