RECAKA

Door Aniwilla

9.2K 2.1K 2.7K

Tentang kematian beruntun dari jajaran murid berprestasi SMA Swasta Anindita. Pembunuhnya ada di antara merek... Meer

Prolog
1 || Pemuda Tanpa Teman
2 || Dia Pintar
3 || Perpustakaan
4 || Hujan dan Kisahnya
5 || Rumah Tanpa Hangat
6 || Kata
7 || Seorang Teman
8 || Nada
9 || Mimpi Dalam Cerita
10 || Kematian
11 || Retak Bersama Waktu
12 || Tersangka dan Hipotesa
13 || Dingin
14 || Hidup
15 || Tenggelam Suram
16 || Letih yang Menyambar
17 || Ruang dan Seni
18 || Frasa Menyakitkan
19 || Sajak Luka
20 || Karsa
21 || Perihal Rasa
22 || Kontradiksi
24 || Di Antara Sesal
25 || Dia
26 || Alam Bawah Sadar
27 || Benang Kusut
28 || Sakit Jiwa
29 || Harsa
30 || Cerita yang Patah
31 || Titik Untuk Berhenti
32 || Tentang Maaf
33 || Rela Untuk Menerima
34 || Buku Harian
35 || Selamat Tinggal
Epilog
Hujan Terakhir

23 || Lebur Dalam Dingin

170 43 45
Door Aniwilla

㋛︎

Terkadang, orang yang selalu mengeluh ingin bunuh diri,

Mereka tidak ingin mati.

-R E C A K A-
.
.
.

㋛︎

"Bahagia, gak nyelesein masalah," ucap Gata pelan. Ia memutuskan sambungan teleponnya.

Netranya menatap lurus ke depan, di mana hanya gerimis yang menemani sekarang, bersama embusan angin yang menelisik ke dalam seragamnya. Langit mulai gelap, tapi Gata sama sekali tak berniat pulang. Mungkin nanti.

Gata menghubungi seseorang lagi. Kali ini Janu.

"Iya, Gat? Kenapa?"

Suara ramah Janu terdengar dari sebrang sana, Gata tersenyum kecil. Bahkan hanya mendengar suara laki-laki itu saja mampu membuat perasaan Gata sedikit tenang.

"Apa lo bahagia?" Pertanyaan sama yang Gata ajukan pada Alfa.

Hening. Tak ada jawaban dari sebrang sana. Cukup lama sampai akhirnya suara Janu kembali menyahut.

"Kadang. Lo sendiri? Lo bahagia?"

Gata tertawa mendengar jawaban Janu. Lantas menggeleng. "Kasih gue kata-kata bagus, Nu! Gue mau denger lagi dari lo."

Dari sebrang sana suara tawa Janu terdengar.

"Bosen gak sih kalo gue bilang semangat? Gue ganti aja deh, you did well, Gata! Makasih udah bertahan sampai hari ini. Untuk hari yang melelahkan. Untuk kata-kata jahat yang lo terima dari anak-anak di sekolah. Untuk kekecewaan yang lo dapet di rumah. Untuk gue, yang bangga, karena bisa kenal sama lo."

Gata tersenyum. Seorang Janu tidak pernah mengecewakan Gata, meskipun Gata tidak memiliki hangat kasih sayang dari orangtuanya untuk tempat pulang, setidaknya Gata memiliki sahabat. Mereka. Janu dan Alfa sudah Gata anggap keluarga, saudaranya sendiri. Bagaimana cara Alfa yang berusaha melindunginya, bagaimana cara Janu untuk menghiburnya.

Mereka, menggantikan sosok orangtua Gata untuk sekilas.

"Makasih juga, karena udah mau jadi temen gue. Kalo orangtua gue nanyain, tolong bilang, gue gak pernah benci sama mereka. Mereka gak salah," ucap Gata, terdengar parau. Nada suaranya mulai berubah.

Tak ada jawaban berarti dari sebrang, hanya hening. Entah apa yang Janu pikirkan di sebrang sana.

