RECAKA

By Aniwilla

9.2K 2.1K 2.7K

Tentang kematian beruntun dari jajaran murid berprestasi SMA Swasta Anindita. Pembunuhnya ada di antara merek... More

Prolog
1 || Pemuda Tanpa Teman
2 || Dia Pintar
3 || Perpustakaan
4 || Hujan dan Kisahnya
5 || Rumah Tanpa Hangat
6 || Kata
7 || Seorang Teman
8 || Nada
9 || Mimpi Dalam Cerita
10 || Kematian
11 || Retak Bersama Waktu
12 || Tersangka dan Hipotesa
13 || Dingin
14 || Hidup
15 || Tenggelam Suram
16 || Letih yang Menyambar
17 || Ruang dan Seni
18 || Frasa Menyakitkan
19 || Sajak Luka
20 || Karsa
21 || Perihal Rasa
22 || Kontradiksi
23 || Lebur Dalam Dingin
24 || Di Antara Sesal
26 || Alam Bawah Sadar
27 || Benang Kusut
28 || Sakit Jiwa
29 || Harsa
30 || Cerita yang Patah
31 || Titik Untuk Berhenti
32 || Tentang Maaf
33 || Rela Untuk Menerima
34 || Buku Harian
35 || Selamat Tinggal
Epilog
Hujan Terakhir

25 || Dia

164 40 43
By Aniwilla

㋛︎

Jika dunia tidak baik padamu. Setidaknya kamu harus baik untukmu sendiri.

Karena dirimu, hanya memiliki kamu.

-R E C A K A-
.
.
.

㋛︎

Pemuda itu mengisap sebuah putung panjang dengan kandungan nikotin di dalamnya, lalu mengembuskannya ke udara. Membuat asap putih itu berpendar di sekitar. Ia menatap benda yang terselip di jarinya sebentar, mematikan bara apinya dan dibuang sembarang arah. Ia memang membutuhkan nikotin, tapi kenyataannya untuk hari ini kandungan itu sama sekali tak membantu. Buntu, sesak, dan hancur. Pandangannya kosong ke depan, ia biarkan rambutnya berkibar berantakan ditiup angin. Kemeja hitam yang Alfa kenakan menambah kesan suram padanya.

Hari ini harusnya sekolah. Tapi pikirannya benar-benar sedang tidak berada di kepala. Bahkan ia masih memikirkan Gata. Mungkin saja Gata masih hidup, lantas menghubunginya, menanyakan mengapa Alfa tidak masuk hari ini.

Semoga saja! Dan Alfa terkekeh kecil, diikuti dengan perasaan nyeri di sekujur dadanya.

Kenyataan, apakah harus sepahit ini?

Pemuda itu lantas bangkit. Cukup untuk melamun di teras rumahnya setelah menghadiri pemakaman menyesakkan pagi tadi. Alfa menemukan Bundanya di ruang tengah sedang tertawa kecil menonton saluran televisi yang terlihat membosankan. Tungkainya mendekat, lantas pemuda itu bersimpuh di depan kursi roda Aura dan memeluknya tanpa kata.

Aura tersenyum lembut. Tangannya naik mengusap punggung sang anak pelan, penuh kasih sayang. Dengan memeluknya tiba-tiba, Aura tidak pernah marah atau merasa terganggu. Karena apa yang anaknya rasakan, Aura sebagai sang Bunda juga merasakannya.

"Gak papa. Anak Bunda hebat. Anak Bunda kuat. Anak Bunda udah ngelakuin hal hebat sejauh ini," kata Aura pelan.

Alfa semakin mengeratkan pelukannya. Tak mau Bundanya tahu bahwa ia sedang menangis, lagi.

"Alfa," ujar Bundanya lagi. "Kamu tau, nak? Hidup memang seperti ini. Terlihat kejam. Kamu bisa bertemu orang lain, menjalin hubungan, saling membutuhkan, lalu kehilangan mereka. Hidup itu seperti itu. Kita pasti akan bertemu seseorang lalu kehilangan. Kita tidak bisa memaksa hidup kita akan tetap berada di satu titik yang sama untuk waktu yang lama. Semua selalu berubah, Alfa."

Alfa masih diam, terlalu nyaman berada di pelukan sang Bunda.

