"Mau lihat laut gak?" tanya Nachandra agak ragu, pun tak juga memudarkan senyumannya yang sedari tadi mengganggu pikiran Naraya.
Rambut dua anak manusia itu tertiup oleh angin, sebab tiba-tiba saja angin kencang yang entah datang dari mana menabrak tubuh mereka kembali. Menciptakan keheningan berkepanjangan, belum lagi pertanyaan Chandra yang diabaikan membuat anak itu ingin pulang saja.
Keduanya sedang berjalan beriringan setelah orang-orang di sana mulai berhamburan menambah kepadatan jalan. Asap polusi di mana-mana, sesekali Naraya dibuat terbatuk sembari menahan kesal.
Nachandra menyilangkan kedua tangannya ke belakang. "Kalo di pantai udaranya seger, Ra. Bisa santai-santai di sana juga, mau kan lo?" Ternyata bocah ini belum kehabisan akal.
Hanya suara samar. dari angin yang menjadi jawaban, untung saja Nachandra bukan laki-laki pemarah, ia selalu diajarkan bersikap sabar oleh Farhan sejak dini.
"Emang lo mau jalan kaki ke sana?"
Langkah keduanya terhenti, benar juga. Lantas dengan cepat Nachandra menggeleng menghadapkan badannya pada si gadis.
"Pantai gak terlalu jauh dari sini."
"Tapi jauh kan?"
"Gimana lo pegang tangan gue aja? Kita jalan bareng biar cepet."
Alis Naraya terangkat pelan meragukan, padahal itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan cepat sampainya perjalan mereka, Nachandra hanya asal bicara saja seperti biasa.
Jangan tanya kenapa, entah setan dari mana yang merasukinya tanpa berpikir panjang tangannya sudah menggenggam erat tangan berurat Nachandra. Agak lucu sebenarnya, meskipun berurat, jari laki-laki itu lumayan berisi.
"Berhenti senyum, tolol," geram gadis itu dalam hati.
--------
~No Togel~
P
Misi
Sv y
Siap cantik.
Najis, Chan.
Nachandra.
Serah.
/read
--------
Suara cekikikan bocah tengil ini bisa terdengar lumayan keras hingga ujung sana, tak heran tiba-tiba Naraya muncul menghampiri dari belakang langsung melemparkan tatapan membunuh tak main-main.
Nachandra yang terduduk santai di atas pasir tanpa memedulikan celananya mulai kotor melirik sekilas lanjut cekikikan melihat video konten Tiktok menggelitiki perutnya, tanpa menghiraukan Naraya.
"Stress."
Muncul notifikasi lain berbunyi, lantas keduanya langsung menatap layar ponsel bersama-sama.
--------
~𝕐𝕒𝕞𝕖𝕥 𝕂𝕦𝕕𝕒𝕤𝕚~
𝕁𝕠𝕟𝕒𝕥𝕙𝕒𝕟 𝕠𝕡𝕡𝕒 𝕜𝕚𝕪𝕠𝕨𝕠
Gue cuma mau ngucapin slmt bro
Jingga
Bismillah teraktiran.
Kaira
Demi apapun gue gak percaya yang menang selatan
Jinna
Yaampun selamatt yaa @Selatan
Radenno
GUE GAK MAU PERCAYA YANG MENANG SELATANN, GAK MUNGKIN BGT NGALAHIN HAIDAN ANJIRR
Yura
Hahaha, kok gitu?? @Radenno
Selatan
Maaf ya guys baru bales. Jadi kemarin gue sempet mukul Chandra.
--------
"Lo dipukulin, Selatan?" tanya Naraya refleks.
Tak ingin menunggu lama, Naraya kembali membuka suara. "Jujur gue gatau masalah lo, Chan. Tapi kalo sampe lo dipukulin Selatan sama temen-temennya itu udah termasuk pembully-an."
Nachandra mengarahkan tubuhnya pada si gadis sepenuhnya sambil memikirkan kata-kata yang tepat sebagai jawaban. Niatnya urung, ternyata tidak terbesit ide apapun.
"Gue juga tau, Ra," jawabnya tenang, sedamai bunyi desiran ombak di depan mata.
"Lo boleh lemah, Nachandra. Tapi gue mohon jangan perlihatkan ke mereka, karena itu bakal buat mereka semakin ngeremehin lo–ck!" Mendecak kasar saat ucapannya dihentikan diujung lidah.
"Kata Om Farhan. Gapapa keliatan lemah, Ra," potongnya. "Emang lo gak capek pura-pura kuat?" Alis laki-laki itu terangkat ke atas.
