Caramello Kiss-O

By Ai_Ailee

771K 20.8K 2.7K

Namanya Mello, panggil saja begitu. Dia cinta mati pada minuman Caramel Macchiato dan uang. Bagaimana kalau a... More

Caramello Kiss-O
First Meet, First Love, First... - Mello's
Ridiculous? -Alvaro's
Couple of Disaster? - Fabio's
Trouble? Troubles!
Surprise?!
Lost in Vienna
Bagaimana Kalau...
Goodbye Aleyna
Paradoks
Cium Aku!
Double Kiss
Main Hati
Satu Titik
Lustly Love, Lovely Lust
I Love You
White Flag
BDSM
Maaf, aku mencintaimu...
Pemberitahuan

Vienna and The Stories

30.3K 872 61
By Ai_Ailee

Vienna's air doesn't suit me. I'm suffocating. My lungs isn't strong enough. It's never be.

~oOo~

Aku memijit kepalaku yang secara tiba-tiba di serang migrain. Siapa maniak yang sudah menciptakan alat-alat aneh begini? Borgol? Itu terdengar cukup menyeramkan. Tapi kalau penampakan borgol itu di hiasi dengan bulu-bulu –entah itu di sebut bulu atau apa- berwarna merah, aku bersumpah kalau benda bernama borgol itu sudah kehilangan keangkerannya. Ayolah, ada yang tertarik untuk membayangkan narapidana kasus pembunuhan berantai berikut mutilasi memakai borgol dengan bulu-bulu merah begitu? Tertarik? Mati sajalah!

“Borgolnya unyu…,”

Aku melengos malas mendengar diksi unyu itu meluncur keluar dari mulut otak amoeba ini. Sudah berapa benda yang dia sebut unyu sejak kami masuk ke kamar ini tadi? Sebenarnya apa definisi unyu ha? Cambuk dengan pegangan empuk dan ujung berbola-bola merah itu dia bilang unyu. Tambang merah dengan aksen pita, yang juga warna merah, itu juga di bilangnya unyu. Syal merah yang tergantung di kepala tempat tidur juga masuk dalam kategori unyu. Dan apa itu? Sejak kapan tongkat pemukul baseball jadi di lapisi busa begitu? Dia mau bilang unyu juga? Iya? Begitu?! Sumpah aku frustasi.

“Kenapa warnanya merah semua ya…,” Mello, si otak amoeba ini akhirnya menyadari kalau sejak tadi warna merah mencolok ini meyakiti mataku. Sekali otak amoeba, tetap saja otak amoeba. Bukannya Tante-ku yang delusional itu sudah bilang kalau dia sudah menyulap kamar satu-satunya di lodge ini menjadi Red Room of Pain? Nama yang bagus sekali. Pantas. Sangat cocok. Red? Tidak di ragukan. Semua bernuansa merah dan sedikit sentuhan silver. Pain? Sukses. Mataku sudah cukup sakit melihat warna merah dan segala macam properti menggelikan yang ada di kamar ini. Painful enough. Kenapa tidak sekalian saja Tante Anne menyediakan samurai supaya bisa kugunakan untuk memberi rasa sakit pada Mello yang masih saja melongo takjub melihat desain kamar yang membuatku speechless. Kehabisan kata-kata karena hanya tersisa umpatan yang bisa kulontarkan.

“Roo,” Mello menyodok pinggangku dengan ujung cambuk menjijikkan berwarna merah. Mulai detik ini, aku benci semua yang berwarna merah. Catat itu.

“Apa? Kau mau apa? Kalau kau berfantasi tentang aku yang menggunakan alat-alat tolol itu untuk bercinta denganmu, maka…MIMPI saja kau,” sergahku geram.

“Ish! Siluman kanguru menyebalkan. Enggak bisa gitu ya omongannya di sensor. Di kasih rating kek, apa kek,” dia membanting bokong ratanya itu ke tempat tidur. Lalu berbaring.

Dia berbaring dengan tenang, sementara aku gusar melihat kamar yang biasanya berwarna soft peach ini jadi porak poranda hanya karena imajinasi menjijikkan Tante Anne dan koleksi novel milik Tante Tami. Dosa apa aku di masa lalu sampai-sampai harus hidup dengan wanita-wanita berkepribadian absurd dan berdaya khayal tinggi? Oh, di tambah si diktator tua itu, Oma, dan juga si otak amoeba, Mello. Lengkap sudah penderitaanku. Dan ini semua karena Fabio. Good boy! Dia tidak membalas pesanku sama sekali.

