How to Break a Heartbreaker

Galing kay galaxywrites

12.8K 2.3K 198

Orlando Jaska dikenal sebagai selebriti ganteng, penyanyi dengan heavenly voice, dan playboy menawan yang bis... Higit pa

Prologue
01. How to Revenge
02. Do You Love Me?
03. Encounter
05. Niskala's Artists
06. His Personal Assistant?
07. His Ultimate Type of Girlfriend
08. Past and Present
09. Our Ex(es)
10. In Case You Didn't Know
11. Time to Workout
12. Girls Around You
13. Comparison and Contrast
14. Get Attacked
15. Unusual Wedding Party
16. Suspicious Boyfriend
17. Bad News Ever

04. Twenty Millions

642 140 14
Galing kay galaxywrites

Chapter 4

"Kalau lo dikasih duit dua puluh juta oleh orang yang lo benci, kira-kira bakal lo terima nggak, Dy?"

"Konteks?"

Aku dan Audy sekarang ada di restoran sushi akibat kelaparan setelah nonton film horor Indonesia yang baru rilis minggu kemarin. Nonton film horor memang selalu seru, tapi kadang kala juga bisa sangat melelahkan karena rasa tegang dan takut yang kebawa selama sisa film.

Aku memainkan sumpit pada saus mentai di atas salmon roll. Isi kepalaku sedang berpikir keras apakah aku harus menceritakan masalahku pada Audy atau tetap diam dan mengatasi ini sendiri.

Jadi, setelah ditawari uang dua puluh juta sebagai uang "tutup mulut", aku cuma bisa terdiam membisu. Jujur, aku bingung, takut, dan juga serba salah. Menerima tawaran itu akan menjadi jalan paling mudah untuk membantu Rex, tapi di satu sisi, aku merasa itu juga bukan hal yang tepat. Sorot meremehkan Lando membuatku seperti habis ditampar bolak-balik. Aku tidak mau dia berpikiran seolah aku memang dengan sengaja memorotinya.

Mau menolak tawaran itu tapi kesempatan tidak datang dua kali. Tapi menerimanya cukup membuat harga diriku tergores di depan Lando.

"Nyari duit dua puluh juta harusnya susah banget kan, ya?"

"Ya susah lah, Cit, kecuali kalau lo anak orang kaya, tinggal nadah tangan aja," balas Audy lalu menengak ocha dinginnya dengan santai.

"Lo mau kalau dikasih duit dua puluh juta oleh orang yang lo benci?"

"Alasan dia kasih duit apaan?"

"Kasih duit aja gitu."

"Tanpa alasan? Orang gila mana yang mau ngasih duit ke orang yang dia benci?"

Aku meringis. "Anggap aja begitu."

"Nggak mau. Harga diri gue nggak bisa nerima itu."

"Kenapa?" tanyaku penasaran.

"Nggak mau hutang budi sama orang yang gue benci. Dan gue juga nggak mau tiba-tiba akur sama orang yang gue benci cuma karena duit dua puluh juta."

"Meski sebenernya lo lagi butuh dua puluh juta itu?"

Audy berekspresi songong. Bibirnya mengerucut seolah secara tidak langsung mengatakan uang dengan nilai segitu tidak seberapa. "Gue bakal cari cara lain, daripada mengandalkan orang yang gue benci untuk ngebantu gue secara cuma-cuma. Gue nggak mau dianggap menyedihkan di mata musuh gue."

Benar. Dianggap menyedihkan itu adalah perasaan paling menyedihkan di dunia. Ditambah lagi kalau dianggap menyedihkan oleh orang yang kita benci. Wah, lebih baik aku punah saja.

"Kenapa sih?"

Aku langsung menggeleng.

"Ini beneran kejadian atau berandai-andai doang dikasih duit dua puluh juta gitu aja?"

"Ngayal," kataku bohong. "Btw, gue sama Rex LDR-an lho." Daripada Audy makin kepo dan berhasil mengendus kebohonganku, lebih baik aku mengganti topik.

"Dia balik ke Bandung?"

"Enggak, dia dapet kerjaan di Tangerang."

"LDR Tangerang - Jakarta, Cit? So funny. Itu nggak bisa disebut LDR kali."

"Dia pindah kosan disana sama temennya. Dan dia kerja dari Senin sampai Jumat. Intensitas gue ketemu dia berkurang banget."

"Dia kerja?"

Aku mengangguk kemudian menyuap sushi ke dalam mulut dan mengunyahnya dengan lahap.

"Kerja apa?"

"Translator di penerbit gitu."

"Full timer berarti, ya?"

"Untuk sekarang, iya."

"Ah, pantes aja lo ngotot mau cari kerjaan. Mau ngikutin jejak pacar lo itu? Biar sama-sama punya kesibukan?"

Lebih tepatnya bukan begitu sih, tapi tidak ada alasan untuk mengoreksi ucapan Audy."Salah satunya itu juga, biar produktif, punya duit sendiri, nggak jadi beban keluarga."

Audy terkekeh. "Gue bingung, ini Citra yang gue kenal udah dewasa atau memang udah kelewat bucin aja sama si T-Rex itu?"