"Lo di mana?"

TUT! Gata memutus sambungan teleponnya lagi secara sepihak.

Ada banyak hal baik di masa lalu, yang bahkan masih bertahan sampai saat ini. Dan Gata mulai mengenangnya, memori indah yang berlalu begitu cepat membuat Gata enggan melangkah lebih jauh ke depan. Dirinya masih tertinggal di masa lalu, di mana Gata masih bisa merasakan hangat kasih sayang orangtuanya.

Ternyata benar kata orang jaman dahulu. Hidup itu perubahan. Tidak ada sesuatu yang abadi. Manusia berubah. Manusia datang dan pergi. Begitu siklus hidupnya. Meskipun ada banyak kata-kata motivasi untuk hidup di kepala Gata, laki-laki itu hari ini hilang arah. Entah ke mana tujuannya akan pulang.

Sebenarnya hidup seperti apa yang saat ini Gata tengah perjuangkan?

Laki-laki itu melepas ransel sekolah yang sedari tadi berada di punggung, bahkan tak sadar hanya tas itu yang memeluknya dalam hujan hari ini. Mengeluarkan beberapa lembar kertas berisikan nilai-nilai yang bagi Gata itu termasuk tinggi. Tatapannya terpaku pada angka 100 di sana, ada beberapa nilai dengan angka yang sama. Angka yang diinginkan Mamahnya, tapi bahkan sang Mamah tak pernah memujinya atau memberi sedikit apresiasi untuk hal ini.

Tersenyum kecil. Ia meringis kala hujan semakin deras berlomba-lomba jatuh pada peraduan. Menimbulkan hangat aroma petrikor tanah dan dedaunan. Ia menyentuh kepalanya, perih, bulir-bulir bening itu jatuh meleleh tepat di luka Gata. Bahkan masih sedikit terasa pusing akibat ulah gilanya barusan. Tangannya pun ikut berdarah akibat pecahan gelas tadi. Tapi Gata sama sekali tak memedulikannya karena itu tak seberapa dengan lubang besar yang menganga di hatinya saat ini.

Gata melempar tasnya asal setelah mengeluarkan beberapa bungkus obat-obatan. Ada tiga jenis obat yang berbeda.

Yang pertama, Gata memandang anti-depresan yang selama ini ia konsumsi diam-diam tanpa banyak orang ketahui. Ketika habis dipukul Mamahnya, itu membantu Gata untuk tidak merasakan apa pun, bahkan perasaan sakit hati. Lantas Gata membuang obat itu asal. Kini kandungannya sudah tak berguna lagi bagi Gata.

Yang kedua, ekstasi. Pil kecil berwarna kuning itu baru beberapa hari menemani Gata. Sedikit membantu karena ia menjadi lebih bersemangat dalam menjalani hari. Membuat semua orang tertipu pada Gata yang terlihat baik-baik saja. Padahal, itu hanya efek samping dari psikotropika yang perlahan mungkin bisa menghancurkan raga Gata. Laki-laki itu tidak peduli akibatnya. Ia kembali membuang obat-obatan itu. Percuma ia bahagia karena semua yang tampak pada diri Gata hanyalah sebuah kamuflase. Senyum yang selama ini mereka lihat dari wajah Gata, palsu. Kini ia tidak membutuhkannya lagi.

Yang terakhir, melatonin natrol atau obat tidur. Benar, Gata hanya perlu menenangkan pikirannya sejenak. Ia mengambil tiga pil itu sekaligus dan menelannya tanpa air. Menarik udara sebanyak yang ia bisa untuk bernapas, menghilangkan pengap yang sempat singgah. Paru-parunya mendadak sempit, entah karena hujan atau memang luka di dadanya yang semakin parah.

"Ah!" Gata teringat sesuatu. "Gue belum nelfon Dafi, dia sekarang temen gue juga." Tangan laki-laki itu bergerak cepat menekan ponselnya hendak menghubungi Dafi. Senyum manis dari bibir Gata kembali mengembang.