"Kamu ingat kata Dokter Senja waktu itu? Psikiater Bunda?" Aura menjeda perkataannya untuk sekedar menghela napas. "Dalam hidup, kamu bisa melakukan apa pun. Karena hidup pilihan. Kamu bisa sedih, kamu juga bisa bahagia. Kamu bisa marah, kamu juga bisa menerimanya. Kamu bisa jadi jahat, kamu juga bisa jadi baik. Kamu bisa jadi dirimu sendiri, atau berpura-pura, menjadi orang lain."

Usapan lembut Aura berhenti, berganti menjadi pelukan hangat, dan disusul tepukan pelan di bahu. "Jadi kalo kamu sedih, Bunda gak akan larang. Bunda tau anak Bunda itu kuat. Tapi, jangan pura-pura kuat di depan Bunda. Gak papa sedih. Terkadang, kalau sakit, kamu harus bilang itu sakit. Kalau kamu selalu bilang baik-baik aja supaya Bunda gak khawatir, kamu salah. Kamu malah buat Bunda khawatir karena akan jadi lebih menyakitkan kalau kamu terlihat baik-baik saja, padahal tidak."

-𖧷-

"Anjing!" umpat Reza kesal dan meremas minuman soda kalengnya yang kosong. Laki-laki itu melemparnya asal hingga bunyi melengking dari kaleng yang terbentur aspal jalanan terdengar begitu nyaring. "Si Gata ngapa pake mati, sih?"

"Tolol! Tanya aja langsung sama anaknya. Kenapa malah nanya ke kita?" saut Dimas, menginjak putung rokok kecil bekasnya yang masih menyala.

"Kan udah mati?"

"Ya, lo ikut mati sana, anjing!" jawab Noval sembari sibuk dengan donat di tangannya.

"Ih, sempak!" Tangan Reza sudah naik dengan kepalan siap untuk dilayangkan pada Noval, tapi mendadak ia urungkan niatnya karena melihat tatapan Noval yang tiba-tiba mendelik.

Dimas menghela napasnya kasar. "Padahal udah bagus tuh kita dapet Gata. Duitnya banyak, bor! Gak kayak si yatim piatu."

Sontak Noval tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan Dimas hingga beberapa serpihan donatnya berhamburan keluar dari mulut. "Maksud lo Dafi?"

"Ya iyalah! Gak punya emak, gak punya bapak, gak punya temen juga, gak ngerti gue, dia hidup buat apa coba? Mati juga kayaknya gak ada yang nyariin," sahut Dimas lagi sembari menyugar rambutnya ke belakang, menatap lapangan basket outdoor di mana hanya ada Janu dan basket berwarna oranye di sana. Bermain sendiri? Memang anak jenius seperti Janu tidak akan ada yang berani mendekati karena sosok itu begitu sempurna, dan Dimas tidak begitu heran dengan pemandangan di depannya.

Reza ikut tertawa dan memukul kepala Dimas agak keras. "Bego! Mulut lo pedes banget!"

Dimas hanya meringis kecil sembari mengusap kepalanya. "Kenyataannya kan emang gitu. Padahal gue udah ngebayangin, kalo sehari malakin Gata dapet dua ratus ribu, bisalah gue ngumpulin duit buat beli hape Opo."

"Lah anjir! Licik juga ternyata lo," timpal Reza. "Tapi ada untungnya dia mati."

"Apa untungnya?" Gantian Noval bertanya.

"Katanya dia yang bunuhin anak-anak yang sempet menangin lomba semester kemaren gak sih? Maureen, Rizky. Sekarang udah gak ada dia, udah amanlah," jelas Reza, cara bicaranya begitu percaya diri.

"Hah? Emang Gata pembunuhnya?" tanya Dimas tak percaya, kemudian menolehkan kepala pada Noval. "Bukannya elo, Bos, yang bunuh?"

"Sialan!" Noval menoyor kepala Dimas kuat. "Goblok! Bukan gue."

Reza dan Dimas hanya tertawa terbahak-bahak melihat wajah Noval yang merah padam.

"Ssstt!" Noval berdesis menyuruh dua anak buahnya untuk diam. "Mangsa lama, bro!"

Dimas melirik arah tatapan Noval dan menemukan Dafi yang berjalan santai di hadapannya dengan beberapa buku di tangan. Ia berdecak. "Ah! Bau-bau gak ada duit."