Aku berdecak. "Lo ngomong seakan bucin sama Rex bukan hal yang wajar dan dosa besar."

"Iya lah, honey. Di mata gue Rex itu terlalu baik."

"Jadi nggak cocok buat gue?"

Audy menggeleng. "Bukan gitu. Dia tuh terlalu sempurna, gue takut aja tiba-tiba dia punya dirty little secret yang nggak diketahui orang dan boom! sesuatu yang nggak kita sangka terjadi. Saat manusia keliatan nggak ada celah begitu, sisi negatif thinking gue kadang mulai memikirkan skenario-skenario aneh."

"Lo kebanyakan nonton film deh kayaknya."

Audy nyengir. "Gue selalu waspada aja dengan manusia berjakun. Mereka suka aneh-aneh soalnya. But as long as lo happy sama Rex, ya jalani aja sebagaimana mestinya. I'll support you. Tapi saran gue jangan bucin-bucin banget, deh."

Aku tersenyum kecil. "Gue emang cinta banget sama Rex. Tapi gue nggak bucin-bucin banget, kok. Gue realistis sama hubungan kami. Selama dia baik ke gue, gue juga bakal bersikap baik ke dia."

"Yes, itu emang cara yang baik untuk menjalin hubungan dengan manusia. Eh, lo nggak tanya sama Rex aja info loker? Dia kan anaknya social butterfly banget, mungkin dia bisa kasih lo lowongan yang potensial buat lo apply."

Aku sempat menanyakan ini ke Rex sih, tapi dia bilang belum punya info loker lain.

"Nggak ada, Dy."

"Yah, gagal dong beli handbag Dior."

Aku berdecak. "Masih ada waktu, gue belum nyerah cari kerjaan."

Audy geleng-geleng kepala tak habis pikir. "Lo tuh emang random banget, tiba-tiba pengen Dior lah, pengen nyari pengalaman lah. Padahal skripsi udah depan mata tuh."

"Masih ada waktu untuk skripsi gue. Gue lagi pengen kerja banget."

"Call Lando tuh, minta loker ke dia."

Saran Audy yang dilemparkannya dengan santai itu membuatku termenung sesaat.

"Itu bukannya sama aja kayak nerima dua puluh juta dari orang yang lo benci?" balasku.

Audy terkekeh. "Minta info kerjaan dan minta duit cuma-cuma beda lah, Cit. Mungkin Lando punya temen artisnya yang lagi butuh asisten atau crew acara gitu. Kan lumayan bisa kerja di lingkungan artis."

Aku terdiam, memikirkan saran itu lamat-lamat.

"Sekalian untuk menguji apakah Lando yang sudah terkenal setengah mampus itu lupa sama temen lamanya atau enggak."

"Temen lama? Gue lebih ke musuhnya kali."

"Lo nganggep begitu, tapi Lando kayaknya nggak pernah menganggap lo musuh. Buktinya dia masih say hi ke lo pas di Bogor, nanyain kabar dan lain-lain. C'mon, gue atau lo adalah temen lama Lando. Kita melihat secara langsung perjalanan cowok itu jaman SMA dimana dia suka nyanyi dan ngeband. Kalau dia lupa sama kita, itu kelewatan banget."

Aku melepas sumpit di tanganku dan duduk menyandar pada kursi. Tanganku bersidekap. Bagaimana caranya aku bisa mendapatkan situasi win-win solution dengan Lando tanpa membuatku tampak seperti orang yang memanfaatkan kekayaan dan ketenaran cowok itu?

Sepertinya aku harus segera pulang dan memikirkannya.

***

Aku sedang menyesap tegukan terakhir coklat panas dalam mug kelinciku ketika nama Mbak Anggun muncul di layar ponsel. Aku melirik jam pada sudut atas layar. Jam 10 malam. Percayalah, aku sudah menunggu panggilan ini sejak jam empat sore tadi.

"Halo Citra, sorry ya, baru sempat telepon, ini baru sampai Jakarta, Lando tadi ada acara di Semarang," sapa Mbak Anggun dengan nada ramahnya yang selalu terdengar profesional.

"Iya, Mbak, nggak papa, kok. Kalau Mbak masih ada kerjaan atau mau istirahat dulu juga nggak papa, biar besok aja aku telepon." Aku meletakan mug dalam wastafel, membiarkannya tak tercuci, lalu berjalan menuju ruang tengah.

Kosanku bisa dibilang minimalis tapi cukup nyaman, hanya ada satu kamar tidur, kamar mandi di dalam, pantry kecil dan ruang tengah yang merangkap jadi ruang tamu yang hanya muat dua sofa panjang dan televisi. Walaupun tidak senyaman apartemen Lando yang mewah itu, tapi tinggal disini rasanya sudah lebih dari cukup.

Aku duduk di sofa dan mengecilkan volume televisi yang sedang menampilkan salah satu series netflix.

"Aku nggak papa, kok. Lanjut aja. Mau bahas yang kemarin, ya?" ucap Mbak Anggun.

Aku mengiyakan.

