RECAKA

By Aniwilla

9.2K 2.1K 2.7K

Tentang kematian beruntun dari jajaran murid berprestasi SMA Swasta Anindita. Pembunuhnya ada di antara merek... More

Prolog
1 || Pemuda Tanpa Teman
2 || Dia Pintar
3 || Perpustakaan
4 || Hujan dan Kisahnya
5 || Rumah Tanpa Hangat
6 || Kata
7 || Seorang Teman
8 || Nada
9 || Mimpi Dalam Cerita
10 || Kematian
11 || Retak Bersama Waktu
12 || Tersangka dan Hipotesa
13 || Dingin
14 || Hidup
15 || Tenggelam Suram
16 || Letih yang Menyambar
17 || Ruang dan Seni
18 || Frasa Menyakitkan
19 || Sajak Luka
20 || Karsa
21 || Perihal Rasa
22 || Kontradiksi
23 || Lebur Dalam Dingin
25 || Dia
26 || Alam Bawah Sadar
27 || Benang Kusut
28 || Sakit Jiwa
29 || Harsa
30 || Cerita yang Patah
31 || Titik Untuk Berhenti
32 || Tentang Maaf
33 || Rela Untuk Menerima
34 || Buku Harian
35 || Selamat Tinggal
Epilog
Hujan Terakhir

24 || Di Antara Sesal

172 46 44
By Aniwilla

㋛︎

Memang sepertinya sudah hukum alam,

Manusia harus kehilangan dulu untuk tahu betapa berartinya apa yang ia miliki.

-R E C A K A-
.
.
.

㋛︎

Pemuda itu bisa merasakan tenggorokannya sakit akibat berteriak tak karuan kemarin. Kepalanya pening. Matanya panas karena banyak menangis. Yang ia lakukan adalah terus menggigiti kuku-kukunya mencoba mengusir perasaan gundah. Ia tidak tidur semalaman. Apakah ia bermimpi? Apakah semua yang terjadi beberapa jam ke belakang adalah sebuah halusinasi? Netranya menatap depan, lantas menelisik tak tentu arah, sepertinya jiwanya masih belum kembali pada raga.

Sesak itu masih Alfa rasakan, bahkan untuk sekedar bernapas yang sebelumnya adalah hal mudah menjadi berat saat ini. Ia kehilangan separuh semangat dalam hidupnya. Bagaimana menjelaskan bahwa kehilangan membuat dadanya seolah berlubang, dan akan semakin pedih ketika bersentuhan dengan memori yang berputar terus di dalam otaknya. Lakuna menyerang Alfa setelah kepergian Gata.

"Gata ..., maafin Mamah, sayang."

Netra Alfa mendadak fokus. Menatap seorang wanita yang seumuran dengan Bundanya terus meraung di depan makam yang bertuliskan Ananda Gata Sugira. Ada sosok pria dewasa yang setia berada di samping wanita itu untuk sekedar memeluk dan mengusap bahu sang wanita berkali-kali mencoba mentransfer kekuatan.

"Udah, San. Ayok kita pulang," ucap si pria itu.

Wanita itu tak menggubris ucapan sang Pria. Ia malah menepis pria itu kasar. "AKU MASIH MAU BICARA SAMA GATA!"

Teriakan itu sedikit membuat Alfa takut. Dapat ia lihat beberapa orang yang hendak meninggalkan pemakaman hanya menggeleng pelan sembari berbisik kasian melihat kelakuan sang wanita.

"Gata, anak Mamah," lirih Sandra sembari mengusap nisan baru bertuliskan nama anaknya itu. Hatinya hancur, dunianya runtuh. Ia kehilangan banyak hal dalam hidup dan satu-satunya alasan untuk bertahan hidup pun sudah pergi. Apa alasannya masih ada di sini? Matanya sudah membengkak, bahkan hidungnya sudah tak mampu bernapas akibat menangis dari semalam. Tangannya kembali mengusap pelan nisan itu, semakin sakit yang ia rasakan di dadanya. Teriris, bersama perasaan sesal yang mulai masuk pada celah-celah paru-parunya. Menghancurkan tiap-tiap napas yang Sandra berusaha hela sebisa mungkin. "Pulang, nak! Ayo kita pulang sama-sama ke rumah. Nanti Mamah masakin makanan kesukaan kamu."

Kemudian tersenyum miris, air matanya tak dapat berhenti mengalir meskipun Sandra paksa berhenti. Sesekali ia ingin terlihat tangguh di depan Gata. Tapi ia selalu dikalahkan egonya sendiri. "Mamah jahat, ya? Bahkan Mamah gak tau makanan kesukaan kamu. Makanan kesukaan anak Mamah."

