NING, Dan Sebuah Kisah Dalam...

By Diarysna

47.4K 4.3K 1K

(ON GOING) "Ning, rasa cinta adalah hal yang ghaib, jika gak mempercayainya berarti sampeyan gak memiliki ima... More

PROLOG
Bab 1. Sang Bidadari Al-Qur'an
Bab 2. Anak Rembulan
Bab 3. Sang Penolong
Bab 4. Wasiat
Bab 5. Hutang Budi
Bab 6. Getaran Rasa
Bab 7. Secercah Cahaya
Bab 8. Titik Terang
Bab 9. Sebongkah Tanya
Bab 11. Janji
Bab 12. Sajak Ranah Kinanah
Bab 13. Mengeja Surga
Bab 14. Yang Terpilih
Bab 15. Pemantik Rasa
NOTE
Bab 16. Sketsa Waktu
Bab 17. Buah Bibir
Bab 18. Rahasia Hati
Bab 19. Jejak Yang Retak
Bab 20. Seterang Siang
Bab 21. Bagai Pungguk Merindukan Rembulan
Bab 22. Hati Yang Tergores
Bab 23. Ikatan Dari Masa Lalu
Bab 24. Nasib Dan Takdir
Bab 25. Menunggu Titik Temu
Bab 26. Rangkaian Harapan
Bab 27. Mengambil Langkah
NOTE

Bab 10. Pendar Rembulan

1K 148 5
By Diarysna

Kafa baru saja tiba di parkiran fakultas Ushuluddin, saat ponselnya tiba-tiba berbunyi. Seusai mengaitkan tali kekang sepeda, ia merogoh benda pipih itu dari saku celana. Tercetak nama Oza di sana.

"Halo, Za, ada apa?"

'Kaf, sampeyan di mana?'

"Aku baru sampai parkiran, Za. Ada apa, toh?"

'Bisa tolongin aku, gak?' suara di sebrang sana terdengar panik. Napasnya tersengal.

"Tolongin apa, Za?"

'Aku nabrak orang.'

"Innalillahi wa inna ilahi rooji'uun. Di mana?"

'Di dekat toko kitab Beirut.'

Kafa menghela napas pendek, itu berarti di jalan utama Timoho, masih tak jauh dari lingkungan kampus. Ia dan beberapa mahasiswa Ushuluddin terutama anak tafsir dan hadits, cukup sering membeli kitab di toko tersebut.

"Aku ke sana, Za. Tunggu."

'Matur suwun banget, Kaf'

Setelah menutup telpon, Kafa kembali mengurai tali kekang sepedanya. Jarum di arlojinya menunjukan pukul 07.00, sedangkan kelas studi kitab hadis primer-nya hari ini masuk pukul 07.45. Masih ada waktu empat puluh lima menit, semoga saja urusannya bisa cepat selesai tanpa harus berbelit-belit.

Saat Kafa mengayuh sepedanya, beberapa mahasiswi satu jurusan berpapasan dan saling mengangguk sapa. Sekalipun Kafa begitu ramah, hampir tak ada yang benar-benar berani menggoda atau mendekatinya. Aura wibawa dari pemuda itu, benar-benar membuat semua gadis merasa canggung dan diam-diam menaruh kekaguman padanya.

Begitu sampai di sana, tepat di trotoar jalan, Oza segera menyongsong Kafa.
"Ah, alhamdulillah sampeyan datang, Kaf."

"Sampeyan gak opo opo?" tanya Kafa yang segera dibalas gelengan kepala oleh Oza. Kafa lantas memarkirkan sepedanya dulu ke sisi jalan. "Orangnya mana?"

Oza segera menggiring Kafa menuju sebuah warung yang tak jauh dari situ. Di sana, ia bertemu dengan si korban, seorang bapak-bapak yang untungnya tidak apa-apa. Tapi, motor bapak itu tampak rusak, body depannya pecah.