“Kemarikan notebook-ku,” aku menunjuk notebook yang tergeletak di dekat Mello. Dengan bersungut-sungut dia mengoper benda berwarna silver itu padaku.

“Mau ngapain?” tanyanya penasaran ketika dengan sigap aku menghidupkan benda itu setelah mengetik e-mail dengan kecepatan super dan kukirimkan pada Fabio agar dimanapun dia berada, dia mengaktifkan skype-nya.

“Menghubungi Fabio Zaky Hoetama. Semakin lama dia nyusul kemari maka hidupmu bakal makin menderita. Berdoa saja malaikat penolongmu itu sudi segera datang sebelum kau aku benamkan ke Sungai Donau hidup-hidup,”

“Sekarang kan musim dingin, Roo. Aku bisa mati kalau terbenam di sungai. Gilak ya kamu… Dasar yah, cakep-cakep psycho,” gerutunya, “Eh, cakep? Enggak cakep-cakep amat sih ah. Biasa aja. Eh, tapi emang cakep sih…kalau lagi baek. Kalo udah kerasukan siluman kanguru ya jadi begini ini. Nyebelin…” Mello sibuk dengan pemikirannya yang random. Dan bodohnya, dia menyuarakan itu tanpa sadar. Astaga…dimana otaknya tercecer?

“Sekali lagi kau sebut aku siluman kanguru, aku percepat proses eksekusimu, sayang,” aku menyahut dengan manis dan seringaian terukir di wajahku. Cukup berhasil sih, karena Mello segera mengkeret cemas dan membenamnkan kepalanya ke tempat tidur.

Tringg.

Aku mendengar notifikasi berbunyi dari notebook-ku. Fabio.

“Kau dimana? Kapan kau kesini?” cecarku cepat pada wajah teduh menyebalkan yang sedang tersenyum di layar.

“Di studioku. Ada urusan dengan Arya,” dia mengedikkan bahu ke belakang dan bisa kulihat ada pengacara, yang juga temanku dan Fabio. Pengacara muda dan tampan itu tersenyum tipis.

Hey dude…” sapanya. Aku menyahut singkat.

“Aku perlu memperbaiki beberapa poin di perjanjian kemarin Roo. Menyesuaikan dengan ‘pernikahan sungguhan’mu itu,” Fabio kembali bicara setelah mengacungkan jempolnya pada Arya yang beranjak pergi.

“Ck, abaikan itu,” aku berdecak malas, “ Tidak ada yang perlu di perbaiki. Kau kesini saja sekarang juga. Aku bisa gila kalau terus-terusan bersama otak amoeba ini,” aku melirik Mello. Dia tidak protes. Matanya terpaku pada wajah Fabio. Oh, astaga. Memalukan sekali ekspresi wajahnya. Sepertinya Fabio’s Effect bekerja sangat kuat pada si otak amoeba ini.

“Banyak yang perlu di sesuaikan, Roo. Masalah kontak fisik terutama. Arya sudah menyarankan beberapa alternatif dan kurasa itu bagus,”

“Tidak ada kontak fisik! What do you expect, huh?!” aku menyergah kasar. Dan juga jijik. Bah! Apa yang Fabio pikirkan? Bukankah dia mengenalku dengan baik, sangat baik?

Not me. Oma…”

Oma? Oma lagi? Aaaarghhh!

“Apalagi kali ini?” aku bicara setengah merutuk.

“Kau lihat Franz? Dia masih di lodge?” tanya Fabio. Aku mengerutkan keningku karena bukannya menjawab, tapi dia malah balik bertanya. Ya…ya…ya…this is Fabio dan dia selalu mempunyai cara sendiri untuk memberi penjelasan.

“Coba liat Franz, masih membersihkan salju tidak?” aku menyikut Mello.

“Franz? Oh, laki-laki yang bawa barang-barang kita tadi ya,” Mello bangkit dengan sedikit enggan dan melongok ke jendela yang terbuka.

“Ada tuh,” katanya setelah terburu-buru kembali duduk di sebelahku.

“Mungkin sebentar lagi dia pulang ke rumahnya, seperti biasa…,” kataku seraya sesekali melirik Mello yang matanya tidak lepas dari wajah Fabio yang melemparkan senyum padanya. Halah, Fabio cuma akan mematahkan hati anak malang ini nantinya. Kasihan kamu otak amoeba.