Alfa menunduk secara tiba-tiba. Tirta bening itu ikut jatuh pada pipinya yang dingin dan cepat-cepat ia hapus dengan kasar. Apa Mamah Gata tahu anaknya tidak menyukai timun? Apa Mamah Gata tahu batagor adalah jajanan wajibnya di sekolah? Alfa sempat bertanya-tanya, apa ada makanan kesukaan Gata selain jajanan sederhana itu? Atau makanan di antara masakan Mamahnya yang menjadi favorit Gata?

"Pulang, Gata! Mamah mau liat kamu. Mamah mau ucapin selamat atas semua piala yang kamu bawa. Mamah mau kamu nanya keadaan Mamah lagi, Mamah mau kamu pulang, Mamah mau kamu ada di rumah." Sesak Sandra seperti tak dapat dibendung lagi. Kukunya yang cantik terlihat mencakar-cakar tanah basah yang sudah ditaburi bunga. Suaranya pun tercekat menahan gejolak sakit atas kenyataan bahwa anaknya sudah tak lagi berada di dunia yang sama dengannya. "Mamah janji Mamah gak akan marah kalau Gata dapat nilai jelek! Kamu mau peluk cium Mamah, kan? Ayo sayang, pulang! Di dalam sana dingin. Mamah mau peluk Gata mau cium Gata. Gata gak bisa ninggalin Mamah kayak gini!"

Sandra semakin menangis histeris, lirihanannya bahkan mampu membuat yang mendengar ikut tersayat hatinya. "Maaf, Gata! Maafin Mamah jahat! Mamah gak bisa jaga kamu! Maaf gak bisa jadi Ibu yang baik!"Sandra semakin histeris membuat Bekti semakin khawatir. Sampai akhirnya tubuh wanita itu perlahan lemas dan terjatuh di atas pusara Gata, Sandra pingsan.

Alfa mengerti. Ibu mana pun akan merasakan hal yang sama ketika anaknya lebih dulu bertemu dengan ajal. Sakit yang luar biasa bahkan mungkin bisa dikatakan lebih sakit daripada melahirkan anaknya sendiri.

Bekti memanggil supir pribadinya untuk membawa istrinya ke dalam mobil terlebih dulu. Sedangkan pria itu masih berdiri tegap di depan makam sang anak, entah Alfa sadar atau tidak, Bekti tengah menatapnya. Karena posisi Alfa juga tengah berada di depan makam Gata namun di sisi yang berbeda dengan Bekti.

Seseorang mengusap punggung Alfa pelan membuat si empu menoleh sedikit, dan baru menyadari Janu berada di belakangnya bersama Dafi. Ia bahkan tak sadar makam yang semula ramai orang kini sudah sepi karena netranya sedari tadi hanya fokus pada nisan bertuliskan nama sahabatnya. Berusaha meyakinkan diri sendiri untuk bangun, jika memang ini semua adalah mimpi.

"Gata masih bisa selamat kemarin. Harusnya lo biarin gue nyelamatin Gata, Nu," ucap Alfa datar. Ekspresinya masih dingin dengan tatapan kosong. Benar-benar selaras dengan pemakaman kala itu.

Janu kembali mengusap punggung sahabatnya. "Nangis, Al! Kalo itu bisa ngebuat lo sedikit tenang, jangan dipendem. Gue juga gak percaya Gata kita udah pergi, tapi ini kenyataan bukan mimpi."

Alfa menarik oksigen segar itu perlahan hingga menyejukkan paru-parunya, lantas membuangnya gemetar. Rasanya masih sakit, ketika udara itu bersentuhan di dalam sana. Tiap jengkal di dalam pikirannya terputar kepingan memori kebersamaannya dengan Gata. Dan kini malah terasa menyakitkan.

"Maaf, gue bego. Gak bisa jadi sahabat yang baik buat kalian," ujar Janu. Laki-laki itu menunduk, berusaha menahan tangis. Tidak untuk sekarang, pikirnya. Alfa masih membutuhkannya, jika ia menangis maka siapa yang akan membuat pemuda itu tegar. Janu menghela napas beratnya.