Kafa kemudian bermediasi dengan sopan dan hati-hati. Syukurnya, sang bapak itu juga tak mau memperpanjang masalah, ia cuma minta ganti rugi atas kerusakan motornya. Bahkan agar lebih transparan, mereka sepakat untuk membawa motor itu ke bengkel.

Oza berulang kali minta maaf. Lagi pula, kecelakaan itu murni kesalahannya yang mengambil arus lawan saat menyalip mobil.

Gusti dan Alvin yang beberapa menit lalu masih dalam perjalanan di sekitar Universitas taman siswa, segera menyongsong ketika tiba di bengkel. Ternyata Oza juga menelpon mereka sebelumnya.

"Udah berapa kali dikasih tahu, jangan suka ngebut-ngebut. Ngeyel, sih!" gerutu Alvin, yang masih sepupu dengan Oza.

Setelah pemilik bengkel jasa body repair mengecek kerusakan dan biaya perbaikan seharga 900 ribu. Oza meminta bantuan Alvin. "Vin, aku pinjem uang dulu."

"Lah, kamu masa gak megang uang?"

"Urung kiriman aku, Vin."

Alvin menghela napas. "Aku, yo gak ada. Ada, sih tapi buat bayar asrama."

Hal yang sama juga disampaikan Gusti. Oza jadi terlihat bingung dan gelisah. Kafa lalu menghampirinya dan menanyakan masalahnya.

Setelah menjelaskan, Oza lantas berbisik pada Kafa. "Kalau boleh, pinjem uang sampeyan dulu, aku janji ganti minggu ini, Kaf."

Sebenarnya Kafa tak akan keberatan, jika situasinya tidak se- urgent sekarang. Hari ini, ia harus membayar biaya bulanan asrama, dan membeli beberapa kitab untuk mata kuliahnya. Setelah tampak berpikir, akhirnya Kafa mengangguk.

Yang penting urusan ini selesai dulu, untuk urusan keperluannya, nanti bisa dipikir lagi.

🌱🍀🍂

Una baru saja keluar dari kelas Ilmu Ma'anil Qur'an. Bersama Syanum, anak komplek Asiyah yang jadi sahabatnya di kampus, mereka beriringan menuju area prodi hadis.

"Mau ke mana, Una? perpus, ya? bareng, dong," celetuk Uki, teman kelas dari Bandung.

Una buru-buru menggeleng, tersenyum tipis. "Aku ndak ke perpus."

Dua gadis itu lantas kembali melangkah lurus menyusuri koridor, melewati taman-taman di depan kelas. Lantas belok kanan. Di bawah tangga, ada mbak-mbak penyedia print dan fotokopi. Biasanya ramai di jam-jam tertentu.

"Siapa tadi namanya?" tanya Syanum.

"Abdullah Kafabihi, mahasiswa semester empat."

"Ya, bener berarti seangkatan sama temenku, Arina. Dia pasti tahu."

Una hanya tersenyum. Hati-hati langkah mereka meniti tangga. Menuju salah satu kelas prodi hadis.

Kelas hermneutika hadits. Beberapa belas menit lagi dzuhur, dan kelas-kelas biasanya selesai sebelum adzan berkumandang. Una dan Syanum menunggu di luar, duduk di kursi menghadap taman.

Tak berselang lama, Sang dosen terlihat keluar, diikuti para mahasiswa yang beberapa di antaranya terlihat begitu tergesa. Syanum segera menyongsong langkah seorang gadis berparas ayu, yang diyakini adalah Arina.

Sebelum sempat bertanya, gadis itu dengan ramah meyalami Una. Ia tampaknya sudah tahu betul siapa sosok di hadapannya itu.

"Rin, sampeyan kenal Mas Abdullah Kafabihi, ndak?" tanya Syanum kemudian.

"Abdullah Kafabihi yang dari komplek Al-Manshuriyyah, kah?"

Syanum meminta tanggapan dari Una yang lantas mengangguk buru-buru.

"Ini sekelas gak?" tanya Syanum lagi.

"Enggak."