He won’t…,” kata Fabio singkat.

“Apanya?”

“Dia tidak akan pulang kerumah nya seperti biasa. Oma memintanya memata-matai kalian. Melaporkan perkembangan bulan madu. Berapa kali kalian bercinta dalam satu hari, berapa lingerie yang rusak, berapa cakaran, alat-alat apa yang digunakan,…”

Cut it off!! Argh! Disgusting!” aku menghentikan Fabio sebelum dia berkata lebih banyak yang hanya akan membuatku muntah di tempat. Fabio terbahak. Sedangkan Mello, dia beringsut dengan cepat ke pojok tempat tidur, menungging dan menutup kepalanya dengan bantal besar sambil bergumam sesuatu yang terdengar seperti ‘sensor…rating…’ entahlah. Tapi dia lucu dan aku batal muntah melihat kelakuannya.

“Aku serius, Roo. Tante Anne yang cerita,”

“Nenek tua menyebalkan itu, apa maunya? Apa-apaan sih dia? kalau tidak ada hal-hal mengerikan itu bagaimana?”

Abi mengangkat bahu, “Memutus kontrak kerjamu mungkin. Lalu menutup rekeningmu, mensabotase larirmu di dunia entertain,…”

“Menarikku ke perusahaan dan kalau aku menolak, dia mengancam akan bunuh diri,” potongku. Aku sudah sangat hapal skenario ini.

“Kenapa bukan kau saja yang mengawasi kami Bi? Mereka percaya padamu kan?” aku bertanya heran. Kalau ada orang yang sangat-sangat di percaya keluargaku meskipun dia tengah berbohong, maka satu-satunya orang itu adalah Fabio.

“Oma sudah menyuruhku…tapi…,” dia diam, lalu tersenyum tipis, “Vienna’s air doesn’t fit my lungs very well. Especially in winter. Aku takut paru-paruku tidak cukup kuat,” katanya.

Cih. What a silly excuse. Sejak kapan dia punya penyakit asma alias bengek. Dia bahkan lebih tahan berada di cuaca dingin dibandingkan aku. Tapi melihat kilat mata teduhnya yang redup, aku langsung tergiring pada suatu pemahaman.

Vienna.

Winter.

Dan…Aleyna.

Deadly combination untuk Fabio.

I see,” kataku singkat.

“Would you take care of Mello when I’m not around?”

Cih. Menjaga si otak amoeba itu? Fabio sialan. Dia pikir aku bisa menolak permintaannya kalau dia berwajah kesakitan seperti seseorang tengah menikam punggungnya dengan samurai? Kasihan sekali kau sobat. Siapa suruh kau jatuh cinta, hmm…

Count on me buddy…,” sahutku menyetujui dengan setengah hati. Setidaknya aku tidak berusaha untuk membunuh Mello. “tapi kau harus membayarku, Bi. Dengan tubuhmu…,” sambungku sekenanya.

Deal,” tawanya, “Mana Mello? Aku mau bicara padanya,”

Aku melongok pada si otak amoeba yang masih menyembunyikan wajahnya di balik bantal tebal, “Kau tau, Bi, aku pikir lebih baik kau jatuh hati pada Mello saja. Meskipun tidak secantik…,” aku nyaris saja menyebut satu nama yang pastinya akan membuat Fabio seperti mayat hidup lagi, “tidak secantik Mariana Renata ataupun Dian Sastro, at least, dia lucu,”

“Kau sendiri?”

Hah. Aku mendengus. “terakhir kali kulihat, dia belum berubah jadi lelaki,” sahutku pendek sebelum meneriaki Mello, “Woy, berhenti menunggit begitu. kau kelihatan puluhan kali makin bodoh. Sini. Fabio bilang dia mau ngomong,”

Dalam sepersekian detik, dia sudah meluncur duduk di sampingku dengan senyum selebar London Bridge. Baiklah, aku berlebihan. Tapi memang senyumnya lebar. Ah, sudahlah. Banyak yang harus aku pikirkan, salah satunya bagaimana cara aku mengelabui Oma dan para Tante. Aku melirik Mello. Hey, wajah bodoh, em, maksudku…wajah polosnya itu memberiku inspirasi.