Sementara Dafi di sebelah Janu memiliki ekspresi yang hampir sama dengan Alfa. Hanya dingin, tak tersentuh. Tatapannya masih terpaku pada gundukan tanah di hadapannya. Ia merasa malu dan menyesal di saat yang bersamaan. Malu karena melihat betapa tangguhnya Gata yang menyimpan semua lukanya sendiri tanpa pernah berpikir untuk menyerah, tanpa perlu membenci orang-orang yang mengecewakan, tanpa perlu menunjukkan kesedihannya. Dan menyesal, karena justru orang yang Dafi ingin selamatkan hidupnya agar tidak memiliki pikiran sepertinya, justru lebih dulu pulang mendahului.

"Kalian." Suara berat itu memicu atensi ketiganya. "Teman-teman Gata?" tanya Bekti memecah hening.

Dua pasang netra hitam pekat milik Alfa mendadak mendelik. Menatap sang penanya tajam. Ia bahkan tak sadar giginya gemeletuk bersamaan dengan urat-urat yang mulai timbul di lehernya karena menahan marah. Janu yang menyadari hal itu menaikkan usapan tangannya pada bahu Alfa. Berbisik berulangkali kata tenang agar Alfa tak lepas kendali.

"Makasih. Selama ini sudah mau menjadi teman untuk Gata." Bekti memandang nisan anaknya, lantas tersenyum kecut. Ia merasa gagal menjadi seorang Ayah sekarang. Jika anaknya saja sudah pergi, lalu mau ia apakan hasil dari kerja kerasnya selama ini? Dan kenapa pula ia menyia-nyiakan waktunya hanya untuk mencari uang yang mengakibatkan ia kehilangan banyak waktu untuk sang anak. "Makasih, karena hadirnya kalian. Anak saya gak kesepian."

"Apa anda menyesal?" Alfa berujar, menatap manik sang pria tanpa rasa takut. Pancaran kecewa begitu kentara. "Apa anda merasa kehilangan?"

Janu mendengkus, dan meremas bahu Alfa. "Jangan bercanda, Al. Dia bahkan gak peduli sama Gata kita."

"Saya Ayahnya," jawab Bekti kalut. Meskipun terasa sedikit bersalah ketika mengucapkan fakta tersebut. "Saya kehilangan satu-satunya anak saya."

Alfa mendadak tertawa. Sedikit terdengar hambar meski membutuhkan beberapa sekon untuk tawanya yang kosong itu berhenti mengudara. "Omong kosong dari mana lagi? Apa selama ini anda merasa memiliki seorang anak?"

Bekti terdiam. Tak sanggup menjawab perkataan anak muda di hadapan yang menjadi tamparan keras untuknya.

"Anda gagal jadi sosok ayah untuk sahabat saya! Jadi jangan pernah mengaku bahwa anda adalah ayahnya," sinis Alfa, tersenyum miring. Ia menjadi benci sosok pria di depannya. Meskipun memiliki netra yang persis dengan Gata. Kelakuannya yang membuat mental Gata hancur membuat darah di dalam tubuh Alfa menjadi mendidih.

"Mamahnya didiagnosis bipolar mania," kata Bekti pelan. "Semenjak keguguran, istri saya sulit mengendalikan emosinya sendiri. Lebih cepat sedih dan marah pada hal-hal kecil sekali pun. Bipolar adalah penyakit seumur hidup, tapi penyakit seperti itu bisa memudar seiring berjalannya waktu dan usia. Saya pikir, saya tidak harus membawanya bolak-balik ke dokter, atau memaksanya untuk minum obat. Itu akan lebih menghancurkan perasaan istri saya. Lalu bagaimana dengan Gata? Saya pikir ia akan malu jika teman-temannya tahu kalau Gata memiliki Ibu yang gila. Bagaimana Gata menanggung semua itu?"

Alfa mendecih tak percaya. Ia menghampiri Bekti dan menarik kemejanya kuat dan pukulan keras dari kepalan tangannya pun melayang menghantam rahang Bekti hingga tersungkur ke tanah. "Saya pikir? Saya pikir anda yang gila," kata Alfa tak percaya dan menggeleng pelan. "Itu pikiran lo doang, bajingan!" Dan kembali menghadiahi pukulan lebih keras dari sebelumnya hingga membuat hidung Bekti mengeluarkan cairan merah.

Janu dan Dafi hanya diam menyaksikan Alfa yang seharusnya tak melakukan tindakan kelewat sopan dan bisa dibilang tidak pantas pada orangtua di hadapan mereka. Karena jujur, mereka pun muak. Muak pada sang pria yang bahkan tak bisa menjaga satu anaknya.

