RECAKA

By Aniwilla

9.2K 2.1K 2.7K

Tentang kematian beruntun dari jajaran murid berprestasi SMA Swasta Anindita. Pembunuhnya ada di antara merek... More

Prolog
1 || Pemuda Tanpa Teman
2 || Dia Pintar
3 || Perpustakaan
4 || Hujan dan Kisahnya
5 || Rumah Tanpa Hangat
6 || Kata
7 || Seorang Teman
8 || Nada
9 || Mimpi Dalam Cerita
10 || Kematian
11 || Retak Bersama Waktu
12 || Tersangka dan Hipotesa
13 || Dingin
15 || Tenggelam Suram
16 || Letih yang Menyambar
17 || Ruang dan Seni
18 || Frasa Menyakitkan
19 || Sajak Luka
20 || Karsa
21 || Perihal Rasa
22 || Kontradiksi
23 || Lebur Dalam Dingin
24 || Di Antara Sesal
25 || Dia
26 || Alam Bawah Sadar
27 || Benang Kusut
28 || Sakit Jiwa
29 || Harsa
30 || Cerita yang Patah
31 || Titik Untuk Berhenti
32 || Tentang Maaf
33 || Rela Untuk Menerima
34 || Buku Harian
35 || Selamat Tinggal
Epilog
Hujan Terakhir

14 || Hidup

205 49 87
By Aniwilla

㋛︎

"Hidup kita berarti karena akan segera berakhir. Jadi, hidup hari ini, berbuat baik hari ini. Karena besok belum tentu bisa."

- January Candramawa.


-R E C A K A-
.
.
.

㋛︎

Dersik kala sore begitu menenangkan. Daunnya yang terseret angin menimbulkan bunyi gesekan pada lapangan sekolah yang sudah sepi. Pepohonan rindang di sekitar terlihat begitu teduh. Pandangan pemuda itu kosong, jauh menerawang ke depan menikmati semilir angin yang menyapu wajah. Rambut hitamnya berkibar terkena angin tapi tak membuat pemuda itu terusik.

Janu menyukai semua ketenangan ini. Tubuh tinggi tegapnya bersandar pada tiang bendera menikmati lapangan sekolah yang sepi tanpa keramaian. Tak ada bising manusia yang memujinya, tak ada suara yang akan memanggil namanya, dan tak akan ada yang mengganggu kedamaian ini.

Bibirnya tersenyum kecil, meski begitu masih terlihat aura lembut yang terpancar dari sana. Janu memang tampan, dengan segala prestasi yang ia raih ditambah wajahnya yang manis ketika tersenyum hangat membuat seantero sekolah kagum pada sosok Janu. Hidupnya nyaris sempurna!

Tak ada celah kata buruk yang tepat untuk pemuda itu. Janu pintar. Janu tampan. Janu kaya. Dan tentu saja Janu adalah anak baik. Pemuda berhati lembut yang perhatian pada orang-orang di sekelilingnya.

Tapi Janu muak. Ia muak dengan tatapan kagum mereka seolah Janu bukan manusia. Apakah mereka yang berlagak baik dan manis di hadapan Janu adalah jati diri mereka sesungguhnya atau hanya topeng belaka? Karena setidaknya setiap manusia pasti memiliki satu atau dua topeng kebohongan untuk menutupi dirinya.

Bunyi denting pada ponselnya menghentikan lamunan Janu. Pemuda itu menatap layar pipih yang menyala, menampilkan pesan dari Cio.

Ke atap aja.

Janu menghela napasnya. Cio benar-benar merusak suasana hati Janu yang tadinya tentram menjadi sebaliknya. Pemuda itu mengangkat tangan kiri dan menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Jam menunjukkan pukul 17.35, hal penting apa yang membuat Cio ingin membicarakannya di sekolah di jam seperti ini? Tak sengaja Janu memutar pergelangan tangannya, netranya menemukan bekas jahitan tepat pada bagian urat nadi. Mendadak matanya terpejam, mengingat pertanyaan Alfa beberapa hari lalu yang tiba-tiba terus terdengar di dalam kepalanya.