"Tapi hari ini ada kelas bareng gak?"

Arina tak langsung menjawab, bola matanya menerawang sesaat, mengingat-ingat. "Ah, iya ada. Nanti jam dua siang, kelas metopen hadis."

"Di ruang berapa?"

"Sebentar," kata Arina, ia mengecek screenshoot KRS-nya di hape, gadis itu lalu mengeja pelan. "Ruang 404."

Setelah mengucapkan terimakasih, Una segera mengajak Syanum bergegas ke laboratorium agama, menanti adzan dzuhur berkumandang. Entah kenapa, sepanjang jalan, melewati lorong underground, sampai muncul di selasar lab agama, hati Una terasa begitu berdebar. Berulang kali, ia mengatur napasnya. Rasanya, ia hampir tak percaya bisa menemukan pemuda itu kembali setelah berbulan-bulan pencarian, dan ia kini akan menuntaskan apa yang dianggapnya wajib; memberikan imbalan itu pada yang berhak.

🌺🌱☘️

Selepas Dzuhur berjama'ah, sebelum kelas dimulai, Una menerima sebuah pesan masuk dari Gus Anam.

Ning, saya sampun di kantin Ushuluddin.

Ah, Una hampir lupa, ia sudah berjanji bertemu Gus Anam di kantin untuk meminjamkan kitab Mafatih Al-Ghoib nya.

"Mbak Num, temenin aku sebentar ke kantin, bisa?"

Syanum menghentikan langkah. "Kantin? Katanya nanti mau makan di warung nasi padang yang di depan?"

"Bukan mau makan, ada teman pondok mau minjem kitab," jawab Una.

"Oh, ya udah, yuk!"

Kedua gadis dengan tinggi sepantar itu segera bertolak ke arah kantin fakultas ushuluddin yang terletak di dekat aula seminar. Sebenarnya, baik Una maupun kebanyakan mahasiswi Ilmu Al Qur'an dan Tafsir lain jarang banget pergi ke kantin tersebut, soalnya kayak udah jadi tempat nongkrong mahasiswa laki-laki.

Oh, iya, di fakultas ini, gampang sekali membedakan mahasiswi prodi Tafsir dan Hadis dengan prodi lain. Mahasiswi Tafsir dan Hadis kebanyakan anak pesantren, jadi penampilannya santri banget. Gamis, kerudung lebar, blouse. Cenderung terlihat sederhana. Berbeda dengan prodi atau bahkan fakultas umum lain yang penampilannya modis, fashionable, cetar membahana. Mulai flanel, sampai celana jeans yang tak akan kamu temukan melekat di tubuh mahasiswi tafsir dan hadis.

Alasan utama kenapa Una jarang ke kantin tersebut adalah seperti sekarang ini. Ia berjalan dan nyaris sebagian besar mata kaum adam segera bertumpu padanya. Ada yang diam-diam, ada yang terang-terangan. Membuat gadis itu cukup risih dan tak nyaman.

Beberapa pura-pura sopan menyapa dengan anggukan kepala. "Mbak." Lalu, kawan-kawannya tertawa.

"Ning," panggil Gus Anam.

Una dan Syanum memantapkan diri berjalan lurus. Ketika sudah tepat di hadapan pemuda itu, Una segera menyerahkan kitabnya. "Ini Gus."

Gus Anam tersenyum meraih kitab itu. "Makasih, nggih, Ning."

"Sama-sama," angguk Una dengan senyum tipis. "Kalau begitu saya duluan, nggih."

"Gak jajan dulu? Mau saya pesenin."

"Makasih, ndak usah, bentar lagi saya ada kelas. Monggo, Gus."

Setelah menjawab keramah-tamahan itu, Gus Anam tampak menghela napas dengan berat. Una bahkan hampir tak menatap wajahnya. Dilihatnya tubuh gadis itu sudah bergerak menjauh.

Demi Allah, Una terlihat sempurna. Penampilannya sederhana, dan lihatlah, bagaimana ia menunduk sepanjang jalan. Ya Allah.