***

Franz tampak masuk ke dalam lodge dengan sebuah keranjang berisi beberapa botol wine di tangannya. Alvaro tadi memesan minuman terbaik yang bisa dia dapatkan dan Franz dengan senang hati mengambilkan persediaan wine di gudang penyimpanan wine milik keluarga Dinata ini. Wine dan bercinta. Kombinasi yang menggairahkan, pikir lelaki 24 tahun keturunan Indonesia-Jerman ini. Ia terkekeh kecil. Perintah dari Nyonya besar Dinata kali ini sungguh membuat semangatnya menggebu-gebu.

“Bawa apa Franz?” Alvaro muncul dari arah dapur dengan semangkuk cereal gandum di tangannya.

Wine, Sir. Kurasa kau membutuhkan ini,” ujar Franz dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih. Dia mengedipkan sebelah matanya dengan jahil dan membuat Alvaro menyipitkan matanya kesal. Dalam hati dia merutuk. Kalau saja anak ini bukan mata-mata dari Oma, pasti Alvaro sudah menendangnya keluar dari lodge. Sayang sekali Alvaro tidak mau mengambil resiko mengerikan dengan kemungkinan Oma, kemungkinan besar juga dua orang tantenya, ikut menyusul kemari dan PASTI akan mengacaukan semuanya dengan obsesi aneh mereka. Cih!

My wife doesn’t drink this thing,” kata Alvaro sambil mengangkat sebotol wine dari keranjang yang di bawa Franz. My wife? Yuck! Terdengar mengerikan, pikir Alvaro. Ia membayangkan Mello dan kata-kata my wife tadi. Tidak ada kecocokan sama sekali. Cih lagi!

“Tidak ada salahnya sedikit mencicipi ini, Alva. Your wife will be more ‘rawrr’,” goda Franz dengan mata berkilat. Alvaro berusaha memasang wajah stoic-nya. Andai saja ada special effect, saat ini pasti sudah ada kobaran api di sekeliling Alvaro dan sepasang tanduk mencuat dari keningnya. Atau mungkin saja mendadak wajah tampan itu bertranformasi menjadi Hulk. Atau Hellboy?

“Bocah, kepalamu itu hanya di penuhi urusan ranjang saja ya? Why don’t you find a good girl and marry her, hm? Lebih bermanfaat daripada kau mengurusi urusan ranjangku,” Alvaro berkata tajam. Franz terkekeh kecil.

“Tidak harus menikah kalau hanya ingin berurusan dengan ‘ranjang’ kan,” sahutnya ringan. Cih, bocah mesum. Mello yang baru keluar dari kamar langsung bergidik ngeri. Iiih, calon kayu bakar neraka ni, batinnya.

“Sayang, maaf aku terlalu lama mengambil makanannya,” Alvaro menoleh pada Mello yang sekali lagi bergidik ngeri. Sayang? Alvaro mengerikan. Kalau dulu Mello dan teman-temannya, dan pastinya banyak kepala yang menjadi fansnya, mengagumi seorang Alvaro Hugo Dinata yang kalem dan hangat, kali ini Mello justru dilanda ketakutan. Kenapa dia bahkan lebih terlihat menyeramkan daripada aslinya ya?

“Aku…aku…aku…,” Mello gelagapan melihat tatapan menggoda dari Franz dan tatapan hangat dari Alvaro. Aduh, berasa di kandang macan sekaligus buaya ini, ia membatin kalut.

“Sepertinya istrimu kedinginan Alva. Sana hangatkan,”

Demi mendengar kata-kata dari Franz itu, tanpa ba-bi-bu Mello menghambur masuk kembali ke kamar. Franz terkikik heboh.

My Godness…dia polos sekali, Alva. Lemme guess, dia pasti tercengang melihat sex toy yang kutaruh di kamar kan? Wow! Dia pasti menarik sekali kalau di ranjang,” Franz berujar semangat. Alvaro menggertakkan giginya menahan geram. Beberapa saat kemudian dia tersenyum sinis.

Absolutely. Dia…menggairahkan,” Alvaro berujar dengan menekan seluruh rasa mual yang dirasakannya ketika mengucapkan kalimat itu. Mello? Menggairahkan? Dari sebelah mananya coba?

“Wow, akan ada sesuatu yang panas, hm? Aku rasa aku bisa jadi penonton yang baik,” kata Franz. Brengsek bocah mesum ini, Alvaro membatin.