Dadaya menghangat, sadar bahwa kalimat terakhir tadi dilontarkan teruntuk dirinya. Naraya menarik rambutnya yang mulai pening karena sendirian halus Nachandra barusan.
"Gue mau pergi ke rumah Mama besok do'ain gue semoga semua lancar," gumamnya, lalu menjauh tampak berpose di bawah teriknya matahari.
"Kit-a beda, Nachandra." Entah sejak kapan tapi Naraya benar-benar mulai terbiasa memanggilnya seperti yang diinginkannya saat pertama bertemu, kembali.
"Hm? Oh iya, " jawabannya seadanya.
Walaupun ada sebagian dari hatinya mencelos begitu mendengar ucapan si gadis. Nachandra berjalan kecil kembali menghadap ke atas mengambil sudut pandang yang bagus untuk berfoto, tak sadar begitu menyita perhatian seseorang.
"Lo jadi besok sama Om Farhan?" Naraya mengangguk pelan sebagai jawaban, meski sebenarnya tak yakin.
"Do'ain gue juga ya."
"Naraya, " panggilnya lembut. "Tuhan kita beda, Ra."
Naraya memejamkan matanya sesaat sebab ada sesuatu yang aneh bergemuruh di dadanya, sesuatu yang tidak dimengerti apa artinya, asalnya dari mana. Karena ini sungguh pertama kalinya bereaksi seperti ini.
"Nachandra."
"Ya?"
"Ada yang mau gue tanyain."
Tubuh Nachandra berjongkok di depannya menyetarakan kepala mereka membuat jarak wajah mereka berdekatan. Lagi-lagi senyuman laki-laki itu seolah merebut minatnya begitu cepat.
"E-nggak jadi."
Hari ini cukup melelahkan, bahkan matanya pandanya menurun beberapa kali meski dipaksakan tetap terjaga. Baru pulang menginjakkan kaki di rumah dia telah berpapasan dengan orang yang dihindarinya.
"Bisa kamu jelaskan ini apa??" Tiara melayangkan lembar kertas di tangannya ke depan wajah Naraya, sementara dirinya hanya bisa menghela napas panjang menahan emosi agar tidak terjadi lagi yang sudah pernah terulang.
Anwar menyadari kericuhan yang terjadi langsung muncul begitu datang di depan pintu menatap tajam pada cucu perempuannya itu, dan di sana Dean bediri tersenyum puas menyaksikan wajah tegang adik tirinya tanpa rasa kasihan sedikitpun.
"NARAYA JAWAB SAYA!!" Sial, bentakan keras Tiara memicu cepat degup jantungnya.
"ARGHHH!!" Hingga kedua tangannya refleks menyumpal telinga merasakan panik yang tiba-tiba menyerang.
Ya, Naraya trauma suara bentakan. Sebab sejak ayahnya menikah dengan Tiara kehidupanya berubah drastis, ibaratkan yang dulu diterbangkan tinggi ke atas langit kemudian dihempaskan kembali ke bawah tanah, yang mana hatinya benar-benar sakit.
Haruskah dirinya mengalahkan diri atas takdir? Takdir hidup menderita bersama orang-orang yang membencinya. Naraya merindukan kasih sayang yang diberikan orang tuanya dulu.
Dia rindu di saat ia merengek pada ayah, menangis tanpa malu, lalu berlari kecil memeluk ibu. Semua kenangan yang akan teringat sebentar, lalu berlalu saat terbangun dari mimpi kembali ke kehidupan yang justru terasa seperti mimpi buruk.
"Kenapa lo teriak, Ra? Tanya Dean, tersenyum miring. Wajah Naraya memerah, seperti tertahan sesuatu yang tidak bisa dikeluarkan di sana, menumpuk di dada terasa berat.
"Mukamu sampe merah begitu, takut kamu hah?!" Bentak Tiara memincu panas dingin.
Anwar mendekat pada Naraya kemudian merebut lembar kertas di tangan Tiara, muncul senyum tak berperasaan di bibirnya. Pria itu lantas meraih isi surat tersebut bersusah payah membaca deretan tulisan di sana dengan bantuan kacamata.
"Apa ini, Naraya? Jawab Kakek! Kenapa orang tuamu dipanggil ke sekolah lagi hah?!" Tubuh Naraya bergetar ketakutan, di antara manusia jahat ini, jujur Anwar adalah ketakutan utamanya. Sebab semakin menyakitkan jika seseorang yang dulunya begitu menyayangimu sekarang justru menghancurkanmu.
Tak kuasa baginya melihat kedua mata pria tua itu membara sekali lagi. Kekecewaan terlihat dari kedua matanya yang menatap begitu dalam. Ini hanya perkara rokok namun bisa menghancurkan Naraya berkeping-keping. Padahal rokok tak sekadar candu, baginya rokok adalah penghilang stress terampuh.