"Jegat deh! Lumayan buat beli rokok," ujar Reza sembari mendekat ke arah Dafi.

"Eh, Dafi! Udah lama gak main kita. Ke mana aja lo?" tanya Noval dengan senyuman mautnya, menaik-turunkan alis seolah bertemu kawan lama.

Dafi memutar bola matanya terlihat muak. "Minggir! Kalau mau ngemis di lampu merah aja. Jangan di sini!"

"Buset!" Noval menarik kerah seragam Dafi dari belakang secara kasar. "Masih kasar aja mulut lo. Gak pernah diajarin sopan santun, ya, sama orangtua lo?"

Reza terkekeh. "Bos, dia kan yatim piatu."

Noval menepuk dahinya dengan wajah seolah merasa bersalah. "Oh iya, gue lupa! Punya duit gak? Bagi dong?"

Dafi menyentak tangan Noval yang masih mencengkeram kerahnya, lantas menoleh ke belakang, menatap Noval dari bawah ke atas. "Menurut lo bakal ada yang mati lagi gak?"

"Hah?"

"Lo ngomong apa, sih?

Netra Dafi masih betah menatap Noval yang semakin bingung. "Mendung, nih. Mau hujan. Lo tau artinya apa?"

"Apa?" Noval maju selangkah, menatap Dafi yang sepertinya melempar pandangan meremehkan.

"Sembunyi sana di kolong meja! Dia mungkin, ngincer lo di hujan kali ini." Setelah mengucapkan frasa membingungkan yang membuat Noval dan dua temannya mematung, Dafi berjalan pergi begitu saja. Meninggalkan mereka semua dalam keheningan.

Sementara Janu yang melihat pemandangan itu dari jauh, mendengkus geli. Tangannya melempar basket sembarang arah.

"Dafi, gak pernah berubah. Dia masih misterius."

-𖧷-

Yuna memang menyukai hujan. Tapi untuk tahun ini yang diisi dengan beberapa kematian temannya, ia merasa aneh saat hujan datang. Dinginnya sedikit melukai hati Yuna. Kenapa mereka harus meninggalkan dunia fana ini saat hujan tengah menjalankan tugasnya di bumi? Seolah-olah mereka ingin kematiannya diingat setiap hujan turun.

Duk! Duk! Duk!

Bulu kuduknya mendadak berdiri. Embusan dingin dari hujan di luar, sunyinya hawa sekitar, dan bunyi misterius itu menambah kesan mistis. Yuna menolehkan kepalanya memandang sekitar, hanya sepi yang ia dapati. Benar-benar tidak ada orang. Bagaimana jika sesuatu terjadi padanya? Pasti tidak akan ada yang menolong.

Sebenarnya ia berada di pertigaan koridor, sehabis dari toilet. Lorong kanan adalah jalan menuju kelasnya, Yuna menoleh lorong kiri, terlihat penasaran karena suara aneh itu berasal dari sana. Ia menggigit bibirnya frustrasi. Apa yang harus ia lakukan, tetap memilih jalur aman menuju kelasnya, atau menuju pada hal yang mungkin ia akan temui jawaban dari suara misterius itu.

Ini yang Yuna benci dari dirinya sendiri. Rasa penasarannya begitu tinggi hingga tak dapat ia kalahkan. Yuna menatap lorong kiri itu secara seksama, di sana adalah area belakang sekolah. Tempat yang sama saat ia menemukan Noval dan dua temannya tengah merundung Dafi. Juga tempat ia menemukan Kara--temannya-- yang sudah bersimbah darah tanpa nyawa.

Menarik oksigen sebanyak mungkin hingga aroma petrikor memenuhi paru-paru. Tungkainya berjalan sedikit ragu menyusuri koridor sebelah kiri. Hawa dingin malah membuat gadis itu berkeringat karena jantungnya yang tiba-tiba terpompa begitu cepat. Sesampainya di batas akhir koridor, Yuna berhenti. Memutuskan untuk mengintip kecil.

Matanya membulat sempurna. Menemukan sosok misterius yang mengenakan celana abu-abu khas anak SMA dengan jaket berwarna hitam. Sepatunya begitu asing, Yuna bahkan tak mengenali jenis sepatu yang orang itu gunakan. Sosok misterius itu menggunakan tudung jaket dan wajahnya ditutupi topeng anonymous. Benar-benar sosok misterius. Orang itu tengah memukul-mukul tembok belakang dengan tangan kosong, tidak, lebih tepatnya seperti menyiksa dirinya sendiri karena tangannya sudah berdarah.