“Kau yakin? It’s gonna be a long…long… night. Kau sanggup berdiri begitu saja mendengar kami ehem-bercinta. Hanya menguping dari pintu kamar yang nyaris kedap suara? Menyedihkan sekali Franz,” Alvaro mencoba memprovokasi agar Franz membatalkan niat mesumnya itu.

Franz mengangkat bahunya, “Aku hanya menjalankan tugas,” sahutnya. Alvaro menarik salah satu sudut bibirnya. Menyeringai. Ia berjalan mendekat kea rah Franz.

“Kau bisa lambaikan tanganmu ke kamera kalau tidak sanggup,” sindirnya. Franz menganga. Ia paham maksud Alvaro. Lelaki itu sudah menemukan CCTV yang di pasangnya di kamar mereka. Ah, sial, Franz membatin geram. Jarang-jarang dia bisa mengerjai cucu tunggal dari ibu angkatnya ini.

“Oh iya, kurasa aku tidak butuh Viagra yang kau tumpuk di kamarku Franz. Aku sudah membuangnya ke tong sampah. Kau bisa ambil kembali kalau kau butuh,” kata Alvaro sebelum menghilang di balik pintu kamarnya.

***

Huwaaaa… mengerikan…menyeramkan…memalukaaaaaannnn…

Harga diriku mana? Mana? Sudah terbang bersama butiran debu? Huwaaaaaa…. Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi… Aku tenggelam dalam lautan kenistaan… Maaf saja kalau aku menukar liriknya. Tapi sungguh, demi si tampan Orlando Bloom, aku benar-benar merasa malu.

Kali ini aku tidak mempermalukan diri sendiri tanpa di sengaja seperti yang selalu Mita tuduhkan padaku. Aku mempermalukan diriku karena dipaksa. Siapa lagi kalau bukan siluman kanguru itu yang maksa.

Supaya mata-mata Oma Dien itu bisa memberikan laporan yang memuaskan, Alvaro memaksaku mengeluarkan kalimat-kalimat seperti…seperti…itulah pokoknya yah. Bisa bayangin? Aku kasih clue deh. Kami pura-puranya sedang begituan. Tolong garis bawahi ‘pura-puranya’ ya. Jadi karena pura-puranya sedang begituan dan ada sepasang telinga yang menguping, aku dan Alvaro terpaksa mengeluarkan suara-suara menyeramkam begitu. Duh Gusti, ini lebih horror daripada film horror masaaaaa…

Untung si Franz mesum itu sudah kabur. Dia ngibrit setelah melapor sama Oma. Bener ya, keluarga Alvaro Dinata ini aneh-aneh semua.

“Aku maluuu…,” rengekku sekali lagi.

“Aku jijik,” Alvaro menyahut pendek. Ia menarik selimut tebal untuk menutupi tubuh kerennya itu. Aduh, jangan sampai dia mendengar aku bilang begitu ya. Jangan keceplosan mulutku yang cantik. Jangan sampe keceplosan lagi.

“Aku tidur dimana?” tanyaku.

“Terserah. Di lantai boleh. Di sofa boleh. Di luar juga boleh. Jangan lupa kunci pintunya. Jangan sampai bocah mesum itu muncul lagi,”

Isshhhhh…ini orang kejam banget sih. Aku memeluk guling. Kenapa bukan dia aja yang tidur di sofa? Hhaaah…kalau sama Fabio pasti aku di suruh tidur di tempat tidur dan dia tidur di sofa. Tapi aku tetep tidak mau Fabio tidur di sofa. Tidur bersama di tempat tidur ini saja. Luas kok. Lagian kalau sama Fabio, aku ikhlas. Kalau sama Alvaro… Mmmhh, dia kerasukan siluman kanguru tidak yah sekarang?

“Roo, aku tidur disini boleh?” tanyaku ragu-ragu.

“TER-SE-RAH,” dia menyahut.

“Terserah itu artinya boleh?” ulangku lagi. jawaban terserah itu belum memuaskan. Terserah dimana coba? Di lantai? Ogah. Dingin…

“Otak amoeba! Kau mau tidur dimana saja terserah. Asal jangan menempel padaku. Aku tidak suka!” Alvaro bangkit dari seraya membentakku. Aku kaget dan nyaris terjengkang jatuh dari tempat tidur.

Buseeeett. Kenapa pemarah sekali sih. Bodoh juga, Biologinya dapat berapa sih dulu?

“Amoeba enggak punya otak lho Roo. Belajar kan di sekolah dulu,” aku mengingatkan agar dia tidak salah kaprah nantinya. Memalukan tau kalau ketahuan public orang kayak Alvaro itu rada oon.