Sayangnya tak semua orang ingin mengerti.
"TATAP MATA KAKEK NARAYA!!" Kedua tangan Anwar memaksa Naraya berhadapan dengannya, meski gadis itu berkali-kali mencoba menghindar.
"GAK MAU KEK!!" Suara Naraya meredam begitu lirih.
"Dikasih paham Kek, ntar dibiarin malah makin-menjadi," komentar Dean enteng.
"Hukum saja, Pak. Bapak tau kan Naraya anaknya seperti apa?? Anak ini berandalan di sekolah kata gurunya, selain masih suka ngerokok dia juga sering berpenampilan yang ga seharusnya." Mata Naraya melotot ketakutan ketika tangannya ditarik kasar entah akan dibawa ke mana, dia meremat kedua tangannya berhadapan dengan Anwar.
Bunda Tiara yang ia tau sebelum menikah dengan ayahnya adalah yang terbaik. Semenjak mereka menikah Naraya jarang mendapatkan kasih sayang, ia jadi lebih sering diomeli, masalah sekecil apapun pasti akan dibesar-besarkan.
"ANAK KURANG AJARR!" Pria itu melayangkan pukulan berakhir mengenai pipi Naraya. Terasa sakit dan panas di bagian sana.
Rasa sakitnya memang tak seberapa, tapi sekarang jangan tanya seberapa hancurnya hati Naraya. Rasa sakit di dadanya juga padahal belum menghilang dia sudah mendapatkan luka lain.
"HUKUM AJA PAK! BIAR PAHAM ANAKNYA."
Anwar menggeret tubuh Naraya berniat membawa dan menghukumnya langsung ke dalam bilik kamar mandi. Dia hanya pasrah saja, rasanya memberontak pun percuma. Karena lagi-lagi tidak ada yang memihak padanya.
"Kakek! Tunggu!!" Sampai di sini Naraya paham apa yang akan terjadi pada dirinya, maka secepat kilat ia menarik lengannya.
"APA LAGI?!"
Naraya menghentakkan tangan Anwar menegakkan tubuhnya perlahan. Tatapan mata pasrah itu tak juga membuat seseorang di sana iba, dan kembali merangkulnya. Mengingat perkataan Dirman
Orang-orang banyak yang jahat, jadi Naya gak boleh lemah.
"Pukul Naya, Kek," katanya menunjuk ke arah pipinya.
Membuat orang-orang yang tadinya sibuk menghakiminya terdiam tanpa ekspresi, tak ada lagi tatapan remeh, tak ada lagi tatapan tak suka, tak ada lagi tatapan puas dari wajah mereka.
"GUE BILANGG PUKUL BANGSATT!" pekiknya sangat keras terasa menusuk. masuk gendang telinga.
"PUKULL SAMPE LO SEMUA PUAS!!"
Di waktu yang sama semuanya terlihat kacau.
Naraya tak berhenti berteriak sambil menjambak rambutnya sendiri, melempar kursi ke sembarangan arah, melemparkan apa saja yang berada di depan mata. Dalam hati mengutuki diri, dia hanya ingin lihat apakah mereka akan kembali berpura-pura buta pada rasa sakitnya.
Naraya ingin lihat bertahan sampai mana kah akting sebuah keluarga di atas panggung sandiwara. Mereka yang masih terdiam berpura-pura tuli, cukup.
Gadis itu muak dengan semua ini.
"LO SEMUA ANJING TAU GAK, HAH?! DADA GUE SAKIT TOLONG SADAR GUE SAKITT...," lirihnya meneteskan air mata. Tubuh kecil gadis itu terjatuh pada sebuah kursi kayu yang tepat berada di belakang.
"IYA! LO EMANG SAKIT NARAYA! LO SAKIT JIWA BANSGATT!" Tiba-tiba Dean berteriak tak kalah kerasnya, menendang-nendang kursi yang diduduki Naraya sampai adiknya tersungkur di bawah lantai.
Runtuh. Seorang anak yang dibesarkan dan dididik baik-baik oleh kedua orang tuanya, sampai rela berkorban hidup dan mati demi kebahagiaan seorang gadis kecil yang dititipkan Tuhan sebagai jawaban do'a seorang ibu di sepertiga malam kini runtuh di atas kakinya sendiri yang rupanya tak lagi setangguh dulu.
"ASTAGFIRULLAH, BERHENTI!!"
.
.
.
.
.
Ada yang bisa nebak nggak Naraya mau nanya apa? :D
Makasih buat orang baik yang udah mau mampir<3
Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar❤