"Selain gagal jadi seorang ayah, lo gagal jadi seorang suami! Gagal jadi kepala keluarga!" Perkataan Alfa yang begitu tajam tepat mengiris jantung Bekti bahkan rasanya seperti belati yang mendadak menghujam dadanya berkali-kali. "Lo memperparah kondisi istri lo sendiri, bahkan sampai anak lo ikutan sakit, bangsat!" Pukulan itu kembali melayang pada wajah Bekti.

Pria itu hanya tertawa miris. Membiarkan sang anak muda terus mengeluarkan sumpah serapah karena memang itu kenyataannya. Ia pasrah, bahkan dibunuh pun ia pantas. Air matanya mengalir melewati sudut. Kini ia baru sadar rasanya saat dunia terlihat berbeda dalam hitungan detik ketika anaknya sudah pergi.

"HARUSNYA LO AJA YANG MATI JANGAN SAHABAT GUE, SIALAN!!" Alfa berteriak menyuarakan emosinya yang tak dapat ia tahan. Ia terduduk pada tanah sembari meremas rambutnya sendiri. Pikirannya kacau tak tahu bagaimana cara untuk menatanya kembali. Ia menangis, memukul-mukul dadanya sendiri berharap sesak yang ia endap pada dadanya segera pergi.

"Gata gue nangis, Gat!" ucap Alfa di sela-sela tangisnya yang begitu terdengar memilukan. Kali pertama ia menunjukan betapa lemahnya ia pada dunia di depan makam Gata. Alfa menutup dua netra yang terus mengeluarkan air mata dengan pangkal tangannya sendiri. "Kenapa lo gak dateng? Gue nangis dan biasanya lo bakal ngeledek gue karena gue jarang nangis iya, kan? Gue gak pantes nangis kan, Gat? Sekarang lo gak mau dateng ke gue buat ngeledek gue? Kenapa?" Namun sia-sia. Gata sudah pergi, ia tidak akan datang sekali pun Alfa menginginkan kehadirannya.

"Maafin Papah, Gata," ujar Bekti pelan.

Alfa menoleh. Meskipun kata yang terlontar begitu samar. Tak membuat daya pendengarannya mendadak tuli. "Bacot! Sebanyak apa pun lo minta maaf, gak akan ngembaliin Gata, sahabat gue!"

Alfa semakin meremas dan mengacak rambutnya sendiri frustrasi. "Dan sehebat apa pun gue menangis. Lo gak akan balik, Gat."

Janu memejamkan matanya. Laki-laki itu bahkan tak sanggup untuk sekedar mendekat dan menenangkan Alfa. Karena di dalam sana, di pikiran juga dadanya ikut bergemuruh, berteriak, menyuarakan kekecewaannya pada kejam dunianya mereka. Tangisnya masih ia tahan membuat rongga dadanya menjadi perit, meskipun ia kehilangan, meskipun dunianya sedang tidak baik. Ia tidak boleh menangis sekarang. Hanya untuk saat ini. "Gak papa, meski dunia lo lagi gak baik-baik aja," ucapnya pada diri sendiri. Mencoba menenangkan perasaannya.

Namun sesak lebih mendominasi. Ketika kelopak itu terbuka. Tirta itu seolah berlomba-lomba untuk turun membasahi wajah Janu. Ia menghela napas lelah, sedikit terputus-putus akibat sesaknya menahan tangis. "Gue. Kenapa gue gak dateng lebih cepet untuk nyelamatin Gata."

"Jangan nyalahin diri lo sendiri," saut Dafi tenang. Janu baru menyadari Dafi hanya diam menyaksikan semua dengan tatapan datar di sampingnya sedari tadi. "Dunia udah jahat. Lo jangan ikut jahatin diri lo sendiri."

-𖧷-

㋛︎

-R E C A K A-
.
.
.

Gata artinya, telah pergi.

Gak tau dah gue mau ngomong apalagi. Capek!

Semangat buat kalian! Besok Rabu, Fighting! u did well yesterday, and also for this day.

-di tahun 2022, see u~

Continue Reading

You'll Also Like

9K 1K 15
Pernahkah kau merindukan seseorang sebanyak tetesan air hujan yang jatuh ke bumi? Atau mungkin lebih daripada itu. Rasanya begitu berat, aku tidak bi...
5.4K 1K 29
"Hidup itu seperti air...." "...warna lipstik Mama" "Kirino sayang Mama" "Maaf" ®rr.dwh_
1.8K 368 7
Follow dulu, yuk! Kilas balik kehidupan Maleo sebelum bertemu dengan ibu dan adiknya. ───────────── Cerita ini adalah KILAS BALIK sebelum cerita ALEA...