“Tentu saja aku tau kalau amoeba tidak punya otak. Sama sepertimu kan? Analogi begitu saja kamu tidak paham. Memalukan,”

Duh Gusti, ngomong sama Alvaro ini selalu aja bikin aku jadi terlihat bego.

“Tapi…kamu beneran enggak bakal grepe-grepe aku kan Roo yah?”

Alvaro memandangku tajam. Matanya keren lho. Tajam gitu. Tapi aku lebih suka mata teduh punya Fabio sih.

“Apa kemaren aku grepe-grepe kamu Mel? Tidak kan?” dia masih menekan suaranya.

“Tapi kamu nanggalin baju akuuuu,”

“Aku harus ngulang berapa kali sih Mel. Aku tidak nafsu sama kamu. Tidak sedikitpun. Jadi jangan berpikir kalau aku berniat melakukan hal-hal yang kamu pikirin itu yah. Plese, jangan mikir yang tidak-tidak. Imajinasimu itu bikin aku frustasi tau,”

“Kamu beneran impoten?”

Ups, keceplosan! Aku cepat-cepat menutup mulutku yang lancang. Duh Gusti, kenapa mulutku remnya keseringan blong sih? Kelewat sinkron sama pikiran ya ginilah jadinya. Apa yang aku pikir dengan mudahnya bisa terucap.

“Aku…tidak tertarik pada wanita,” Alvaro menyahut datar. Mukanya nyaris tanpa ekspresi. Eh, emang tidak ada ekspresi lho. Datar. Kayak mayat.

Tidak tertarik pada wanita? Kalau sama cowok?

Aku menelan ludah. Roo? Dia…? Berita di TV itu beneran? Alvaro?

“Terserah kamu mau mikir apa ya. Aku tidak peduli. Kesimpulan yang kamu tarik dari omongan aku juga aku tidak peduli. Aku ngantuk,” dia menarik selimutnya lagi dan berbaring.

Aku memandangi punggung Alvaro. Masa sih? Beneran gitu?

Mungkin iya ya. Makanya Fabio bikin nikah-nikahan begini. Alvaro… meskipun menyeblakan dan pemarah, tapi dia baik. Kayaknya sih. Kalau tidak baik kenapa dia mau ngasih duit banyak cuma buat jadi istri pura-pura. Aku juga tidak di grepein kan ya. Duh Gusti, kasihan Alvaro.

“Roo…kamu udah tidur?” panggilku ragu.

“Udah,” dia menyahut singkat. mAsih tetap dalam posisi memunggungiku.

“Kok bisa ngomong?”

“Aku ngigo,”

“Roo…”

“Berisik ah!”

“Roo, kita jangan sering-sering berantem yah. Kita temenan aja. Meskipun kamu sering nyebelin, aku enggak akan marah kok. Tapi jangan kejam-kejam amat ya. Kasihan dikitlah sama aku. Ya Roo ya,” kataku pelan.

“Iya…” dia menyahut, “Kalau ingat,” sambungnya lagi.

Aku tersenyum kecil. Jujur saja, aku jadi kepikiran. Orang yang nyaris sempurna kayak Alvaro gini… Gay? Iyakah? Masih sulit di percaya, tapi yah… Roo juga membebaskanku mengambil kesimpulan dan inilah kesimpulanku.

Aku ikut merebahkan tubuhku di sisi lain tempat tidur. Masih belum bisa tidur aku. Jetlag mungkin. Kayaknya yang terjadi dalam hidup aku belakangan ini seperti di dunia lain gitu. Jauh dari duniaku sendiri. Rasanya capek ya, dalam waktu sesingkat ini sudah terjadi banyak hal yang mengejutkan. Jantungku masih kuat tidak ya sama kejutan-kejutan lain?

Ah, Fabio… kamu beneran tidak bisa kesini? Aku…rindu…

***

Aku tersenyum membaca pesan yang masuk ke emailku. Aku mengetik sederet kalimat untuk membalasnya.

Me: Aku pengen kamu jaga dia. Aku yakin, kamu pasti bisa Mello.

Aku membalas pesan itu ke email Mello. Alvaro bilang bagaimana memangnya Mel? Ah, bagaimanapunlah… aku selalu yakin kalau kamu bisa jaga dia. Aku berharap banyak pada Mello. Kepolosannya pasti bisa menyentuh hati Alvaro. Kuharap begitu. Dan aku juga berharap Alvaro memegang janjinya untuk menjaga Mello disana. Aku…tidak bisa ikut kesana meskipun aku ingin.