🌺🍀🥀

Kafa sempat beberapa kali termenung. Ia tengah memilah, mana yang harus lebih ia prioritaskan sekarang. Setelah cukup mantap, ia akhirnya memilih mengorbankan uang harian-nya. Dengan begitu, Kafa tetap bisa membayar bulanan asrama dan membeli keperluan kuliah. Ah, lagi pula, jika tidak ada yang bisa dimakan, ia bisa puasa. Bukankah, ia sudah terbiasa puasa Senin-Kamis?

Di depan kelas, kelompok Arina, santriwati komplek Aisyah tengah melakukan presentasi. Lusa giliran kelompoknya. Kafa bukan satu-satunya mahasiswa kritis yang suka bertanya seusai sesi presentasi berakhir. Dalam beberapa momen, dia lebih memilih diam.

Setelah sesi tanya jawab, kelas pun berakhir. Sang dosen berjalan keluar lebih dulu. Disusul beberapa mahasiswa yang terlihat cukup tergesa. Sudah sore, ini bisa jadi kelas terakhir.

Kafa salah satu orang terakhir yang beranjak dari kursi. Sembari menenteng tas berisi laptop, ia berjalan ke arah lawang dengan langkah pelan. Pemuda itu tak tahu jika sudah ada dua gadis yang menunggunya di luar.

Una menghirup napas dalam-dalam. Entahlah, jantungnya mendadak berdebar lagi. Malah sekarang ritmenya lebih cepat.

Ketika Kafa baru saja melewati lawang, Una segera mengejar punggung pemuda itu sembari menegur. "Mas Kafabihi?!"

Dengan gerak lambat, pemuda itu menoleh ke belakang. Detik berikutnya, keningnya tampak mulai berkerut, matanya sedikit melebar. Rahangnya mengendur. Una membalas tatapan itu sebentar, dan itu cukup membuatnya merasa yakin jika pemuda itu masih mengingatnya. Meski entah bagaimana bisa.

"Mas Abdullah Kafabihi, kan?"

Lamunan Kafa seketika buyar. Matanya mengerjap beberapa kali. Dengan sedikit tergagap, ia menjawab. "Ah, nggih."

"Alhamdulillah, akhirnya ketemu," imbuh Una dengan napas lega. Walaupun demikian, ia masih sekuat tenaga menahan detak jantungnya yang tak beraturan.

Lihatlah, yang ada di hadapannya kini memanglah orang yang ia cari beberapa bulan terakhir ini.

"Sampeyan?" Kafa takut salah menerka, tapi di lain sisi, ia merasa begitu yakin bahwa yang di hadapannya ini adalah gadis itu.

Gadis dengan wajah berpendar seperti rembulan.

"Nggih," jawab Una cepat. "Kita pernah ketemu di ATM Alun-alun kidul beberapa bulan lalu."

Jawaban itu berhasil melegakan hati Kafa, ia kini tersenyum canggung. Namun, di waktu yang sama, mimik mukanya juga terlihat bingung. "Sampeyan, kok tahu saya?"

"Tahu dari teman."

Bibir tipis Kafa membentuk huruf O.

Setelah hening sejenak, Una buru-buru merogoh sesuatu di dalam isi tasnya. Kafa hanya mengamatinya tanpa interupsi. "Selama ini saya mencari sampeyan."

"Nyari saya? Untuk?"

Una mendongak, kembali dengan sebuah amplop di tangannya. Ia sodorkan ke depan tubuh pemuda itu. "Untuk ngasih ini. Hak-nya sampeyan."

Kafa tertegun. Ia mendongak dan mengamati bergantian senyum tulus Una dan amplop yang disodorkannya.

Tapi, setelah itu, Kafa hanya menggeleng-geleng heran. "Apa ini?"

"Dari Ibu."

Kafa mendongak lagi, seraya tersenyum kecil, ia berusaha menolak dengan sopan. "Saya gak berharap imbalan apapun, Mbak. Saya ikhlas. Mbak juga ndak seharusnya repot-repot mencari saya."