"Halo?"

"Dafi." Gata menjeda ucapannya, lantas terkekeh kecil. Apa ia harus menanyakan pertanyaan serupa pada Dafi meski sudah tahu jawabannya? Netranya terlihat berpikir, bahkan Dafi pun tak bersuara lagi menunggu Gata. Hanya suara gemericik air yang mengalir deras di belakangnya, juga sayup-sayup gesekan daun dan tirta kecil yang jatuh dari langit dan melebur pada aspal. "Apa yang lo rasain saat lo berpikir mati adalah jalan terbaik?"

"Gak ada."

Dua bibir Gata sedikit terbuka, tak menyangka respon Dafi begitu cepat.

"Rasanya hampa. Kosong. Lo bahkan gak sadar apa yang lo lakuin bisa ngebunuh lo saat itu juga."

Gata merapatkan bibirnya. Tangannya gemetar meremas ponsel, entah karena dingin hujan yang membasahi tubuhnya, atau jawaban Dafi dari sebrang.

"Kenapa nanya?"

"Enggak, kok. Cuma mau tau aja," jawab Gata, bingung merespon dinginnya perkataan dari sebrang yang mengalahkan hujan hari itu.

"Lo masih inget? Perkataan gue tempo hari di UKS?"

Dahi Gata mengernyit. Ia bahkan lupa kapan terakhir kali masuk UKS.

"Gue gak mau lo berakhir kayak Maureen."

Bulir hangat yang dihasilkan dari netra tajam Gata tiba-tiba mengalir bersamaan dengan dinginnya hujan yang ikut bergulir membasahi wajah. Sekarang Gata ingat, Dafi orang aneh itu. Yang mengucapkan bait-bait yang terdengar aneh di daya pendengarannya. Orang asing yang membuat Gata menjadi sosok lemah hingga menangis hanya karena frasa yang dimiliki Dafi, begitu menusuk.

"Sekarang lo ada di mana? Biar gue ke sana?"

"Lagi hujan,"jawab Gata pelan.

"Di mana?"

Dafi tetap kekeuh menanyakan keberadaan Gata di sebrang sana.

Sementara netra setajam elang itu mulai menutup perlahan. Obat tidurnya mulai bekerja hingga kantuk mulai menyerang. Gata berusaha membuka matanya yang terasa berat demi menjawab perkataan Dafi. Kepalanya menoleh pelan ke belakang. Menatap derasnya air sungai yang mengalir di bawah karena hujan.

Bagaimana cara memberitahu Dafi bahwa Gata tengah duduk pada pembatas jembatan dengan tubuh yang mulai tidak bisa menyeimbangkan grafitasi?

"Gue di jembatan deket sekolah," jawab Gata, bahkan hampir tak terdengar.

TUT!! Lagi-lagi sambungan terputus. Kali ini bukan Gata yang mengakhirinya secara sepihak, tapi Dafi.

-𖧷-

Senandika kehidupan memiliki iramanya sendiri mengikuti dinamika bernama takdir. Terkadang detak waktu bahkan hanya bisu menjadi saksi atas segala hal yang terjadi pada semesta. Pernahkah terlintas bahwa bukan semesta yang kejam, hanya saja sudah takdir untuk menjadi manusia kuat. Ekspektasi manusia sebenarnya sederhana, hanya berjalan mulus pada lurusnya kehidupan tanpa belukar duri yang akan menyakiti tungkainya sendiri--disebut bahagia--katanya. Tapi kenyataannya bukan seperti itu cara untuk melanjutkan hidup.

Hidup tidak hanya tentang dunia.

Dan hidup di dunia, tidak harus bahagia.

Kebahagiaan hanyalah formalitas semata. Kenyataannya hidup di dunia tidak ada yang baik-baik saja. Dunia tak pernah membaik, karena dunia bukan segalanya.