“Berniat menyusul mereka, Bi?”

Aku menoleh cepat mendengar suara Tante Tami. Dia tersenyum. Terkesan misterius dimataku.

“Tidak Tan. Tidak mau mengganggu bulan madu mereka,” sahutku. Aku sedikit bergeser agar tante Tami bisa duduk di sebelahku. Aku menengadah. Melihat langit dengan teropong bintang dari atas balkon rumah keluarga Dinata yang sudah seperti rumahku ini.

Fake honeymoon? Atau aku harus bilang fake wedding?”

Aku tersentak kaget dan nyaris menyenggol gelas white coffee-ku. Tante Tami blang apa? Apa dia…

“Aku sudah tau Bi. Sudah beberapa waktu lalu. Sebelum gosipnya menyeruak ke permukaan,” ucapan Tante Tami membuat kudukku di banjiri keringat. Tau darimana? Seingatku, hanya kami berdua, aku dan Roo, yang tau masalah ini. Oh, tambah satu lagi. Orang itu. Orang yang ingin kujauhkan dari Roo. Gavin Rheo.

“Aku terkejut waktu kau bilang Roo akan menikah dan membawa Mello kesini. Pasti ada yang tidak beres. Pantas saja. Aku sempat menemui Arya dan berhasil memaksanya memberika petunjuk,”

“Arya melanggar kode etik dengan membuka rahasia klien? Aku rasa tidak mungkin Tan,” aku menyela dengan cepat. Aku mengenal Arya. Dia pengacara kawakan meski masih muda.

“Tentu saja dia tidak memberitaukan secara eksplisit, Bi. Tapi kau tau kan aku punya naluri yang cukup kuat. Aku bisa membaca situasinya,”

Aku terhenyak. Tante Tami tau, dan ini sama sekali bukan hal bagus. Otakku langsung tertuju pada Oma. Apa katanya nanti? Aku mengecewakan beliau. Belum lagi rahasia tentang Alvaro.

“Jangan khawatir. Aku menyimpan rahasia ini, Bi. Anggap saja kau menambah salah satu pemegang kunci untuk mantra Fidelius,” katanya lagi. Fidelius? Penggila novel ini bahkan mengambil istilah dari novel bacaanya. Kali ini Harry Potter. Aku tersenyum dalam hati. Sedikit lega.

“Tante…”

“Aku berharap hal yang sama denganmu, Bi. Kalau Alvaro memang seperti itu, aku berharap kalau Mello punya kekuatan untuk mengubahnya. Atau paling tidak, membuatnya tidak terseret terlalu jauh dan masih tetap dalam jalur,” Tante Tami berucap pelan.

Aku mengangguk. Itu yang aku pikirkan saat membuat rencana ini.

“Aku tidak mau melihat wajah sakit Mama lagi. Masalahku…masalah Anne…Hugo… mama Roo… Kasihan mama. Dia sudah terlalu sering menangis karena kami. Aku mau Alvaro membuatnya senang. Aku tidak mau ada yang ;sakit’ lagi disini, Bi…,”

Aku bisa paham apa yang Tante Tami bicarakan. Sangat paham bagaimana kalutnya wanita cantik ini.

“Kau juga, Bi. Kau kan bagian dari keluarga ini juga. Jangan sakit lagi…”

Kali ini aku makin diam. Membisu sama sekali. Dadaku mendadak nyeri untuk kesekian kalinya. Masih nyeri yang sama dengan yang kurasakan sebelum-sebelumnya. Tidak juga berkurang sedikitpun meski sudah empat tahun berlalu. Masih saja sakit sampai aku kesulitan menggapai udara. Paru-paruku kehilangan fungsinya lagi. Sebanyak apapun aku menghirup, masih saja kosong. Sesak.

“Aku tau alasanmu berat untuk pergi ke Wina,”

Aku menggapai udara kosong.

Tidak… jangan lanjutkan dulu. Aku masih Fabio yang pengecut. Aku belum cukup kuat mendengarkannya tanpa merasakan sakit.

“Dia ada disana kan?”

Tante Tami… aku megap-megap. Aku tau ini berlebihan, tapi aku bisa apa? Selalu saja begini kalau sudah menyangkut dia… Dia… bahkan menyebut namanya tanpa merasakan sayatan didadaku itu adalah hal mustahil.