Pernah gak lo berpikir buat ngakhirin hidup lo?

Netra Janu kembali terbuka. Keinginan lama yang sudah ia kubur dalam-dalam tiba-tiba kembali menyeruak, kali ini lebih dominan.

Dengan langkah berat pemuda itu berjalan menyusuri sepinya sekolah menuju atap, menemui Cio yang entah ingin membicarakan perihal apa.

-𖧷-

Ada satu pertanyaan mengenai kehidupan. Mengapa hidup bisa dibilang hidup saat kita bahagia? Apakah hidup hanya tentang kebahagiaan? Apakah terluka dan gagal akan menjadikan hidupmu tak berarti?

Apakah sesak akibat semua trauma masa lalu tidak bisa dikatakan sebagai hidup?

Lantas kenapa kita harus berpura-pura bahagia? Bukankah melakukan itu adalah hal untuk bertahan hidup.

Bahagia adalah satu kata berjuta sarat. Kita memiliki hak untuk bahagia dalam hidup, tapi jika terluka apakah itu salah orang lain yang melukai kita atau salah kita karena mengizinkan diri kita terluka?

"Kenapa harus pura-pura baik? Lo bisa tunjukkin sifat asli lo di depan gue!" seru Cio diikuti senyuman miring tersungging. Laki-laki berkulit putih itu duduk pada pembatas gedung menghadap ke arah Janu yang menatapnya heran.

"Turun! Lo ngapain duduk di situ?" kata Janu.

Sedang Cio tidak menghiraukan perkataan Janu. Wajahnya tersenyum menatap sekelilingnya. Seragamnya berkibar menandakan angin cukup kencang berada di atas atap. "Maureen, dia mati di sini?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Cio. Matanya menatap Janu.

Janu yang merasa pertanyaan yang Cio lontarkan itu mengarah padanya sontak mengerutkan alis bingung. "Kenapa? Lo mau nyusul dia?"

Pertanyaan sarkas dari Janu yang tidak biasanya membuat Cio tertawa renyah. "Ternyata bener, ya? Lo pelakunya, 'kan?"

"Atas dasar apa lo bilang kalo gue pelaku?" tanya Janu lagi. Ia menatap sekeliling lantas merapatkan tungkainya saat angin berembus kencang, kemudian netranya melirik ke bawah, jantungnya mendadak berdebar dua kali lipat membuat dadanya sedikit ngilu.

SMA Anindita memiliki 4 lantai yang berarti cukup tinggi jika seseorang berdiri di atas atap. Janu sebenarnya tidak begitu takut akan ketinggian, ia hanya takut tidak bisa menahan dirinya sendiri karena berisiknya pikiran yang ada di dalam kepala untuk menyuruh Janu melompat.

Kira-kira apa yang akan terjadi jika Janu melompat?

Siapa yang akan menangis jika ia mati?

Bagaimana rasanya mati?

Mungkin beberapa orang akan kehilangan Janu sebagai murid terpopuler di sekolah. Mereka akan merindukan hangatnya perhatian laki-laki itu. Lantas sehari, dua hari, untuk beberapa hari ke depannya lagi Janu bisa dilupakan. Karena begitulah kehidupan. Ia terus berjalan tidak menunggumu meski masih dalam keadaan sungkawa.

"Gak ada manusia yang bener-bener sempurna. Lo sendiri, apa rahasia lo Janu?" tanya Cio lagi. "Lo pinter, lo berduit, keluarga lo lengkap, lo dipenuhi kasih sayang sama orang-orang di sekeliling lo. Gue penasaran, hal buruk apa yang pernah menimpa lo?"

"Jadi gini cara lo nuduh Dafi tanpa bukti? Dengan menilai kehidupannya?" Janu balik bertanya. Menatap Cio yang jauh beberapa meter, tak berani mendekat. "Kalo gue kasih tau rahasia gue, jelas itu bukan rahasia lagi namanya."

Cio tersenyum mengejek, mengangkat satu alisnya. "Apa lo bakal bunuh gue setelah ini?"