Alfa menghela napas melihat hujan di luar. Pandangannya lurus memikirkan bagaimana cara ia bisa keluar tanpa harus basah karena air hujan. Laki-laki itu masih mengenakan seragam sekolah, hendak keluar, ke rumah Gata mungkin. Karena perasaannya mulai tidak enak.

Kemudian berdecak. "Hujan doang. Gak bakal berubah jadi mermaid, kok," gerutunya pada diri sendiri. Mendesah lagi, ia mengambil payung dan membukanya berniat berjalan kaki karena jarak rumah Gata dengannya tidak begitu jauh, hanya berbeda blok.

Ponselnya kembali berdering membuat Alfa berjengit terkejut. "Setan! Siapa, sih, ganggu orang aja!" Ia merogoh ponselnya dengan raut wajah kesal yang tak dapat disembunyikan, menemukan nama Dafi tertera di sana. Laki-laki itu memutar bola mata. "Ngapain ni bocah freak nelpon-nelpon gue? Mau ngetes nomor doang kali, ya?"

Alfa mendekatkan ponselnya pada daun telinga setelah mengangkat sambungan telepon dari Dafi. Entah untuk alasan sepenting apa hingga seorang Khadafi Baswara mampu menghubunginya. "Halo? Kenapa?"

"Cepet lo ke jembatan deket sekolah!"

"Wei! Santai! Kenapa nih? Gak tau lagi hujan, ya?" saut Alfa, masih mempertahankan ekspresi bingung.

Dari sebrang sana Dafi terdengar berdecak sebal dengan respon Alfa.

"Gata ada di sana! Cepet kalo lo gak mau nyesel!"

Kerutan di kening Alfa sontak menjadi semakin dalam. "Maksudnya apa, sih? Ngapain Gata di sana?"

Sambungan dari Dafi mendadak terputus membuat Alfa hampir membanting ponselnya karena kesal. "Bangsat! Malah dimatiin!" Laki-laki itu kemudian mempercepat langkahnya keluar dari halaman rumahnya dengan payung berwarna biru motif bunga-bunga.

Dalam perjalanan, Alfa menggenggam erat payungnya sembari berusaha menghubungi Gata. Kepanikan semakin melanda ketika Gata tak kunjung mengangkat sambungan teleponnya. Laki-laki itu mempercepat tungkainya, hampir berlari.

Pandangan Alfa terpaku jauh beberapa meter di depannya. Tungkainya yang semula berjalan cepat mendadak melambat, kaku, bersamaan detak jantungnya yang terpompa tak terkendali. Gata ada di sana, duduk di pembatas jembatan dengan kepala yang menunduk.

"GATA!" Alfa berteriak. Laki-laki itu berlari tak memedulikan payungnya yang terbang terbawa angin, membiarkan dingin menabrak tubuhnya hingga basah bersama hujan.

Gata seolah tak mendengar teriakan Alfa. Tepat di depan mata Alfa yang tengah berlari ke arahnya, tubuh laki-laki itu lunglai dan jatuh dengan ringannya ke bawah. Jatuh ke dalam derasnya sungai bersama usapan lembut sang angin sore itu kala hujan masih setia mengguyur bumi. Dan saat Alfa sudah berada di titik itu, tangannya meremas pembatas jembatan dengan netra yang menatap nyalang pada aliran sungai di bawah. Lantas menggeleng pelan.

"Enggak! Gak mungkin!" ujar Alfa pelan. "Gata, bangsat!!" teriaknya lagi. Otaknya masih belum menerima betul kepingan memori yang Alfa harap itu adalah halusinasinya sendiri. Kakinya naik, memanjat pembatas jembatan hendak terjun juga mengikuti ke mana hilangnya Gata. Tapi tiba-tiba bahunya terdorong keras hingga tubuh Alfa jatuh pada aspal.