"Saya dan Ibu juga ikhlas ngasih ini, Mas."

Una juga tetap bersikukuh. Tak mau mengurungkan uluran tangannya sama sekali, hal itu membuat Kafa jadi serba salah.

"Saya mohon diterima, Mas. Biar gugur kewajiban saya," ucap Una meyakinkan.

Setelah termenung cukup lama, Kafa akhirnya mengangguk tipis, dengan pelan juga diraihnya amplop itu. Una sudah tersenyum lagi padanya, dan hal itu benar-benar membuat jantung Kafa berdebar.

"Makasih banyak, semoga Allah membalas kebaikanmu ... Ning."

Senyum di wajah Una perlahan luntur, berganti kerutan di dahi. Sadar akan hal itu, Kafa cepat meluruskan. "Saya ingat teman sampeyan saat itu manggil Ning, juga."

Mendengar itu, Una tak mau ambil pusing dan menanggapinya dengan ber-O pelan. Bibir tipis berwarna merah mudanya kembali melengkung. "Seharusnya, saya yang berterimakasih, Mas. Sampeyan telah mengajarkan saya sebuah ilmu tentang husnudzon sama Gusti Allah."

Gantian, Kafa menatap heran.

Setelah berkata demikian, gadis cantik itu hanya tersenyum kemudian pamit undur diri.

Saat berbalik dan langkah kakinya menjauh, Kafa baru sadar ia belum menanyakan nama gadis itu. Bagaimana mungkin ia membiarkan gadis itu susah payah mencarinya, sedang Kafa sama sekali tak ingin tahu siapa dirinya, dan dari mana dia berasal.

Kafa hampir berseru, namun suara itu hanya sampai di tenggorokan. Selintas saja, dia mengurungkan niatnya. Ah, lagi pula, cukup. Gadis itu datang hanya untuk menyampaikan amanah. Dan Kafa begitu kagum akan hal itu. Benar dugaannya, gadis itu bukanlah gadis biasa. Adab dan akhlaknya begitu luhur.

Dia seperti jawaban dari do'anya. Ah, lebih tepatnya perantara Allah. Mengirim rikzi-Nya yang min haitsu laa yahtasib. Rizki yang datang tak terduga. Tepat di saat Kafa kebingungan mengatur keuangannya.

Sekarang, rasanya cukup bagi Kafa mengingatnya sebagai 'Ning'.

Gadis dengan wajah berpendar seperti rembulan.

----

Di waktu yang sama, Una melepaskan napas lega. Jantungnya sudah mulai berdetak dengan normal. Ia yakin tadi itu hanya nervous saja. Rasa kagum yang terperangkap berbulan-bulan pada sosok yang mengajarinya 'pelajaran' berharga tentang husnudzon kepada Allah.

Sekarang, Una bisa kembali fokus pada tujuan awal-nya; menghafal dan mempelajari al qur'an, tanpa perlu lagi memikirkan hal lain.

Sekarang, ia tak perlu lagi harus membayangkan sosok Abdullah Kafabihi. Kewajibannya sudah gugur.

Alhamdulillah.

🌺🕊️🌱

Minta dukungannya dengan klik Vote dan Komennya, ya ^_^
Salam cinta untuk semua pembacaku ❤️ ttd : Diarysna

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 141K 65
RATHOD In a broken family, every person suffers from his insecurities and guilt. Successful in every field but a big failure when it comes to emotio...
39.3K 3.6K 10
Wanna visit rajasthan than read this special book about my love Rajasthan 💗
488K 17.2K 195
(Fan TL) Won Yoo-ha, a trainee unfairly deprived of the opportunity to appear on a survival program scheduled to hit the jackpot, became a failure of...
Cecilia By Anastasia

General Fiction

30.1K 706 27
Cecilia's father, a well-known and successful lawyer, was tired of her problems. Tired of the issues she had been causing for the family and it's nam...