Orang bertopeng itu berhenti. Ada bara api tak jauh di belakangnya. Bara api yang tak padam saat gerimis mulai membasahi dan masuk pada tong besi berisi api yang Yuna duga ada kandungan minyak tanah di dalamnya. Orang misterius itu mendekati tong itu dan membakar tangannya sendiri yang penuh akan memar.

Yuna sontak saja berlari dan mendorong orang misterius itu hingga menjauh pada kobaran api kecil di dalam tong. "Lo mau mati?"

Orang bertopeng anonymous itu masih diam. Menatap sang gadis yang berani mendorongnya hingga terjatuh pada rerumputan.

"Lo siapa? Mau apa lo di sini?" tanya Yuna. Gadis itu memicingkan matanya mulai curiga, siapa sebenarnya orang misterius ini dan mengapa ia memakai topeng.

"Pergi," kata orang itu, kemudian bangkit. Suara berat khas anak laki-laki begitu jelas terdengar di daya pendengaran Yuna. Dan yang membuat pupil matanya mendadak mengecil adalah,

Yuna mengenali suara itu.

"Lo ...." Yuna mundur perlahan. Ia begitu terkejut dengan pikiran di luar nalar yang menghantam kewarasannya saat itu juga. Ia mendadak beku. Yuna, tak salah dengar, kan?

Sosok itu mendekat. Mengikuti ritme detik yang menjadi saksi ke mana pikiran sang gadis berpunca. Kemudian berhenti, ketika tubuh Yuna sudah benar-benar bertemu dengan tembok yang sudah dihiasi bercak darahnya.

Orang misterius itu membuka topengnya perlahan. Membiarkan gadis di depannya menerima kenyataan.

Sementara Yuna sudah lupa cara bernapas. Ia menatap laki-laki di depannya tak menyangka. Keringat dingin sedari tadi berusaha menyeruak dari pori-pori kulitnya, matanya bergetar, tak tahu kenapa harus setakut ini. Sebenarnya bukan orangnya yang membuat Yuna takut, tapi aura yang mencuat dari laki-laki itu.

"Janu." Yuna menjeda ucapannya. Menarik napas dalam agar detak jantungnya menjadi sedikit lebih normal. "Kenapa ...."

Janu mengangkat tangannya, dan meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. Bisa Yuna lihat secara jelas bahwa jari telunjuk dan bibir Janu bergetar hebat.

"Jangan berisik! Nanti dia denger," bisik Janu. Matanya menelisik ke segala arah. Pancaran takut menguar dari laki-laki itu. "Cepet pergi! Jangan sampe dia tau, kalo lo ada di sini!"

Yuna mengerutkan kening bingung melihat kelakuan Janu. "Dia? Dia siapa?"

Dengan cepat dan gerakan yang tiba-tiba, dua mata laki-laki itu terpejam erat bersamaan dua tangan yang menutup telinganya sendiri. Napasnya tak beraturan. Yuna cukup khawatir melihat kondisi Janu yang terlihat tidak baik-baik saja.

"Dia," lirih Janu gemetar. "Dia berbahaya. Cepet pergi dari sini!"

-𖧷-

Bercanda:'v

-Kuta Bumi, 01 Februari 22

Continue Reading

You'll Also Like

7.2K 1.4K 43
Laki-laki yang berdiri sendirian dengan bingung di bawah teras depan toko kue kala itu menarik atensi ku. Dia yang tersesat, menatapku dengan raut po...
KANAGARA [END] By isma_rh

Mystery / Thriller

7.4M 539K 93
[Telah Terbit di Penerbit Galaxy Media] "Dia berdarah, lo mati." Cerita tawuran antar geng murid SMA satu tahun lalu sempat beredar hingga gempar, me...
2.8K 378 44
[This is not a BL story! This is a brotherhood story!] #Cruel Boy Return Rated : 15+ "Hee, kau benar tidak tau apapun mengenai dirimu sendiri eh!" Te...
63.6K 6K 63
Cerita tentang sosok Surya dikala senja, lelaki indigo yang memiliki kelamin ganda. Eeeh.. Salah..! Salah.! Kepribadian ganda. di kala pagi dia murid...