"Kenapa gue harus bunuh lo? Turun Cio! Jangan kayak anak kecil." Janu berbalik ingin meninggalkan Cio sendirian, tapi langkahnya mendadak berhenti ketika Cio kembali bersuara.

"Terus kenapa lo bunuh mereka?"

"Gue gak pernah bilang kalo gue bunuh mereka," jawab Janu kemudian laki-laki itu pergi meninggalkan Cio sendirian di atap. Membiarkan Cio merenungkan segala jawaban dari Janu.

-𖧷-

"Gat! Ke rumah Janu, yuk!"

Wajah Alfa terpampang jelas pada layar ponsel Gata yang sengaja Gata dirikan bersandarkan buku-buku di atas meja belajarnya. Sedangkan Gata si empu ponsel sibuk memasukkan jari telunjuknya ke dalam lubang hidung. Di pangkuan Gata terdapat gitar berwarna coklat muda.

"Mau ngapain, sih?" tanya Gata heran, masih sibuk mengupil.

"Mau nanya PR fisika. Gue kalo nanya sama lo, otak gue mendadak tolol. Kalo sama Janu enak, dia ngajarinnya sabar banget mirip Bunda gue."

"Terserah. Gue gak ikut, gue mah PR fisika udah beres." Gata mencoba memetik gitarnya asal, menimbulkan suara gitar yang cukup kentara. Merasa suara gitarnya terlalu bising untuk rumah Gata yang senyap, laki-laki itu memutuskan untuk meletakkan gitarnya di samping meja belajarnya.

"Gak setia kawan lo, babi! Temenin gue-lah. Masa gue ke sana sendirian, nanti dikira jomblo gimana?"

Gata mengernyit. "Kan lo emang jomblo, sadar diri kenapa, sih? Percuma ganteng kalo jomblo."

Suara dari sambungan telepon terdengar berdecak sebal. "Ayo, Gat. Gue traktir, deh. Lo mau jus alpukat gak? Jangan batagor mulu, susah nyarinya jam segini!"

Senyuman lebar terukir di wajah tengil Gata. "Boleh, deh. Jangan manis-manis, ya, soalnya yang minum udah manis."

Pintu kamar Gata terbuka, Sandra--Sang Mamah berada di ambang pintu dengan selembar kertas putih di tangan. Gata menjatuhkan ponselnya hingga layar depannya tertutup meja belajar, ia tak sempat mematikan sambungan telepon dari Alfa.

"Kenapa, Mah?" tanya Gata, laki-laki itu tersenyum menatap Sandra.

"Kamu dapat nilai berapa hari ini?" tanya Sandra seperti biasa.

"Gata dapet seratus biologi, kan, Mah?" Gata bertanya, ia bingung. Pasalnya Sandra sudah bertanya dan Gata sudah memberitahunya sejak ia pulang sekolah. Kenapa tiba-tiba Mamahnya kembali bertanya?

"Terus ini apa?" Sandra menaikkan tangannya yang menggenggam selembar kertas ujian. "Kamu dapet 98 fisika. Kenapa gak kasih tau Mamah? Mau bohong? Siapa yang ngajarin kayak gitu?"

Gata terdiam. Hanya kurang 2 poin dan Mamahnya bahkan mempermasalahkan hal tersebut. "Gata lupa."

Sandra menatap Gata tidak suka. "Lupa? Lupa kamu bilang? Lupa atau sengaja, hah? Bego banget kamu sampe fisika aja bisa ketinggalan. Cuma kurang dua poin lho, masa gak bisa ngejar? Kebanyakan main jadi kayak gini."

Gata hanya bisa menunduk. Netranya menatap lantai putih yang dingin tak berani menjawab pertanyaan dari Sandra.

"Kamu juga bukannya belajar malah main gitar, Mamah denger ya tadi pas lewat. Kebangetan!" Sandra mengambil gitar coklat muda itu dan membantingnya segala arah.

"Mah, jangan!" kata Gata.