"Oke. Jadi gimana, Cit? Dua puluh juta cukup? Kamu up dulu ya klarifikasinya di twitter, nanti kami transfer, kirim aja nomor rekening kamu ke WhatsApp."

"Soal itu,..." Aku menggigit bibirku sesaat, memikirkan kata yang tepat untuk menolak. "Kayaknya aku nggak bisa nerima uang itu, Mbak."

"Kenapa?" tanya Mbak Anggun tanpa ada jeda sama sekali.

"Aku memang lagi butuh uang, tapi rasanya nggak etis aja aku nerima uang sebesar itu secara cuma-cuma."

"Jadi? Kamu milih untuk nggak hapus dan klarifikasi apapun tentang thread itu, Cit?"

Sebenci-bencinya aku sama Lando, aku tidak mau menjadi alasan dia kehilangan kontrak satu milyar itu. Tidurku jadi tidak tenang.

"Aku bisa hapus thread itu dan bilang ke semuanya kalau itu cuma pendapat nggak berdasar yang kutulis karena iseng doang, atau apapun alasannya yang bisa balikin image Lando." Sebenarnya itu bukan masalah besar, toh benar kata Lando, aku menulis thread itu pakai akun palsu. Orang-orang tidak ada yang tahu identitasku. Tapi, tawaran Mbak Anggun kemarin adalah kesempatan emas yang tak boleh terlewatkan.

"Sebagai gantinya?" Mbak Anggun sepertinya paham meski itu masalah sepele, aku juga tidak mau melakukannya secara cuma-cuma.

"Aku boleh minta tolong ke Mbak Anggun?"

"Tolong apa, Citra? Kami akan berusaha bantu."

"Aku lagi butuh kerjaan, Mbak. Butuh banget. Kalau Mbak punya kenalan orang yang lagi nge-hire pegawai atau part timer, boleh banget rekomendasiin aku Mbak. Sekarang aku mahasiswa jurusan Sastra Inggris semester lima. Kebetulan aku lagi libur semesteran dua bulan, aku mau isi waktu libur ini buat kerja."

"Tunggu-tunggu, alasan kamu butuh kerjaan karena butuh uang?"

"Iya, Mbak. Lagi ada masalah urgent."

"Kenapa nggak terima uang itu aja, Cit? Lando nggak mendadak miskin kok ngasih kamu dua puluh juta."

Aku meringis karena tahu fakta itu. Ternyata kehidupanku dengan Lando bak bumi dan langit sekarang.

"Egoku nggak bisa nerimanya, Mbak. Apalagi itu Lando. Sejarahku sama dia nggak terlalu bagus."

Mbak Anggun terdiam di seberang sana. Perasaanku jadi nggak enak. Apa yang ada dipikirkan Mbak Anggun sekarang? Apa aku terlihat seperti cewek sok idealis tapi di satu sisi juga menyedihkan? Karena menurutku, aku ada di posisi itu sekarang.

"Kerja, ya..." Mbak Anggun menggantung kalimatnya seolah sedang berpikir. "Kamu mau kerja yang kayak gimana?"

"Hm, bebas sih, Mbak. Jadi crew acara, bantuin nyusun berkas di kantor manajemen, atau asisten artis juga boleh. Aku nggak masalah kerja berat atau ringan selama gajinya sesuai. Aku juga bakal berusaha yang terbaik untuk jadi kompeten dan nggak malu-maluin."

"Ada kok ada, aku bisa rekomendasiin nama kamu. Tapi aku harus diskusiin dulu. Besok atau lusa aku hubungin kamu untuk ketemu gimana?"

"Boleh, Mbak."

"Sip, sip."

"Soal thread itu gimana, Mbak?"

"Pas kita ketemu kita bahas lagi aja."

"Oke, Mbak."

"Oke, Citra. Aku bakal usahain permintaan kamu itu. Tenang aja. Ada lagi yang mau kamu sampaikan?"

"Untuk sekarang belum ada, Mbak."

"Oke deh. Aku tutup dulu ya. Bye."

"Iya, bye, Mbak."

Panggilan terputus. Kini aku memandang ponselku dengan tatapan sangsi. Aku tidak tahu ini keputusan yang benar atau salah. Tapi, memikirkan selangkah lagi aku bisa punya penghasilan untuk membantu Rex, sepertinya overthinking dan kegelisahanku akan segera terbayarkan.

***

A/N
Thanks for reading!
Fyi, di karyakarsa udah update sampai Chapter 7 yaaa!!

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

7.5K 2.8K 35
[ACT IV of V Katarsis - Bintang Narandanu] Let me run at night until all this pain go away Aku hanya ingin terbebas setidaknya di malam hari ── Di ka...
3.5K 196 4
Ship YTMCI YonDib! Seme: Ayon Uke: Ledib kalo ga suka silahkan tinggalkan book ini! ⚠⚠WARNING!!⚠⚠ -Homophobic? you can quit, because this is not yo...
49K 3.8K 22
Ini semua tentangnya. Aku merangkumnya di dalam sini. ABP series I ; -𝗥 ©2019 by hip-po.
2.9M 29.1K 28
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...