“Aleyna…”

Aku mengeluh pelan. melenguh dalam hati. Kenapa tante Tami? Ini…rasanya sakit.

“kau mencintainya terlalu banyak. Sakitnya jadi tersa menyiksa. Kalau begini terus, kau akn terus-terusan sakit, Bi.”

Aku tau… Aku tau… tapi aku bisa apa? kalau boleh memilih, aku ingin mati rasa saja… sakit ini sungguh menyesakkan…

***

Alvaro dan Mello tampak baru selesai keluar dari areal pemakaman di salah satu sudut kota Wina. Mereka baru saja berziarah ke makam Ayah Alvaro, Hugo Dinata. Mello berjalan dengan langkah-langkah cepat untuk menjajari langkah panjang Alvaro. Tangannya bergelantungan di lengan Alvaro yang kokoh terbalut jaket tebal berlapis lapis.

“Jangan ngebut-ngebut Roo. Ntar aku kececer ini. Kakiku kan pendek,” Mello memprotes.

“Salah sendiri kenapa kakimu pendek,” Alvaro menyahut cuek.

“Nyebelin,”

“Memang. Baru tau?”

“Kagak. Udah lama juga. Dari pertama ketemu kamu,”

Langkah mereka akhirnya sampai di tempat mobil Alvaro terparkir. Baru saja hendak masuk ke dalam mobil, Mello berseru keras.

“Roooooo! Ada yang tinggal!”

Alvaro berdecak kesal, “Apalagi sih Mel? Kenapa bukan kepalamu saja yang tinggal,” ocehnya gusar.

“Jadi hantu kepala buntung dong aku…” sungutnya, “Aduh Roo, temenin yok. Ponselku tinggal ni di pusara papa kamu tadi. Kan kamu baru gantiin kartunya tadi biar bisa di pake disini. Yok Roo yok, temenin…”

“Ogah ah. Ngesot saja sana sendiri,” tolaknya malas.

“Alvaro, please…aku bakal nyasar ntar. Aku kan enggak kenal tempat ini. Plese Roo, pleaseee…”

“Aaah… hidupmu memang merepotkan ya Mel,” Alvaro membanting pintunya dan tanpa perasaan menyeret Mello untuk kembali masuk ke areal pemakaman hingga gadis itu terserok-seok mengikuti langkah cepat dan panjang Alvaro.

Beberapa saat kemudian. Masih dengan tangan menyeret Mello mereka berdua sudah sampai kembali di gerbang pemakaman. Alvaro berdecak kesal sepanjang jalan. Ia sudah memikirkan untuk menggelindingkan Mello kalau masih saja ada barang yang tertinggal.

“Alvaro Dinata?” sebuah suara menghentikan langkah mereka berdua. Mello yang lebih dulu mengagkat wajahnya dan mendapati seraut wajah tampan bertubuh tegap berdiri di hadapan mereka. Wajahnya terlihat seperti wajah blasteran. Seperti Franz tapi bahasa Indonesianya lebih fasih, batin Mello.

“Ternyata benar ini kau Alvaro,” orang itu berujar lagi.

“Dia emang Alvaro Dinata. Kalau aku, Mello…” kata Mello. Tapi lelaki itu megabaikannya. Mata coklat madu it uterus memandang Alvaro lekat-lekat. Mello bisa merasakan tangan Alvaro yang menggenggamnya perlahan mengendur. Mello memandangi ekspresi wajah Alvaro yang mendadak kaku.

“Rheo…,” gumamnya nyaris tidak terdengar.

“Aku merindukanmu, Alva…”

***

TBC

Lagi-lagi ngetiknya ngebut dan langsung di publish soalnya besok gak bisa publish. Hehehe. I’m really sorry kalau part ini sedikit membosankan. Kasih saya kritik, saran, dan masukan apa saja untuk membuat saya bisa memikirkan konsep cerita yang lebih matang. Stroberinya saya tunggu yah. ^^ Buat yang mau nungguin cerita ini, makasih banget. Yang udah ComVoFan juga makasih banget. Maaf kalau saya belum bisa memuaskan ekspektasi.

Oh, I’m sorry for the typos. That is my weakness. Careless. Dan untuk istilah atau kata-kata yang sedikit ehem…saya juga minta maaf yah. Xixixixi.

Continue Reading