"Kenapa kok jangan?" Sandra mulai membentak. Ia mengambil gitar yang sudah ia buang kembali dan berbalik menghancurkan gitar tersebut dengan membenturkannya pada tubuh Gata. "Gitar terus! Nilai gak penting, kan? Kalo gini gimana mau dapet juara satu?"

"Gata gak mau dapet juara satu," ujar Gata sembari menghindar dari amukan Sandra yang terus saja memukulnya dengan gitar. Senarnya sudah putus berantakan. "Sakit, Mah!"

"Mamah juga sakit Gata! Ekspektasi Mamah ke kamu selalu kamu patahin. Mamah mau anak Mamah belajar biar pintar, biar bisa Mamah banggain. Bukan kayak gini, main gak jelas, dapet nilai gak jelas, pulang sekolah babak belur gak jelas kamu pikir Mamah gak sakit ngeliatnya?" Napas Sandra naik turun. Tatapannya berkaca-kaca menatap Gata kecewa.

Iya, sakit jiwa!

"Mamah boleh bentak Gata. Mamah boleh salahin Gata terus kapan pun Mamah mau. Atau jadiin Gata sebagai pelampiasan amarah Mamah, boleh kok Mah Gata siap. Tapi tolong jangan pukul Gata, Mah," lirih Gata, menatap Sandra dengan tatapan memohon. Wajahnya sudah memerah menahan segala sesak yang ada di dalam dadanya. "Gata manusia. Gata anak Mamah, kan? Gata kesakitan, Mah. Gata capek, Gata mau dipeluk Mamah. Mamah mau ngilangin Gata? Mamah benci sama Gata?"

Air mata Sandra meluruh dengan derasnya. Gitar yang sudah terbelah dengan senar putus tak beraturan itu terjatuh dari genggamannya. Ia menangis sejadi-jadinya sembari memukul dadanya yang sesak karena dipenuhi amarah. "Mamah cuma mau anak Mamah satu-satunya jadi orang sukses. Apa itu salah?"

"Dengan mukulin Gata?" cicit Gata, suaranya bahkan hampir tak terdengar.

"KALO GAK MAU DIPUKULIN JANGAN BUAT MAMAH MARAH. JANGAN DAPET NILAI JELEK!" Sandra berteriak, lagi-lagi membuat Gata terhenyak meski sejenak.

Mamah Gata berbalik meninggalkan Gata sendirian. Membiarkan anak satu-satunya itu kembali diselimuti kesepian yang mencekam. Tubuh Gata terduduk karena tungkainya yang lemas, laki-laki itu bahkan tak bisa untuk sekadar menangis menjelaskan rasa yang ada di hatinya sekarang. Kepalanya mendadak pening, ia menyandarkannya pada ujung tempat tidur berharap peningnya hilang.

"Semuanya bakal baik-baik aja, kan?"

-𖧷-

㋛︎

-R E C A K A-
ᵏᵉᵉᵖ ᵇʳᵉᵃᵗʰ ᵘⁿᵗⁱˡˡ ʸᵒᵘ ᵈⁱᵉ!
.
.
.




Pernah berpikir untuk mengakhiri hidup?
Kenapa?





Tangerang, 24 Nopember 2021.

Nitip Janu, entar gue ambil☕︎

Continue Reading

You'll Also Like

131 59 5
[17+] Sean Putra Wijayanto itu spesial. Jangan ada yang membencinya, karena kehadirannya di dunia ini tidak diharapkannya. Mungkin Sean tidak mengert...
461 79 13
----------------------------------------------------- Start writing from : 16th of July 2022 Finish at : 07th of October 2022 ...
27.5K 2.7K 7
{OCEAN SERIES 4} Stefano de Luciano Oćean, pria berkuasa yang memiliki segalanya. Darah seorang Oćean yang mengalir dalam tubuhnya, membuatnya tumbuh...
8.3K 1K 42
Jangan takut untuk merelakan, itu memang sudah di gariskan. Yang datang akan pergi, yang pergi akan kembali. Entah karena sibuk mencari rezeki atau s...