"LO GILA!" Janu menatap Alfa dengan tatapan tajam, ia berusaha menarik Alfa saat laki-laki itu berusaha berlari lagi ke arah pembatas jembatan. "LO MAU NGAPAIN?" teriak Janu, bahkan kembali mendorong kuat tubuh Alfa pada jalanan kosong. Berusaha menjauhkan laki-laki itu.

"GUE MAU NYELAMATIN GATA, ANJING!" Alfa masih berusaha bangkit, tak lagi peduli dengan kuyup yang menyelimuti. Yang ia pikirkan saat ini adalah memastikan bahwa Gata--sahabatnya-- baik-baik saja.

"Lo mau mati?" Janu kembali menarik Alfa yang masih berusaha untuk ikut terjun ke bawah sana.

Ucapan Janu membuat Alfa terdiam sejenak. Kemudian dua netra itu menatap Janu nyalang seperti hendak menghancurkan siapa pun yang ia tatap. Tak percaya, ia memasang wajah kecewa. "LO BUTA? LO GAK LIAT GATA JATOH? GUE MAU NYELAMATIN DIA?"

BUGH!!

Satu bogeman Alfa terima dari Janu. Penampilan Janu tak jauh berbeda dengan Alfa, seragam basah dengan ekspresi wajah yang kacau cukup menyiratkan segalanya. "LO GAK BISA BERENANG! LO BISA MATI TOLOL!!"

Alfa terhenyak dengan bentakan Janu. Desiran di dadanya begitu bergemuruh sama halnya petir di langit sore itu. Ia menatap sekelilingnya, kosong, hanya hujan yang ada. Lantas bangkit dan berlari menuju sungai melewati jalan lain.

Sedang Janu, hanya menatap Alfa dengan pandangan kosong setelah laki-laki itu pergi meninggalkannya. Tungkainya lemas, tak sanggup menahan beban dirinya. Lantas terjatuh pada permukaan jalan sama halnya seperti hujan. Tangannya meraba, tak sengaja ia temukan berbagai jenis obat di jalanan tersebut. Kemudian meremasnya perlahan sembari menutup kedua matanya, tubuhnya bergetar.

Janu kembali membuka kelopak matanya. Menampakkan sorot mata pedih dengan netra yang memerah, air matanya bergulir bersamaan sesak yang mulai menggerogoti dadanya.

Katanya, kata pelipur bisa menjadi obat meski untuk sejenak. Tapi nyatanya, memang untuk sejenak.

Karena Janu pikir semua perkataan yang ia harap bisa menjadi obat penenang justru hanya bualan semata, karena ia tak pernah tahu Gata mengonsumsi semua obat-obatan itu.

Karena Janu tak pernah tahu sebesar apa luka yang Gata miliki.

"Gata maafin gue," lirihnya pelan. Tapi tangisannya semakin kencang.

"Kamu terlalu fokus dengan luka yang dihasilkan oleh masa lalu,"

"Sampai-sampai kamu melupakan orang-orang di sekitarmu saat ini."

-𖧷-

㋛︎

-R E C A K A-
.
.
.

Kalian tau arti nama Gata dalam sansekerta India?















Mau apdet cepet mau apdet cepet, bullshitಥ‿ಥ

Ibu gue operasi minggu depan doain gak kenape2🙏

-Di kamar atas, 23 Jan 22

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

107K 8.5K 31
Ayya adalah siswa baru di SMA Century, sekolah yang paling dibenci oleh Ayya karena di sana dia selalu dibully oleh semua orang. Dan yang lebih parah...
135K 11.6K 44
Prabakara Pandega, sosok laki-laki yang harus merasakan penderitaan setelah ia baru saja di lahirkan. Kematian sang Bunda membuat Kara selalu di sala...
40.6K 6.1K 11
Angkasa harus menjadi Alaska setiap hari demi bundanya yang depresi. Alaska yang merupakan saudara kembar Angkasa itu hilang karena suatu insiden dan...
312K 16.5K 30
Tentang obsesi seorang pria misterius terhadap seorang gadis yang menolongnya. ---------------------------------------------------- Raina Karlova, se...